Di dalam gang, di jantung Kota Surabaya bagian Barat. Hanya ada dua suara yang terdengar sepanjang hari: suara tangis anak-anak dan suara terompet tukang sayur. Di dalam gang itu, bayang-bayang kemiskinan dan kematian menjadi rasa takut yang berlebih. Betapa tidak? Dalam empat hari sebelas orang naik ke Sorga tanpa pengadilan alias mati begitu saja. Jumlah ini bersifat sementara. Mungkin sore ini, nanti malam, nanti subuh, atau besok pagi akan ada rombongan yang naik ke Sorga berikutnya. Inilah yang menyebabkan orang-orang di dalam gang itu mengunci pagar, pintu, dan jendela rumah mereka serapat mungkin. Mereka menganggap, maut bisa saja terselip pada angin berhembus sepoi.
Sepuluh kaki dari portal penjagaan gang itu sebuah toko buku tampak sepi. Pintunya tergembok rantai besi lengkap dengan kunci monel terbaik. Hari-hari sebelumnya, empat sampai lima orang anak yang tinggal persis di depan toko buku itu, akan diundang si pemilik, seorang lelaki parubaya jelek dan berperangai kasar, untuk membaca dan belajar sama-sama. Namun, setelah rumah Tuhan diramaikan nama-nama orang yang dimangsa kegagalan, ditambah suara sirene ambulans yang tidak henti-hentinya berbunyi seperti tanda jarak antara manusia dan maut, dia pun enggan membuka toko bukunya. Dan, setiap pukul empat sore, dia menyetel Antonio Vivaldi, Amor Sacro untuk meredam kegetiran di dadanya.
Si pemilik toko buku itu bernama Manjelu. Dia lahir di sebuah desa di Pulau Kalimantan. Sejak kecil, dia akrab dengan penindasan dan kematian para buruh. Para buruh perkebunan kelapa sawit adalah orang-orang yang tidak suka bicara banyak. Ketika pemilik perusahaan, seorang Malaysia-India menghisap habis tenaga mereka hingga ke sum-sum tulangnya, para buruh itu seperti mengalami suatu penyakit aneh di abad 21, yaitu kepasrahan. Bahkan, ada di antara keluarga besarnya berbangga diri karena menganggap kematian sanak-familinya itu sebagai bentuk pengabdian. Sementara itu, di desanya sendiri, Manjelu dianggap sebagai pembawa kerusakan. Mimpinya terhadap sebuah dunia tanpa penghisapan dan penindasan dituduh ekstrem dan harus digilas habis.
Demi kehormatan dirinya sebagai seorang penulis dan keselamatan keluarga kecilnya, Manjelu dengan terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya. Jika memilih bertahan, ada satu jalan yang harus dia pilih dan jalan itu membawanya sampai ke dua pola hidup yang menjijikan, diam dan melacur. Istrinya, perempuan yang menolak tunduk pada keadaan, mengerti dan memahami apa yang dirasakan suaminya. Karenanya, dia menawarkan untuk pulang ke tanah kelahirannya dan tinggal di sebuah rumah milik keluarga besarnya. Tanpa perdebatan, Manjelu mengiyakan ajakan istrinya. Dan, berlayarlah mereka ke Surabaya menanggung kekalahan.
Pada suatu waktu, hari Senin yang was-was. Dua orang, suami-istri yang tinggal di gang sebelah, naik ke Sorga setelah sehari sebelumnya keduanya mengikuti program vaksinasi dari sebuah lembaga administrator negara. Dari jendela rumahnya, Manjelu menyaksikan empat lima orang berpakaian kesehatan lengkap, mengangkat peti mati suami-istri itu tanpa arak-arakan keluarga dan para tetangga. Tak lama kemudian, anak perempuan Manjelu menepuk pinggang ayahnya. Manjelu terkejut, kemudian menggendong anaknya.
“Siapa mereka, Pa?” Tanya anaknya.
“Petugas kesehatan,” jawab Manjelu, tenang.
“Apa yang mereka junjung?”
“Dua orang mati.”
“Apa itu mati, Pa?”
Manjelu terdiam. Matanya yang pijar menatap anak perempuannya.
“Apa, Pa?”
“Lihat bulan yang sepenggal itu!” Kata Manjelu sembari menunjuk bulan yang muncul sebelah persis di atas rumah Tuhan.
“Ya? Lalu?”
“Mereka akan menjadi bulan itu.”
“Apakah kita akan menjadi bulan itu juga, Pa?”
“Semua yang mati, Nak, akan menjadi bulan yang bersinar redup di langit yang begitu tinggi. Bintang-bintang hanyalah mercusuar bagi kehidupan berikutnya.”
“Bagaimana para petugas itu membawa orang mati itu ke langit, Pa?”
“Ketika kau hidup dengan akal sehat dan nuranimu dan tidak sekali pun kau menindas dan menghisap orang lain, Tuhan akan membuatmu terbang ke langit sendirinya. Apa itu akal sehat dan nurani? Lihatlah mamamu! Berbaktilah kepadanya. Sebab aku, aku akan menjadi musuh dan teman bertikaimu.”
Di sela percakapan antara Manjelu dan anak perempuannya itu, seorang penjual es krim lewat. Sontak, anak perempuannya meronta dari gendongan Manjelu dan minta dibelikan es krim.
“Aku ingin itu, Pa. Sekarang!” Katanya.
Manjelu segera membawa anak perempuannya itu ke toko buku. Dia ingat ada uang beberapa ribu rupiah di salah satu sisi rak buku. Benar saja. Ada selembar uang lima ribu rupiah terselip di sela-sela susunan buku.
Menjelang tengah malam, seperti biasa, Manjelu duduk di beranda rumah sembari menyetel Vivaldi dan menghadap di layar mesin ketik modern. Morilnya sebagai seorang penulis memanggilnya: hal-hal buruk bagi kehidupan harus dituliskan. Namun, hampir sejam waktu berlalu dan Vivaldi akan segera berakhir, tidak sekalimat pun tertulis. Manjelu menatap dirinya sendiri di kaca jendela. Dan, dia melihat para petugas kesehatan menjunjung peti mati dalam jumlah tak sedikit. Ada lagi yang mati tanpa pengadilan dan akan selalu ada lagi. Dari kaca jendela itu pula, Manjelu merasa maut sejengkal dari dirinya. Sontak, matanya yang pijar terpejam. Sepasang telinganya yang tajam, mendengar jelas langkah kaki seseorang. Bergegas dia membuka sepasang matanya. Betapa terkejutnya dia. Seseorang yang mendekatinya itu adalah dirinya sendiri dengan sebilah pisau di tangan kirinya. Manjelu bangkit dan mencoba melawan. Dia kalah. Dirinya sendiri berhasil menyayat lehernya sendiri. Darah bersimbah. Angka kematian bertambah satu. Tak terdengar suara apa pun. Hening. Begitu hening dan gelap. Dari kejauhan, lengking kereta terdengar liris dan mendakwa.
Surabaya, 2021
*ilustrasi The Deer - Frida Kahlo
http://sastra-indonesia.com/2021/07/angka-dari-dalam-gang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar