Minggu, 05 April 2009

Merayakan Pembacaan

Eka Kurniawan
http://www2.kompas.com/

”Aku menemukanmu dalam pelarian,” tulis Intan Paramaditha dalam pembukaan cerita pendek Mak Ipah dan Bunga-Bunga, (Sihir Perempuan, Kata Kita, 2005). Perhatikan dengan saksama kalimat pembuka itu. Siapa yang sedang dalam pelarian? Aku atau kamu, atau keduanya? Kalimat yang tak memberi kepastian apa pun seperti itu dengan mudah kita temukan dalam hampir setiap buku kumpulan cerpen atau novel yang datang dari para penulis generasi paling mutakhir.

Perhatikan pula satu cuplikan kalimat dari cerpen Cakra Punarbhawa Wayan Sunarta (Cakra Punarbhawa, Gramedia Pustaka Utama, 2005) ini: ”Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu.” Siapa yang suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu? Guru bahasa kita yang baik di sekolah pasti akan mencoret kalimat seperti itu, sebagaimana mungkin akan dilakukan oleh editor-editor terbaik kita. Kalimat tanpa subyek dianggap bukan kalimat yang baik. Tapi, benarkah kalimat-kalimat tak lengkap seperti itu tak termaafkan sama sekali?

Izinkan saya menambah dua contoh lagi. Puthut EA dalam Kitab Salah Paham (Dua Tangisan pada Satu Malam, Penerbit Kompas, 2003) menulis: ”Puntung rokoknya yang masih menyala jatuh di kaus oblong yang lusuh dan membuat beberapa lubang.” Meski kita bisa menebak dengan tepat maksud kalimat itu, paling tidak sebuah pertanyaan masih bisa diajukan kepadanya: siapa yang membuat beberapa lubang? Jawabannya bisa rokoknya yang masih menyala atau kaus oblong yang lusuh. Dengan kata lain, kalimat tersebut bahkan masih bisa menyesatkan.

Dan, ini sebaris kalimat yang dicuplik dari cerita pendek Lubang Hitam Linda Christanty (Kuda Terbang Maria Pinto, Kata Kita, 2004): ”Dia kenakan mantel berkerah bulu cerpelai, baju obral, empat dollar.” Sejenak kita akan mengira ini merupakan kalimat majemuk, gabungan dari tiga kalimat: dia kenakan mantel berkerah bulu cerpelai; dia kenakan baju obral; dan dia kenakan empat dollar. Tapi, apa maksudnya ”dia kenakan empat dollar”? Aha, ternyata yang dimaksud Linda adalah ”dia kenakan mantel berkerah bulu cerpelai, yang adalah baju obral, dan harganya empat dollar”. Lagi-lagi kalimat menyesatkan, tapi dengan mudah kita segera tahu maksudnya, dan segalanya (dibuat) terang-benderang kembali. Mengapa?

Kalimat-kalimat tak lengkap, atau kalimat gelap (dengan asumsi kalimat-kalimat tersebut tidak bersifat terang dan jernih), sangat mudah kita jumpai dalam ragam bahasa lisan. Dalam lisanan, semua masalah tata bahasa semacam itu termaafkan disebabkan munculnya satu anasir: konteks. Konteks inilah yang biasanya mengisi ruang kosong dalam kalimat tak lengkap dan memberi cahaya bagi kalimat yang gelap. Sepotong kalimat, ”Sepi,” misalnya, barangkali tak memberi penjelasan apa pun disebabkan kalimat tersebut tak menampilkan subyek. Namun, jika kalimat itu dikatakan sambil melihat rumah tanpa penghuni dan tanpa cahaya, pendengarnya bisa segera mengisi ruang kosong dalam kalimat tak lengkap tersebut dengan sebuah konteks: ”Rumah itu sepi.” Rumah itu menjadi subyek yang tak terucapkan. Apakah dalam ragam bahasa tulis juga ada konteks?

Konteks dalam bahasa tulis muncul dalam bentuk yang lain. Kutipan cerpen Wayan Sunarta di atas, jika dilengkapi dengan kalimat sebelumnya, akan menjadi begini: ”Ayahku nelayan tua bermata ungu. Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu.” Dalam kalimat pertama kita menemukan ayahku sebagai subyek. Di sini penulis seperti meminta kita agar menyimpan informasi itu untuk sesekali dipergunakan kembali sebagai pengisi ruang kosong. Maka, ketika kita menghadapi kalimat kedua, pembacaannya akan menjadi: ”Ayahku suka becengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu.” Wayan bermain dengan ruang kosong yang meminta kita menebak dan kemudian mengisinya.

Operasi yang berbeda dilakukan oleh Intan Paramaditha. Ketika kita menghadapi kalimat ”aku menemukanmu dalam pelarian,” kita tak dibekali apa pun sebagai penerang untuk membuat kalimat tersebut benderang. Sebaliknya, justru kita diminta menyimpan kalimat gelap itu dan di sepanjang cerita, Intan perlahan-lahan menerangi kalimat tersebut. Demikianlah akhirnya kita tahu, atau mencoba tahu, bahwa yang dalam pelarian adalah si aku. Aku adalah pengantin baru yang melarikan diri dari tetek-bengek pestanya.

Permainan bahasa ini—tentu dalam pengertian yang agak berbeda dengan language games Wittgenstein—sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Bahkan, bisa kita temukan dalam tradisi sastra yang jauh lebih lama. Ini serupa dengan ruang kosong dalam lukisan: kanvas yang dibiarkan tak tersentuh cat. Atau seperti jeda di dalam musik. Namun, dalam tradisi prosa mutakhir kita, saya menemukan pemanfaatannya dalam cakupan yang mencengangkan. Penulis-penulis ini tak khawatir dengan ketersesatan. Mereka barangkali bahkan menganggap ketersesatan, karena ruang kosong yang gelap, sebagai strategi yang penuh kesadaran. Ia menjelma menjadi sejenis misteri dalam cerita detektif atau hantu dalam cerita horor yang kita tunggu kemunculannya.

Dalam kutipan kalimat Linda Christanty, kita diminta bermain tebak-tebakan hubungan tiga frasa ”mantel berkerah bulu cerpelai”, ”baju obral”, dan ”empat dollar”. Sejak awal kita seperti diingatkan bahwa kalimat tersebut meminta untuk tidak dibaca sebagaimana biasanya, apa yang dimaksudnya tidak sebagaimana apa yang tertulis di sana. Prosa-prosa ini jelas tidak ditujukan kepada para pembaca yang malas, pembaca yang tak ingin diajak bermain tebak-tebakan, sebab jebakan tak hanya ada di tingkat cerita, tapi bahkan di tingkat kalimat, klausa, frasa, atau mungkin kata.

Kita seolah menghadapi titik tiga di antara frasa-frasa tersebut dan, seperti dalam kalimat Intan, akan diisi sementara kita melanjutkan pembacaan kalimat berikutnya: ”Menurut penjualnya, milik artis terkenal Carole Lombard. Hah? Yang benar saja! Lombard sudah lama mati. Baju ini sempat mampir di mana sebelum masuk toko loak?” Rentetan kalimat itu mengisi ruang kosong dan akan terbaca ringkas menjadi mantel berkerah bulu cerpelai itu baju obral. Dan, kalimat selanjutnya: ”Dia kirim mantel tersebut ke penatu, biar karbon tertraklorida mematikan kuman-kuman yang bersembunyi di situ”, semakin memperkuat kesan loak dan ujung-ujungnya murah. Ia merujuk ke frasa empat dollar.

Dan bagaimana dengan kalimat ”Puntung rokoknya yang masih menyala jatuh di kaus oblong yang lusuh dan membuat beberapa lubang”? Kita tahu bisa membuat frasa ”[puntung rokoknya yang masih menyala] jatuh [...] dan membuat [...]” sebagai frasa predikat/kata kerja, dan tampaknya inilah yang dimaksud. Namun, kata membuat barangkali bisa juga diberikan kepada frasa yang lain: ”[kaus oblong yang] lusuh dan membuat [...]”. Puthut tidak memberi penjelasan apa pun untuk meneranginya di kalimat berikut (atau sebelumnya): ”Aku ingin menolongnya, tapi kepala ini berat rasanya, dan ia sendiri tidak merasa kepanasan.”

Kata kepanasan mungkin membawa kita ke asumsi bahwa puntung rokok itulah yang membuat lubang meski kita dihadang masalah lain: kita tak tahu di mana puntung rokok membuat lubang, dan seandainya menebak lubang itu di kaus oblong, kita tak tahu itu kaus oblong siapa sehingga bisa jadi tak berhubungan dengan potongan kalimat ia sendiri tak merasa kepanasan. Dalam kalimat Puthut, kita menemukan pemanfaatan kalimat ”misterius” yang begitu maksimal, permainan tebak-tebakan yang nyaris tanpa akhir, dan ia tak merasa perlu memiliki nafsu untuk memberinya penerang yang benderang.

Pengarang sudah mati dan pembacalah yang harus membawa obor di kegelapan kuburan. Bagi saya, ini adalah daya tarik luar biasa dari prosa kita belakangan hari ini, membuat saya ingin mengulang tak hanya pembacaan sebuah cerita pendek atau novel, tapi bahkan sebaris kalimat, sambil bertanya-tanya apa yang bisa saya temukan di sana.

Kegiatan intelek

”Membaca merupakan aktivitas yang lebih intelek daripada menulis,” kata cerpenis Jorge Luis Borges.
Barangkali dalam rangka menghormati peran pembaca sebagai pemegang kuasa mutlak pemaknaan, penulis-penulis prosa kita ini tak merasa perlu membuat segalanya benderang. Usaha membuat makna yang seterang-terangnya bisa dikatakan sia-sia sebab pada akhirnya akan selalu ada pembacaan yang berbeda. Ada persepsi yang lain. Dan, bahwa tak ada sesuatu pun yang tanpa makna. Demikianlah saya pikir bagaimana ruang-ruang kosong dan gelap dalam prosa merupakan suatu perayaan atas pembacaan dan pemaknaan. Di sini tak hanya pembaca, tapi juga penulis mencoba menemukan kemungkinan-kemungkinan persepsi dan, pada akhirnya, makna. Dengan kata lain, ini merupakan usaha para penulis mengambil kembali peran inteleknya tanpa harus merebutnya dari pembaca.

Saya ingin memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan ini dalam penggunaan mereka atas metafora, misalnya, jika apa yang mereka lakukan masih bisa kita anggap sebagai metafora.

Djenar Maesa Ayu dalam Waktu Nayla (Mereka Bilang, Saya Monyet!, Gramedia Pustaka Utama, 2002) membayangkan akhir waktu dengan kalimat: ”… jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu.” Bagian dirinya berubah jadi abu relatif mudah dibayangkan sebagai momen kematian, barangkali kematian di panggung kremasi, atau Djenar membayangkan mayat di kuburan yang hancur menjadi tanah juga sebagai abu. Namun, bagaimana dengan jam tangan yang jadi sapu dan sedan yang jadi labu? Itu bukan gambaran yang umum mengenai kematian, paling tidak bagi saya. Djenar seolah menantang kita untuk menciptakan suatu persepsi lain mengenai kematian dari kalimat tersebut. Saya membayangkan, misalnya, barangkali di akhir waktu perempuan seperti Nayla akan berakhir serupa penyihir. Sapu mengingatkan saya kepada sapu terbang nenek sihir dan labu mengingatkan saya kepada malam Halloween. Dan, abu adalah mayat penyihir yang dibakar. Ingat, Nayla telah divonis hidupnya tak lama lagi. Itu serupa kutukan.

Zen Hae dalam Taman Pemulung (Rumah Kawin, Kata Kita, 2004) menulis sebaris metafora mencengangkan: ”Sembari menikmati suara azan zuhur [...]. Suara azan itu seperti air liur. Meleleh. Bersekutu dengan hujan.” Mencengangkan sebab, pertama, saya harus bersusah-payah membayangkan suara azan (yang) meleleh. Barangkali suara yang berleret-leret, mengalir pelan dan panjang. Kedua, saya juga harus bersusah-payah membayangkan menikmati suara azan (yang) seperti air liur. Sangat sulit membayangkan saya bisa menikmati air liur. Air liur bagi saya cenderung menjijikkan untuk dinikmati. Namun, saya mencoba membacanya kembali dan membacanya dengan cara lain. Saya mencoba membayangkan azan sebagai waktu dan meleleh membuat saya teringat kepada jam-jam Salvador Dali yang meleleh. Saya tak yakin apakah itu yang dimaksud Zen Hae, tapi membacanya dengan cara seperti itu memberi kesenangan tertentu, membayangkan dunia ”Taman Pemulung” menjadi semakin surealis.

Bandingkan contoh-contoh tersebut dengan pandangan umum tentang metafora. Saya akan mencomot satu dari Cassel’s Dictionary: ”… a word is transferred in application from one object to another, so as to imply comparison.” Atau dari yang versi Indonesia, Kamus Istilah Sastra karya Abdul Rozak Zaidin dkk terbitan Balai Pustaka ini: majas yang mengandung perbandingan yang tersirat yang menyamakan hal yang satu dengan hal yang lain. Kata kuncinya: perbandingan. Kata ini menyiratkan akan adanya satu keparalelan. Dan, biasanya, metafora dipergunakan untuk memperoleh kesan lebih terpahami, atau lebih memperkuat efek yang dimaksud.

Harimau dan kucing besar adalah perbandingan yang bersifat paralel. Mata hari (matahari) adalah perbandingan untuk bintang kate kita yang sebelumnya dikenal sebagai surya. Kemudian lihat kembali suara azan yang seperti liur atau jam tangan yang jadi abu untuk menggantikan akhir waktu. Metafora di sini tak serupa dengan perbandingan yang paralel, tidak pula untuk memperjelas maupun memperkuat efek. Bagi saya, metafora-metafora ini lebih tampak sebagai penciptaan persepsi lain yang telanjur kita kenal mengenai azan maupun akhir waktu. Sebenarnya Aristoteles sudah mengatakannya jauh-jauh hari dalan Poetics: metafora adalah tranferensi term dari satu hal ke hal lainnya: genus ke spesies, spesies ke genus, atau spesies ke spesies, atas dasar analogi.

Definisi ini jauh lebih longgar. Perhatikan kembali kata ini: analogi. Analogi tak hanya menyiratkan perbandingan, tapi juga kias, bahkan persepsi. Analogi tak hanya melulu menuntut perbandingan yang paralel, tapi bahkan hal-hal yang sangat tidak serupa. Kita sedang menghadapi pergeseran penciptaan metafora (atau kembali ke wataknya yang lebih kuno). Surya bukan lagi sekadar mata hari, mungkin bisa pula sebagai komputer rusak. Dan harimau boleh jadi malam keparat.

Kita, penulis dan pembaca, bersekutu dalam mereka ulang bayangan mengenai azan dan akhir waktu. Dengan kata lain, mencari kembali, dan terus kembali sebab memang dibiarkan menjadi begitu labil, apa yang kita sebut sebagai realitas. Dan, pada akhirnya: makna.

Perhatikan pula cerpen yang tampak profetis ini: Air Raya (Perempuan Pala, Aky Press, 2004) karya Azhari. Ditulis beberapa saat sebelum tragedi ”air raya” sungguhan di Aceh, cerpen ini tak sekadar suatu simbolisme semata. Ia adalah persekutuan ajaib antara banjir besar, kapal yang terus tumbuh, Nuh, bapak yang pergi, anak dan ibu yang menunggu di rumah, yang satu sama lain tampak tak memiliki hubungan apa pun. Senyatanya memang begitu. Dua kisah berbeda, tentang pelayaran Nuh dan tentang keluarga yang terimpit perang saudara, berkelindan menciptakan makna fiksi yang hanya bisa diketahui pembacanya seorang demi seorang. Demikianlah, alih-alih membuat cerita pendek menjadi segepok pesan yang centang-perenang, karya-karya ini membiarkan dirinya jadi puzzle yang pembaca sendiri tahu maknanya.

Dengan cara yang agak berbeda mengenai pemaknaan ini, Raudal Tanjung Banua memilih menyodorkan peristiwa biasa: tentang rumah-rumah menghadap jalan, yang telah membuka pintu-pintunya untuk kepergian, tapi belum tentu menerima kepulangan (Rumah-Rumah Menghadap Jalan, dalam Parang tak Berulu, Gramedia Pustaka Utama, 2005). Peristiwa umum yang disodorkan untuk dimaknai ulang.

Rasional dan positivistik

Zaman modern dihiasi oleh tradisi ilmu pengetahuan yang rasional dan positivistik. Apa yang tersisa dalam tradisi itu di dunia sastra? Realisme mungkin sudah banyak ditinggalkan. Omong-omong tentang orisinalitas mungkin sudah sangat membosankan. Meskipun banyak penulis masih mempergunakannya, mereka membicarakannya dengan penuh kecemasan, atau dilihat orang dengan penuh kecurigaan. Namun, realisme dan orisinalitas bukan satu-satunya hal yang masih tertinggal dari tradisi rasional dan positivistik ini. Tuntutan akan suatu kalimat yang terang dan jernih jelas merupakan bawaan tradisi serupa itu. ”Clear and distinct,” kata Descartes.

Sifat-sifat ”terang”, ”jernih”, dan ”tepat” jelas menyiratkan adanya suatu makna yang tunggal. Siapa pun pembaca yang menuntut hal semacam itu merupakan pembaca yang gagap menanggung beban otonominya sendiri. Pembaca seperti ini juga merupakan pembaca yang cenderung sinis terhadap kelisanan dan terutama terhadap kelisanan dalam keberaksaraan, serta mengagungkan yang sebaliknya.

Sikap-sikap seperti itu tampak semakin luntur dalam kepenulisan para penulis generasi terkini. Tanpa beban dan bahkan cenderung bersikap enteng, Dina Octaviani mereka ulang cerpen William Faulkner Setangkai Mawar untuk Emily dalam cerpennya sendiri yang berjudul Setangkai Mawar dari Emily (Como un Sueno, Orakel, 2005). Demikian pula Gunawan Maryanto (Bon Suwung, Insist Press, 2005), misalnya, menulis ulang mitologi Jawa lama dalam ”Jangan Bilang-bilang Kala” (dari Centhini), ”Serat Padi” (Serat Cariyos Dewi Sri), atau cerita orang lain dalam Lantana (dari Simfoni Pastoral, Andre Gide).

Saya pikir antara kalimat-kalimat yang tak taat tata bahasa sebagaimana contoh-contoh di awal hingga reka ulang cerita di contoh-contoh akhir, semuanya menyiratkan hal yang sama: merayakan pembacaan, dan akhirnya sekali lagi, makna. Atau dengan kata lain: merayakan ketersesatan.

*) Penulis Novel dan Cerita Pendek, Menyelesaikan Studi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati