Gde Agung Lontar
http://batampos.co.id/
Gadis kecil itu bernama Nirina. Usianya mungkin 8 atau 9 tahun. Wajahnya tirus, putih kepucatan, dengan tatap mata yang sayup. Tetapi, ia suka tersenyum. Dan ketika itu, tatapannya jadi berbinar seperti matahari di cerah pagi hari. Ia duduk di kursi roda yang dapat dilipat, yang disepuh krom mengilat, dengan tempat duduk kulit yang dilapis sebantal tipis. Sepasang kakinya kecil, dan lumpuh. Kata dokter, ia mengidap polio. Sudah berbilang tahun.
Setiap pagi hari, setelah dimandikan suster dan sarapan, Nirina suka duduk sendirian di taman. Ia menyenangi taman di depan rumah yang cukup besar itu. Meski taman itu sendiri tidak luas, tetapi di sana Nirina merasa teduh, dinaungi dedaunan sebatang pohon ketapang bujang, dan ditemani berbagai macam tumbuhan bebungaan. Di sanalah ia suka bercengkerama dengan mereka, dedaunan dan bebungaan, kumbang dan kupu-kupu, serta kekadang lebah dan belalang.
Kupu-kupu yang lucu,
ke mana engkau terbang,
tidakkah sayapmu,
merasa lelah.
Lihatlah, kupu-kupu itu terbang kian kemari. Mengepak-ngepakkan sayapnya bagai menari-nari. Sebentar terbang rendah, sebentar terbang tinggi. Sayap-sayapnya berkilauan, dilatar dedaunan selepas hujan, serta pelangi sesayup pandangan. Hendak ke manakah engkau gerangan?
Belakangan ini Nirina paling suka melihat kupu-kupu itu; entah kenapa. Entah karena warnanya cantik, kuning jingga dengan tepi disaput coklat muda; dan terlebih ada rona sepasang mata coklat tua kehitaman di sepasang sayapnya. Entah karena terbangnya lincah namun gemulai bagai menari-nari di angkasa. Entah karena kupu-kupu itu lebih jinak daripada lainnya, karena ia suka terbang di dekat-dekat Nirina. Entahlah. Yang jelas, menurut pengakuan gadis kecil itu, ia merasa kupu-kupu itu seperti adiknya sendiri.
”Karena aku melihatnya lahir.” akunya suatu kali.
“Nina melihat kupu-kupu itu lahir? Kapan?”
”Tiga hari yang lalu.”
”Bagaimana dia lahir?”
”Dia keluar dari gulungan daun yang lebar itu. Apakah kupu-kupu anaknya daun? Pantas saja sayapnya lebar-lebar seperti daun.”
”Kupu-kupu bukan anaknya daun. Daun bergulung itu kadang-kadang tempatnya kepompong. Orangtua kupu-kupu ya kupu-kupu juga.”
”Kepompong itu apa?”
”Kepompong itu adalah kupu-kupu yang sedang dieram.”
”Oo, jadi seperti ayam, dong. Jadi di dalamnya ada telur?”
”Ng …, bukan. Tapi ulat.”
”Ulat? Hii …. Kok ulat? Bukan telur?”
”Ng …, iya. Tadinya sih sebelum jadi ulat juga pada mulanya sebutir telur; tapi keciiil sekali. Setelah jadi ulat, dia makan daun sepuas-puasnya sampai gemuk. Nah, setelah itu baru bikin kulit kepompong dari air liurnya, kadang-kadang bergulung di dalam gulungan daun cukup lebar. Itu nantinya rumah tempat kepompong mengeram diri di dalamnya, biar hangat, supaya bisa berubah jadi kupu-kupu cantik nantinya.”
Tapi, mendengar uraian panjang-lebar itu, Nirina tampak melongo. Entah takjub, entah heran, entah tak . Ia kemudian berkomentar ringkas,
”Kok susah ya mau jadi kupu-kupu?” yang lalu dilanjutkannya dengan pertanyaan, “Lantas, bapak-ibunya ke mana?”
”Ya, bapak-ibunya setelah bertelur, terus pergi.”
Nirina lalu tampak terdiam. Wajahnya pun berubah murung.
”Seperti papa dan mama Nina, ya.”
Papa dan mama Nirina sepasang orangtua yang sibuk. Mereka jarang ada di rumah. Papanya Nirina seorang arsitek, dan karena itu ia sering bertugas keluar daerah mengunjungi proyek-proyek tempatnya bekerja. Kalau pun ada sesekali ia berhehari di rumah, ia tetap bekerja dengan komputernya, atau paling tidak di depan meja-gambarnya. Mamanya Nirina lain lagi. Dia tamatan sebuah akademi bahasa asing, dan karena itu dia kemudian mengajar di beberapa tempat kursus. Sebenarnya pekerjaannya itu tidaklah cukup menyita waktu, tapi kemudian sang mama melanjutkannya arisan bersama temannya sembari berdagang beberapa produk berjaringan. Karena itulah dia juga tak jarang akhirnya pulang malam.
Entahlah, bagi Nirina, apakah itu semua benar kondisi yang memaksa bagi mereka, atau mereka sendiri memaksakan diri? Tentu Nirina sendiri tidak mengerti hal semacam itu. Yang jelas, bertahun belakangan ini Nina sering merasa sepi. Sejak ia mengenal arti pergi. Sejak ia dapat merasa seperti ada sesuatu tak dapat pulang kembali.
”Kamu harusnya lebih memperhatikan Nina.”
”Papa juga, dong. Jangan semua ditimpa sama mama saja.”
”Papa ‘kan banyak kerjaan, belum lagi harus sering keluar daerah.”
”Itu dia, alasan saja ‘kan? Sebenarnya papa mau menghindar ‘kan?”
”Menghindar apanya; memang pekerjaan papa yang menuntut demikian.”
”Mama juga sibuk, bukan papa doang.”
”Sibuk apaan! Cuma arisan, keluyuran, terus ke mall!”
“Enak saja! Papa pikir kerjaanku cuma keluyuran? Kalau aku enggak ikut kerja, dari mana duit buat berobat Nina, coba. Dari mana aku bisa beli gelang dan perhiasan-perhiasan ini, coba. Menunggu dari kamu? Enggak bakalan. Aku sudah capek! Aku heran, katanya arsitek, katanya sering tugas keluar kota; tapi kok masih kere. Pada ke mana duit yang kamu dapet?!”
Nirina tidak jarang mendengar percakapan papa dan mamanya dalam nada tinggi dan kadang melengking seperti itu. Kadangkala terdengar seperti bunyi gedombrangan semacam benda yang jatuh atau mungkin pecah. Entah di kamar tidur, entah di ruang makan, entah di ruang tengah, kadang di ruang tamu, atau bahkan di garasi. Sesungguhnya Nina tidak begitu mengerti apa mereka bicarakan sambil bersitegang seperti itu; Nina merasa sedikit-banyak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Hampir di setiap mendengar percakapan semacam itu, Nina selalu ingin berkata papa dan mama tidak usah terlalu mencemaskan dirinya. Dia tidak apa-apa, kok. Dia mendukung bahkan bangga dengan kesibukan papa dan mamanya itu, karena dengan itulah mereka nanti mendapatkan uang membeli makanan, biaya berobat, untuk guru Nina, untuk biaya suster, membeli boneka dan mainan, membeli kalung mama, untuk papa main golf, dan sesekali biaya mereka jalan-jalan. Memang Nina selalu merasa sepi ditinggal sendiri, tetapi lama kelamaan Nina telah mulai belajar menyibukkan diri. Tetapi gadis kecil itu selalu merasa tidak punya kesempatan. Pada waktu-waktu seperti itu, ia tidak boleh keluar dari kamarnya.
Tetapi sore itu gadis kecil itu bersedih. Di pangkuannya tergeletak kupu-kupu itu.
”Kenapa kupu-kupu itu, Nina?”
”Sayapnya patah.” jawab sebutir kristal cair menggelinding dari sudut matanya. “Tadi ada orang rame-rame di jalan sana, berteriak-teriak ribut, bunyi letusan, orang-orang berlarian, dan kupu-kupu ini terinjak oleh orangbersepatu bot.”
”Ada demonstrasi?”
Gadis kecil itu mengangguk; ia sudah cukup tahu maksud kata itu; terimakasih kepada televisi. Belakangan ini jalanan di depan rumah ini memang sering dilalui orang ramai berdemonstrasi karena dari sini mudah untuk mencapai beberapa tempat penting di kota ini. Mahasiswa, buruh, petani, nelayan, karyawan; semua. Mereka berbebondong datang di pagi menjelang siang, lalu tidak jarang sore jadi tempat lewat pelarian; lari ketika kemudian mereka dikekejar aparat kesetanan. Kadang malah ada bersembunyi ke dalam taman ini. Bermacam-ragam tingkah-laku mereka ketika lewat. Spanduk lebar dengan berbagai macam tulisan, sudah pasti tidak ketinggalan. Yel-yel memekakkan, tali plastik pembatas barisan, serta tak jarang sembari membawa peralatan semisal jerigen dan panci dan wajan, serta aksi-aksi serupa teaterikal para dramawan. Dalam banyak kesempatan, keramaian itu memang dapat jadi pemandangan menggairahkan, meski lelama juga akhirnya menimbulkan kebosanan; dan ketakutan – ini dikuatirkan mamanya gadis kecil itu. Karena itulah mamanya sering berpesan bila ada demonstran, Nina harus dibawa masuk. Tetapi, hari itu agaknya tidak ada yang memperhatikan, sehingga ketika terjadi keramaian seperti itu tidak ada membawa Nina masuk kembali ke dalam rumah (‘Suster itu?’, mungkin begitu tanyamu; kebetulan ketika peristiwa itu terjadi sedang berada di dalam kakus, sedang mules sakit perut sehingga dia cukup lama berada di sana; dan kebetulan pula Bi Ijah sang pembantu sedang belanja ke warung Bang Rohim berjarak sekitar 320 meter dari rumah itu. ‘Serangkaian kebetulan sungguh mengherankan’, komentarmu sembari tersenyum miring).
Sampai kemudian ada kupu-kupu di pangkuan gadis kecil itu.
“Bagaimana kupu-kupu itu sampai berada di pangkuanmu?”
“Diterbangkan angin.”
“Kupu-kupu malang (dalam ngiang ‘kupu-kupu yang lucu’). Lihatlah, sepasang sayapnya patah, sebagiannya remuk; tapi dia masih hidup, tapi dia tidak akan bisa terbang lagi. Kalau sudah begitu, dia tak akan bisa bertahan lama, dia akan segera mati, Nina.”
”Tapi, aku tidak ingin kupu-kupu itu mati. Dia baru berumur lima hari.”
”Tapi, kupu-kupu memang ditakdirkan berumur pendek, Nina. Dari beberapa jam, sampai beberapa hari; meski tanpa terinjak sepatu bot.”
Gadis kecil itu terdiam. Guliran butiran bening sekarang menjadi anak sungai, turun lewat tebing-tebing landai, tapi mengering di ujung dagu.
”Kupu-kupu ini jadi seperti Nina, ya? Dia pun jadi lumpuh, tanpa sepasang sayap yang utuh. Apakah Nina akan berumur pendek juga, seperti kupu-kupu ini?”
”Tentu saja tidak, Nina!” terkejut, mendapatkan analogi Nina tentang dirinya dan kupu-kupu itu. “Kamu akan berumur panjang, dan kelak pasti akan sehat kembali. Kamu kelak akan dapat berjalan-jalan, ke mana pun kamu ingin pergi. Kamu kelak pasti akan dapat menari, bahkan berlari. Kamu bukan kupu-kupu, Nina; kamu adalah anak manusia yang ditakdirkan berumur panjang, bertahun-tahun yang lama.”
”Apakah sayap kupu-kupu ini dapat tumbuh lagi?”
”Tumbuh lagi? Rasanya tidak, Nina. Sayangnya tidak.”
”Kalau begitu, Nina juga begitu ‘kan?”
”Begitu bagaimana?”
”Kaki Nina tidak akan dapat tumbuh lagi, ‘kan?”
Terdiam.
”Tetapi, Nina, kita manusia harus selalu berusaha. Wajib. Kita tak boleh mengalah pada keadaan yang membelenggu kita. Kita harus melawannya, mengalahkannya. Bukankah kamu juga begitu? Sekarang kamu sudah mulai berlatih berjalan dengan menggunakan kerangka penopang kaki itu; itu adalah bentuk perlawanan kamu, Nina. Kalau kamu terus berani melawan belenggu itu, kelak kamu pasti akan sehat kembali; dapat berjalan, menari, dan berlari.”
Tetiba bibir gadis kecil itu tersenyum, perlahan.
“Kalau begitu, kupu-kupu ini pasti juga bisa, bukan?”
“Apa maksud kamu, Nina?”
“Aku tahu, kupu-kupu ini pasti bisa. Ya, pasti bisa; seperti Nina. Tolong dong ambilin kawat di dapur. Kawat yang paling halus, ya.”
”Untuk apa?”
”Ambilin aja, deh. Jangan lupa gunting dan lem sekalian.”
Dan ketika kawat dan gunting itu sudah berada di pangkuannya, gadis kecil itu pun kemudian sibuklah. Dia menggunting kawat itu dua potong sejengkal, ditekuk-tekuknya, lalu diguntingnya pula rok yang sedang dikenakannya menjadi dua perca kecil, setelah itu mulailah dia merekatkan potongan kain itu pada kawat itu. Lalu diambilnya kupu-kupu itu dan sepasang sayapnya yang patah itu pun lalu dilumurinya dengan lem pada bagian bawahnya, dengan maksud nanti akan ditempelkannya kawat dan perca tadi; tetapi Nina baru tahu betapa rapuhnya sayap kupu-kupu ketika sepasang sayap itu justru luruh ketika diluluri lem. Tapi ia tampak tidak kehilangan akal, dengan gunting segera dipotongnya sepasang sayap kupu-kupu itu hingga hampir di pangkalnya, untuk kemudian ujung kawat kedua sayap buatan tadi memasing ditusukkannya pada sisi badan dekat pangkal sayap kupu-kupu itu. Sekilas kupu-kupu itu mengejang terkejut. Namun Nirina justru tersenyum, sekali ini tampak puas, mengira kupu-kupu itu merasa senang dengan sayapnya yang baru.
”Terbanglah, terbang.” katanya pada kupu-kupu itu sambil mengacung-acungkannya pada kedua telapak tangannya. “Kamu jangan menyerah kupu-kupuku. Terbanglah, terbang. Kamu harus berjuang; seperti aku.”
Dan ajaibnya, kupu-kupu itu pun terbang! Bersama desir angin yang lewat, kupu-kupu itu terbang kian kemari, mengengepakkan sayapnya bagai menenari, sebentar terbang rendah sebentar terbang tinggi. Sesayapnya yang berlapis kawat dan potongan rok gadis kecil itu, berkilauan dilatar dedaunan selepas hujan, serta pelangi sesayup pandangan. Maka Nirina pun berteriak riang, bertepuk tangan dengan gembira, dan tanpa sadar menghehentakkan kedua kakinya. ”Hore …! Hore …!”
Sejak kejadian itu, Nirina makin rajin saja pergi ke taman dan bermain dengan kupu-kupu itu. Tetapi kali ini ia selalu berusaha berjalan dengan kerangka penopang kaki, dibantu tongkat penyangga. Ia berusaha melupakan kursi roda itu. Ia ingin menunjukkan pada sang kupu-kupu, ia juga bisa; meskipun ia tidak pernah tahu kupu-kupu itu telah kuganti dengan yang baru. ***
Pekanbaru, 231205.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 14 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar