Jumat, 18 Juni 2021

Sajak Sundul Langit Dul Koplo *

Eko Darmoko
 
Di usia kepala delapan, Dul Koplo masih doyan mengunyah candu dalam sajak-sajak Pablo Neruda dan Octavio Paz. Tenaganya pun masih giras saat disuruh ketiga istrinya membacakan satu-dua sajak Amerika Latin itu. Untuk urusan ranjang, jangan ditanya! Bandot tua ini masih perkasa meladeni gairah ketiga istrinya yang berusia 20-an.
 
“Asolole!” Pekik sakral Dul Koplo tiap kali didatangi perawatnya.
 
“Eyang jangan terlalu banyak teriak-teriak,” ucap perawat yang tak pernah memakai bra.
 
“Bacotmu tolong dijaga, Nak! Aku sedang baca sajak, bukan teriak,” potong Dul Koplo sambil mengagumi tubuh si perawat yang hanya dibungkus kemeja tipis berwarna telur asin.
 
“Eyang selalu bandel bila diingatkan!”
 
“Sini, mendekatlah!”
 
Perawat berkulit kapur barus itu langsung menyodorkan tubuh, seperti biasanya, ketika mendengar perintah ‘mendekatlah’ dari sang majikan. Secepat copet, Dul Koplo langsung mendaratkan cipok di jidat si perawat. Dua bibir saling sabung. Dua lidah saling tikam. Dua ludah saling oplos. Adegan selanjutnya sudah bisa ditebak.
 
“Istri-istri Eyang tahu tentang persetubuhan ini?” Tanya si perawat sembari mengenakan kemeja dan rok mini yang copot satu jam lalu.
 
“Apa pentingnya istri-istriku. Mereka hanya seonggok daging mahalezat, seperti kamu.”
 
“Oh ya, besok siang ada wartawan Australia datang ke sini.”
 
“Wawancara?”
 
“Iya!” Jawab si perawat, lalu ngacir dengan peluh ranum masih berkilau di tubuhnya.
 
Seusai makan malam bersama ketiga istrinya, Dul Koplo perlu sowan ke perpustakaan yang dibangun di samping vila megahnya. Sudah lama ia tidak mengunjunginya. Dibukanya sebuah lemari yang berisi arsip-arsip media cetak tentang sepak terjangnya di gelanggang kepenyairan.
 
Ada sebuah artikel dari surat kabar lokal yang mengutip The New York Times yang mengusik matanya. Dibacanya artikel itu. Kepalanya geleng-geleng. Dul Koplo tak habis pikir; mengapa ia sangat dibenci kaum penyair Tanah Air, khususnya Jawa Timur, padahal ia sangat dipuja dunia internasional.
 
Samudera masa silam tiba-tiba menggenang di hadapannya. Bayangan Dul Koplo muda berkelebat di matanya. Rambut klimis berkilau selalu tersibak ke kanan. Tubuh tegap. Dan sorot mata yang selalu membara. Deretan huruf nama aslinya pun menggempur tempurung otaknya.
 
“Ah, masa lalu yang gemilang. Sekarang pun tak kalah gemilangnya.” Desisnya.
 
Ditimangnya Piala Charles Baudelaire—penghargaan prestisius dari Pemerintah Perancis dalam kancah sastra dunia. Sejauh yang ia ingat, piala itu diterimanya dalam malam anugerah yang digelar di Marseille, dua tahun setelah lengsernya Presiden Suharto.
 
Dul Koplo meninggalkan perpustakaan. Desir angin di Dataran Tinggi Prigen membuatnya sedikit menggigil. Pasuruan adalah suaka terbaik bagi Dul Koplo. Langkahnya dipercepat. Memasuki bangun utama vila, si perawat menodongnya dengan moncong mulut.
 
“Jangan banyak bacot!”
 
“Istri-istri Eyang sudah menunggu di kamar.”
 
“Usiamu berapa?”
 
“Bulan depan sudah genap 19 tahun.”
 
“Hah?”
 
“Apanya yang ‘hah’, Eyang?”
 
“Kok bisa kamu jadi perawat di usia belasan tahun? Kapan lulusnya dari akademi keperawatan?”
 
“Akademi apanya, Eyang. Lha wong saya tiba-tiba diciduk lalu dipekerjakan di sini. Saya cuma tamatan SMP.”
 
“Oh begitu.”
 
“Anak buahku memang lihai dalam urusan mencari perawat.”
 
“Sudah berapa perawat yang pernah mengabdi untuk Eyang?”
 
“Aku lupa. Pastinya banyak. Sudah ah, jangan banyak bacot!” Dul Koplo lari kecil menuju kamar utama.
 
“Saya betah kerja untuk Eyang!” Kata si perawat, pelan.
 
Di dalam kamar itu, Dul Koplo melihat ketiga istrinya sudah berjajar, tidur telentang di atas satu ranjang.
 
“Asolole! Tapi aku tidak ingin bercinta. Besok pagi saja. Sekarang kalian kembalilah ke kamar masing-masing.”
 
Seperti robot yang patuh pada perintah remote, ketiga istri Dul Koplo bergantian meninggalkan kamar setelah menerima cipok di jidat masing-masing.
 
Kedisiplinan adalah kunci Dul Koplo menjaga raganya tetap giras di usia senja. Ia selalu tidur tepat waktu sebelum jam 10 malam. Sejak masih muda, ia penganut vegetarian dan menjauhi rokok serta alkohol.
 
Pukul 6 pagi, ketika Dul Koplo membuka matanya, menguceknya sebentar dan meraih kacamatanya, ia melihat ketiga istrinya duduk manis di sebuah sofa di sudut kamar. Mereka mengenakan daster warna mencolok mata.
 
“Kalian siap, wahai istri-istri siriku?”
 
“Siap!” Jawab mereka kompak.
 
Adegan selanjutnya sudah bisa ditebak.
 
Seperti biasanya, ketiga istrinya selalu dibikin tak berdaya oleh giras birahi si penyair bau tanah itu. Mereka selalu terpuaskan, tak pernah fakir dalam urusan ranjang dan belanja.
 
Mata Dul Koplo khidmat memandangi ketiga istri sirinya yang sibuk mengenakan daster. Tiba-tiba, ia teringat dengan cucu-cucunya yang seumuran dengan ketiga istri sirinya.
 
“Ah, masa lalu yang gemilang. Sekarang pun tak kalah gemilangnya.”
 
“Eyang, bak mandi sudah saya siapkan!” Si perawat nyelonong masuk kamar.
 
“Mandikan aku! Kadang aku kesusahan menyapu bolot di punggungku.”
 
“Eyang mau sarapan apa?” Seorang koki, laki-laki, nyerocos dari luar kamar.
 
“Seperti biasanya saja!”
 
“Pedas?”
 
“Kan sudah kubilang ‘seperti biasanya saja’, jangan banyak bacot!”
 
Si koki langsung lari terbirit-birit. Kemudian disusul para istri. Dul Koplo dan si perawat masuk ke kamar mandi yang ada di sebelah kamar.
 
“Katanya siang setelah bedug, Eyang,” kata si perawat sembari menggosok punggung juragannya.
 
“Apanya?”
 
“Wartawan.”
 
“Oh iya.”
 
Agak aneh. Dul Koplo terlihat cuek saat dimandikan si perawat. Biasanya, tangan Dul Koplo selalu kluyuran ke tubuh si perawat saat dimandikan. Ada hal besar yang bergejolak di pikirannya.
 
“Eyang marah sama saya?”
 
“Tak mungkin aku marah padamu, Nak.”
 
“Lalu mengapa Eyang cuek begini? Tidak seperti biasanya.”
 
“Sudahlah jangan banyak bacot! Sini, mendekatlah!” Lalu Dul Koplo singkat mencium bibir si perawat.
 
“Aku takut dipulangkan. Aku tak mau jadi lonte lagi. Aku betah kerja sama Eyang.”
 
Pernyataan si perawat tak seutuhnya didengar Dul Koplo yang larut dalam gelombang penerawangan. Dul Koplo hanya minta dibilas dan dihanduki.
 
“Sudah! Kamu jadi istri keempatku saja. Mau?” Ucap Dul Koplo sambil meninggalkan kamar mandi.
 
“Mau, Eyang!” Senyum girang mekar di wajah si perawat.
 
“Mulai sekarang biasakan pakai bra! Ayo temani aku sarapan!”
 
Di meja makan, Dul Koplo ganas memamah nasi goreng pedas racikan koki. Tapi gelombang penerawangan masih menggempur kepalanya.
 
“Tuan!” Tiba-tiba centeng kesayangannya berdiri di sebelahnya. “Wartawan bule sudah datang. Menunggu di ruang tamu.”
 
“Lho katanya siang?”
 
“Katanya sengaja datang lebih awal, biar punya banyak waktu untuk ngobrol dengan Tuan.”
 
“Suruh tunggu. Sebentar lagi sarapanku kelar.”
 
Sejurus kemudian, Dul Koplo melangkah ke ruang tamu. Matanya terbelalak. Wajahnya memerah. Napasnya mendadak ngos-ngosan. Tapi hatinya dipenuhi bunga bermekaran.
 
“Asolole! Kau rupanya.” Sapa Dul Koplo mengagetkan wartawan Australia yang sedang menyeruput kopi susu.
 
“Mas masih ingat aku?” Katanya dengan Bahasa Indonesia yang sedikit belepotan.
 
“Aku tak pernah lupa dengan perempuan yang pernah kutiduri.”
 
“Sialan!” Ucapnya diakhiri cekikikan.
 
“Jadi wartawan sekarang?”
 
“Iya, sejak lulus kuliah dua tahun lalu.”
 
“Wartawan mana?”
 
“Daily Star biro Jakarta.”
 
“Sudah sarapan?”
 
“Sudah!” Jawabnya. “Sebaiknya aku langsung wawancara saja, Mas? Biar nanti punya banyak waktu untuk ngobrol-ngobrol ringan tema lain.”
 
“Terserah kau saja. Tapi aku merasa agak aneh, mengapa gadis 20-an tahun sepertimu memanggilku ‘Mas’, padahal yang lainnya, istri-istri siriku, perawatku, memanggilku ‘Eyang’?”
 
“Karena keperkasaanmu seperti ‘Mas’, bukan seperti ‘Eyang’.” Ucap si wartawan sambil membenarkan letak bandana di rambut pirangnya.
 
“Asolole!” Tawa Dul Koplo meledak. “Ya sudah, silakan Masmu ini diwawancarai!”
 
“Masih menulis sajak?” Tanyanya sambil menaruh alat rekam di meja.
 
“Tidak! Tapi masih suka membaca. Sajak-sajak Neruda dan Paz.”
 
“Berarti buku kumpulan sajak ‘Sundul Langit’ adalah buku terakhir, Mas?”
 
“Yang terakhir dan satu-satunya. Tak pernah kutulis sajak lainnya selain yang ada dalam buku ‘Sundul Langit’.”
 
“Mengapa?”
 
“Satu buku saja sudah membuatku tajir. Royalti datang dari banyak negara yang menerjemahkan ‘Sundul Langit’. Belum lagi channel YouTube-ku yang sudah menggurita. Uang datang tanpa bosan. Bisnisku juga makin meluas. Bila kau mau, akan kubangunkan vila untukmu dan jadilah istriku.” Dul Koplo terkekeh.
 
“Sialan, itu bukan jawaban serius, Mas! Dari dulu, kau sama saja, tidak berubah.”
 
“Iya, kau juga masih sama seperti dulu. Bedanya dulu mahasiswi asing minta ditiduri penyair kewut, sekarang wartawan asing datang minta ditiduri. Ops, minta wawancara …”
 
“Bedebah!”
 
“Asolole!” Dul Koplo menemukan kewibawaannya. “Kau tahu, aku tidak memiliki darah penyair. Aku mengawali karir sebagai pengusaha properti. Kebetulan aku menyukai sajak.” Dul Koplo mengerutkan jidat. Berpikir sebelum melanjutkannya.
 
“Ah sudahlah, wawancaranya besok-besok saja. Tinggallah di sini untuk beberapa hari.”
 
“Itu bukan kode untuk mengajakku bercinta, kan?”
 
“Asolole! Kau benar-benar cewek cerdas.”
 
“Sialan!” Umpatnya, lalu terkekeh dahsyat. “Lalu mengapa sajak-sajakmu dibenci oleh bangsamu, Mas?” Sambungnya.
 
“Kan sudah kubilang, wawancaranya besok-besok saja. Sekarang kita ngobrol-ngobrol ringan saja! Wartawan memang banyak bacot, seperti perawatku.”
 
“Apa karena sajak-sajakmu sangat gelap dan banyak dihiasi kata-kata cabul, Mas?”
 
“Anak-anak dari istri sahku juga bilang begitu. Apalagi para kritikus sastra. Bacotnya sangat tajam.”
 
“Beberapa bulan yang lalu Pemprov Jawa Timur menggelar anugerah sastra. Tapi tidak ada namamu dalam daftar penyair berpengaruh di Jawa Timur, Mas? Padahal sajak-sajakmu mendunia, bahkan diganjar Piala Charles Baudelaire.”
 
Dul Koplo terdiam agak lama. Mendung menghiasi bola matanya. Sedangkan mata biru si wartawan tampak grogi menunggu jawaban Dul Koplo.
 
“Aku yakin kau tahu jawabannya! Sudahlah, tulis apa yang kamu suka. Aku percayakan padamu …” Dul Koplo terdiam, lalu melanjutkan.
 
“Bangsaku belum siap menelan sajak-sajak yang kutulis. Tentunya kau tahu, tak ada penerbit lokal yang mau menerbitkan ‘Sundul Langit’. Persetan! Mereka menilai sajak-sajakku norak, kampungan, cabul, gelap, dan tak memiliki struktur yang jelas. Ya sudah, aku bikin penerbitan sendiri, dan hasilnya seperti yang kita ketahui bersama.”
 
“Itu dugaan yang ada di pikiranku, dan ternyata benar.”
 
“Asolole! Lalu untuk apa kau mewawancaraiku?” Dul Koplo cekikikan.
 
“Aku hanya butuh kepastian, Mas. Kepastian langsung dari mulutmu.”
 
“Itu bukan kode bahwa kau bersedia bercinta denganku lagi, kan?”
 
“Sialan! Kau benar-benar bandot cerdas, Mas!”
 
“Jadi kau mau tinggal di sini untuk beberapa hari?”
 
“Tidak semua pertanyaan harus dijawab dengan pernyataan, Mas.”
 
“Cocok! Aku sundul kau hingga terbang ke langit.”
 
Surabaya, Mei 2020

*) Majalah Sastra Suluk, Dewan Kesenian Jawa Timur, edisi 18, tahun 2020 http://sastra-indonesia.com/2021/06/sajak-sundul-langit-dul-koplo/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati