Kamis, 21 Agustus 2008

PERJAMUAN CINTA

A. Hana N.S

Oh… mungkin ini adalah ujian yang di berikan Tuhan padaku. Aku harus mengalami kisah cinta yang begitu menguji kesabaranku dengannya. Affantri adalah kekasihku. Kekasih setiaku. Dia biasa di panggil Affan. Dia menerimaku apa adanya. Kami bersama-sama menimba ilmu di MA MA’ARIF di bawah naungan Ponpes AL-LATHIF. Aku nyantri di sana. Sedangkan Affan hanya anak rumahan biasa. Teman-teman biasa memanggilku dengan sebutan Alif. Nama yang sangat singkat bagiku.
Malam itu malam Selasa. Selesai ngaji bersama, di papan pengumuman, aku melihat sebuah pengumuman.

SUSUNAN PENGURUS PERIODE 2008-2009
Ketua : Nisa k
Wk ketua : Iffa mj
Sekertaris : Firo A
Wk sekertaris : Ani N
Bendahara : Farida M
Wk bendahara : Kholida
Seksi-Seksi
Keamanan : - Faiza
- Fiya
- Alif

“Masya Allah!” dalam hatiku, aku kaget. Seraya ingin pingsan.
“Mengapa aku bisa menjadi pengurus? Kok bisa? Gak mungkin!” aku bicara dalam hati. Sementara itu, di sampingku teman-teman meledekku.
“ Ya Allah Alif, jadi keamanan! Gak salah tuh..?”
“Alif jadi keamanan! Apa gak perlu diamankan?”
“Alif jadi keamanan! Apa kebalik matanya yang Nunjuk?”
Ledekkan teman-temanku terngiang-ngiang di telingaku. Aku hanya bisa diam. Membisu dan membatu. Aku tak berani membantah.

Dan malam itu juga, aku memberanikan diri datang ke kamar mbak ketua. Yaitu Mbak Nisa. Di sana aku bertanya-tanya tentang posisiku.
“Mbak Nisa, apa gak salah Mbak Nisa memilih aku menjadi keamanan pondok?” tanyaku baik-baik.

“Alif, aku memandang kamu itu Insya Allah bisa menjalankan tugas ini.” jawabnya dengan lembut.
“ Tapi Mbak…” belum sempat aku meneruskan kata-kataku.
“Udahlah Lif, ini juga sudah keputusan dari dhalem. Kata Ibu Nyai, Alif pantas jadi keamanan. Kalau nggak mau, ya kamu ke ndhalem aja. Lagian kamu itu sudah di percaya sama ndhalem. Jangan salah gunakan kepercayaan itu Lif’.” kata Mbak Nisa menjelaskan panjang lebar.

Aku mencoba memahami kata-kata Mbak Nisa. Sejenak aku merenung memikirkanya. Ya… aku telah dipercaya oleh ndhalem, kenapa aku menyia-nyiakannya? ini adalah kebanggaan besar buatku. Tapi aku mempunyai sorang kekasih. Affan. Lalu bagaima dengan dia? Apakah aku harus meninggalkannya? Tidak mungkin. Aku nggak akan meninggalkannya. Aku sangat mencintainya. Begitupun dia.
“Tapi Mbak, aku punya Affan. Mbak tau Affan kan? Bagaimana dengan dia? Aku nggak mungkin meninggalkannya!”
“Alif, sekarang terserah kamu. Keputusan ada di tangan kamu. Kamu pilih Affan apa pondok kamu. Tapi kalau menurutku, labih baik kamu memilih pondok kamu.”
“ Ya udalah Mbak, biar aku pikir-pikir dulu. Aku balik ke kamar dulu yah.” pamitku

Dugaanku benar. Santri-santri di dalam kamarku meledekku. “Lif kamu kok bisa ya jadi keamanan, padahal kamu kan anak nakal. Tiap hari aja kamu bermesraan dengan Affan. Bagaimana dengan anak buahmu? Pemimpinnya saja seorang yang tiap harinya bermesraan di sekolah. Ihh mau jadi apa pondok kita, iya kan?” kata seorang temanku. Sangat meyakitkan. Sangat menusuk hatiku. Tapi dari kata-kata itulah aku berfikir bahwa aku tidak seperti itu. Aku akan membuktikan bahwa aku takkan selamanya seperti ini.

Tet… tet… tet… bel berdering memecah sunyinya malam. Bel menunjukkan bahwa jama’ah tahjjud akan segera dimulai. Para santri segera bangun. Dan mengambil air wudlu untuk mengikuti jama’ah sholat tahajjud. Begitupun juga denganku. Aku bergegas mengambil air wudlu. Dan berangkat menuju ke musholla. Seperti biasa, setelah selesai berjama’ah aku tidak langsung ke kamar. Tapi aku meneruskan memuji nama-nama kebesaran Allah. Kulihat jam menunjukkan pukul 04.30, tak lama kemudian suara adzan nan merdunya bergema memecahkan sunyi senyap heningnya malam. Para santri Al Latif segera menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlu.

Setelah sholat subuh, aku menyempatkan diri datang ke kamar Mbak Nisa.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam. Ada apa Lif?“ tanya Mbak Nisa.
“Begini Mbak,” kataku sambil mengambil duduk di samping Mbak Nisa.
“Mbak, tadi malam aku sudah memikirkannya. Dan aku……” begitu ungkapku.
Dan aku menceritakan apa yang kualami tadi malam. Mbak Nisa kagum padaku. Dia semakin percaya bahwa aku bisa melakukan tugas ini.

“Tapi Mbak, aku minta satu permohonan.”
“Apa itu?”
“Izinkan aku bertemu dengan Affan kali ini saja.”
“Tapi Lif!”
“Mbak, ini yang terakhir. Aku akan menceritakan bagaimana posisiku sekarang, agar dia tahu. Mbak, ku mohon kali ini saja. Ini yang terakhir kalinya.” pintaku dengan wajah memelas. Mbak Nisa diam. Mungkin dia sedang memikirkan aku.
“Ini yang terakhir ya Lif!”
“Iya Mbak. Aku janji, ini yang terakhir!”
“Baiklah aku percaya sama kamu.”
Aku pun mengucapkan terima kasih pada Mbak Nisa berulang-ulang kali sampai Mbak Nisa kualahan.

Aku berangkat ke sekolah dengan jalan kaki. Dalam perjalananku, aku bertemu dengan Isa. Teman sekelasku. Dia menanyakan kabarku. Kabar hubunganku dengan Affan. Kujawab semua baik-baik saja, padahal ada sedikit yang enggak beres.

“Maafkan aku Isa. Aku membohongimu.” kataku dalam hati.
Sampai di depan gerbang, aku melihat Candra. Teman sekelas Affan. Aku memanggilnya dan menuju ke arahnya. Kutinggalkan Isa sendiri. Candra menoleh dan berhenti menungguku.
“Ada apa?”
“Nanti tolong bilang sama Affan, kutunggu di kantin sekolah setelah istirahat. Aku mau ngomong sama dia. Bilang ini penting banget!”
“Okey bos!” dengan mengacungkan jempolnya tanda ia mau menolongku.

Di dalam kelas aku jenuh banget. Waktunya matematika lagi. “Kapan istirahat. Kapan istirahat.” kataku dalam hati.
Aku nggak bisa ngebayangin bagaimana ekspresi wajahnya ketika aku mengatakan semuanya. Aku takut. Gimana kalau dia marah-marah? Gimana kalau dia mutusin aku? Kalau dia ninggalin aku, gimana? Aku nggak mau ini semua terjadi. Aku nggak mau berpisah dengannya. Aku sangat menyayangi dan mencintainya.

Lamunanku masih berkepanjangan. Aku tersentak kaget, saat seorang teman mengagetkanku.
“Ada apa Lif? Dari tadi aku lihat kamu nggak ngedengerin pelajaran. Tapi malah ngelamun?” tanya Ririn teman sebangkuku.
“Nggak ada apa-apa kok Rin. Kamu tenang saja!”
“Kamu jangan bohong. Dari mata kamu itu sudah terlihat jelas kalu kamu nyimpan sesuatu. Cerita dong! Apa salahnya sih!”
aku tetap tidak mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi denganku.

Para siswa siswi MA Ma’arif silih berganti keluar masuk pintu kantin. Aku pun juga masuk ke kantin. Aku tengak-tengokkan kepala kekanan dan kekiri, seseorang yang kucari ternyata membawa segelas es yang segar. Sementara itu, kupandangi, kuaduk-aduk es yang ada di depanku. Andai aku jadi es, aku akan tetap segar walaupun aku tidak bersemangat. Aku kaget ada seorang pria duduk di hadapanku.

“Affan! Kamu ngagetin aku saja dech.”
“Ada apa? Katanya mau ngomong penting?”
“Dengerin ya Fan. Insya Allah aku sudah nggak bisa bertemu lagi.”
Spontan Affan Kaget. “Maksudnya putus Lif? Lif, aku nggak mau kehilanganmu. Lif, aku mencintaimu. Aku nggak mau berpisah denganmu.”
Lalu aku menceritakan semua pada Affan tentang posisiku sekarang. Tentang perasaanku. Tentang sikapnya padaku.

“Nggak, nggak putus kok! Yang kumaksud, kita nggak bisa ketemu. Sebenarnya aku nggak mau ini semua terjadi. Aku nggak mau berpisah sama kamu Fan. Tapi kita kan masih bisa bertemu walaupun itu cuma memandang. Kumohon Fan, mengertilah posisiku sekarang.”
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Affan. Affan hanya diam. Mungkin ia sedang berfikir bagaimana nasib cerita ini.

“Kumohon mengertilah Fan!” kucoba mengawali pembicaran setelah lama terlarut dalam keheningan. Seraya menegaskan ungkapanku yang sebelumnya.
“Aku bisa mengerti posisimu sekarang. Baiklah aku menerimanya. Mungkin ini adalah ujian yang diberikan Allah untuk cinta kita. Tapi, sampai kapan ini akan terus berjalan?”
“Entahlah Fan, aku juga tidak tahu sampai kapan ini. Kita jalani saja dulu.”

Tak terasa di kantin hanya ada kita berdua. Bel sudah berlalu sejak tadi. Affan memapahku sampai depan kelasku. Kami berpisah di sana. Kupandangi punggung Affan yang semakin menjauh. Dalam hatiku berkata “Sampai kapan cinta ini kan begini.”
Itulah pertemuan terakhirku dengan Affan. Pertemuan yang tak akan kulupakan. Dan tak akan pernah hilang sampai kapanpun.

Hari-hari kujalani dengan penuh rindu. Gelisah melebur jadi satu dalam hatiku. Aku ingin memuntahkannya. Tapi bagaimana? Sedangkan aku terikat dalam sebuah sumpah. Ya….sumpah yang aku ucapkan saat malam pelantikannku. Aku tak boleh melanggarnya. Aku hanya bisa memandang Affan dari jarak jauh. Dia bergurau dengan teman-temannya. Dia tertawa. Kelihatannya dia bahagia. Aku sampai berpikir, apa yang dia rasakan saat ini? Apakah dia merasakan apa yang kurasakan saat ini? Atau justru malah sebaliknya? Dia senang menerima ujian ini semua! Aku tak tahu itu. Yang kutahu sekarang dia bahagia bersama teman-temannya. Tapi kenapa hari ini dia bahagia? Mungkin dia tidak mau memperlihatkan kesedihannya di depan teman-temannya.

Waktu memang cepat berlalu. 1 tahun sudah aku mengalami hari-hariku dengan rasa cintaku. Dengan rasa rindu berat yang tersimpan di dalam dadaku. Selesai pulang dari pengajian, aku berjalan di pinggir jalan raya. Aku tertunduk memandangi halusnya jalan raya di hiasi batu-batu kecil di pinggirnya. Aku berandai-andai. Aku membanyangkan seandainya ujian cintaku sudah berakhir. Dan aku sudah lulus dari sekolah. Selisih 1 tahun, aku di lamar oleh Affan. Dan aku menikah dengannya. Kemudian aku mempunyai 3 orang anak. 2 laki-laki dan 1 perempuan. Aku dan Affan akan merawatnya bersama dengan penuh rasa kasih sayang sampai mereka dewasa. Pasti suasana seperti itu akan sangat membahagiakan hati.

Entah kenapa tiba-tiba kakiku berhenti di depan sebuah toko. Kakiku berjalan menuju toko itu. Aku membeli sebuah kertas dan bolpoin. Lalu aku menulis sebuah surat. Surat itu kutujukan ke Affan. Dan aku meninggalkan toko itu. Aku kembali meneruskan perjalanan. Aku tak tahu mengapa aku mengirim surat itu pada Affan. Ririn menerimanya dan berjanji akan memberikannya pada Affan. Ririn pergi meninggalkanku sendiri. Aku membiarkannya. Aku masih berjalan tanpa tau kemana aku pergi, pandanganku kosong, aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Kenapa aku begini? Seolah-olah aku seperti orang linglung. Tiba-tiba sebuah bus menabrakku. Aku melihat jasadku berlumuran darah dan dikelilingi oleh orang-orang. Tak lama kemudian mobil ambulan datang membawa jasadku. Masya Allah, aku telah mati. Aku sudah mati ditabrak oleh bus tadi.

Bagaimana dengan pondokku. Sekolahku. Kemudian kekasihku, Affan. Pasti dia sangat gelisah. Aku melihat di antara kerumunan orang-orang itu salah satunya adalah Ririn. Kemudian dia meninggalkan kerumunan itu. Aku tak tahu dia pergi ke mana. Maka dari itu, aku mengikutinya di belakang “Ririn…Ririn “ panggilku. Dia tak peduli. Kucoba sekali lagi, tapi dia masih tetap tak memperduliakan panggilanku. Aku pun baru sadar, kalau aku sudah mati. Percuma aku memanggilnya. Dia takkan pernah mendengarkanku. Jadi, aku hanya bisa mengikutinya dari belakang.

Tak kusangka, ia datang ke rumah Affan. Mungkin dia menyampaikan kabar tentang diriku. Dan mengantarkan suratku. Dugaanku memang benar. Ririn menyampaikan kabar tentang diriku.

“Mengapa ini bisa terjadi Rin?” kata Affan kaget.
”Aku juga tak tahu Fan. Aku juga kaget ketika menerima berita kematian Alif.”
keduanya menitihkan air mata. Aku tak kuasa melihatnya.

“Rin, sudah 1 tahun aku tak bertemu dengan Alif. Aku mencoba untuk menahan rasa rinduku pada Alif. Itu demi Alif. Tapi mengapa ia sekarang malah meningalkanku Rin? Alif kamu jahat banget. Kamu tak memberi tahu aku dulu kalau kamu akan meninggalkanku.”

“Fan suadahlah. Ini semua sudah ada yang ngatur. Fan, ini!” sambil menyodorkan sebuah surat.
“Apa ini?”
“Ini dari Alif, sebelum kecelakaan itu terjadi. Alif bertemu denganku dan menitipkan ini untukmu.”
Affan menerimanya dan membukanya. Kemudian ia membacanya.

Assalamu’alaikum
For : Affan
Affan……! Ingatlah selalu. Aku di sini akan setia selalu. Dan aku takkan pernah meninggalkanmu walaupun sampai ajal menjemputku, karena dirimu telah menyatu di dalam hasratku.
Tak pernah kuragukan cintamu itu. Atau aku curiga bahwa kau hianati aku. Karena aku dan kau kini telah melebur menjadi satu dalam ikatan cinta yang telah kita bina selama ini.
Damai kurasakan hati ini saat dirimu ada bersamaku. Tawa dan candamu selalu mewarnai hari-hari yang kita lewati berdua.
Tapi kini…….. jangan menangis Sayang. Aku kan selalu bersamamu.
Wassalam
From : Alif

Dengan deraian air mata dan tanpa sepatah kata, Affan meninggalkan Ririn yang berada di sampingnya. Aku mengikutinya dari belakang. Begitupun Ririn. Aku tak tahu Affan mau kemana. Dia masuk kesebuah gang yang pernah aku melewatinya. Dia masuk ke sebuah rumah, di mana rumah itu banyak orang yang berpakain hitam dan terdengar bacaan Yasin mengalun dengan merdunya. Itu rumahku. Ternyata Affan ingin melihatku untuk yang terakhir kalinya.

Aku jadi teringat akan pertemuanku dengan Affan pertama kali. Waktu itu aku dan Affan sama-sama mengikuti acara sekolah. Awalnya kami tak kenal, tapi entah mengapa waktu itu seperti sudah lama saling mengenal. Mungkin Allah sudah merencanakan ini semua. Ternyata benar. Setelah melewati waktu yang cukup lama untuk menjalin sebuah kisah cinta, ternyata hanya sampai di sini kisah cintaku berakhir. Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan Affan kedepannya. Apakah dia mencari penggantiku atau tidak? Tapi kuharap begitu.

Jasadku sudah dimasukkan peti. Dan dipikul di depan rumahku. Tak lama kemudian segerombol orang berpakain hitam berjalan menuju masjid untuk men-sholatiku. Selesai sudah acara men-sholatiku. Mereka meneruskan perjalanan menuju sebuah pemakaman umum.

Jasadku dibopong dan dimasukkan ke dalam liang lahat. Dan menimbunku dengan tanah. Aku melihat itu semua. Aku juga melihat Affan. Dia meneteskan air mata, seraya tak rela dengan kepergianku untuk selama-lamanya. Lalu ada seseorang di sampingnya. Dan merangkulnya.

Mereka semua meninggalkan rumah abadiku. Kecuali Affan. Kenapa dia masih di sini? Dia duduk di dekat batu nisanku. Kemudian dia berbicara di atas tanah persemayamanku.
“Alif sayang, kau jahat. Kau pergi meningalkanku tanpa pesan. Tahukah kamu, sungguh aku sangat menyayangimu. Aku sangat mencintaimu. Aku tak ingin kita berpisah. Tapi aku yakin, kamu sebenarnya tidak mati. Hanya saja jasadmu telah berpisah dari nyawamu. Aku percaya kalau kamu tidak akan melupakanku. Begitupun denganku. Aku takkan melupakanmu. Hati kita masih menyatu Sayang. Meskipun kita tak bisa bertemu lagi.

“Aku sekarang ada di depanmu Fan. Aku ingin memelukmu untuk yang terakhir kali. Tapi sayang, itu semua takkan bisa terjadi.” begitu ungkapku.
Walau berribu bahasa telah kuucapkan, kata-kataku tak kunjung sampai pada Affan. Ia tak bisa mendengarkan ungkapanku. Affan berdiri. Kemudian memalingkan badannya. Pergi meninggalkanku sendiri. Meninggalkanku yang telah membumi. Dan hanya tinggal pusara yang jadi prasasti abadi cinta yang sempat bersemi.**

PP. Matholi’ul Anwar, 03 Maret 2008

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati