jawapos.com
Inilah jembatan yang terpanjang di Indonesia, ”Suramadu” yang terentang antara kota Surabaya dan Pulau Madura, telah diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 10 Juni lalu. Banyak orang kagum, banyak orang gembira, dan berbagai harapan sepertinya ditumpahkan pada jembatan itu. Ada yang menyebut jembatan perekonomian, jembatan industrialisasi, dan jembatan pariwisata untuk merambah Madura. Semua itu, tentu baik, asalkan untuk kesejahteraan bersama.
Bagi saya, jembatan itu bisa juga berperan sebagai jembatan nurani, atau jembatan kasih sayang. Katakanlah jembatan budaya. Pasalnya, sampai saat ini sebagian orang Madura kalau mau pergi ke Surabaya atau ke tempat-tempat lainnya di Jawa, menggunakan istilah ”onggha” yang artinya, naik. Sedangkan kalau mau pulang ke Madura digunakan istilah ”toron”, artinya turun. Jadi, kalau ada seseorang yang bertanya kepada temannya, ”Kapan akan pulang ke Madura?”, yang diucapkan adalah ”Bila se torone ka Madura (Kapan akan turun ke Madura?)”.
Penggunaan istilah ”naik” dan ”turun” sudah berlangsung sejak puluhan tahun atau mungkin ratusan tahun itu tentu mengandung makna tersirat. Makna yang tersirat menunjukkan bahwa Madura seakan-akan di bawah Jawa dan Surabaya. Hal itu mungkin, pada zaman dulu beberapa kelebihan ada di Surabaya dan Jawa. Banyak kebutuhan hidup ada di Jawa. Orang Madura yang miskin kalau ingin hidupnya lebih sejahtera harus merantau ke Jawa. Otomatis dari ucapan ”naik” dan ”turun” itu tersirat seolah-olah Madura lebih rendah dari Surabaya atau Jawa.
Nah, jika Jembatan Suramadu sudah beroperasi dengan tertib dan lancar, jembatan itu diharap tidak sekadar menjadi jembatan fisik. Lebih dari itu menjadi jembatan kesetaraan sehingga ucapan ”pergi” dan ”pulang” tidak menggunakan istilah ”naik” dan ”turun” lagi. Barangkali memang perlu sosialisasi, mulai dari Bangkalan sampai ke ujung Timur Madura, bahwa kedua istilah yang kurang sedap didengar itu harus ditabukan dan tidak diucapkan lagi karena tidak sesuai lagi dengan semangat zaman. Dengan rasa persamaan duduk sama rendah berdiri sama tinggi, jembatan nurani dan kebersamaan itu akan membuahkan visi baru dalam memandang nasib bersama ke depan.
Setelah Jembatan Suramadu diresmikan, saya sadar bahwa jembatan yang 10 tahun yang lalu itu masih impian, sekarang telah menjadi kenyataan. Jembatan itu sudah ada, berupa jembatan raksasa yang tidak akan bisa dibatalkan atau tidak bisa diremehkan.
Ketika jembatan sudah jadi, yang diperlukan tidak lain bagaimana sikap positif untuk menyambut zaman baru bagi Madura. Zaman baru tidak bisa ditanggapi dengan ”ayo kita santai” seperti lirik sebuah lagu. Pada pasca Suramadu, aneka hal baru akan menyerbu Madura. Antara lain industrialisasi, pariwisata, dan budaya asing.
Jika itu dihadapi hanya dengan modal ”santai” oleh orang Madura, atau dengan SDM yang pas-pasan, sudah bisa dipastikan orang Madura hanya akan jadi penonton dan tidak akan mereguk madunya Suramadu. Sudah saatnya putra-putra Madura membekali diri dengan kemampuan prima, dengan ilmu dan teknologi untuk bisa berperan secara optimal. Itu artinya, perguruan tinggi yang mengarah kepada pembekalan skill sudah saatnya banyak didirikan untuk menambah yang sudah ada. Pemerintah dan tokoh-tokoh Madura harus segera berbuat untuk itu.
Di samping itu, dibutuhkan pencerahan kembali dengan perspektif agama dan budaya yang sejak dulu menjadi spirit utama orang Madura. Orang Madura tidak akan hilang, jatidiri budaya Madura bisa tergusur kalau kita melupakan Tuhan, ketakwaan, dan tatakrama yang luhur.
Jembatan raksasa itu tidak hanya menjadi kebanggaan orang Madura saja, tetapi kebanggaan seluruh bangsa Indoensia. Dalam perpsektif rohani, sudah sepantasnya kita tunduk dan bersyukur kepada Allah. Dengan syukur dan sujud kepada Allah, Jembatan Suramadu semoga menjadi rahmat yang bisa dinikmati bersama. Idealnya, jembatan itu harus diimbangi dengan jembatan rohani (kasih sayang) antarmanusia untuk kemuliaan bersama. Dalam iklim yang indah seperti itu, tak seorang pun akan merasa terhina dan terpinggirkan. Semoga!
***
D. Zawawi Imron, lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep. Dia mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tahun 1982.
http://sastra-indonesia.com/2009/06/suramadu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar