Kelakar, atau maksudnya berkelakar, adalah suatu pengertian yang inheren dalam ruang-ruang humor, komedi, anekdot, senda-gurau, lucu-lucuan, dagelan, lawak, jenaka, dan berbagai hal lain yang lebih kurang sama maksudnya. Dalam pengertian-pengertian yang inheren tersebut, ada pengertian yang mengarah pada substansi, ada pula pengertian yang mengarah pada kategori.
Hal substansi adalah sesuatu yang bisa terdapat di mana saja (di berbagai kategori). Sementara itu, hal kategori lebih mengarah pada kriteria-kriteria intrinsik atau gaya dan pola, atau spesifikasi-spesifikasi tertentu yang membedakan jenis, sifat, dan bentuk kelakar.
Secara substansial hal dimaksud dengan (ber)kelakar adalah terdapatnya (atau upaya penghadiran) kode-kode, lambang-lambang, tanda-tanda, atau simbol-simbol tertentu yang dimaksudkan untuk mendatangkan rasa senang, terhibur, gembira, dengan implikasi hadirnya senyum atau bahkan hingga tertawa.
Hal kode-kode, lambang-lambang, tanda-tanda, atau simbol-simbol tersebut dapat dalam bentuk verbal, visual, atau audio, atau gabungan dari hal tersebut. Sebagai kelanjutannya, kelakar hadir sebagai sebagai sesuatu yang diresepsi dan dimaknai (ditafsirkan) sebagai sesuatu yang tidak biasa (tidak lumrah), sesuatu yang asing dan aneh, bisa juga dalam bentuk penghadiran kejadian yang janggal.
Selain itu, kelakar bisa juga sebagai sesuatu yang lumrah ditempatkan secara tidak lumrah, atau sebaliknya, hal tidak lumrah ditempatkan dalam kelumrahan. Kemungkinan lain adalah adanya permainan logika, logika di bolak-balik sehingga penerima kelakar dapat terkejut (secara spontan) untuk berimplikasi pada adanya hal “baru” yang berbeda dan mendatangkan rasa gembira atau tidak biasanya.
Hal subjek (manusia), dalam konteks penerimaan kelakar, memang berbeda. Ada teori yang mengatakan bahwa dalam tubuh manusia dipengaruhi empat cairan yang saling terintegrasi dalam satu komposisi yang unik. Cairan tersebut adalah cairan darah merah yang menyebabkan kegembiraan (sanguine), lendir menentukan suasana tenang atau dingin (phlegmatic),empedu kuning menentukan suasana marah (choleric), dan empedu hitam untuk suasana sedih (melancholic).
Dalam praktiknya, berkelakar merupakan praktik yang berorientasi baik (dalam pengertian positif dan menyenangkan), sebagai hal yang mengandung kejanggalan (hal tidak lumrah) dalam konteks kesetaraan. Namun, terdapat pula sesuatu yang bernuansa “miring” karena terdapat olok-olok, sindiran, ngenyek, yang efeknya juga mendatangkan rasa geli, senang, atau hiburan.
Artinya, dalam praktik berkelakar terdapat dalam ruang-ruang yang berbeda, dalam ruang yang strukturnya hierarkis dan formal; dalam ruang yang akrab, informal dan ramah; dalam ruang publik atau privat; atau bahkan dalam ruang-ruang khusus yang bersifat sektoral, seperti ruang politik, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya.
Itulah sebabnya, kemudian, kita begitu banyak mengenal sifat, bentuk, dan jenis kelakar. Pembedaan bisa saja berdasarkan media dan sarananya, sehingga dikenal kelakar-kelar yang bersifat verbal, visual, atau audio, atau gabungannya. Kelakar formal dan tidak formal, atau bahkan dalam pengertian kelakar politik, sosial, sejarah, seksual, gender, dan berbagai kategori yang memehis syarat untuk disebut sebagai genre kelakar.
Beberapa contoh yang menarik, yang bisa dinilai secara berbeda dan dalam kategori yang berbeda adalah kisah-kisah Abunawas, Nasruddin, Charlie Chaplin, atau yang tidak kalah terkenalnya kelakar ala Mr. Bean. Kita tahu bahwa di berbagai daerah di Indonesia tentu sangat banyak kelakar-kelakar yang khas daerahnya masing-masing.
Dalam praktik ketika kelakar dikomunikasikan, akan terjadi banyak hal yang bersifat subjektif dan individual. Hal itu dimaksudkan tidak semua kode-kode, lambang-lembang, atau simbol-simbol yang pada awalnya dimaksudkan sebagai sesuatu untuk maksud melucu dipastikan diterima dalam kode-kode, lambang-lambang, dan simbol-simbol yang lucu. Latar belakang seseorang dalam menerima hal tersebut menentukan bagaimana sesuatu diterima sebagak kelakar atau tidak.
Berkelakar tidak lepas dari konteks. Hal yang dimaksud dengan konteks meliputi suasana formal atau tidak formal, latar belakang kejadian berlangsungnya kelakar, relasi-relasi yang terdapat dalam peristiwa berkelakar, dimensi ruang dan waktu, objek yang menjadi bahan kelakar, dan berbagai aspek lain yang melengkapi sebuah peristiwa kelakar.
Peristiwa Perang Dunia ke-2 merupakan peristwa kelam yang sangat disesalkan. Kini, aktor utamanya, Hitler, banyak direproduksi ulang dengan cara-cara tertentu yang sering menimbulkan rasa geli atau tertawaan. Mungkin tidak semua orang tertawa melihat reproduksi aktor tersebut. Hal yang penting adalah bagaimana tokoh sangar dan keren tersebut ditampilkan tidak sesuai aslinya.
Dalam naskah-naskah lama/klasik di Indonesia, tidak cukup dijumpai kitab yang secara khusus mempersoalkan kelakar atau lelucon. Dalam naskah Jawa terdapat sedikit tokoh sebagai pelawak atau penghibur, yakni sebagai penghibur Raja. Namun, budaya Jawa (dan beberapa daerah lain yang terkait) memiliki narasi perwayangan yang di dalamnya terdapat episode gara-gara, yang menghadirkan kehadiran tokoh-tokoh seperti Semar, Bagong, Gareng, dan Petruk.
Ruang gara-gara menjadi ruang “perantara” dan biasanya akan ada hal-hal dipersoalkan (masalah-masalah kehidupan; mulai dari masalah negara hingga masalah-masalah percintaan) yang dijawab dengan cara yang lucu-lucu dan berkelakar, bahkan kadang terasa tidak lumrah, tetapi sekaligus arif dan bijaksana.
Di beberapa daerah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua punya tradisi lisan berupa folklore-folkrle yang dapat dikateogirkan sebagai mitos, legenda, dan berbagai cerita rakyat yang sebagian mengandung cerita yang lucu-lucu. Artinya, setiap lokus (atau katakanlah lokal) budaya tertentu memiliki tradisi kelakarnya masing-masing.
Setiap agama diperkirakan, atau berharap, agar para pemeluknya hidup dalam kebahagiaan, kesenangan, dan kegembiraan. Dalam tradisi Islam, dikisahkan ada sahabat Rasul Muhammad, bernama Nu’aiman yang sering membuat Rasul tersenyum gembira (bahkan di beberapa kisah diceritakan jika Rasul Muhammad tertawa) jika sedang bersama Nu’aiman.
Dalam berbagai dakwah agama, terdapat hal yang disebut pengajian. Ada pengajian yang serius dan formal, tetapi sangat banyak yang suka jika pengajian tersebut dikondisikan secara bersenda-gurau atau secara berkelakar. Dalam tradisi Kiyai dan ulama Nahdlatul Ulama di Indonesia, sebagian kiyainya memperlihatkan hal-hal yang lucu dan menghibur. Beragama menjadi menyenangkan bahkan menghibur.
Namun, sekali lagi, kelakar bisa diterima dalam cara yang sangat berbeda. Ada pihak yang mengatakan narasi atau representasi tertentu lucu, tetapi pihak yang berbeda justru mengatakan sebagai peristiwa kesedihan. Dengan demikian, tidak ada juga jaminan bawa kode-kode, lambang-lambang, tanda-tanda, dan terutama hal simbolik sebagai sesuatu yang dapat diterima secara luas.
Perbedaan pengalaman sejarah dan budaya, perbedaan bahasa (bahasa Ibu) yang terkait dengan nilai rasa berbahasa, perbedaan pengalaman globa dan nasional ikut mengkonstruksi substansi dan kategori kelakar. Pengalaman kedaerahan dan norma-norma atau nilai-nilai sosial yang dialami orang per orang akan menbedakan konteks dan rasa berkelakar itu sendiri.
Saat ini, kita tahu bahwa banyak hal yang menyebabkan kehidupan kita berlangsung tegang di satu sisi, dan kecemasan di sisi yang lain. Pandemi juga mengondisikan kita untuk memperkuat imunitas dengan cara meningkatkan kegembiraan. Penempatan kelakar pada konteks dan tujuan tertentu yang sesuai diharapkan dapat menjadi celah strategis dalam melepaskan atau keluar dari berbagai ketegangan sosial, politik, ekonomi, atau budaya.
Hal yang berbahaya adalah ketika kelakar masuk ke ruang yang tegang dan penuh semangat bersaing sehingga kelakar dan berkelakar kehilangan daya lucunya. Kelakar kehilangan daya senda-gurau yang menghibur dan menggembirakan. Jangan-jangan hal ini sudah terjadi.
Itulah sebabnya, kita perlu memperkuat kembali keberadaan kelakar, sehingga berkelakar dan bersenda-gurau bisa menjadi salah satu cara hidup, bisa menjadi salah satu alternatif dalam mengganggu suasana yang tegang dan penuh kecemasan. Untuk itu mari kita memperkuat kembali keberadaan kelakar. Mari menghimpun diri dalam komunitas Pencinta Kelakar (Pakar).
***
*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010). Alamat website https://aprinussalam.com/ http://sastra-indonesia.com/2021/07/ber-kelakar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar