Bus kota yang sesak dengan penumpang ini pun memperlambat lajunya setelah dua orang perempuan berpakaian pramuniaga sebuah toko yang berdiri dekat pintu depan memberi isyarat untuk turun. Perlahan Saya merangsek maju. Dan ketika bus kota berhenti di depan sebuah mall, Saya sudah berada di belakang mereka berdua. Bersiap turun pula.
Sungguh kebetulan sekali. Ada yang hendak turun ketika Saya ingin turun. Ini yang Saya suka. Saya tak usah repot-repot memberi isyarat. Cukup memanfaatkan kesempatan. Dan Saya percaya bahwa hanya orang-orang yang pandai memanfaatkan kesempatan yang beruntung dalam kehidupan ini. Sementara Saya, baru saja menikmati sebagian kecilnya.
Yap, beres sudah, gumam Saya menginjak trotoar jalan. Ternyata, tidak hanya dua orang perempuan berpakaian pramuniaga sebuah toko dan Saya saja yang turun. Ada tiga orang laki-laki turun lewat pintu belakang. Dandanannya seperti mahasiswa. Namun, sebenarnya mereka adalah pencopet. Dan tampaknya, wajah mereka jauh dari gembira.
Ngomong-ngomong, kalau hanya untuk keperluan mengetahui orang lain itu pencopet atau bukan, kita tak harus terjun menjadi pencopet. Cukup dengan perhatian yang lebih dari biasanya. Dulu, Saya pernah melakukan hal itu. Saya mengawasi salah seorang penumpang bus kota. Ia laki-laki muda. Dan ternyata, ia memang seorang mahasiswa seperti gambaran Saya semula. Suatu kali Saya menemukan buktinya. Sebuah kartu mahasiswa pada dompetnya yang tergeletak di trotoar jalan di depan sebuah kampus.
*
Saya melihat orang-orang bergegas memasuki mall di depan. Sebagian besar di antara mereka adalah karyawan dan pramuniaga. Maklumlah, sebentar lagi jam sembilan. Itu berarti mereka harus segera bersiap dengan barang dagangan. Seperti biasa, tidak lama lagi calon pembeli akan berdatangan dengan antrian kebutuhan untuk dipenuhi.
Saya membalikkan badan. Di sebelah kiri, bus kota yang tadi Saya naiki terjebak lampu merah bersama kendaraan lainnya di perempatan jalan yang tak begitu jauh dari tempat Saya berdiri. Lalu-lintas jalan cukup padat. Maklumlah, di kanan kiri sepanjang ruas jalan banyak berdiri bangunan pertokoan. Apalagi jalan ini termasuk jalan utama kota.
Tak terasa kulit Saya terpanggang sinar matahari yang memanas. Saya kemudian bergegas menuju sebuah warung yang berdiri dekat bagian jalan yang biasa digunakan nge-time bus kota. Di kanan jalan, tidak jauh dari perempatan di sebelah kiri Saya.
*
Arloji di lengan kiri Saya menunjukkan pukul sepuluh kurang empat belas menit. Dan kini, Saya berada di dalam toilet mall. Segera Saya ambil koran yang terselip di balik baju Saya. Kemudian membuka lipatannya.
Ah, ini dia, gumam Saya saat melihat dompet warna pink. Tiba-tiba Saya teringat perempuan di bus kota tadi. Perempuan itu pasti seorang mahasiswi. Tidak salah. Gaya dandanannya modis. Tubuhnya bagus dan terawat. Bau tubuhnya juga harum. Entah, merk apa parfumnya. Sekilas dia terlihat cantik. Saya heran, akhir-akhir ini banyak mahasiswi yang berdandan dan bergaya ala artis. Padahal, siapa mereka yang disebut artis itu. Tak lain tak bukan adalah sekelompok orang yang diuntungkan oleh kebodohan masyarakat. Kini, tanpa sadar, mereka telah menempati kelas sosial tersendiri. Selebritis. Yang tayangan tentang kehidupan mereka mempunyai jam tayang khusus di seluruh acara stasiun televisi. Dan inilah yang selalu memberi mimpi-mimpi. Orang-orang ingin masuk dalam kelompok mereka. Ah, sungguh menyiksa.
Namun, di balik itu semua yang paling beruntung adalah para bos itu. Mereka sangat jeli. Pandai membaca situasi. Memanfaatkan kesempatan. Dan merekalah yang sebenarnya mengendalikan keadaan ini. Bayangkan saja, ketika seorang selebritis memakai baju merk tertentu, itu sudah termasuk iklan, pikir Saya.
Kembali Saya terbayang mahasiswi itu. Ia pasti histeris setelah mengetahui bahwa dompetnya hilang. Kecopetan. Apalagi sekarang tanggal muda. Ah, kasihan dia, harus menunda belanja. Tapi, keadaan mahasiswi itu belum seberapa. Saya yakin masih kalah dengan salah seorang korban Saya yang lain. Ia ibu-ibu. Menangis menjerit-jerit sembari ngesot-ngesot di lantai pasar. Untunglah, Saya tidak merasa bersalah waktu itu. Ya, Saya tak perlu merasa bersalah. Bukankah kehidupan sendiri memang kejam. Sementara copet merupakan pekerjaan profesional. Perlu keberanian dan ketrampilan khusus. Dan Saya masih terlalu muda untuk menjalankan agama.
O, Dewi. Kenapa setiap kali seperti ini, aku selalu teringat padamu. Kau perempuan yang begitu baik. Meskipun hanya buruh pabrik. Ya, tak ada yang melebihi dirimu, pikir Saya.
*
"Bajingan. Hanya dua puluh lima ribu."
Buru-buru Saya memeriksa seluruh dompet. Saya keluarkan beberapa buah kartu. KTP, KTM, ATM, dan kartu lainnya. Tiba-tiba ekor mata Saya menangkap sesuatu. Saya perhatikan foto di KTP.
Ah, tidak. Bukan Dewi. Untunglah. Tapi, mata itu. Seperti mata Dewi yang menatap tajam kepadaku, pikir Saya.
O, Dewi. Kenapa setiap kali teringat padamu, selalu saja aku teringat Tuhan. Entah, seperti apa aku di hadapan-Nya? Atau barangkali juga, Dia tak mengakuiku lagi sebagai hamba-Nya, pikir Saya lagi.
Buru-buru Saya masukkan uang dua puluh lima ribu dan KTP ke dompet. Sementara yang lainnya Saya tempatkan kembali ke tempatnya semula. Inilah kebiasaan Saya. Selalu mengoleksi kartu identitas milik korban Saya. Entah, sudah berapa jumlahnya sekarang. Sementara ATM, Saya tidak memerlukannya. Dulu, Saya pernah mengambil ATM. Namun, kini tidak lagi. Saya capek harus memecahkan satu persatu angka dari jumlah ribuan atau ratusan ribu. Saya selalu gagal. Belum lagi kalau pemiliknya meminta petugas bank untuk memblokir transaksi lewat ATM. Pasti akan sia-sia. Akhirnya, Saya buang ATM itu ke sungai. Hanyut bersama tumpukan sampah lainnya.
Setelah menyimpan dompet Saya dan dompet warna pink yang nanti akan Saya buang seperti biasa, Saya segera keluar dari toilet mall.
*
Suasana mall cukup ramai dibandingkan beberapa waktu yang lalu. Kini, Saya berada di antara kerumunan para pengunjung mall. Menguntit sebuah keluarga calon korban. Suami-istri beserta dua orang anak laki-laki dan perempuan yang masih kecil. Si ayah yang berdiri di depan Saya ini wajahnya tampak bodoh. Di samping itu, kancing saku belakang celananya tidak terpasang. Sementara benjolan dompetnya tampak tebal dari luar. Ah, sungguh mangsa yang sempurna, pikir Saya.
Perlahan jari-jari Saya yang sudah terlatih itu melakukan tugasnya.
Saya tersentak. Anak perempuan keluarga itu berteriak. Kerumunan orang menatap Saya geram. Siap dengan tangan terkepal dan kaki untuk menendang.
O, Dewi…
*
Saya terbangun dengan rasa nyeri di sekujur tubuh. Untunglah, Saya belum mati. Tidak berada di kuburan. Tapi, di sebuah sel. Dengan cahaya lampu yang tidak terlalu terang.
Saya mengedarkan pandangan mata. Ternyata, Saya tak sendirian. Ada dua orang laki-laki satu sel bersama Saya. Wajah mereka babak-belur. Akan tetapi, Saya dapat mengenali mereka. Dua dari tiga orang pencopet yang turun bersama Saya dan dua orang perempuan berpakaian pramuniaga toko di depan mall pagi tadi. Rupanya hari ini benar-benar sial.
“Mana yang pakai rompi,” kata Saya.
“Rumah sakit,” jawab salah seorang di antara mereka. Saya dan mereka diam sejenak. Saling memperhatikan.
“Kena di mana?” katanya lagi.
“Di mall. Kalian?”
“Di kampus.”
*
Malam terus beranjak. Saya duduk di salah satu pojok sel dan masih terjaga. Pandangan mata Saya menerawang menembus dinding sel. Beberapa saat yang lalu seorang petugas datang. Mengkabarkan kepada dua orang teman satu sel dengan Saya yang tidur itu, bahwa temannya yang pakai rompi tewas beberapa waktu yang lalu.
Dewi, maafkan aku. Tak seperti yang tergambar di benakmu. Tapi, aku mencintaimu. Ya, Dewi. Memang mimpi-mimpiku telah lama musnah. Tapi, inilah satu-satunya yang tersisa. Sebuah janin yang kukandung sejak bertemu denganmu. Hidup dalam sebuah keluarga. Bersamamu dan anak-anak kita yang lucu-lucu, pikir Saya.
***
http://sastra-indonesia.com/2008/12/saya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar