Seputar Indonesia, 28 Okt 2007
DEFINISI “media massa” selama ini terbagi dalam dua kategori besar, yakni media massa cetak (surat kabar, majalah) dan elektronik (radio, televisi, internet).
Namun, mengingat luasnya “medan” dan besarnya volume “media massa” itu, melalui tulisan ini saya hanya membatasi pada apa yang saya pahami dan akrabi sebagai media massa, baik karena pengalaman profesional maupun akibat interaksi dengan media massa selama ini. Untuk memudahkan,yang dimaksud dengan apresiasi adalah appreciation, yang antara lain berarti positive opinion: a favorable opinion of something; valuing something highly: recognition and liking of something’s qualities; statement of praise: a written or spoken statement of somebody’s qualities; full understanding: a full understanding of the meaning and importance of something.
Dan,seni adalah art(s),yakni creation of beautiful things: the creation of beautiful or thought-provoking works, e.g. in painting, music, or writing; forms of creative beauty: activities enjoyed for the beauty they create or the way they present ideas, e.g. painting,music, and literature. Dalam pemahaman itulah, seni terbagi dalam tujuh cabang, yakni sastra, teater, seni rupa, tari, suara, musik, dan film.
Berdasarkan pengalaman pribadi sebagai pencipta sekaligus penikmat, apresiator, dan pengelola media massa, ada empat pendekatan yang saya lakukan dalam tulisan ini, yakni apresiasi seni dari kacamata pencipta, penikmat, apresiator, dan pengelola media. Sebagai catatan, untuk setiap kata penyiaran harus dibaca sebagai penerbitan, penayangan, pementasan, pameran, penyiaran, publikasi. Karya merupakan karya cipta film, musik, teater, tari, sastra, seni rupa, dan seni suara.
Media berarti media massa, yakni radio, televisi, surat kabar,majalah, internet, telepon seluler,buku. Apresiatoradalah pewarta, penulis, penyiar,pembawa acara, penulis kritik seni. Penikmat adalah pembeli, pembaca, penonton, pemirsa, pendengar karya,dan media massa. Dan, pencipta adalah pelaku, pekerja, penulis, pelukis, penari, aktor, pematung, sutradara, penyair, penyanyi, dan lain-lain.
Apresiasi Seni di Mata Pencipta
Sebagai salah seorang pencipta sastra dan teater, pengalaman saya mungkin hampir sama dengan apa yang dirasakan dan dialami semua pencipta. Karya para pencipta tidak selalu mendapatkan tempat dan perlakuan yang layak, sama dan “adil”di media. Hal itu terjadi umumnya antara lain karena ekspresi /gagasan yang ingin disampaikan pencipta tidak selalu bisa dipahami apresiator sehingga menimbulkan kesenjangan.
Kesenjangan itulah yang kemudian melahirkan apresiasi buruk terhadap suatu karya, walau secara umum disepakati bahwa sesudah disiarkan, sebuah karya akan dan harus mampu membela dirinya sendiri, dan penikmat boleh menafsirkan dan mengapresiasi apa saja sesuai selera, rujukan, pengalaman, dan kepentingan masing-masing, dan itu harus dihormati sebagai bagian dari kebebasan dan perbedaan pendapat.
Kesenjangan juga bisa terjadi karena apresiator tidak cukup memahami masalah teknis, estetis, dan proses yang melahirkan sebuah karya. Atau karena pencipta terlalu maju atau terlampau mundur dibanding pengetahuan, pengalaman, dan rujukan para apresiator.
Bisa juga karena penciptanya tidak paham atau tidak menguasai proses, teknik, estetika seni di bidangnya, sehingga ia tidak mampu menuangkan ekspresi/ gagasannya sendiri. Toh, terkadang ekspresi/ gagasan pencipta bisa dipahami dengan baik dan benar oleh apresiator sehingga karya tersebut memperoleh apresiasi yang dapat berdampak positif, baik secara moral maupun ekonomi terhadap karya, karier, dan kinerja penciptanya.
Namun, sering kali apresiator hanya menyiarkan apresiasinya sebagai berita/informasi sesuai kaidah jurnalistik tanpa penilaian dan hanya sesuai kriteria aktualitas dan magnitudonya. Selain itu, ruang (space) atau waktu (running-time) di media sering terlampau sempit dan tidak seimbang dengan daya, dana, dan proses yang dikerahkan pencipta untuk melahirkan karyanya, kecuali yang bersangkutan mampu memasang iklan atau pariwara.
Terciptanya jarak––baik kedekatan maupun kerenggangan––antara pencipta dan apresiator bahkan terkadang dengan pemilik media,juga sangat menentukan ruang dan waktu yang diberikan terhadap karya dan penciptanya. Padahal, volume dan frekuensi penyiaran karya jauh lebih besar dari jumlah dan frekuensi apresiasi di media, sehingga para pencipta yang tidak terseleksi harus menggantungkan nasib karyanya pada kekuatan/ kelemahan karya itu sendiri, dan pasrah pada mekanisme pasar dan jaringan eksibitor/ distributor yang tersedia.
Apresiasi Seni di Mata Penikmat
Mayoritas penikmat media tidak begitu peduli atau tidak tertarik menikmati apresiasi di media. Sementara penikmat yang minoritas hanya meminati apresiasi yang sesuai seleranya, dan umumnya tidak peduli pada karya seni yang lain. Minoritas tersegmentasi ini bisa terpengaruh atau bahkan tidak terpengaruh sama sekali oleh apresiator, tergantung kredibilitas, oplah, dan daya jangkau medianya.
Minoritas ini juga hanya menikmati karya sebatas kemampuan intelektual, ekonomi, kebutuhan, dan prioritasnya dalam kehidupan. Meskipun demikian, umumnya mereka bisa menilai baikburuk, objektif-subjektif, serta kualitas para apresiator di media. Apalagi, sering kali apresiasi negatif atas suatu karya tidak selalu berdampak buruk secara ekonomis terhadap suatu karya. Sementara penikmat juga bisa menilai bila ada perbedaan perlakuan atau diskriminasi, baik kualitatif (penilaian) maupun kuantitatif (pemberian ruang/ waktu), yang dilakukan apresiator dan bahkan pemilik media, terhadap karya dan pencipta tertentu.
Apresiasi Seni di Mata Apresiator
Apresiator seni di media hanya menjalankan tugasnya sesuai assignment atau perintah atasannya, tanpa pertimbangan apakah yang bersangkutan paham atau tidak terhadap suatu karya.
Umumnya, mereka diwajibkan memenuhi alokasi ruang/waktu rubrik yang dikelolanya, baik karena inisiatif pribadi maupun atas perintah atasannya, dan secara kualitatif hasilnya sangat bergantung pada pengetahuannya pribadi atas karya seni tertentu. Sementara itu, apresiator freelance atau yang tidak bekerja atau tidak terikat pada suatu media, hanya menyiarkan apresiasinya apabila diminta, atau bila usulan inisiatifnya disetujui, terutama kalau itu sesuai kepakarannya di bidang seni tertentu.
Namun, pada umumnya itu hanya terjadi kalau si apresiator memiliki kedekatan dengan pengelola media sehingga memperoleh prioritas utama penyiaran. Sedangkan bagi apresiator yang mengirimkan apresiasi atas inisiatif sendiri, hanya akan disiarkan bila karya dan penciptanya cukup penting dan memiliki aktualitas serta nilai jual. Dan, umumnya hal itu terjadi bila kebetulan masih tersedia ruang/waktu atau karena apresiator freelance itu sedang bernasib baik…!
Apresiasi Seni Pengelola Media
Sejumlah survei dan riset oleh media atau lembaga lain selalu menempatkan seni di peringkat terbawah atau tidak diminati pemirsa/ pendengar/ pembacanya. Karena itulah, sejumlah besar media tidak merasa perlu mengalokasikan ruang dan waktunya untuk apresiasi seni. Minoritas media yang mengalokasikan ruang dan waktunya, umumnya melakukan hal itu karena media itu dikelola para penikmat atau (mantan) pencipta.
Atau karena media ingin mendapatkan citra sebagai media prestisius dan berbudaya. Atau karena media sengaja ingin merangkul masyarakat seni yang minoritas tetapi elitis. Sebagai bagian dari pencitraan, tetapi ruang dan waktu yang dialokasikannya boleh dikorbankan untuk kepentingan iklan. Ada pula media yang memiliki apresiator memadai,tetapi demi efisiensi jumlah mereka dibatasi, sehingga apresiator itu “dipaksa” menguasai beberapa cabang seni sekaligus. Sebab, mengaryakan secara eksklusif seorang apresiator untuk satu cabang seni masih merupakan “kemewahan.
”Karena itu pula, ada media yang lebih memprioritaskan apresiatornya sendiri ketimbang apresiator dari luar demi penghematan anggaran. Toh, ada media “idealis” yang kendati memiliki apresiator sendiri, namun karena punya anggaran berlebih, sering mengundang apresiator luar untuk berperan serta.Selain untuk menambah bobot di bidang seni,juga sebagai bagian dari lobi dengan para pakar seni, serta membina para apresiator baru, atau sekadar “beramal dan beribadah” bagi apresiator freelance yang umumnya belum atau tidak (lagi) bekerja tetap di suatu lembaga.
Di luar soal itu, sesungguhnya media sulit mendapatkan apresiator karena keterbatasan sumber daya manusianya. Karena itu, media harus “memaksa” karyawannya menjadi apresiator walau kalau disuruh memilih, mereka lebih suka bekerja di bidang ekonomi, politik, hukum, olahraga, bahkan kriminal, ketimbang membuat apresiasi yang penikmatnya hanya minoritas.
Karena alasan terakhir itulah, bisa dimaklumi bila kemudian terjadi kesenjangan antara apresiator media dan karya atau para penciptanya. Namun, untuk mengurangi kesenjangan teknis/ estetis itulah, para apresiator media menyiasatinya dengan melakukan apresiasi sesuai pakem, dan metode jurnalisme umum. Mereka hanya “meliput” suatu karya sesuai persyaratan “5 W 1 H” (apa, siapa, kapan, mengapa, di mana, dan bagaimana), dan tanpa beropini sama sekali, atau “meminjam” opini narasumber yang diakui kepakarannya.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan itulah maka bisa disimpulkan dan mungkin juga harus dimaklumi, bila kemudian muncul pernyataan/ keluhan/ kecaman sebagai berikut: Kritik seni sudah mati; tidak ada lagi apresiator yang berbobot; apresiator menjauhkan karya dari publiknya; apresiator hanya bagian dari “jurnalisme seni”; karya yang diapresiasi tinggi tidak akan laku di pasaran; para apresiator tidak menguasai bidang yang diapresiasinya; apresiasi di media tidak memengaruhi publik karena publik punya ukuran, rujukan, dan selera sendiri; pasar kesenian tidak (pernah) terpengaruh apresiasi di media, karena kebanyakan tidak pernah menikmatinya; media dan apresiator diskriminatif terhadap karya dan pencipta tertentu; para apresiator terutama yang freelance, tidak objektif karena kebanyakan merangkap sebagai kurator/ promotor karya/ pencipta tertentu, sehingga apresiasinya merupakan iklan terselubung; pencipta berkarya bukan untuk apresiator tapi untuk masyarakat; dan sebagainya.
Keadaan itu tentu sangat memprihatinkan. Toh,apa yang sudah terjadi, dan betapa pun pernyataan/ keluhan/ kecaman kepada apresiator dan media, begitulah kiranya potret diri kita sejak 25 terakhir ini, yakni sejak berakhirnya era keemasan atau masa kejayaan kesenian Indonesia modern 1970–1980, yang diawali dengan berdirinya Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (PKJTIM), dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)-nya yang berwibawa. Sebuah dekade yang telah melahirkan begitu banyak maestro di tujuh bidang kesenian kita, dan sekaligus mengorbitkan para maestro estetika di bidang yang sama, sebagaimana disiarkan media pada masa itu.Suatu pencapaian yang ternyata tidak atau belum mampu diulang kembali sampai hari ini. Apa boleh buat.
***
*) Noorca M Massardi, Pencipta,apresiator,pewarta, mantan pengelola media,dan mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta. http://sastra-indonesia.com/2011/08/apresiasi-seni-di-media-massa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar