A. Hana N.S
Oh… mungkin ini adalah ujian yang di berikan Tuhan padaku. Aku harus mengalami kisah cinta yang begitu menguji kesabaranku dengannya. Affantri adalah kekasihku. Kekasih setiaku. Dia biasa di panggil Affan. Dia menerimaku apa adanya. Kami bersama-sama menimba ilmu di MA MA’ARIF di bawah naungan Ponpes AL-LATHIF. Aku nyantri di sana. Sedangkan Affan hanya anak rumahan biasa. Teman-teman biasa memanggilku dengan sebutan Alif. Nama yang sangat singkat bagiku.
Malam itu malam Selasa. Selesai ngaji bersama, di papan pengumuman, aku melihat sebuah pengumuman.
SUSUNAN PENGURUS PERIODE 2008-2009
Ketua : Nisa k
Wk ketua : Iffa mj
Sekertaris : Firo A
Wk sekertaris : Ani N
Bendahara : Farida M
Wk bendahara : Kholida
Seksi-Seksi
Keamanan : - Faiza
- Fiya
- Alif
“Masya Allah!” dalam hatiku, aku kaget. Seraya ingin pingsan.
“Mengapa aku bisa menjadi pengurus? Kok bisa? Gak mungkin!” aku bicara dalam hati. Sementara itu, di sampingku teman-teman meledekku.
“ Ya Allah Alif, jadi keamanan! Gak salah tuh..?”
“Alif jadi keamanan! Apa gak perlu diamankan?”
“Alif jadi keamanan! Apa kebalik matanya yang Nunjuk?”
Ledekkan teman-temanku terngiang-ngiang di telingaku. Aku hanya bisa diam. Membisu dan membatu. Aku tak berani membantah.
Dan malam itu juga, aku memberanikan diri datang ke kamar mbak ketua. Yaitu Mbak Nisa. Di sana aku bertanya-tanya tentang posisiku.
“Mbak Nisa, apa gak salah Mbak Nisa memilih aku menjadi keamanan pondok?” tanyaku baik-baik.
“Alif, aku memandang kamu itu Insya Allah bisa menjalankan tugas ini.” jawabnya dengan lembut.
“ Tapi Mbak…” belum sempat aku meneruskan kata-kataku.
“Udahlah Lif, ini juga sudah keputusan dari dhalem. Kata Ibu Nyai, Alif pantas jadi keamanan. Kalau nggak mau, ya kamu ke ndhalem aja. Lagian kamu itu sudah di percaya sama ndhalem. Jangan salah gunakan kepercayaan itu Lif’.” kata Mbak Nisa menjelaskan panjang lebar.
Aku mencoba memahami kata-kata Mbak Nisa. Sejenak aku merenung memikirkanya. Ya… aku telah dipercaya oleh ndhalem, kenapa aku menyia-nyiakannya? ini adalah kebanggaan besar buatku. Tapi aku mempunyai sorang kekasih. Affan. Lalu bagaima dengan dia? Apakah aku harus meninggalkannya? Tidak mungkin. Aku nggak akan meninggalkannya. Aku sangat mencintainya. Begitupun dia.
“Tapi Mbak, aku punya Affan. Mbak tau Affan kan? Bagaimana dengan dia? Aku nggak mungkin meninggalkannya!”
“Alif, sekarang terserah kamu. Keputusan ada di tangan kamu. Kamu pilih Affan apa pondok kamu. Tapi kalau menurutku, labih baik kamu memilih pondok kamu.”
“ Ya udalah Mbak, biar aku pikir-pikir dulu. Aku balik ke kamar dulu yah.” pamitku
Dugaanku benar. Santri-santri di dalam kamarku meledekku. “Lif kamu kok bisa ya jadi keamanan, padahal kamu kan anak nakal. Tiap hari aja kamu bermesraan dengan Affan. Bagaimana dengan anak buahmu? Pemimpinnya saja seorang yang tiap harinya bermesraan di sekolah. Ihh mau jadi apa pondok kita, iya kan?” kata seorang temanku. Sangat meyakitkan. Sangat menusuk hatiku. Tapi dari kata-kata itulah aku berfikir bahwa aku tidak seperti itu. Aku akan membuktikan bahwa aku takkan selamanya seperti ini.
Tet… tet… tet… bel berdering memecah sunyinya malam. Bel menunjukkan bahwa jama’ah tahjjud akan segera dimulai. Para santri segera bangun. Dan mengambil air wudlu untuk mengikuti jama’ah sholat tahajjud. Begitupun juga denganku. Aku bergegas mengambil air wudlu. Dan berangkat menuju ke musholla. Seperti biasa, setelah selesai berjama’ah aku tidak langsung ke kamar. Tapi aku meneruskan memuji nama-nama kebesaran Allah. Kulihat jam menunjukkan pukul 04.30, tak lama kemudian suara adzan nan merdunya bergema memecahkan sunyi senyap heningnya malam. Para santri Al Latif segera menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlu.
Setelah sholat subuh, aku menyempatkan diri datang ke kamar Mbak Nisa.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam. Ada apa Lif?“ tanya Mbak Nisa.
“Begini Mbak,” kataku sambil mengambil duduk di samping Mbak Nisa.
“Mbak, tadi malam aku sudah memikirkannya. Dan aku……” begitu ungkapku.
Dan aku menceritakan apa yang kualami tadi malam. Mbak Nisa kagum padaku. Dia semakin percaya bahwa aku bisa melakukan tugas ini.
“Tapi Mbak, aku minta satu permohonan.”
“Apa itu?”
“Izinkan aku bertemu dengan Affan kali ini saja.”
“Tapi Lif!”
“Mbak, ini yang terakhir. Aku akan menceritakan bagaimana posisiku sekarang, agar dia tahu. Mbak, ku mohon kali ini saja. Ini yang terakhir kalinya.” pintaku dengan wajah memelas. Mbak Nisa diam. Mungkin dia sedang memikirkan aku.
“Ini yang terakhir ya Lif!”
“Iya Mbak. Aku janji, ini yang terakhir!”
“Baiklah aku percaya sama kamu.”
Aku pun mengucapkan terima kasih pada Mbak Nisa berulang-ulang kali sampai Mbak Nisa kualahan.
Aku berangkat ke sekolah dengan jalan kaki. Dalam perjalananku, aku bertemu dengan Isa. Teman sekelasku. Dia menanyakan kabarku. Kabar hubunganku dengan Affan. Kujawab semua baik-baik saja, padahal ada sedikit yang enggak beres.
“Maafkan aku Isa. Aku membohongimu.” kataku dalam hati.
Sampai di depan gerbang, aku melihat Candra. Teman sekelas Affan. Aku memanggilnya dan menuju ke arahnya. Kutinggalkan Isa sendiri. Candra menoleh dan berhenti menungguku.
“Ada apa?”
“Nanti tolong bilang sama Affan, kutunggu di kantin sekolah setelah istirahat. Aku mau ngomong sama dia. Bilang ini penting banget!”
“Okey bos!” dengan mengacungkan jempolnya tanda ia mau menolongku.
Di dalam kelas aku jenuh banget. Waktunya matematika lagi. “Kapan istirahat. Kapan istirahat.” kataku dalam hati.
Aku nggak bisa ngebayangin bagaimana ekspresi wajahnya ketika aku mengatakan semuanya. Aku takut. Gimana kalau dia marah-marah? Gimana kalau dia mutusin aku? Kalau dia ninggalin aku, gimana? Aku nggak mau ini semua terjadi. Aku nggak mau berpisah dengannya. Aku sangat menyayangi dan mencintainya.
Lamunanku masih berkepanjangan. Aku tersentak kaget, saat seorang teman mengagetkanku.
“Ada apa Lif? Dari tadi aku lihat kamu nggak ngedengerin pelajaran. Tapi malah ngelamun?” tanya Ririn teman sebangkuku.
“Nggak ada apa-apa kok Rin. Kamu tenang saja!”
“Kamu jangan bohong. Dari mata kamu itu sudah terlihat jelas kalu kamu nyimpan sesuatu. Cerita dong! Apa salahnya sih!”
aku tetap tidak mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi denganku.
Para siswa siswi MA Ma’arif silih berganti keluar masuk pintu kantin. Aku pun juga masuk ke kantin. Aku tengak-tengokkan kepala kekanan dan kekiri, seseorang yang kucari ternyata membawa segelas es yang segar. Sementara itu, kupandangi, kuaduk-aduk es yang ada di depanku. Andai aku jadi es, aku akan tetap segar walaupun aku tidak bersemangat. Aku kaget ada seorang pria duduk di hadapanku.
“Affan! Kamu ngagetin aku saja dech.”
“Ada apa? Katanya mau ngomong penting?”
“Dengerin ya Fan. Insya Allah aku sudah nggak bisa bertemu lagi.”
Spontan Affan Kaget. “Maksudnya putus Lif? Lif, aku nggak mau kehilanganmu. Lif, aku mencintaimu. Aku nggak mau berpisah denganmu.”
Lalu aku menceritakan semua pada Affan tentang posisiku sekarang. Tentang perasaanku. Tentang sikapnya padaku.
“Nggak, nggak putus kok! Yang kumaksud, kita nggak bisa ketemu. Sebenarnya aku nggak mau ini semua terjadi. Aku nggak mau berpisah sama kamu Fan. Tapi kita kan masih bisa bertemu walaupun itu cuma memandang. Kumohon Fan, mengertilah posisiku sekarang.”
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Affan. Affan hanya diam. Mungkin ia sedang berfikir bagaimana nasib cerita ini.
“Kumohon mengertilah Fan!” kucoba mengawali pembicaran setelah lama terlarut dalam keheningan. Seraya menegaskan ungkapanku yang sebelumnya.
“Aku bisa mengerti posisimu sekarang. Baiklah aku menerimanya. Mungkin ini adalah ujian yang diberikan Allah untuk cinta kita. Tapi, sampai kapan ini akan terus berjalan?”
“Entahlah Fan, aku juga tidak tahu sampai kapan ini. Kita jalani saja dulu.”
Tak terasa di kantin hanya ada kita berdua. Bel sudah berlalu sejak tadi. Affan memapahku sampai depan kelasku. Kami berpisah di sana. Kupandangi punggung Affan yang semakin menjauh. Dalam hatiku berkata “Sampai kapan cinta ini kan begini.”
Itulah pertemuan terakhirku dengan Affan. Pertemuan yang tak akan kulupakan. Dan tak akan pernah hilang sampai kapanpun.
Hari-hari kujalani dengan penuh rindu. Gelisah melebur jadi satu dalam hatiku. Aku ingin memuntahkannya. Tapi bagaimana? Sedangkan aku terikat dalam sebuah sumpah. Ya….sumpah yang aku ucapkan saat malam pelantikannku. Aku tak boleh melanggarnya. Aku hanya bisa memandang Affan dari jarak jauh. Dia bergurau dengan teman-temannya. Dia tertawa. Kelihatannya dia bahagia. Aku sampai berpikir, apa yang dia rasakan saat ini? Apakah dia merasakan apa yang kurasakan saat ini? Atau justru malah sebaliknya? Dia senang menerima ujian ini semua! Aku tak tahu itu. Yang kutahu sekarang dia bahagia bersama teman-temannya. Tapi kenapa hari ini dia bahagia? Mungkin dia tidak mau memperlihatkan kesedihannya di depan teman-temannya.
Waktu memang cepat berlalu. 1 tahun sudah aku mengalami hari-hariku dengan rasa cintaku. Dengan rasa rindu berat yang tersimpan di dalam dadaku. Selesai pulang dari pengajian, aku berjalan di pinggir jalan raya. Aku tertunduk memandangi halusnya jalan raya di hiasi batu-batu kecil di pinggirnya. Aku berandai-andai. Aku membanyangkan seandainya ujian cintaku sudah berakhir. Dan aku sudah lulus dari sekolah. Selisih 1 tahun, aku di lamar oleh Affan. Dan aku menikah dengannya. Kemudian aku mempunyai 3 orang anak. 2 laki-laki dan 1 perempuan. Aku dan Affan akan merawatnya bersama dengan penuh rasa kasih sayang sampai mereka dewasa. Pasti suasana seperti itu akan sangat membahagiakan hati.
Entah kenapa tiba-tiba kakiku berhenti di depan sebuah toko. Kakiku berjalan menuju toko itu. Aku membeli sebuah kertas dan bolpoin. Lalu aku menulis sebuah surat. Surat itu kutujukan ke Affan. Dan aku meninggalkan toko itu. Aku kembali meneruskan perjalanan. Aku tak tahu mengapa aku mengirim surat itu pada Affan. Ririn menerimanya dan berjanji akan memberikannya pada Affan. Ririn pergi meninggalkanku sendiri. Aku membiarkannya. Aku masih berjalan tanpa tau kemana aku pergi, pandanganku kosong, aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Kenapa aku begini? Seolah-olah aku seperti orang linglung. Tiba-tiba sebuah bus menabrakku. Aku melihat jasadku berlumuran darah dan dikelilingi oleh orang-orang. Tak lama kemudian mobil ambulan datang membawa jasadku. Masya Allah, aku telah mati. Aku sudah mati ditabrak oleh bus tadi.
Bagaimana dengan pondokku. Sekolahku. Kemudian kekasihku, Affan. Pasti dia sangat gelisah. Aku melihat di antara kerumunan orang-orang itu salah satunya adalah Ririn. Kemudian dia meninggalkan kerumunan itu. Aku tak tahu dia pergi ke mana. Maka dari itu, aku mengikutinya di belakang “Ririn…Ririn “ panggilku. Dia tak peduli. Kucoba sekali lagi, tapi dia masih tetap tak memperduliakan panggilanku. Aku pun baru sadar, kalau aku sudah mati. Percuma aku memanggilnya. Dia takkan pernah mendengarkanku. Jadi, aku hanya bisa mengikutinya dari belakang.
Tak kusangka, ia datang ke rumah Affan. Mungkin dia menyampaikan kabar tentang diriku. Dan mengantarkan suratku. Dugaanku memang benar. Ririn menyampaikan kabar tentang diriku.
“Mengapa ini bisa terjadi Rin?” kata Affan kaget.
”Aku juga tak tahu Fan. Aku juga kaget ketika menerima berita kematian Alif.”
keduanya menitihkan air mata. Aku tak kuasa melihatnya.
“Rin, sudah 1 tahun aku tak bertemu dengan Alif. Aku mencoba untuk menahan rasa rinduku pada Alif. Itu demi Alif. Tapi mengapa ia sekarang malah meningalkanku Rin? Alif kamu jahat banget. Kamu tak memberi tahu aku dulu kalau kamu akan meninggalkanku.”
“Fan suadahlah. Ini semua sudah ada yang ngatur. Fan, ini!” sambil menyodorkan sebuah surat.
“Apa ini?”
“Ini dari Alif, sebelum kecelakaan itu terjadi. Alif bertemu denganku dan menitipkan ini untukmu.”
Affan menerimanya dan membukanya. Kemudian ia membacanya.
Assalamu’alaikum
For : Affan
Affan……! Ingatlah selalu. Aku di sini akan setia selalu. Dan aku takkan pernah meninggalkanmu walaupun sampai ajal menjemputku, karena dirimu telah menyatu di dalam hasratku.
Tak pernah kuragukan cintamu itu. Atau aku curiga bahwa kau hianati aku. Karena aku dan kau kini telah melebur menjadi satu dalam ikatan cinta yang telah kita bina selama ini.
Damai kurasakan hati ini saat dirimu ada bersamaku. Tawa dan candamu selalu mewarnai hari-hari yang kita lewati berdua.
Tapi kini…….. jangan menangis Sayang. Aku kan selalu bersamamu.
Wassalam
From : Alif
Dengan deraian air mata dan tanpa sepatah kata, Affan meninggalkan Ririn yang berada di sampingnya. Aku mengikutinya dari belakang. Begitupun Ririn. Aku tak tahu Affan mau kemana. Dia masuk kesebuah gang yang pernah aku melewatinya. Dia masuk ke sebuah rumah, di mana rumah itu banyak orang yang berpakain hitam dan terdengar bacaan Yasin mengalun dengan merdunya. Itu rumahku. Ternyata Affan ingin melihatku untuk yang terakhir kalinya.
Aku jadi teringat akan pertemuanku dengan Affan pertama kali. Waktu itu aku dan Affan sama-sama mengikuti acara sekolah. Awalnya kami tak kenal, tapi entah mengapa waktu itu seperti sudah lama saling mengenal. Mungkin Allah sudah merencanakan ini semua. Ternyata benar. Setelah melewati waktu yang cukup lama untuk menjalin sebuah kisah cinta, ternyata hanya sampai di sini kisah cintaku berakhir. Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan Affan kedepannya. Apakah dia mencari penggantiku atau tidak? Tapi kuharap begitu.
Jasadku sudah dimasukkan peti. Dan dipikul di depan rumahku. Tak lama kemudian segerombol orang berpakain hitam berjalan menuju masjid untuk men-sholatiku. Selesai sudah acara men-sholatiku. Mereka meneruskan perjalanan menuju sebuah pemakaman umum.
Jasadku dibopong dan dimasukkan ke dalam liang lahat. Dan menimbunku dengan tanah. Aku melihat itu semua. Aku juga melihat Affan. Dia meneteskan air mata, seraya tak rela dengan kepergianku untuk selama-lamanya. Lalu ada seseorang di sampingnya. Dan merangkulnya.
Mereka semua meninggalkan rumah abadiku. Kecuali Affan. Kenapa dia masih di sini? Dia duduk di dekat batu nisanku. Kemudian dia berbicara di atas tanah persemayamanku.
“Alif sayang, kau jahat. Kau pergi meningalkanku tanpa pesan. Tahukah kamu, sungguh aku sangat menyayangimu. Aku sangat mencintaimu. Aku tak ingin kita berpisah. Tapi aku yakin, kamu sebenarnya tidak mati. Hanya saja jasadmu telah berpisah dari nyawamu. Aku percaya kalau kamu tidak akan melupakanku. Begitupun denganku. Aku takkan melupakanmu. Hati kita masih menyatu Sayang. Meskipun kita tak bisa bertemu lagi.
“Aku sekarang ada di depanmu Fan. Aku ingin memelukmu untuk yang terakhir kali. Tapi sayang, itu semua takkan bisa terjadi.” begitu ungkapku.
Walau berribu bahasa telah kuucapkan, kata-kataku tak kunjung sampai pada Affan. Ia tak bisa mendengarkan ungkapanku. Affan berdiri. Kemudian memalingkan badannya. Pergi meninggalkanku sendiri. Meninggalkanku yang telah membumi. Dan hanya tinggal pusara yang jadi prasasti abadi cinta yang sempat bersemi.**
PP. Matholi’ul Anwar, 03 Maret 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 21 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar