Puisi Wanda Merajut Cinta

Arif Firmansyah
http://www.korantempo.com/

Jakarta baru saja diguyur hujan lebat. Genangan air di jalanan belum pula mengering.
JAKARTA -- Jakarta baru saja diguyur hujan lebat. Genangan air di jalanan belum pula mengering. Bedug Magrib pada Rabu (5/11) itu belum lama berlalu mengantar buka puasa bagi yang melaksanakannya. Panas yang menyengat sejak siang hari kini berganti sejuk. Kering tenggorokan akibat dahaga terbayar lunas oleh seteguk air. Belasan tamu berderet di kafe QB Plaza, Pondok Indah, Jakarta Selatan tampak nikmat menyuap mulut mereka dengan setangkup makanan.

Hidangan buka puasa itu kian nikmat dikudap sambil menikmati gesekan biola dari seorang lelaki di sisi panggung kecil. Dia bukan menghibur tamu yang datang, tapi mengiringi Wanda membaca puisinya. Perempuan berkulit bersih dengan rambut setengah gimbal itu tengah meluncurkan buku kumpulan puisi berjudul Kembara Cinta.

Nama Leopolda Wanda W., biasa disebut Wanda, memang baru terdengar dalam dunia kepenyairan. Bahkan mungkin masih asing bagi sebagian orang, walaupun ia mulai menulis puisi sejak 1973. Buku Kembara Cinta yang diterbitkan Rudolf Studio, Ubud, Bali adalah karya pertamanya. Isinya setangkup puisi cinta yang ia tulis sejak lima tahun silam. Atas dorongan Rudolf G. Usman, seorang pelukis asal Bukittinggi, Wanda bersedia menerbitkan kumpulan puisinya.

Rudolf tak cuma mendorong, tapi memberikan beberapa lukisannya sebagai ilustrasi puisi Wanda. Paduan puisi dan lukisan yang sama romantisnya ini menghasilkan sebuah buku setebal 62 halaman. Dicetak terbatas 500 eksemplar untuk edisi sampul tebal dengan kertas mewah di bagian dalamnya. Hasilnya bukan cuma buku tentang puisi, tapi juga ruang pamer bagi lukisan Rudolf. Penyair Malaysia Dato Dr. Ahmad Kamal Abdullah membubuhi kata pengantar di dalamnya.

Sebagai pendatang baru tak banyak kehebohan yang ditawarkan Wanda. Gaya bahasanya begitu sederhana dalam bentuk tuturan, sepintas menyerupai ungkapan surat cinta. Tak ada kata dan kalimat yang merangsang pikiran dan emosi. Apalagi yang menggugah perasaan. "Puisi ini lebih banyak ungkapan perasaan," kata perempuan kelahiran Bukittinggi pada 1961 itu. Tak heran jika kalimat yang yang tertoreh cenderung melankolis dan romantis.

Wanda tampaknya paham betul bagaimana mengungkapkan cinta, terutama memilin kata agar pesan yang disampaikan langsung meresap ke dalam kalbu. Cintanya bukan cuma cinta pada manusia, tapi juga pada alam dan Tuhan. Simak puisi tanpa judul berikut ini. ...Betapa/Kukagumi/Caramu mencintaiku.... Atau puisi cinta pada alam seperti Puisi Alam, Bedugul, Malioboro, dan Parangtritis yang mengungkap rasa takjub dan kagum.

Selain sederhana bahasanya, puisi Wanda terbilang pendek dan beberapa puisi tanpa judul. Disebut pendek karena tak ada puisi yang memiliki lebih dari sepuluh baris kalimat. Satu baris kalimat biasanya cuma terdiri dari tiga atau empat kata. Bahkan tak sedikit pula yang cuma satu kata. Bisa jadi Wanda menganut gaya minimalis dalam menuangkan gagasan dan perasaannya. "Jika kelewat panjang saya khawatir terjadi bias makna," katanya.

Puisi pendek ini bisa jadi wujud spontanitas Wanda meresapi suatu peristiwa. Pasalnya, ia tergolong perempuan yang jarang menyimpan ide terlalu lama. Apa yang ia lihat, ia dengar, dan ia rasakan langsung dituangkan dalam bait-bait puisi. Sekali berkarya harus dituntaskan pada saat yang sama. Dengan pola itu tak heran jika puisi Wanda mengikuti seluruh perasaan dan ide yang ada di batok kepalanya.

Tentang puisi tanpa judul sebenarnya bukan hal baru. "Sejak dahulu puisi tanpa judul sudah dikenal," kata Jose Rizal Manua, penyair yang didaulat membaca lima karya Wanda pada malam pelucuran itu. Biasanya puisi model ini lebih mementingkan makna dari sekadar keindahan kata-kata. Jose sendiri pernah membuat puisi tanpa judul pada 1975. Demikian bunyinya: ...Tuhanku/Tutuplah Matahari/Siang ini, Kekasihku/Pulang sekolah....

Beberapa puisi tanpa judul Wanda sebagian bicara tentang dirinya dan sosok yang dicintai. Sebagin lain adalah perbincangannya dengan alam. Puisi itu lahir ketika, "Saya bisa menyatu dengan alam," katanya.

Kedekatannya dengan alam sebenarnya bisa dilacak pada masa lalunya. Wanda lahir dan besar di Bukittinggi, Sumatera Barat yang memiliki alam indah. Pesona ngarai, alam pegunungan, dan sungai berair jernih adalah sekelumit masa lalu yang tak bisa ia lupakan.

Salah satu kenangan kecil yang terus mewarnai perjalanan hidupnya adalah ketika hujan turun di kota kelahirannya. "Saat begitu saya selalu duduk di jendela menatap air hujan," katanya. Ia begitu takjub pada air yang jatuh dari langit dan menetes melalui genting rumahnya. Di mata Wanda tetesan itu membentuk imajinasi keindahan yang sangat mengagumkan. Dan, kekaguman itu tertuang dalam bait-bait puisi tiga dasawarsa kemudian.