Rabu, 14 Januari 2009

Kupu-kupu Kawat

Gde Agung Lontar
http://batampos.co.id/

Gadis kecil itu bernama Nirina. Usianya mungkin 8 atau 9 tahun. Wajahnya tirus, putih kepucatan, dengan tatap mata yang sayup. Tetapi, ia suka tersenyum. Dan ketika itu, tatapannya jadi berbinar seperti matahari di cerah pagi hari. Ia duduk di kursi roda yang dapat dilipat, yang disepuh krom mengilat, dengan tempat duduk kulit yang dilapis sebantal tipis. Sepasang kakinya kecil, dan lumpuh. Kata dokter, ia mengidap polio. Sudah berbilang tahun.

Setiap pagi hari, setelah dimandikan suster dan sarapan, Nirina suka duduk sendirian di taman. Ia menyenangi taman di depan rumah yang cukup besar itu. Meski taman itu sendiri tidak luas, tetapi di sana Nirina merasa teduh, dinaungi dedaunan sebatang pohon ketapang bujang, dan ditemani berbagai macam tumbuhan bebungaan. Di sanalah ia suka bercengkerama dengan mereka, dedaunan dan bebungaan, kumbang dan kupu-kupu, serta kekadang lebah dan belalang.

Kupu-kupu yang lucu,
ke mana engkau terbang,
tidakkah sayapmu,
merasa lelah.

Lihatlah, kupu-kupu itu terbang kian kemari. Mengepak-ngepakkan sayapnya bagai menari-nari. Sebentar terbang rendah, sebentar terbang tinggi. Sayap-sayapnya berkilauan, dilatar dedaunan selepas hujan, serta pelangi sesayup pandangan. Hendak ke manakah engkau gerangan?

Belakangan ini Nirina paling suka melihat kupu-kupu itu; entah kenapa. Entah karena warnanya cantik, kuning jingga dengan tepi disaput coklat muda; dan terlebih ada rona sepasang mata coklat tua kehitaman di sepasang sayapnya. Entah karena terbangnya lincah namun gemulai bagai menari-nari di angkasa. Entah karena kupu-kupu itu lebih jinak daripada lainnya, karena ia suka terbang di dekat-dekat Nirina. Entahlah. Yang jelas, menurut pengakuan gadis kecil itu, ia merasa kupu-kupu itu seperti adiknya sendiri.

”Karena aku melihatnya lahir.” akunya suatu kali.
“Nina melihat kupu-kupu itu lahir? Kapan?”
”Tiga hari yang lalu.”
”Bagaimana dia lahir?”

”Dia keluar dari gulungan daun yang lebar itu. Apakah kupu-kupu anaknya daun? Pantas saja sayapnya lebar-lebar seperti daun.”

”Kupu-kupu bukan anaknya daun. Daun bergulung itu kadang-kadang tempatnya kepompong. Orangtua kupu-kupu ya kupu-kupu juga.”

”Kepompong itu apa?”
”Kepompong itu adalah kupu-kupu yang sedang dieram.”
”Oo, jadi seperti ayam, dong. Jadi di dalamnya ada telur?”
”Ng …, bukan. Tapi ulat.”
”Ulat? Hii …. Kok ulat? Bukan telur?”

”Ng …, iya. Tadinya sih sebelum jadi ulat juga pada mulanya sebutir telur; tapi keciiil sekali. Setelah jadi ulat, dia makan daun sepuas-puasnya sampai gemuk. Nah, setelah itu baru bikin kulit kepompong dari air liurnya, kadang-kadang bergulung di dalam gulungan daun cukup lebar. Itu nantinya rumah tempat kepompong mengeram diri di dalamnya, biar hangat, supaya bisa berubah jadi kupu-kupu cantik nantinya.”

Tapi, mendengar uraian panjang-lebar itu, Nirina tampak melongo. Entah takjub, entah heran, entah tak . Ia kemudian berkomentar ringkas,

”Kok susah ya mau jadi kupu-kupu?” yang lalu dilanjutkannya dengan pertanyaan, “Lantas, bapak-ibunya ke mana?”
”Ya, bapak-ibunya setelah bertelur, terus pergi.”

Nirina lalu tampak terdiam. Wajahnya pun berubah murung.

”Seperti papa dan mama Nina, ya.”

Papa dan mama Nirina sepasang orangtua yang sibuk. Mereka jarang ada di rumah. Papanya Nirina seorang arsitek, dan karena itu ia sering bertugas keluar daerah mengunjungi proyek-proyek tempatnya bekerja. Kalau pun ada sesekali ia berhehari di rumah, ia tetap bekerja dengan komputernya, atau paling tidak di depan meja-gambarnya. Mamanya Nirina lain lagi. Dia tamatan sebuah akademi bahasa asing, dan karena itu dia kemudian mengajar di beberapa tempat kursus. Sebenarnya pekerjaannya itu tidaklah cukup menyita waktu, tapi kemudian sang mama melanjutkannya arisan bersama temannya sembari berdagang beberapa produk berjaringan. Karena itulah dia juga tak jarang akhirnya pulang malam.

Entahlah, bagi Nirina, apakah itu semua benar kondisi yang memaksa bagi mereka, atau mereka sendiri memaksakan diri? Tentu Nirina sendiri tidak mengerti hal semacam itu. Yang jelas, bertahun belakangan ini Nina sering merasa sepi. Sejak ia mengenal arti pergi. Sejak ia dapat merasa seperti ada sesuatu tak dapat pulang kembali.

”Kamu harusnya lebih memperhatikan Nina.”
”Papa juga, dong. Jangan semua ditimpa sama mama saja.”
”Papa ‘kan banyak kerjaan, belum lagi harus sering keluar daerah.”
”Itu dia, alasan saja ‘kan? Sebenarnya papa mau menghindar ‘kan?”
”Menghindar apanya; memang pekerjaan papa yang menuntut demikian.”
”Mama juga sibuk, bukan papa doang.”
”Sibuk apaan! Cuma arisan, keluyuran, terus ke mall!”

“Enak saja! Papa pikir kerjaanku cuma keluyuran? Kalau aku enggak ikut kerja, dari mana duit buat berobat Nina, coba. Dari mana aku bisa beli gelang dan perhiasan-perhiasan ini, coba. Menunggu dari kamu? Enggak bakalan. Aku sudah capek! Aku heran, katanya arsitek, katanya sering tugas keluar kota; tapi kok masih kere. Pada ke mana duit yang kamu dapet?!”

Nirina tidak jarang mendengar percakapan papa dan mamanya dalam nada tinggi dan kadang melengking seperti itu. Kadangkala terdengar seperti bunyi gedombrangan semacam benda yang jatuh atau mungkin pecah. Entah di kamar tidur, entah di ruang makan, entah di ruang tengah, kadang di ruang tamu, atau bahkan di garasi. Sesungguhnya Nina tidak begitu mengerti apa mereka bicarakan sambil bersitegang seperti itu; Nina merasa sedikit-banyak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Hampir di setiap mendengar percakapan semacam itu, Nina selalu ingin berkata papa dan mama tidak usah terlalu mencemaskan dirinya. Dia tidak apa-apa, kok. Dia mendukung bahkan bangga dengan kesibukan papa dan mamanya itu, karena dengan itulah mereka nanti mendapatkan uang membeli makanan, biaya berobat, untuk guru Nina, untuk biaya suster, membeli boneka dan mainan, membeli kalung mama, untuk papa main golf, dan sesekali biaya mereka jalan-jalan. Memang Nina selalu merasa sepi ditinggal sendiri, tetapi lama kelamaan Nina telah mulai belajar menyibukkan diri. Tetapi gadis kecil itu selalu merasa tidak punya kesempatan. Pada waktu-waktu seperti itu, ia tidak boleh keluar dari kamarnya.

Tetapi sore itu gadis kecil itu bersedih. Di pangkuannya tergeletak kupu-kupu itu.

”Kenapa kupu-kupu itu, Nina?”

”Sayapnya patah.” jawab sebutir kristal cair menggelinding dari sudut matanya. “Tadi ada orang rame-rame di jalan sana, berteriak-teriak ribut, bunyi letusan, orang-orang berlarian, dan kupu-kupu ini terinjak oleh orangbersepatu bot.”

”Ada demonstrasi?”

Gadis kecil itu mengangguk; ia sudah cukup tahu maksud kata itu; terimakasih kepada televisi. Belakangan ini jalanan di depan rumah ini memang sering dilalui orang ramai berdemonstrasi karena dari sini mudah untuk mencapai beberapa tempat penting di kota ini. Mahasiswa, buruh, petani, nelayan, karyawan; semua. Mereka berbebondong datang di pagi menjelang siang, lalu tidak jarang sore jadi tempat lewat pelarian; lari ketika kemudian mereka dikekejar aparat kesetanan. Kadang malah ada bersembunyi ke dalam taman ini. Bermacam-ragam tingkah-laku mereka ketika lewat. Spanduk lebar dengan berbagai macam tulisan, sudah pasti tidak ketinggalan. Yel-yel memekakkan, tali plastik pembatas barisan, serta tak jarang sembari membawa peralatan semisal jerigen dan panci dan wajan, serta aksi-aksi serupa teaterikal para dramawan. Dalam banyak kesempatan, keramaian itu memang dapat jadi pemandangan menggairahkan, meski lelama juga akhirnya menimbulkan kebosanan; dan ketakutan – ini dikuatirkan mamanya gadis kecil itu. Karena itulah mamanya sering berpesan bila ada demonstran, Nina harus dibawa masuk. Tetapi, hari itu agaknya tidak ada yang memperhatikan, sehingga ketika terjadi keramaian seperti itu tidak ada membawa Nina masuk kembali ke dalam rumah (‘Suster itu?’, mungkin begitu tanyamu; kebetulan ketika peristiwa itu terjadi sedang berada di dalam kakus, sedang mules sakit perut sehingga dia cukup lama berada di sana; dan kebetulan pula Bi Ijah sang pembantu sedang belanja ke warung Bang Rohim berjarak sekitar 320 meter dari rumah itu. ‘Serangkaian kebetulan sungguh mengherankan’, komentarmu sembari tersenyum miring).

Sampai kemudian ada kupu-kupu di pangkuan gadis kecil itu.

“Bagaimana kupu-kupu itu sampai berada di pangkuanmu?”
“Diterbangkan angin.”

“Kupu-kupu malang (dalam ngiang ‘kupu-kupu yang lucu’). Lihatlah, sepasang sayapnya patah, sebagiannya remuk; tapi dia masih hidup, tapi dia tidak akan bisa terbang lagi. Kalau sudah begitu, dia tak akan bisa bertahan lama, dia akan segera mati, Nina.”

”Tapi, aku tidak ingin kupu-kupu itu mati. Dia baru berumur lima hari.”

”Tapi, kupu-kupu memang ditakdirkan berumur pendek, Nina. Dari beberapa jam, sampai beberapa hari; meski tanpa terinjak sepatu bot.”

Gadis kecil itu terdiam. Guliran butiran bening sekarang menjadi anak sungai, turun lewat tebing-tebing landai, tapi mengering di ujung dagu.

”Kupu-kupu ini jadi seperti Nina, ya? Dia pun jadi lumpuh, tanpa sepasang sayap yang utuh. Apakah Nina akan berumur pendek juga, seperti kupu-kupu ini?”

”Tentu saja tidak, Nina!” terkejut, mendapatkan analogi Nina tentang dirinya dan kupu-kupu itu. “Kamu akan berumur panjang, dan kelak pasti akan sehat kembali. Kamu kelak akan dapat berjalan-jalan, ke mana pun kamu ingin pergi. Kamu kelak pasti akan dapat menari, bahkan berlari. Kamu bukan kupu-kupu, Nina; kamu adalah anak manusia yang ditakdirkan berumur panjang, bertahun-tahun yang lama.”

”Apakah sayap kupu-kupu ini dapat tumbuh lagi?”
”Tumbuh lagi? Rasanya tidak, Nina. Sayangnya tidak.”
”Kalau begitu, Nina juga begitu ‘kan?”
”Begitu bagaimana?”
”Kaki Nina tidak akan dapat tumbuh lagi, ‘kan?”
Terdiam.

”Tetapi, Nina, kita manusia harus selalu berusaha. Wajib. Kita tak boleh mengalah pada keadaan yang membelenggu kita. Kita harus melawannya, mengalahkannya. Bukankah kamu juga begitu? Sekarang kamu sudah mulai berlatih berjalan dengan menggunakan kerangka penopang kaki itu; itu adalah bentuk perlawanan kamu, Nina. Kalau kamu terus berani melawan belenggu itu, kelak kamu pasti akan sehat kembali; dapat berjalan, menari, dan berlari.”

Tetiba bibir gadis kecil itu tersenyum, perlahan.

“Kalau begitu, kupu-kupu ini pasti juga bisa, bukan?”
“Apa maksud kamu, Nina?”
“Aku tahu, kupu-kupu ini pasti bisa. Ya, pasti bisa; seperti Nina. Tolong dong ambilin kawat di dapur. Kawat yang paling halus, ya.”
”Untuk apa?”
”Ambilin aja, deh. Jangan lupa gunting dan lem sekalian.”

Dan ketika kawat dan gunting itu sudah berada di pangkuannya, gadis kecil itu pun kemudian sibuklah. Dia menggunting kawat itu dua potong sejengkal, ditekuk-tekuknya, lalu diguntingnya pula rok yang sedang dikenakannya menjadi dua perca kecil, setelah itu mulailah dia merekatkan potongan kain itu pada kawat itu. Lalu diambilnya kupu-kupu itu dan sepasang sayapnya yang patah itu pun lalu dilumurinya dengan lem pada bagian bawahnya, dengan maksud nanti akan ditempelkannya kawat dan perca tadi; tetapi Nina baru tahu betapa rapuhnya sayap kupu-kupu ketika sepasang sayap itu justru luruh ketika diluluri lem. Tapi ia tampak tidak kehilangan akal, dengan gunting segera dipotongnya sepasang sayap kupu-kupu itu hingga hampir di pangkalnya, untuk kemudian ujung kawat kedua sayap buatan tadi memasing ditusukkannya pada sisi badan dekat pangkal sayap kupu-kupu itu. Sekilas kupu-kupu itu mengejang terkejut. Namun Nirina justru tersenyum, sekali ini tampak puas, mengira kupu-kupu itu merasa senang dengan sayapnya yang baru.

”Terbanglah, terbang.” katanya pada kupu-kupu itu sambil mengacung-acungkannya pada kedua telapak tangannya. “Kamu jangan menyerah kupu-kupuku. Terbanglah, terbang. Kamu harus berjuang; seperti aku.”

Dan ajaibnya, kupu-kupu itu pun terbang! Bersama desir angin yang lewat, kupu-kupu itu terbang kian kemari, mengengepakkan sayapnya bagai menenari, sebentar terbang rendah sebentar terbang tinggi. Sesayapnya yang berlapis kawat dan potongan rok gadis kecil itu, berkilauan dilatar dedaunan selepas hujan, serta pelangi sesayup pandangan. Maka Nirina pun berteriak riang, bertepuk tangan dengan gembira, dan tanpa sadar menghehentakkan kedua kakinya. ”Hore …! Hore …!”

Sejak kejadian itu, Nirina makin rajin saja pergi ke taman dan bermain dengan kupu-kupu itu. Tetapi kali ini ia selalu berusaha berjalan dengan kerangka penopang kaki, dibantu tongkat penyangga. Ia berusaha melupakan kursi roda itu. Ia ingin menunjukkan pada sang kupu-kupu, ia juga bisa; meskipun ia tidak pernah tahu kupu-kupu itu telah kuganti dengan yang baru. ***

Pekanbaru, 231205.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati