pada kisah hujan
kubaca darah mengucur dari tubuh perawan
anyir, bersama nasib yang getir
di altar puja, nyawa mengganti dupa
ya, maulana
apakah asal langit hidup manusia demikian pahit
darah tak juga basah
menambah kelam bongkah kerontang
ya, malik
kusimak gumpal awan di telapak tangan
bersama iradah, menetes pada khidmah tengadah
kuasa segala semesta
ya, ibrahim
kulihat rintik pada terik, derai menyemai
dari pengunungan mengalir, hijau pematang
palawija dan toga dalam tubuhnya
pada kisah hujan yang kaubawa
sebelum mereka pun sengit menerka langit
dan kau dalam kelana makrifah
membumikannya, ketika memanggil manusia
2019
Kisah Ampeldenta (1)
pergilah, restuku serta
ke negeri campa
dan kuda para utusan
berketekar membawa pesan
jejak tanah, basah menggambar cemas raut
menyeberang laut, ini lebih dari maut
brawijaya menyimak warna tanah
tak semerah darah dan batubata
tak kilau pedang dan mahkota
bukankah dari perang, merdeka pun kembang
sebuah bangsa bukan semata
berturut generasi negara mengikatnya
melihat dwarawati, dia teringat wajah pucat
tuak pucat, para bangsawan
muda, menukar matahari dengan bulan
cahaya sentir mempertegas bayang raksasa
seperti pagelaran wayang menuju usai, hampa
lalu negarakertagama, laiknya siang berkemas pindah
hai, ali rahmat, riwayatmu seperti nasihat
tepat menyebut semua warna
tanah, dengan rongga dan pori-pori yang sama
tanah, asal kembali manusia
datanglah, restuku serta
kau di ampeldenta
2019
Kisah Ampeldenta (2)
- mayang madu
dari laut, di pungkas badai
dipeluk maut, dia datang
berkendara talang dan cucut
pada kapal terhantam, karam
adalah ombak sunyi, sembunyi
dari kisah pantai yang pernah diurai
seperti kisah arwah menyebut manusia
dari laut, setelah kisah maut
menjadi kauniyah, dia tiba
bersama angin utara, mengusap wajah
pada jelak, mayang madu membaca
isyarat cinta, kemudian berkata
“bertiuplah, telah kudengar
ampeldenta, maka sebelum pantai
telah kurelakan manusia”
2019
Kisah Ampeldenta (3)
pada tanah rawa dan liar rumput di alur muara
genangan itu menyebut lima
menjadi bongkah saat kemarau
sedang hujan menceritakan sungai
air menggantung, juga bening embun
pada mata dadu, kulihat hidup menyusut
menerka seperenam nasib di kecil kubus
sementara batik, berturut titik adalah lukisan
hidup manusia menyerta siklus hujan
pada bayi yang suci, kutatap hidup mengumbar
syahwat liar, laki-laki perempuan bertemu
dalam cinta, dalam lipat ganda ibadah
menunai kasih keluarga membenih bangsa
pada keruh tuak, kuterka hidup yang muram
tenggelam dalam racau kutukan, cinta
dalam serapah mengelak manusia
kesadaran wayang di tangan sang dalang
pada uap madat, kusimak hidup melayang
seperti layang dan kelam bayang-bayang
terputus manusia, wajahnya menguap dan lenyap
sebelum makrifah adalah mengenal wajah-wajah
pada kilau benda, kutangkap hidup yang dingin
disusup ingin, mengunci manusia dalam penjara
sedang kebebasan lahir dari rahim sedekah
di segala arah menasbihkan wajah yang sama
pada tanah rawa dan sungaimu, ampeldenta
sebelum lumpur, di sini air pernah membasuh
dan debu mengusap tubuh
demikian akrab menilai manusia
2019
Kisah Laut
menjumpa laut
dia menitipkan maut
apa dosa ini bayi,
kau pangkas dari dekap
diayun ombak, dia merujuk ayah
yang terusir mencecap getir
fitnah dari dosa pertama
anak manusia
di tepian laut,
sepanjang garis maut
sekardadu menjumpa keluarga
buih dan ombak seperti anak dan ayah
bersama pasir yang setia
melarung doa
2019
Tongkat di Arus Muara
ketika tongkat lepas, lokajaya merampas
bonang menangisi luput, semak cerabut
seperti menandai kekasih yang lupa
jatuh seperti kisah anak manusia
pada hidup, kulihat akar menggeliat kecil
dipeluk tanah asal setelah berandal
menjaga tongkat yang tancap
di arus muara, melepas segala cinta
karena cinta adalah lumut yang rambut
pada raga yang tanah, menanggal nama
dan ketika air mengisyaratkan sungai
hanya nafas yang menjadi tanda
2019
Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).
Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan. http://sastra-indonesia.com/2021/06/puisi-puisi-ahmad-syauqi-sumbawi-4/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar