Minggu, 25 Juli 2021

Apresiasi Seni di Media Massa

Noorca M Massardi *
Seputar Indonesia, 28 Okt 2007
 
DEFINISI “media massa” selama ini terbagi dalam dua kategori besar, yakni media massa cetak (surat kabar, majalah) dan elektronik (radio, televisi, internet).
 
Namun, mengingat luasnya “medan” dan besarnya volume “media massa” itu, melalui tulisan ini saya hanya membatasi pada apa yang saya pahami dan akrabi sebagai media massa, baik karena pengalaman profesional maupun akibat interaksi dengan media massa selama ini. Untuk memudahkan,yang dimaksud dengan apresiasi adalah appreciation, yang antara lain berarti positive opinion: a favorable opinion of something; valuing something highly: recognition and liking of something’s qualities; statement of praise: a written or spoken statement of somebody’s qualities; full understanding: a full understanding of the meaning and importance of something.
 
Dan,seni adalah art(s),yakni creation of beautiful things: the creation of beautiful or thought-provoking works, e.g. in painting, music, or writing; forms of creative beauty: activities enjoyed for the beauty they create or the way they present ideas, e.g. painting,music, and literature. Dalam pemahaman itulah, seni terbagi dalam tujuh cabang, yakni sastra, teater, seni rupa, tari, suara, musik, dan film.
 
Berdasarkan pengalaman pribadi sebagai pencipta sekaligus penikmat, apresiator, dan pengelola media massa, ada empat pendekatan yang saya lakukan dalam tulisan ini, yakni apresiasi seni dari kacamata pencipta, penikmat, apresiator, dan pengelola media. Sebagai catatan, untuk setiap kata penyiaran harus dibaca sebagai penerbitan, penayangan, pementasan, pameran, penyiaran, publikasi. Karya merupakan karya cipta film, musik, teater, tari, sastra, seni rupa, dan seni suara.
 
Media berarti media massa, yakni radio, televisi, surat kabar,majalah, internet, telepon seluler,buku. Apresiatoradalah pewarta, penulis, penyiar,pembawa acara, penulis kritik seni. Penikmat adalah pembeli, pembaca, penonton, pemirsa, pendengar karya,dan media massa. Dan, pencipta adalah pelaku, pekerja, penulis, pelukis, penari, aktor, pematung, sutradara, penyair, penyanyi, dan lain-lain.
 
Apresiasi Seni di Mata Pencipta
 
Sebagai salah seorang pencipta sastra dan teater, pengalaman saya mungkin hampir sama dengan apa yang dirasakan dan dialami semua pencipta. Karya para pencipta tidak selalu mendapatkan tempat dan perlakuan yang layak, sama dan “adil”di media. Hal itu terjadi umumnya antara lain karena ekspresi /gagasan yang ingin disampaikan pencipta tidak selalu bisa dipahami apresiator sehingga menimbulkan kesenjangan.
 
Kesenjangan itulah yang kemudian melahirkan apresiasi buruk terhadap suatu karya, walau secara umum disepakati bahwa sesudah disiarkan, sebuah karya akan dan harus mampu membela dirinya sendiri, dan penikmat boleh menafsirkan dan mengapresiasi apa saja sesuai selera, rujukan, pengalaman, dan kepentingan masing-masing, dan itu harus dihormati sebagai bagian dari kebebasan dan perbedaan pendapat.
 
Kesenjangan juga bisa terjadi karena apresiator tidak cukup memahami masalah teknis, estetis, dan proses yang melahirkan sebuah karya. Atau karena pencipta terlalu maju atau terlampau mundur dibanding pengetahuan, pengalaman, dan rujukan para apresiator.
 
Bisa juga karena penciptanya tidak paham atau tidak menguasai proses, teknik, estetika seni di bidangnya, sehingga ia tidak mampu menuangkan ekspresi/ gagasannya sendiri. Toh, terkadang ekspresi/ gagasan pencipta bisa dipahami dengan baik dan benar oleh apresiator sehingga karya tersebut memperoleh apresiasi yang dapat berdampak positif, baik secara moral maupun ekonomi terhadap karya, karier, dan kinerja penciptanya.
 
Namun, sering kali apresiator hanya menyiarkan apresiasinya sebagai berita/informasi sesuai kaidah jurnalistik tanpa penilaian dan hanya sesuai kriteria aktualitas dan magnitudonya. Selain itu, ruang (space) atau waktu (running-time) di media sering terlampau sempit dan tidak seimbang dengan daya, dana, dan proses yang dikerahkan pencipta untuk melahirkan karyanya, kecuali yang bersangkutan mampu memasang iklan atau pariwara.
 
Terciptanya jarak––baik kedekatan maupun kerenggangan––antara pencipta dan apresiator bahkan terkadang dengan pemilik media,juga sangat menentukan ruang dan waktu yang diberikan terhadap karya dan penciptanya. Padahal, volume dan frekuensi penyiaran karya jauh lebih besar dari jumlah dan frekuensi apresiasi di media, sehingga para pencipta yang tidak terseleksi harus menggantungkan nasib karyanya pada kekuatan/ kelemahan karya itu sendiri, dan pasrah pada mekanisme pasar dan jaringan eksibitor/ distributor yang tersedia.
 
Apresiasi Seni di Mata Penikmat
 
Mayoritas penikmat media tidak begitu peduli atau tidak tertarik menikmati apresiasi di media. Sementara penikmat yang minoritas hanya meminati apresiasi yang sesuai seleranya, dan umumnya tidak peduli pada karya seni yang lain. Minoritas tersegmentasi ini bisa terpengaruh atau bahkan tidak terpengaruh sama sekali oleh apresiator, tergantung kredibilitas, oplah, dan daya jangkau medianya.
 
Minoritas ini juga hanya menikmati karya sebatas kemampuan intelektual, ekonomi, kebutuhan, dan prioritasnya dalam kehidupan. Meskipun demikian, umumnya mereka bisa menilai baikburuk, objektif-subjektif, serta kualitas para apresiator di media. Apalagi, sering kali apresiasi negatif atas suatu karya tidak selalu berdampak buruk secara ekonomis terhadap suatu karya. Sementara penikmat juga bisa menilai bila ada perbedaan perlakuan atau diskriminasi, baik kualitatif (penilaian) maupun kuantitatif (pemberian ruang/ waktu), yang dilakukan apresiator dan bahkan pemilik media, terhadap karya dan pencipta tertentu.
 
Apresiasi Seni di Mata Apresiator
 
Apresiator seni di media hanya menjalankan tugasnya sesuai assignment atau perintah atasannya, tanpa pertimbangan apakah yang bersangkutan paham atau tidak terhadap suatu karya.
 
Umumnya, mereka diwajibkan memenuhi alokasi ruang/waktu rubrik yang dikelolanya, baik karena inisiatif pribadi maupun atas perintah atasannya, dan secara kualitatif hasilnya sangat bergantung pada pengetahuannya pribadi atas karya seni tertentu. Sementara itu, apresiator freelance atau yang tidak bekerja atau tidak terikat pada suatu media, hanya menyiarkan apresiasinya apabila diminta, atau bila usulan inisiatifnya disetujui, terutama kalau itu sesuai kepakarannya di bidang seni tertentu.
 
Namun, pada umumnya itu hanya terjadi kalau si apresiator memiliki kedekatan dengan pengelola media sehingga memperoleh prioritas utama penyiaran. Sedangkan bagi apresiator yang mengirimkan apresiasi atas inisiatif sendiri, hanya akan disiarkan bila karya dan penciptanya cukup penting dan memiliki aktualitas serta nilai jual. Dan, umumnya hal itu terjadi bila kebetulan masih tersedia ruang/waktu atau karena apresiator freelance itu sedang bernasib baik…!
 
Apresiasi Seni Pengelola Media
 
Sejumlah survei dan riset oleh media atau lembaga lain selalu menempatkan seni di peringkat terbawah atau tidak diminati pemirsa/ pendengar/ pembacanya. Karena itulah, sejumlah besar media tidak merasa perlu mengalokasikan ruang dan waktunya untuk apresiasi seni. Minoritas media yang mengalokasikan ruang dan waktunya, umumnya melakukan hal itu karena media itu dikelola para penikmat atau (mantan) pencipta.
 
Atau karena media ingin mendapatkan citra sebagai media prestisius dan berbudaya. Atau karena media sengaja ingin merangkul masyarakat seni yang minoritas tetapi elitis. Sebagai bagian dari pencitraan, tetapi ruang dan waktu yang dialokasikannya boleh dikorbankan untuk kepentingan iklan. Ada pula media yang memiliki apresiator memadai,tetapi demi efisiensi jumlah mereka dibatasi, sehingga apresiator itu “dipaksa” menguasai beberapa cabang seni sekaligus. Sebab, mengaryakan secara eksklusif seorang apresiator untuk satu cabang seni masih merupakan “kemewahan.
 
”Karena itu pula, ada media yang lebih memprioritaskan apresiatornya sendiri ketimbang apresiator dari luar demi penghematan anggaran. Toh, ada media “idealis” yang kendati memiliki apresiator sendiri, namun karena punya anggaran berlebih, sering mengundang apresiator luar untuk berperan serta.Selain untuk menambah bobot di bidang seni,juga sebagai bagian dari lobi dengan para pakar seni, serta membina para apresiator baru, atau sekadar “beramal dan beribadah” bagi apresiator freelance yang umumnya belum atau tidak (lagi) bekerja tetap di suatu lembaga.
 
Di luar soal itu, sesungguhnya media sulit mendapatkan apresiator karena keterbatasan sumber daya manusianya. Karena itu, media harus “memaksa” karyawannya menjadi apresiator walau kalau disuruh memilih, mereka lebih suka bekerja di bidang ekonomi, politik, hukum, olahraga, bahkan kriminal, ketimbang membuat apresiasi yang penikmatnya hanya minoritas.
 
Karena alasan terakhir itulah, bisa dimaklumi bila kemudian terjadi kesenjangan antara apresiator media dan karya atau para penciptanya. Namun, untuk mengurangi kesenjangan teknis/ estetis itulah, para apresiator media menyiasatinya dengan melakukan apresiasi sesuai pakem, dan metode jurnalisme umum. Mereka hanya “meliput” suatu karya sesuai persyaratan “5 W 1 H” (apa, siapa, kapan, mengapa, di mana, dan bagaimana), dan tanpa beropini sama sekali, atau “meminjam” opini narasumber yang diakui kepakarannya.
 
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan itulah maka bisa disimpulkan dan mungkin juga harus dimaklumi, bila kemudian muncul pernyataan/ keluhan/ kecaman sebagai berikut: Kritik seni sudah mati; tidak ada lagi apresiator yang berbobot; apresiator menjauhkan karya dari publiknya; apresiator hanya bagian dari “jurnalisme seni”; karya yang diapresiasi tinggi tidak akan laku di pasaran; para apresiator tidak menguasai bidang yang diapresiasinya; apresiasi di media tidak memengaruhi publik karena publik punya ukuran, rujukan, dan selera sendiri; pasar kesenian tidak (pernah) terpengaruh apresiasi di media, karena kebanyakan tidak pernah menikmatinya; media dan apresiator diskriminatif terhadap karya dan pencipta tertentu; para apresiator terutama yang freelance, tidak objektif karena kebanyakan merangkap sebagai kurator/ promotor karya/ pencipta tertentu, sehingga apresiasinya merupakan iklan terselubung; pencipta berkarya bukan untuk apresiator tapi untuk masyarakat; dan sebagainya.
 
Keadaan itu tentu sangat memprihatinkan. Toh,apa yang sudah terjadi, dan betapa pun pernyataan/ keluhan/ kecaman kepada apresiator dan media, begitulah kiranya potret diri kita sejak 25 terakhir ini, yakni sejak berakhirnya era keemasan atau masa kejayaan kesenian Indonesia modern 1970–1980, yang diawali dengan berdirinya Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (PKJTIM), dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)-nya yang berwibawa. Sebuah dekade yang telah melahirkan begitu banyak maestro di tujuh bidang kesenian kita, dan sekaligus mengorbitkan para maestro estetika di bidang yang sama, sebagaimana disiarkan media pada masa itu.Suatu pencapaian yang ternyata tidak atau belum mampu diulang kembali sampai hari ini. Apa boleh buat.
***

*) Noorca M Massardi, Pencipta,apresiator,pewarta, mantan pengelola media,dan mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta. http://sastra-indonesia.com/2011/08/apresiasi-seni-di-media-massa/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati