Minggu, 27 Juni 2021

SIMBOLISME PETAK—UMPET

: “MENGUAK—NEGERI AIR MATA" ABDUL KADIR IBRAHIM
 
Maman S. Mahayana *
 
Melayu dengan tradisi panjang kesusastraannya, hingga kini tetap kokoh menjadi bagian kesusastraan Indonesia. Dalam peta perkembangan kesusastraan Indonesia, dunia Melayu dengan keagungan ketamadunannya—tidak hanya menempatkan diri sebagai cikal-bakal bahasa dan kesusastraan Indonesia, tetapi juga terus-menerus ikut menyemarakkan capaian-capaian estetiknya. Lihat saja capaian estetik yang dipancangkan Ibrahim Sattah yang kemudian menjadi makin kokoh melalui Sutardji Calzoum Bachri. Dua penyair penting ini, tempatnya menjadi begitu khas, unik, dan nyeleneh sendiri, sehingga posisinya seperti tidak dapat lagi digoyahkan.
 
Di sana masih bertebaran nama-nama penting seperti Idrus Tintin, BM Syamsuddin, Ediruslan Pe Amanriza, Taufik Ikram Jamil, Hoesnizar Hoed, Samson Rambah Pasir, Junewal Muchtar, Fakhrunnas MA Jabbar, Abdul Kadir Ibrahim, dan sederet panjang sastrawan—penyair dengan kultur Melayu berada di belakang karakteristik kesastrawannya. Tentu saja mereka secara kualitas masuk kategori sastrawan Indonesia yang dalam bahasa politik sebagai sastrawan nasional.
 
Begitulah, kepenyairan dalam tradisi Melayu telah berhasil melahirkan, menumbuhkan, dan memberi kontribusi penting bagi pemerkayaan kesusastraan Indonesia. Sumbangannya yang berkelanjutan itu menunjukkan sebuah iklim yang kondusif. Iklim dalam suasana yang seperti itulah yang memungkinkan para penyair dapat melakukan berbagai usaha penggalian dan pemanfaatan yang tiada henti atas kekayaan kebudayaannya. Bukankah puisi, dan secara keseluruhan kesusastraan, merupakan ekspresi kreatif kegelisahan kultural sastrawannya sebagai manifestasi tindak keterlibatannya dalam berkebudayaan? Di situlah kedalaman estetik kepenyairan dapat ditelusuri dan diuji melalui sejauh mana mereka menyerap dan sekaligus melakukan pemberontakan atas tradisi estetik yang telah menjadi bagian inheren dari sejarah masyarakat dan keagungan kebudayaannya?
 
Abdul Kadir Ibrahim –yang lebih dikenal dengan sebutan AKIB—adalah salah seorang penyair dari sekian banyak penyair lain yang lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kebudayaan Melayu. Kehadirannya dalam kesusastraan Indonesia terjadi sekitar pertengahan tahun 1980-an. Meski di awal kepenyairannya, AKIB bergerak di seputar Tanah Melayu, kemunculannya belakangan cukup mengejutkan. AKIB secara meyakinkan tampil sebagai sosok penyair yang lahir dari tradisi kebudayaan Melayu, yang di satu pihak, ia menyerap estetika pantun, syair, gurindam, dan mantra, dan di lain pihak, ia berusaha justru melakukan pemberontakan atas tradisi estetik yang diserapnya sendiri. Ia secara serius tampak berusaha melakukan penggalian dan pencarian model estetik yang hendak ditawarkannya. Di sinilah posisi kepenyairannya seperti telah sampai pada jati dirinya yang khas yang tidak gampang dipersamakan dengan penyair lain.
 
Dalam sejumlah puisinya, AKIB seolah-olah seperti hendak menyerap dan sekaligus memancarkan capaian estetik sebagaimana yang telah ditanamkan Ibrahim Sattah atau Sutardji Calzoum Bachri, tetapi di sana tampak pula usahanya justru hendak mengedepankan keterpengaruhnya lebih jauh dari itu, dari ruh kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkannya, tradisi kebudayaan Melayu. Maka, yang muncul kemudian adalah ekspresi keterpengaruhannya itu dalam semangat mengukuhkan monumen kepenyairannya sendiri, dan bukan sekadar keterpukauan pada tradisi estetik yang telah digulirkan penyair sebelumnya.
 
Sikap, pandangan, dan perspektif kepenyairan Abdul Kadir Ibrahim laksana hendak menawarkan ruh masa lalu keagungan kebudayaannya dalam semangat manusia kontemporer yang visioner. Jadilah visi kepenyairannya bersifat universal yang dalam bahasa Lucien Goldmann sebagai pandangan dunia, jika kita menempatkannya dalam strukturalisme genetik. Ia bukan jenis manusia epigon. Ia menerima dan menyerap keterpengaruhannya, justru sebagai titik berangkat melakukan pemberontakan, mencari dan menemukan jati diri, dan membangun monumen estetika sendiri. AKIB menunjukkan dirinya berada dalam ketegangan antara tradisi dan inovasi, antara konvensi dan eksperimentasi.
 
Dalam konteks itu, membaca puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim, baik yang terhimpun dalam antologi Puisi 66 Menguak (Riau: Unri Press, 2004), maupun dalam antologi Negeri Air Mata (Riau: Unri Press, 2004), kita seperti berjumpa dengan semangat estetik Ibrahim Sattah atau Sutardji Calzoum Bachri, tetapi tokh AKIB berhasil membangun jalannya sendiri berdasarkan ruh kebudayaan leluhurnya, berdasarkan akar sosiologis yang menjiwai kehidupan kepenyairan di Tanah Melayu.
 
Di situlah pentingnya penyair melakukan penggalian, pencarian, dan sekaligus pemberontakan atas tradisi estetik kepenyairan yang lahir, bergulir dan berkembang sebelumnya. Maka, ketika kita coba menelusuri semangat estetik puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi ini, kita merasa seperti menemukan pantun, gurindam, dan mantra dalam kemasan yang justru penuh simbolisme.
 
Pancaran keindahan puitik, kesamaan bunyi, dan pola tipografi yang unik seperti sengaja dikemas sedemikian rupa untuk menunjukkan jati diri kepenyairan sosok seorang Abdul Kadir Ibrahim. Ia telah membangun bentuk estetik yang kaya simbolisme dengan jiwa kerinduannya pada Sang Khalik. Jadi, dalam hal tradisi estetik, AKIB menerima dan menyerapnya secara kreatif, lantaran ia sekaligus telah berhasil meretas bentuk estetikanya sendiri dalam kemasan dan semangat yang berbeda.
 
Periksalah sejumlah puisinya dalam bagian Puisi 66 Menguak. Di sana, AKIB seperti hendak mewartakan 66 episode persenggamaannya dengan Tuhan, dengan alam, dan dengan kegelisahan batinnya dalam melakukan pencarian tentang apa pun. Maka, bentuk tipografi yang dibangun sedemikian rupa, hadir justru untuk mendukung efek kekuatan bunyi, selain pola-pola repetisi, sebagaimana yang menjadi kekuatan mantra, tetapi jiwanya adalah pencarian tentang apa pun itu. Di sana, jadinya permainan tipografi tidak sekadar bentuk kemasan, melainkan fisik yang membungkus jiwa puisi itu sendiri. Artinya, pola tipografi sebagai bentuk simbolik yang dapat dicantelkan pada makna larik-larik puisinya.
 
Cobalah secara sembarangan kita membuka lembaran antologi puisi ini, maka di sana kita akan menjumpai sejumlah hal yang disebutkan tadi.
 
Periksa misalnya, puisinya berikut ini:
18
umurku berlalu
mampu
kuhitung tahunnya
tapi lagulaganya
tak kutahu di mana
yang kurasa sia di atas
mesra
dan
cela di atas menghamba
merenta tua semakin terasa
bila hamba
menutup mata
di kau peluk yang
hamba minta
cerita doa
demikianlah
hamba telah
 
Tipografi seperti berjalan seenaknya. Tetapi perhatikan secara serius pola enjambemen –pemenggalan suku kata, kata atau kalimat untuk membangun kekuatan efek bunyi— dalam tipografi itu. Pertama, dalam soal bentuk, dengan tipografi model itu, maka AKIB mengintegrasikan pola bait ke dalam larik. Dan itu dimungkinkan dengan tipografi. Jadi, bisa saja kata sambung /dan/ pada larik kedelapan, berfungsi sebagai bait yang menghubungkan tujuh larik pertama dan larik kesembilan dan seterusnya. Lalu apa maknanya?
 
Kedua, kesatuan makna. Tujuh larik pertama mewartakan perilaku aku liris dalam kesadaran introspektif tentang kebahagiaan yang sia-sia ketika aku liris (: seseorang) tidak menyadari keberadaannya –dalam hubungan dengan Tuhan, alam, atau apa pun. Larik kedelapan /dan/ yang menjorok itu, seolah menyampaikan pewartaan berikutnya yang di belakangnya ada kekosongan, kehampaan, ketidaksadaran, atau ketakpahaman, dan di depannya ada kesadaran introspektif lainnya sampai pada pesan menjelang kematian yang di sana, permohonan doa seperti menegaskan kegamangan aku liris dalam menghadapi kematian. Lalu, larik berikutnya /demikianlah/ juga berfunsgi sebagai larik dan sekaligus juga bait yang menunjukkan selesailah pewartaan itu. Bagaimana pula dengan larik terakhir /hamba telah/?
 
Itulah keunikan model puisi AKIB. Larik /hamba telah/ bisa berfungsi membangun efek kesamaan bunyi, tetapi bisa juga sebagai kesengajaan penyair untuk menggantung penyelesaian –puisi itu—dengan medan tafsir. Di sini, terbuka peluang seluasnya bagi pembaca untuk melakukan berbagai tafsir semantik. /hamba telah/ bisa bermakna introspeksi yang sempurna, kesadaran penuh, penemuan atas serangkaian pencarian, atau penyelesaian sebuah episode untuk melanjutkan pada episode berikutnya. Jadi, pola tipografi model itu sekaligus telah menjelma jadi medan tafsir yang berlimpah.
 
Meskipun secara formalistik tipografi dibangun untuk mengemas makna dan menciptakan medan tafsir, pola persajakannya sendiri masih dapat kita telusuri pada tradisi persajakan mantra yang memberi tekanan pada repetisi dan kekuatan bunyi. Perhatikan lagi puisinya yang berikut:
 
27
wahai jiwa nan tenang
khusuk dan rafakurlah kau
dalam diam indahnya bulan
dalam diam indahnya matahari
dalam diam indahnya langit
dalam diam indahnya seisi bumi
diamlah kau diindahnya
kenangku
di
kau
ya allah
 
Meski dalam puisi ini tidak digunakan bentuk tipografi yang justru dimanfaatkan betul dalam sebagian besar puisi dalam antologi AKIB, kita masih menemukan usaha penyair menciptakan enjambemen di dua larik terakhir: /di/ dan /kau/. Sebagai puisi, tentu saja kita mesti mencurigai kesengajaan penyair memenggal /dikau/ jadi /di/ dan /kau/. Secara semantik /di/ sebagai kata depan memang menyatakan pada atau kata depan untuk mengiringi tempat, hal, atau benda tertentu. Tetapi mengingat /kau/ di sana bermakna sebagai Tuhan atau dialog aku lirik dengan Sang Khalik, maka /dikau/ atau /di/ dan /kau/ penekannya jadi berbeda. Oleh karena itu, enjambemen /dikau/ menjadi /di/ dan /kau/ harus ditarik dan dicantelkan pada keseluruhan pesan puisi itu.
 
Secara tematik, puisi itu hendak mengusung penyadaran penyair pada fenomena alam yang bersumber dan bermuara pada Sang Khalik. Dengan pemanfaatan repetisi, maka puisi itu menyimpan semangat mantra yang bermain dengan repetisi dan kekuatan kesamaan bunyi. Di sinilah, penyair kembali seperti hendak menegaskan kembali hakikat puisi yang menyimpan medan tafsir.
 
Jadi, pada akhirnya pola bait yang dihancurkan penyair ini, bukan tanpa maksud. Ia bersengaja melakukan itu justru untuk mengintegrasikan larik dan persajakan dalam keseluruhan makna dan sekaligus juga pesan puisi yang bersangkutan. Dalam hal ini, AKIB jelas hendak menegaskan semangat estetiknya dalam keutuhan, terintegrasi, bulat—inheren, menyeluruh, tanpa perlu ada transisi (: bait) yang sesungguhnya tidak berpengaruh apa pun ketika puisi tampil sebagai keseluruhan, totalitas yang tak dapat dipecah-pecah ke dalam bait-bait. Bukankah pemahaman pembaca pada sebuah teks puisi pada akhirnya pemahaman keseluruhan puisi yang bersangkutan. Jika begitu, mengapa perlu ada bait, jika tanpa itu, pemahaman dan apresiasi pembaca tidak terganggu?
***
 
Dalam antologi Negeri Air Mata, penyair Tanjungpinang ini kembali berusaha memaksimalkan berbagai bentuk tipografi untuk kepentingan pemaknaan dan penghancuran fungsi bait. Tetapi ada hal yang khas yang hendak ditawarkan Abdul Kadir Ibrahim berkenaan dengan pemanfaatan tipografi itu, yaitu: permainan kata dalam lompatan-lompatan gagasan. Bukankah gagasan kerap juga dibangun oleh lompatan-lompatan kata yang kadangkala terpaksa dibangun kembali dengan mempersatukannya sebagai keseluruhan makna. Dengan tipografi itu pula, kata-kata, bahkan suku kata, seolah-olah berada dalam kondisi cerai-berai, berantakan, berceceran yang jika disusun kembali, justru menghasilkan koherensi yang kokoh dalam keseluruhan maknanya.
 
Permainan tipografi, tanpa tujuan membangun makna tentu saja akan sangat berbahaya. Tentu Saja AKIB sangat menyadari benar bahaya itu. Permainan tipografi yang dibangunnya justru dengan kesadaran mengusung estetika kepenyairannya. Oleh karena itu, memahami puisi-puisi AKIB, kita jangan terjebak sebatas pada permainan tipografi, melainkan pada cantelannya dengan pesan puisi yang bersangkutan. Maka, di sana kita akan menemukan sejumlah pesan yang jika ditarik lebih jauh, cenderung merupakan manifestasi pengembaraan spiritual tentang hubungan manusia dengan alam, dengan Tuhan, dan dengan kegelisahannya sendiri. Bukankah relasi manusia—Tuhan, manusia—alam, dan manusia—manusia, bersifat universal, tetapi sekaligus juga individual.
 
Demikianlah, betapapun puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim tampak begitu rumit lantaran permainan tipografinya, kita masih dapat menikmatinya sebagaimana juga menikmati puisi lain, jika kita tidak terjebak hanya sebatas pada bentuk tipografi. Dalam hal ini, seperti telah dinyatakan tadi, tipografi harus dicantelkan pada makna puisi yang bersangkutan. Dengan cara demikian, kita akan melihat pancaran maknanya yang justru merepresentasikan kegelisahan penyairannya dalam berhadapan dengan Tuhan, alam, dan dirinya sendiri.
 
Secara keseluruhan, membaca puisi-puisi AKIB, saya seperti berhadapan dengan permainan petak—umpet, melacak bentuk tipografi untuk menemukan makna. Atau mengikuti larik-larik puisinya, lalu terpaksa harus menelusuri pola lariknya yang disusun dalam tipografi. Dari sana, berjumpalah dengan maknanya yang sedang meringkuk dan bersembunyi dalam deretan kata-kata.
 
Bahwa puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim meneroka tradisi leluhurnya, tampak dari bertaburannya kosa-kata arkais bahasa Melayu, sebagaimana yang pernah dieksploitasi Amir Hamzah. Bagusnya, AKIB tidak berhenti sampai di sana. Ia justru kemudian coba menghancurkan tradisi estetik yang pernah dibangun penyair lain. Di sinilah posisi kepenyairan AKIB seperti bergerak sendiri di jalannya, menempati kotaknya sendiri yang khas, unik, tetapi sekaligus juga menyentuh aspek universalitas kemanusiaan.
 
Sebuah tarian kata-kata dalam bungkusan tipografi yang beraneka telah berhasil dikukuhkan Abdul Kadir Ibrahim sebagai monumen kepenyairannya. Dan saya menikmati permainan petak—umpetnya.
 
Tahniah, AKIB!
 
Bojonggede, 15 Maret 2007

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2010/05/simbolisme-petak-umpet/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati