Jumat, 26 September 2008

Romo Mangun dalam Kacamata Saya yang Tebal

Bernando J. Sujibto

SASTRA humanistik yang berakar kepada konteks kehidupan akar rumput, sebuah upaya berkesenian yang kembali kepada fitrahnya (baca: littérature engagée), meminjam istilah Jean-Paul Sartre (Paris, 21 Juni 1905 – id. 15 April 1980), sastrawan eksistensialis Prancis, akan dengan mudah ditemukan dalam diri sosok sastrawan-novelis Y.B. Mangunwijaya. Posisi kesastrawanannya—dengan bergerak di ranah novel—menjadi media dalam melakukan refleksi tajam dan implementasi ruh kemanusiaan ke dalam kehidupan bersama rakyat kecil (wong cilik: Jawa) sehari-hari. Jadi tidak aneh jika hampir seluruh hidupnya selalu ditemukan di antara para gelandangan dan anak jalanan di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah, tempat paling banyak dihabiskannya untuk bekerja dalam panggilan kemanusiaan.

Sosok Y.B. Mangunwijaya (1929-1999) telah menjadi saksi sejarah bukan hanya untuk masyarakat Yogyakarta (baca: Jawa) tetapi bagi segenap bangsa Indonesia. Beliau telah melaksanakan misi kemanusiaan dengan gigih. Hari meninggalnya Romo Mangun, sapaan akrab sosok bersehaja yang pernah dimiliki bangsa ini, pada 10 Februari 2008 menjadi penting dihadirkan kembali di tengah kondisi bangsa dan negara yang kian rapuh dan tragis dengan persoalan-persoalan laten.

Di samping itu, Romo Mangun juga menjadi sosok ‘kebangkitan’ bangsa di tengah seabad Kebangkitan Nasional (1908-2008), sebuah momen yang dicita-citakannya menjadi semangat baru bagi kaum muda bangkit dan berjuang untuk bangsa ini.

Pejuang kemanusiaan bernama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya ini lahir di Ambaraawa, Semarang 6 Mei 1929 dan meninggal dunia di Jakarta, Rabu (10/02/1999) pukul 14.15 WIB. Predikat lain yang mendukung tersohornya Romo Mangun adalah sebagai budayawan, arsitek, penulis, dan rohaniwan. Anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah ini juga dikenal sebagai ikon penulis novel berlatar sejarah dalam konteks Jawa dengan wahana kebudayannya. Hal itu dibuktikan dengan dua novel magnum opus-nya yaitu Burung-burung Manyar (1982) (mendapatkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996) dan novel triloginya Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri (1983-1987).

Semangat pro-rakyat Romo Mangun terbangun sejak ia menjadi anggota Tentara Pelajar (TP) yang berjuang melawan penjajah. Di samping titisan darah sang Ayah yang menjadi DPRD Magelang pada masa revolusi fisik, spirit humanisme Romo Mangun tidak bisa dilepaskan dari realitas kehidupan rakyat kecil yang malang melintang dalam kehidupan kesehariannya.

Kedekatan Romo Mangun dengan rakyat kecil (wong cilik/grass roots) ditunjukkan dalam aktivitas kesehariannya seperti ketika dia membela nasib rakyat yang menjadi korban pembangunan waduk Kedungombo, Jawa Tengah, serta memperjuangkan nasib penduduk miskin di pinggiran kali Code, Yogyakarta.

Berkat perjuangannya bersama wong cilik di kali Code—dengan merancang pemukiman sepanjang tepi sungai itu—anak sulung dari 12 bersudara ini mendapatkan anugerah Aga Khan Award, penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, yang meneguhkannya sebagai Bapak arsitektur modern Indonesia.

Secara prinsipil ruh perjuangan sang Romo dapat ditemukan dalam Roro Mendut, novel tetralogi yang semkain meneguhkan konteks perjuangannya setelah novel Burung-burung Manyar. Representasi Roro Mendut, cerita rakyat Jawa berlatar abad 17-an, merupakan ranah gender yang menjadi persoalan rentan kemanusiaan di masa-masa penjajahan itu, di mana perempuan selalu menjadi korban kehidupan kemanusiaan waktu itu.

Keberanian Roro Mendut (perempuan molek yang tak ayal menjadi pusat mata para tentara Belanda dan petinggi kaum Pribumi) dalam menentukan masa depan dan pilihan hidupnya mempunyai nuansa pencerahan setidaknya dalam konteks itu. Mendut rela menderita mempertahankan cinta pilihannya sendiri dari pada menerima Wiroguno, lelaki kuat dan penguasa masa itu.

Kebebasan memilih hidup itulah yang menjadi warna dominan dalam novel yang mengajarakan tentang landasan nilai bagi kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre) untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

Kebangkitan
Namun, dalam seperempat akhir hayatnya Romo Mangun dihadapkan dan tersadarkan dengan kondisi kebangsaan yang terus merapuh. Semua itu ia suarakan dalam esai-esainya. Konteks kebangsaan yang menjadi perhatian dalam masa akhir-akhir karirnya sebenarnya sudah menjadi darah kehidupan sang Romo semenjak dia menjadi pembela tanah air dengan menjadi salah satu anggota TP di Jawa Tengah. Panggilan hidupnya yang semakin luhur itu menjadi renungan penting dalam konteks kehidupan kali ini.

Melalui tulisan esai-esainya yang tajam terutama masalah kebangkitan generasi muda dengan wawasan kebangsaannya yang berpijak kepada demokrasi yang konsisten, seperti diungkapkan oleh Catherine Mills, salah satu penulis tesis dengan mengangkat sipak terjang Romo Mangun di Curtin University, Perth, Australia, Romo Mangun selalu mengajak generasi bangsa Indonesia kembali merilis ulang spirit perjuangan yang telah dibuktikan oleh kaum muda pada masa penjajahan demi memperuangkan tanah airnya.

Dalam salah satu refleksi kritisnya tentang masa depan bangsa Romo Mangun menuliskan ihwal tahun-tahun simbolis yang musti diperhatikan generasi muda Indonesia dewasa ini, yaitu 2008, 2028, dan 2045 (Y.B. Mangunwijaya, 1999: 7). Ia merepresentasikan simbol tahun-tahun di atas bukan sebuah omong kosong. Karena bagi yang sadar sejarah, simbol angka di atas, khususnya 2028 dan 2045, adalah titik pijakan—atau embrio gerakan kebangkitan nasional—bagi bangsa Indonesia sehingga bisa terbebas dari "ketakutan-ketakutan" akibat penjajahan. Setidaknya, dua tahun itu (1928 dan 1945) telah melahirkan spirit Indonesia baru yang gemilang.

Hasil renungan tajam dan mendalam Romo Mangun tersebut adalah kado spesial buat generasi muda demi menyongsong tahun 2045, di mana Indonesia memasuki seabad HUT kemerdekaan yang diimpikan Romo Mangun kita (semua bangsa Indonesia) dapat memiliki negara dan masyarakat hukum yang bersih dan dapat dibanggakan, bebas dari ketakutan-ketakutan.

Kesadaran demikian tumbuh dan berkembang dari kultur dan tradisi Jawa yang kuat dalam kehidupan Romo Mangun. Ia seolah meneruskan spirit pemuda Boedi Oetomo (BO). Pendekatan kultur-budaya hingga lahir kesadaran ‘menjadi satu bangsa’ dilakukan oleh pendiri BO Dr. Radjiman dalam menggalang rasa kebangsaan yang berlandaskan kepada pola budaya tradisional. Sebagaimana disinyalir Robert Van Niel dalam tulisannya berjudul The Course of Indonesian History, pada awalnya tujuan mendirikan BO adalah mengembangkan kebudayaan Jawa (to promote Javanese cultural ideals). Tetapi pada gilirannya langkah BO telah menggugah spirit nasionalisme kepada semua rakyat Indonesia yang terkapar di bawah penjajah waktu itu. Latar belakang kearifan budaya lokal (Jawa) menjadi sarana Romo Mangun dalam menafsir wawasan nasionalisme dan demokrasi sejati bagi bangsa dan negara.

Berhubungan dengan isu Kebangkitan Nasional di atas menarik membaca ulang analisis yang ditandaskan oleh Sri Sultan HB X tentang seabad Kebangkitan Nasional, ihwal simbol tahun 2008 yang genap 100 tahun menjadi momen Kebangkitan Nasional, sekaligus 80 tahun Soempah Pemoeda dan bertepatan dengan 10 tahun reformasi yang secara resultantif, tahun 2008 seharusnya menjadi momen penting bagi pemuda untuk memprakarsai sebuah kebangkitan baru. Jika momen 1908 menyemaikan kemerdekaan, 1928 mempertegas bingkai cita-cita itu, 1945 memancang tonggak perwujudan cita-cita itu, maka pertanyaanya, momen 2008 akan menyemai apa, dan mewujudkan apa? Pertanyaan Sri Sultan HB X ini tentu harus menjadi perenungan panjang yang menuntut kesolidan sosok generasi muda bangsa yang cakap dan mumpuni dalam semua lini kehidupan yang sedang dibutuhkan dalam membangun masa depan bangsa dan negara.

Cita-cita Romo Mangun buat pemuda dan juga ‘kado’ dari sang Sultan di atas akan menjadi ironi yang menggodam ketika dihadapkan dengan realitas kehidupan generasi penerus bangsa yang cenderung rejuvenasi dan mengalami degradasi secara total—mencerminkan generasi sakit dan lumpuh seperti fenomena akhir-akhir ini!

(06-02-08)

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati