Boemipoetra, 07/06/2021
Anggaplah “cerpen koran Indonesia” itu ada. Yaitu cerpen-cerpen berbahasa Indonesia yang muncul di koran-koran edisi Minggu di seluruh Indonesia, yang panjangnya berkisar antara 6-8 halaman kuarto (spasi ganda), dan yang bercerita tentang “peristiwa aktual”, atau tentang “realitas koran”, dari kehidupan sehari-hari di Indonesia. Bukankah biasanya tiga hal di ataslah yang dijadikan alasan bagi relevannya pemakaian istilah “cerpen koran” dalam perbincangan tentang sastra (cerpen) kontemporer Indonesia?
Anggaplah juga ketiga karakteristik teks di atas memang merupakan representasi sosok sub-genre sastra “cerpen koran Indonesia”. Lantas, semua cerpen yang berbahasa Indonesia juga, yang muncul di koran-koran edisi Minggu di Indonesia juga, yang panjangnya antara 6-8 halaman kuarto (spasi ganda) juga, tapi tidak mengangkat cerita “peristiwa aktual” atau “realitas koran” kehidupan sehari-hari di Indonesia, apakah cerpen-cerpen seperti ini juga termasuk “sastra (cerpen) koran”? Kalau tidak, karena tidak semua kriteria karakteristik teks seperti saya sebutkan di awal esei ini terdapat padanya, misalnya, maka ke dalam kategori sub-genre cerpen apa cerpen-cerpen jenis terakhir itu mesti dimasukkan? Lalu apakah sebenarnya “cerpen koran Indonesia” itu? Apakah “cerpen koran Indonesia” itu, dalam arti sebuah sub-genre spesifik dari bentuk fiksi bernama cerpen, memang benar-benar ada, seperti yang luas diyakini dalam dunia sastra kontemporer Indonesia?
Seperti kebiasaan khas dalam budaya pop, dunia sastra modern Indonesia juga tidak luput dari euforia keterpesonaan pembuatan dan pemakaian istilah-istilah baru tapi yang terkesan jauh lebih asal-asalan, tidak bertanggung jawab, dibanding yang biasa terjadi di dunia budaya pop. Dalam budaya pop sebuah istilah baru memiliki rujukan objek yang jelas yang membedakannya dari objek-objek istilah lain. Ambil contoh “sinetron”. Penonton awam yang tidak mengerti bahwa sinetron itu adalah akronim dari “sinema elektronik” bisa membedakan sebuah sinetron dari sebuah film lepas. Pembagian naratif plot sinetron dalam episode merupakan ciri khas utama yang membedakannya dari film “bioskop”, misalnya. Dan ceritanya biasanya pasti tentang “kehidupan tragis orang-orang kaya raya yang tidak bahagia”. Tapi bagaimana dengan istilah “cerpen koran Indonesia”? Apakah memang terdapat karakteristik teks yang unik pada karya-karya yang disebut sebagai “cerpen koran Indonesia” yang segera akan membedakannya dari “cerpen bukan-koran Indonesia”, misalnya? Apakah ketiga faktor yang saya sebutkan di awal esei ini memang benar-benar sudah bisa menjelaskan apa itu yang dimaksud dengan “cerpen koran Indonesia”, kalau makhluk ini memang ada? Sayang, saya belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dari para “kritikus” sastra Indonesia yang merayakan keberadaan apa yang mereka sebut sebagai “cerpen koran Indonesia” itu dalam tulisan-tulisan mereka, di koran-koran Indonesia, tentu saja.
Problemalitas pengertian istilah seperti “cerpen koran Indonesia”, misalnya, kayaknya tidak dianggap terlalu penting untuk dibicarakan oleh para “pengamat/pemerhati/kritikus” sastra Indonesia. Ada terkesan semacam kemalasan untuk berusaha menerang-jelaskan maksud dari istilah-istilah yang kerap kali dipakai, padahal kejelasan definisi merupakan sebuah syarat awal bagi terjadinya pembicaraan yang kritis dan bertanggung jawab. Malah saya melihat ada kecenderungan akhir-akhir ini di kalangan penulis artikel tentang sastra di koran-koran Indonesia untuk saling berlomba menciptakan istilah-istilah “aneh” yang hanya menunjukkan betapa penulisnya ingin sekali dianggap “berisi” walau isi tulisan dan judulnya biasanya tidak punya relasi tekstual seperti yang diharapkan, mirip gejala “sajak-sajak gelap” di puisi kontemporer Indonesia. Ambisi besar untuk menulis ala kaum pascastrukturalis di Eropa dan Amerika Serikat ini ternyata hanya sebuah fenomena epigonisme Afrizalian lokal belaka!
Yang pasti adalah bahwa istilah “cerpen koran Indonesia” selalu merujuk ke cerpen-cerpen yang memang dipublikasikan di koran-koran, khususnya edisi hari Minggu, di seluruh Indonesia. Medium tempat cerpen dipublikasikan merupakan faktor utama dalam pemberian istilah “cerpen koran” dimaksud. Tapi lantas kenapa cerpen-cerpen yang muncul di koran mesti disebut sebagai “cerpen koran”, yang secara konotatif seolah-olah ingin dibedakan dari cerpen-cerpen yang tidak muncul di koran? Apakah memang ada nilai khusus tertentu yang ingin dibuktikan dengan pemberian kategori pembeda seperti ini, sebuah “estetika koran” misalnya?
Anggaplah apa yang disebut sebagai “realitas koran”, walaupun istilah ini sendiri masih juga sangat problematis pengertiannya, merupakan unsur tematis yang khas mewarnai “cerpen koran Indonesia”. Apakah cerpen-cerpen yang tidak muncul di koran Indonesia tidak memiliki tema-tema cerita yang juga diangkat dari “realitas koran” atau “peristiwa aktual” kehidupan sosial sehari-hari di Indonesia? Seandainya pun tema “realitas koran” adalah sah juga untuk diceritakan dalam cerpen-cerpen yang tidak muncul dalam koran Indonesia, dalam hal apakah terdapat keunikan yang khas hingga “cerpen koran Indonesia” memang bisa dibedakan sebagai sebuah sub-genre yang otonom dan istimewa? Juga, bukankah ukuran panjang-pendek sebuah cerpen yang 6-8 halaman kuarto (spasi ganda) itu merupakan ciri umum cerpen-cerpen Indonesia yang muncul di majalah, buku dan Internet, jadi bukan hak prerogatif “cerpen koran Indonesia”?
Antologi pertanyaan seperti yang saya susun ini, saya pikir, sangat penting dilakukan kalau kita ingin bicara serius dan kritis tentang pemakaian istilah “cerpen koran Indonesia” bagi cerpen-cerpen yang muncul di koran-koran di Indonesia. Kejelasan makna definisi mesti diciptakan agar pembicaraan tidak berkesan tergantung pada kata hati masing-masing pembicara saja sedangkan isi pembicaraan sudah mengelantur ke sana ke mari. Pembicaraan atas cerpen Indonesia, bahkan cerpen yang muncul di koran sekalipun, adalah pembicaraan yang bersifat kritik sastra dan sebuah kritik sastra mesti dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah yang ilmiah dan universal. Kejelasan pengertian definisi sebuah istilah yang dipakai, seperti “cerpen koran Indonesia”, merupakan syarat awal yang utama agar pembicaraan bisa menukik ke dalam isu topikal yang dibicarakan dan menghasilkan solusi-solusi kritis yang selanjutnya bisa dikembangkan kepada persoalan-persoalan relevan lainnya hingga sebuah kritik sastra Indonesia tidak menjadi sebuah kemustahilan, sebuah mimpi di siang bolong.
***
Dalam seri dua tulisan bersambung yang memiliki dua judul berbeda walau konon topik pembicaraannya satu, yaitu tentang “cerpen koran Indonesia” (Republika, 6 dan 13 Oktober 2002), Binhad Nurrohmad berusaha untuk “menggapai puncak kanon cerpen koran Indonesia” melalui usaha “menemukan generasi terbaru cerpen koran Indonesia”, tanpa terlebih dahulu menyatakan kepada kita apa sebenarnya yang dia maksudkan dengan “cerpen koran Indonesia” itu. Padahal kedua tulisannya itu “dimaksudkan untuk membuka (mengawali) diskusi (kecil) tentang fenomena cerpen koran (dalam pertumbuhan cerpen Indonesia)”, seperti yang dinyatakan dua catatan kecil dari Redaksi Sastra Republika pada kedua tulisannya tersebut.
Pada tulisan pertamanya, Binhad Nurrohmad bercerita panjang tentang “cerpen” tapi tidak tentang apa itu “cerpen koran Indonesia”, yang merupakan isu pokok dari kedua tulisannya itu. Apakah telah terjadi sebuah peristiwa amnesia tekstual dalam usaha penulisnya untuk “menggapai puncak kanon cerpen koran Indonesia”? Saya sebagai pembaca yang tertarik ingin tahu apa itu “cerpen koran Indonesia” dan cerpenis-cerpenis mana yang sudah “menggapai puncak kanon cerpen koran Indonesia” tidak menemukan pemuasan rasa tertarik saya itu setelah selesai membaca tulisannya. Keingintahuan saya atas apa yang sudah “dicapai” para cerpenis-yang-absen-dalam-tulisannya itu hingga mereka dikatakan sebagai “puncak kanon cerpen koran Indonesia” juga tidak mengalami satori-teks atau tekstasi oleh aktivitas pembacaan yang saya lakukan atas tulisan Binhad Nurrohmad tersebut. Mungkin minggu depan pada “bagian kedua dari dua tulisan”nya itu, harapan saya dalam hati, karena di akhir cerita panjangnya tentang “cerpen koran Indonesia” tersebut dia mulai menyinggung point entry/entry point (?!) dari diskusi tentang “fenomena cerpen koran dalam pertumbuhan cerpen Indonesia”, yaitu buku kumpulan cerpen Pembisik (Penerbit Republika, 2002) “yang kini sudah beredar di toko-toko buku seperti Gunung Agung dan Gramedia” itu.
Dalam “bagian terakhir (kedua) dari dua tulisan” Binhad Nurrohmad tentang “fenomena cerpen koran dalam pertumbuhan cerpen Indonesia” saya segera mengerti bahwa apa yang dimaksudkan Binhad tentang “cerpen koran Indonesia” itu dianggapnya sudah saya mengerti dan dia tidak perlu lagi repot-repot untuk menjelaskannya dalam kedua tulisannya itu. Dia punya sesuatu yang jauh lebih penting untuk dibicarakan, yaitu tentang “generasi terbaru cerpen koran” Indonesia. Dan para cerpenis yang dianggap Binhad merupakan “generasi terbaru cerpen(is) koran” Indonesia ini adalah “kanon tersendiri” setelah “generasi lama seangkatan Umar Kayam… Budi Darma… Danarto… Seno Gumira Ajidarma”. Mereka disebut “kanon tersendiri” karena, menurut Binhad, mereka telah “melakoni praktik literer yang menempuh jalan lain, bahkan gigih ingin menyempal dari tradisi generasi cerpenis sebelumnya”. Sementara untuk pengertian definisi istilah “kanon sastra” itu sendiri Binhad “meminjam” pendapat seorang Dekonstruksionis Yale, Harold Bloom, yaitu bahwa “kanon sastra membuat kita terasing di tengah lingkungannya sendiri, atau sebaliknya, membuat kita kerasan dan intim di tengah keterasingan”.
Apa yang saya mengerti dari antologi kutipan pernyataan Binhad Nurrohmad di atas adalah bahwa dia telah “menemukan generasi terbaru cerpen koran” Indonesia, tapi tidak menjelaskan apa maksudnya dengan istilah “cerpen koran” itu sendiri, dan “generasi terbaru cerpen koran” ini adalah “kanon tersendiri”, kanon terbaru dalam sejarah “cerpen koran Indonesia”. Dan mereka menjadi “kanon tersendiri” karena telah “membuat kita terasing di tengah lingkungannya sendiri, atau sebaliknya, membuat kita kerasan dan intim di tengah keterasingan” yang kita alami waktu bertemu muka dengan “generasi terbaru cerpen koran” Indonesia ini.
Menurut Binhad Nurrohmad ada dua mainstream atau “tradisi cerpen (koran)” dari sub-genre cerpen Indonesia yang dia sebut sebagai “cerpen koran Indonesia” itu, yaitu tradisi “cerpen koran” Republika dan Kompas yang sosial-realis (dengan Seno Gumira Ajidarma, Joni Ariadinata dan Agus Noor sebagai “tokoh-tokoh atau tonggak-tonggak”nya) dan tradisi Media Indonesia dan Koran Tempo yang “alternatif” dalam “keliaran gagasan naratif” dan “segi penceritaan dan eksplorasi bahasa” cerpen-cerpen korannya (Hudan Hidayat dan Puthut EA adalah “generasi terbaru”nya di sini).
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul di kepala saya setelah membaca pernyataan Binhad Nurrohmad di atas adalah apakah “cerpen koran Indonesia” itu adalah cerpen-cerpen yang hanya muncul di “Republika, Kompas, Media Indonesia dan Koran Tempo” saja, karena keempatnya merupakan “medium utama dan representasi pertumbuhan cerpen Indonesia mutakhir dan (yang bahkan telah) melahirkan sebuah tradisi cerpen tersendiri”, katanya? Atas dasar apakah Binhad membuat kesimpulan bahwa di luar keempat koran Jakarta ini tidak ada apa-apa yang bisa dikatakan sebagai “medium utama dan representasi pertumbuhan cerpen Indonesia mutakhir”? Kalau memang keempat koran Jakarta ini telah “melahirkan sebuah tradisi cerpen tersendiri”, sebuah gaya penulisan yang mungkin bisa disebut sebagai sebuah “gerakan sastra”, di manakah saya bisa membaca karya-karya representatif yang pasti hebat-hebat itu? Dan apakah dengan pencantuman nama-nama pengarang tertentu sebagai representasi dari dua “mainstream” dalam “tradisi cerpen tersendiri” yang dilahirkan keempat koran terbitan Jakarta itu berarti bahwa “gaya penulisan” seperti yang dilakukan “generasi terbaru” tersebut yang mendominasi, yang merupakan ciri khas “gaya penulisan” para cerpenis lain di keempat koran tersebut?
Begitu panjangnya antologi pertanyaan yang bisa dilontarkan kepada Binhad Nurrohmad karena dia lebih banyak membuat pernyataan-pernyataan asersif yang konklusif ketimbang menjelaskan persoalan. Kesimpulan-kesimpulan umum yang banyak sekali dibuatnya dalam kedua tulisannya itu telah membuat Binhad terjebak dalam labirin permainan istilah yang telah, paling tidak, membuatnya membicarakan “cerpen” secara umum padahal yang menjadi isu tulisannya adalah “cerpen koran” Indonesia. Dia juga tidak mampu membuktikan apa yang diklaimnya sebagai ciri-khas dari kedua gaya penulisan (estetika) dari dua “tradisi cerpen koran” yang direpresentasikan keempat koran Jakarta tersebut. Dan pemakaian istilah “kanon sastra” dalam kedua tulisannya itu, walau dia berpretensi mengerti apa maksud istilah tersebut dalam karya kritik seorang Harold Bloom, begitu tidak bertanggung jawab dan sama sekali tidak mampu dijelaskannya dengan contoh-contoh dari dunia “cerpen koran Indonesia” yang ingin dibaptisnya ada itu.
Menurut kritikus sastra Amerika MH Abrams, istilah canon dalam dunia sastra selalu merujuk kepada pengertian: para pengarang yang karya-karyanya, melalui konsensus kumulatif dari kritikus-kritikus dan pakar-pakar penting, dan juga melalui pengaruh karya-karya tersebut yang luas dan nyata pada para pengarang sesudah mereka, memang diakui secara umum sebagai pengarang-pengarang “major”, pengarang-pengarang utama, serta yang sudah pasti akan selalu dibicarakan oleh para kritikus dan sejarawan sastra dan paling sering ikut dalam antologi-antologi dan mata kuliah penting seperti “Karya Besar Dunia”, “Sastrawan Utama Indonesia” atau yang semacamnya itu. Bisa dilihat bahwa ada dua hal penting yang mendasari kenapa seorang sastrawan itu disebut sebagai “kanon sastra”, yaitu pengakuan dari para “kritikus” dan “pakar” sastra melalui studi-studi yang disebut “kritik sastra” dan pengaruhnya atas karya-karya para sastrawan sesudahnya. Dari nama-nama cerpenis yang disebutkan oleh Binhad Nurrohmad sebagai “puncak kanon cerpen koran Indonesia” dan “generasi terbaru cerpen koran” itu, apakah kedua “pengakuan” ini memang sudah ada? Karya-karya “kritik sastra” manakah dan pengaruh atas sastrawan-sastrawan manakah yang bisa membuktikan asersinya bahwa nama-nama yang dikatakannya mewakili “mainstream” keempat koran Jakarta itu memang merupakan “kanon sastra” bahkan dalam apa yang disebut sebagai “cerpen koran Indonesia” itu?
Kegenitan untuk menjadi seseorang yang “menemukan generasi terbaru”, sebuah angkatan penulis terbaru, dalam dunia kang-ouw sastra kontemporer Indonesia tanpa disertai dengan pembuktian yang bisa dipertanggungjawabkan kayaknya sudah menjadi kebiasaan dalam “pseudo-kritik-sastra” Indonesia. Saya katakan “pseudo-kritik-sastra” Indonesia karena banyak sekali penulis Indonesia ingin menjadi “kritikus sastra” tanpa melakukan apa-apa, kecuali membuat antologi-antologi pernyataan asersif yang konklusif tapi dangkal. Dan ketakmampuan untuk melakukan “kritik sastra” ini diusahakan untuk ditutup-tutupi dengan permainan istilah yang diharapkan bisa menimbulkan kesan “kecerdasan berbahasa” atau “keluasan bacaan” pada para pembacanya. Kecerdasan atau keluasaan bacaan yang superfisial dianggap lebih heboh ketimbang sebuah kesederhanaan pehamaman yang mendalam. Ini memang merupakan ciri umum tulisan tentang sastra yang muncul di koran-koran Indonesia. Mungkinkah ini disebabkan oleh keyakinan besar di kalangan sastrawan Indonesia bahwa sastra modern Indonesia itu identik dengan “sastra koran Indonesia” hingga isinya pun tak lebih dari sekedar “realitas koran” yang merupakan ideologi medium tempatnya disosialisasikan, aktual tapi sekali dibaca mati?
***
http://sastra-indonesia.com/2021/06/cerpen-koran-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar