Di usia kepala delapan, Dul Koplo masih doyan mengunyah candu dalam sajak-sajak Pablo Neruda dan Octavio Paz. Tenaganya pun masih giras saat disuruh ketiga istrinya membacakan satu-dua sajak Amerika Latin itu. Untuk urusan ranjang, jangan ditanya! Bandot tua ini masih perkasa meladeni gairah ketiga istrinya yang berusia 20-an.
“Asolole!” Pekik sakral Dul Koplo tiap kali didatangi perawatnya.
“Eyang jangan terlalu banyak teriak-teriak,” ucap perawat yang tak pernah memakai bra.
“Bacotmu tolong dijaga, Nak! Aku sedang baca sajak, bukan teriak,” potong Dul Koplo sambil mengagumi tubuh si perawat yang hanya dibungkus kemeja tipis berwarna telur asin.
“Eyang selalu bandel bila diingatkan!”
“Sini, mendekatlah!”
Perawat berkulit kapur barus itu langsung menyodorkan tubuh, seperti biasanya, ketika mendengar perintah ‘mendekatlah’ dari sang majikan. Secepat copet, Dul Koplo langsung mendaratkan cipok di jidat si perawat. Dua bibir saling sabung. Dua lidah saling tikam. Dua ludah saling oplos. Adegan selanjutnya sudah bisa ditebak.
“Istri-istri Eyang tahu tentang persetubuhan ini?” Tanya si perawat sembari mengenakan kemeja dan rok mini yang copot satu jam lalu.
“Apa pentingnya istri-istriku. Mereka hanya seonggok daging mahalezat, seperti kamu.”
“Oh ya, besok siang ada wartawan Australia datang ke sini.”
“Wawancara?”
“Iya!” Jawab si perawat, lalu ngacir dengan peluh ranum masih berkilau di tubuhnya.
Seusai makan malam bersama ketiga istrinya, Dul Koplo perlu sowan ke perpustakaan yang dibangun di samping vila megahnya. Sudah lama ia tidak mengunjunginya. Dibukanya sebuah lemari yang berisi arsip-arsip media cetak tentang sepak terjangnya di gelanggang kepenyairan.
Ada sebuah artikel dari surat kabar lokal yang mengutip The New York Times yang mengusik matanya. Dibacanya artikel itu. Kepalanya geleng-geleng. Dul Koplo tak habis pikir; mengapa ia sangat dibenci kaum penyair Tanah Air, khususnya Jawa Timur, padahal ia sangat dipuja dunia internasional.
Samudera masa silam tiba-tiba menggenang di hadapannya. Bayangan Dul Koplo muda berkelebat di matanya. Rambut klimis berkilau selalu tersibak ke kanan. Tubuh tegap. Dan sorot mata yang selalu membara. Deretan huruf nama aslinya pun menggempur tempurung otaknya.
“Ah, masa lalu yang gemilang. Sekarang pun tak kalah gemilangnya.” Desisnya.
Ditimangnya Piala Charles Baudelaire—penghargaan prestisius dari Pemerintah Perancis dalam kancah sastra dunia. Sejauh yang ia ingat, piala itu diterimanya dalam malam anugerah yang digelar di Marseille, dua tahun setelah lengsernya Presiden Suharto.
Dul Koplo meninggalkan perpustakaan. Desir angin di Dataran Tinggi Prigen membuatnya sedikit menggigil. Pasuruan adalah suaka terbaik bagi Dul Koplo. Langkahnya dipercepat. Memasuki bangun utama vila, si perawat menodongnya dengan moncong mulut.
“Jangan banyak bacot!”
“Istri-istri Eyang sudah menunggu di kamar.”
“Usiamu berapa?”
“Bulan depan sudah genap 19 tahun.”
“Hah?”
“Apanya yang ‘hah’, Eyang?”
“Kok bisa kamu jadi perawat di usia belasan tahun? Kapan lulusnya dari akademi keperawatan?”
“Akademi apanya, Eyang. Lha wong saya tiba-tiba diciduk lalu dipekerjakan di sini. Saya cuma tamatan SMP.”
“Oh begitu.”
“Anak buahku memang lihai dalam urusan mencari perawat.”
“Sudah berapa perawat yang pernah mengabdi untuk Eyang?”
“Aku lupa. Pastinya banyak. Sudah ah, jangan banyak bacot!” Dul Koplo lari kecil menuju kamar utama.
“Saya betah kerja untuk Eyang!” Kata si perawat, pelan.
Di dalam kamar itu, Dul Koplo melihat ketiga istrinya sudah berjajar, tidur telentang di atas satu ranjang.
“Asolole! Tapi aku tidak ingin bercinta. Besok pagi saja. Sekarang kalian kembalilah ke kamar masing-masing.”
Seperti robot yang patuh pada perintah remote, ketiga istri Dul Koplo bergantian meninggalkan kamar setelah menerima cipok di jidat masing-masing.
Kedisiplinan adalah kunci Dul Koplo menjaga raganya tetap giras di usia senja. Ia selalu tidur tepat waktu sebelum jam 10 malam. Sejak masih muda, ia penganut vegetarian dan menjauhi rokok serta alkohol.
Pukul 6 pagi, ketika Dul Koplo membuka matanya, menguceknya sebentar dan meraih kacamatanya, ia melihat ketiga istrinya duduk manis di sebuah sofa di sudut kamar. Mereka mengenakan daster warna mencolok mata.
“Kalian siap, wahai istri-istri siriku?”
“Siap!” Jawab mereka kompak.
Adegan selanjutnya sudah bisa ditebak.
Seperti biasanya, ketiga istrinya selalu dibikin tak berdaya oleh giras birahi si penyair bau tanah itu. Mereka selalu terpuaskan, tak pernah fakir dalam urusan ranjang dan belanja.
Mata Dul Koplo khidmat memandangi ketiga istri sirinya yang sibuk mengenakan daster. Tiba-tiba, ia teringat dengan cucu-cucunya yang seumuran dengan ketiga istri sirinya.
“Ah, masa lalu yang gemilang. Sekarang pun tak kalah gemilangnya.”
“Eyang, bak mandi sudah saya siapkan!” Si perawat nyelonong masuk kamar.
“Mandikan aku! Kadang aku kesusahan menyapu bolot di punggungku.”
“Eyang mau sarapan apa?” Seorang koki, laki-laki, nyerocos dari luar kamar.
“Seperti biasanya saja!”
“Pedas?”
“Kan sudah kubilang ‘seperti biasanya saja’, jangan banyak bacot!”
Si koki langsung lari terbirit-birit. Kemudian disusul para istri. Dul Koplo dan si perawat masuk ke kamar mandi yang ada di sebelah kamar.
“Katanya siang setelah bedug, Eyang,” kata si perawat sembari menggosok punggung juragannya.
“Apanya?”
“Wartawan.”
“Oh iya.”
Agak aneh. Dul Koplo terlihat cuek saat dimandikan si perawat. Biasanya, tangan Dul Koplo selalu kluyuran ke tubuh si perawat saat dimandikan. Ada hal besar yang bergejolak di pikirannya.
“Eyang marah sama saya?”
“Tak mungkin aku marah padamu, Nak.”
“Lalu mengapa Eyang cuek begini? Tidak seperti biasanya.”
“Sudahlah jangan banyak bacot! Sini, mendekatlah!” Lalu Dul Koplo singkat mencium bibir si perawat.
“Aku takut dipulangkan. Aku tak mau jadi lonte lagi. Aku betah kerja sama Eyang.”
Pernyataan si perawat tak seutuhnya didengar Dul Koplo yang larut dalam gelombang penerawangan. Dul Koplo hanya minta dibilas dan dihanduki.
“Sudah! Kamu jadi istri keempatku saja. Mau?” Ucap Dul Koplo sambil meninggalkan kamar mandi.
“Mau, Eyang!” Senyum girang mekar di wajah si perawat.
“Mulai sekarang biasakan pakai bra! Ayo temani aku sarapan!”
Di meja makan, Dul Koplo ganas memamah nasi goreng pedas racikan koki. Tapi gelombang penerawangan masih menggempur kepalanya.
“Tuan!” Tiba-tiba centeng kesayangannya berdiri di sebelahnya. “Wartawan bule sudah datang. Menunggu di ruang tamu.”
“Lho katanya siang?”
“Katanya sengaja datang lebih awal, biar punya banyak waktu untuk ngobrol dengan Tuan.”
“Suruh tunggu. Sebentar lagi sarapanku kelar.”
Sejurus kemudian, Dul Koplo melangkah ke ruang tamu. Matanya terbelalak. Wajahnya memerah. Napasnya mendadak ngos-ngosan. Tapi hatinya dipenuhi bunga bermekaran.
“Asolole! Kau rupanya.” Sapa Dul Koplo mengagetkan wartawan Australia yang sedang menyeruput kopi susu.
“Mas masih ingat aku?” Katanya dengan Bahasa Indonesia yang sedikit belepotan.
“Aku tak pernah lupa dengan perempuan yang pernah kutiduri.”
“Sialan!” Ucapnya diakhiri cekikikan.
“Jadi wartawan sekarang?”
“Iya, sejak lulus kuliah dua tahun lalu.”
“Wartawan mana?”
“Daily Star biro Jakarta.”
“Sudah sarapan?”
“Sudah!” Jawabnya. “Sebaiknya aku langsung wawancara saja, Mas? Biar nanti punya banyak waktu untuk ngobrol-ngobrol ringan tema lain.”
“Terserah kau saja. Tapi aku merasa agak aneh, mengapa gadis 20-an tahun sepertimu memanggilku ‘Mas’, padahal yang lainnya, istri-istri siriku, perawatku, memanggilku ‘Eyang’?”
“Karena keperkasaanmu seperti ‘Mas’, bukan seperti ‘Eyang’.” Ucap si wartawan sambil membenarkan letak bandana di rambut pirangnya.
“Asolole!” Tawa Dul Koplo meledak. “Ya sudah, silakan Masmu ini diwawancarai!”
“Masih menulis sajak?” Tanyanya sambil menaruh alat rekam di meja.
“Tidak! Tapi masih suka membaca. Sajak-sajak Neruda dan Paz.”
“Berarti buku kumpulan sajak ‘Sundul Langit’ adalah buku terakhir, Mas?”
“Yang terakhir dan satu-satunya. Tak pernah kutulis sajak lainnya selain yang ada dalam buku ‘Sundul Langit’.”
“Mengapa?”
“Satu buku saja sudah membuatku tajir. Royalti datang dari banyak negara yang menerjemahkan ‘Sundul Langit’. Belum lagi channel YouTube-ku yang sudah menggurita. Uang datang tanpa bosan. Bisnisku juga makin meluas. Bila kau mau, akan kubangunkan vila untukmu dan jadilah istriku.” Dul Koplo terkekeh.
“Sialan, itu bukan jawaban serius, Mas! Dari dulu, kau sama saja, tidak berubah.”
“Iya, kau juga masih sama seperti dulu. Bedanya dulu mahasiswi asing minta ditiduri penyair kewut, sekarang wartawan asing datang minta ditiduri. Ops, minta wawancara …”
“Bedebah!”
“Asolole!” Dul Koplo menemukan kewibawaannya. “Kau tahu, aku tidak memiliki darah penyair. Aku mengawali karir sebagai pengusaha properti. Kebetulan aku menyukai sajak.” Dul Koplo mengerutkan jidat. Berpikir sebelum melanjutkannya.
“Ah sudahlah, wawancaranya besok-besok saja. Tinggallah di sini untuk beberapa hari.”
“Itu bukan kode untuk mengajakku bercinta, kan?”
“Asolole! Kau benar-benar cewek cerdas.”
“Sialan!” Umpatnya, lalu terkekeh dahsyat. “Lalu mengapa sajak-sajakmu dibenci oleh bangsamu, Mas?” Sambungnya.
“Kan sudah kubilang, wawancaranya besok-besok saja. Sekarang kita ngobrol-ngobrol ringan saja! Wartawan memang banyak bacot, seperti perawatku.”
“Apa karena sajak-sajakmu sangat gelap dan banyak dihiasi kata-kata cabul, Mas?”
“Anak-anak dari istri sahku juga bilang begitu. Apalagi para kritikus sastra. Bacotnya sangat tajam.”
“Beberapa bulan yang lalu Pemprov Jawa Timur menggelar anugerah sastra. Tapi tidak ada namamu dalam daftar penyair berpengaruh di Jawa Timur, Mas? Padahal sajak-sajakmu mendunia, bahkan diganjar Piala Charles Baudelaire.”
Dul Koplo terdiam agak lama. Mendung menghiasi bola matanya. Sedangkan mata biru si wartawan tampak grogi menunggu jawaban Dul Koplo.
“Aku yakin kau tahu jawabannya! Sudahlah, tulis apa yang kamu suka. Aku percayakan padamu …” Dul Koplo terdiam, lalu melanjutkan.
“Bangsaku belum siap menelan sajak-sajak yang kutulis. Tentunya kau tahu, tak ada penerbit lokal yang mau menerbitkan ‘Sundul Langit’. Persetan! Mereka menilai sajak-sajakku norak, kampungan, cabul, gelap, dan tak memiliki struktur yang jelas. Ya sudah, aku bikin penerbitan sendiri, dan hasilnya seperti yang kita ketahui bersama.”
“Itu dugaan yang ada di pikiranku, dan ternyata benar.”
“Asolole! Lalu untuk apa kau mewawancaraiku?” Dul Koplo cekikikan.
“Aku hanya butuh kepastian, Mas. Kepastian langsung dari mulutmu.”
“Itu bukan kode bahwa kau bersedia bercinta denganku lagi, kan?”
“Sialan! Kau benar-benar bandot cerdas, Mas!”
“Jadi kau mau tinggal di sini untuk beberapa hari?”
“Tidak semua pertanyaan harus dijawab dengan pernyataan, Mas.”
“Cocok! Aku sundul kau hingga terbang ke langit.”
Surabaya, Mei 2020
*) Majalah Sastra Suluk, Dewan Kesenian Jawa Timur, edisi 18, tahun 2020 http://sastra-indonesia.com/2021/06/sajak-sundul-langit-dul-koplo/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar