aku
yang pertama mendengar dendang dinda
pada malam
yang kita ingat ia pernah dibagi tiga
ini mungkin pada sepertiga yang kedua
saat jam beranjak dari angka kosongnya
aku mengaduk tasawuf akhlaq
di dalam tiris nafasmu
yang membasahi ceruk rindu
kemarilah kubisiki, sayang
ada hasrat berundan-undan
semizan syariat seribu bulan
ini mungkin pada sepertiga yang terakhir
kuseduh dzikir kuramu syi’ir
di palung mahabbahmu
di palung mahabbahmu
laut asin mengingatkanku pada khidzir
aku berjanji
aku tidak akan banyak bertanya padamu
senyampang malam
saat kita sepakat melubangi sampan
kemarilah sayang, kubisiki
Mendirikan Malam 2
aku
meminangmu untuk menjadi ‘aisyah
sehabis khadijah
o sayangku, yang kemerah-merahan
tertunduk diam
kita menghitung detak jam
derit daun pintu
dan desah yang disapukan
kita merundingkan bilangan raka’at
di sepertiga terakhir
malam
dan dengan manja
engkau menawar bilangan dzurriyyat
melebihi ‘aisyah melebihi khadijah
sepadan angan
o kurasa
aku ingin memukulmu bertubi-tubi
menggemaskan
The Spirit of Mecca
–kutandai, inilah ranah sufi
di kota tempat kita menangkar
asmara
aku berhasil
mengukur kerudungmu yang lebar
mengukur rahasia
aku melamunkan kiswah
dan hitam hajar
aku melamunkan hatimu
yang sejak dari ruknul yamani
sudah kuincar
inilah
ranah sufi
bisikku pada gamismu yang besar
saat hujan membuat sadar
ada syahdu datang berdenyar
(saat itu
aku teringat pada sejarah
di kota haram
gerimis pun jarang tumpah)
ssst, ini rahasia
“aku menemukan marwah”
“aku menemukan mar-ah”
lihatlah
kepalaku
tersungkur
di jabal nur
di jabal rahmah
dan di ghari hira
inilah
Pengantin (1)
aku gemas pada hud hud
yang gemetar mengabarkan pesonamu
aku gemas pada pemilik ilmu
yang berhasil menyatakan
singgasana kecantikanmu
lebih cepat dari kedip bola mataku
dan
aku lebih gemas padamu
kerana engkau ‘lah sudi mengunjungi
relung istanaku
maka
kutawarkan lantai hati
yang sejernih kolam
sehingga betis asmaramu
tersingkap
Pengantin (2)
aku memang merencanakanmu
menjadi zulaikha
dan saat itu
aku ingin gamisku sobek
di bagian depannya
di bagian belakangnya
sehingga kita tak perlu
merekayasa perjamuan
agar jemari orang-orang teriris pisau
menyaksikan syahwat yang tampan
Tektonik
makinlah rinduku pada laut
manakala
kauceritakan gesekan lempeng bumi
dan ombak kasihmu
saat itu aku terbiasa
bermain buih di pantai yang asin
“aku menelan ikan
kubuat tersesat di lubuk gelap”
senyummu menyelesaikan cerita
antara terpejam mata
lalu kurasa keringat tetes, meresap
ke tanah yang bergetar
ke episentrum
“besok lagi jangan lupa
menjenguk laut”
Rumah
kurasakan hangat dadamu
hangat dada fatimah
karena kisahku menyerupai bocah
yang berlumuran darah
melintasi gurun
menyeberangi fitnah
o, sapukan nafasmu
segairah nafas ummil bathul
karena aku tak ingin tersungkur
seperti ‘ali, sehabis sahur
mari bersaksi
akulah syahid
engkau syahidah
tanpa ditikam belati
tanpa luka hati
dan kita menjadi tuan dan puan
bagi sejarah
melahirkan bocah-bocah
tanpa racun
tanpa tombak tanpa pedang
tanpa segurat lelah
Di Lantai Ulin
pada suatu ketika
aku memang menghikmati nafasmu
yang tak memburu
di lantai ulin
kamar tamu saat siang
tempat guring saat malam
kita tak merencanakan cinta
tapi matamu
melebihi buluh perindu
yang kuangankan ada dalam gelas
yang kausajikan untukku
“inilah gadis senja yang merana
terpikul kegundahan yang lama
kata mengalir di dada lembutnya
menebar spora, lembar cinta” *)
o, jangan merana
bukankah rembulan pun memilihmu
“kuingat waktu itu
kita seperjalanan
antara samarinda-bontang
dan rembulan sedang teramat terang
melumat wajahmu sepenuh cemburu
dengan sesekali mengintai di bukit
dan sembunyi di balik dahan”
di lantai ulin
kita tak merencanakan cinta
kerana ia tiba-tiba
sebagaimana pada suatu ketika
kita tiba-tiba bisa bersama
menyaksikan belian
di desa jahab di sudut kotaraja
kutai kertanegara
“ceritamu, kakek dari mama
dahulu
seorang dukun belian juga”
dan kau bercanda
“datangi ia
tidur di depan tariannya
mintalah disembuhkan
dari penyakit cinta”
aku berkerut oleh candamu
tapi tak ragu-ragu
“seperti belian
cinta memiliki kekuatan”
pada suatu ketika
___
*) Penggalan bait puisi “Gadis Senja: Fitriani Um Salva
belian: upacara penyembuhan dalam tradisi orang Dayak
guring: tidur (bahasa Banjar). http://sastra-indonesia.com/2008/12/samudra-puisi-amien-wangsitalaja/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar