Daya Hidup, Seks, dan Narasi
Kematian dalam Semangat Tubuh
Mariana Amiruddin
http://www2.kompas.com/
APA lagi yang dapat kita temukan dalam karya penulisan? Setelah deretan pujangga mencoba menyihir manusia membuat kategori mana yang indah dan mana yang tidak, lahir kemudian penulisan menara gading versus pinggiran, seks versus moral, sastra-wangi versus sastra-bau. Lalu apa yang dapat kita nikmati dari penciptaan kategori?
BISA negatif: sesuatu yang merendahkan atau meninggikan. Bisa positif: sesuatu yang menjelaskan. Untuk sesuatu yang menjelaskan, saya akan turut serta menciptakan kategori penulisan feminin dan maskulin, ecriture feminine-masculine, yang wilayahnya adalah jender. Adakah yang lebih baik satu dengan lainnya? Tidak ada. Di sini saya akan membuat identifikasi bahwa setiap karya cipta tak dapat lepas dari identitas jender atau jenis kelamin. Berangkat dari penjelajahan hidup masing-masing, sebuah karya lahir tak lepas dari jenis kelamin pengarang, dengan sekian kekhasan dan beda.
Pemahaman vagina, misalnya, dari yang esensialis menjadi morfologis. Vagina jelas berbeda dengan penis. Fungsinya saja sangat berseberangan. Sigmund Freud lebih dulu mengidentifikasinya dengan sekian gagasan imajinasi (morfologi) yang kelewat ilmiah. Klitoris menurut dia penis kecil yang inferior dan kehilangan hasrat, sedangkan penis direpresentasikan sebagai pemilik hasrat yang paling utuh. Freud percaya hanya pria yang bisa masturbasi karena penis konkret dan kelihatan.
Ide Freud ini membuat saya ikut-ikutan (baca: mendapatkan inspirasi) mencapai imajinasi yang kelewat ilmiah: vagina merupakan organ seks perempuan yang kompleks dan hasrat tertingginya adalah multiorgasme meski tanpa klimaks. Strukturnya tak tunggal seperti penis, melainkan multiorgan. Penuh kemungkinan, memiliki tabungan kehidupan dan kematian dalam rahim. Vagina bukan semata-mata hasrat seks dan aktivitas masturbasi, melainkan penghadir kehidupan dan kematian. Berseberangan dengan Freud, identitas feminin adalah keutuhan hasrat yang mencakup kehidupan, seks, dan kematian. Itulah reproduksi feminin yang khas dan berbeda dari maskulin.
Kita adalah tubuh kita sendiri
Dari pembicaraan di atas, penulisan feminin dan maskulin adalah pembicaraan tentang hasrat (desire) kehidupan, seks, dan kematian. Ketiganya adalah kenikmatan (pleasure) atas tubuh. Tubuh, karena ia adalah materi hidup yang paling intim, terutama untuk keluar dari kegagalan pencarian akar kebudayaan. Tubuh adalah satu-satunya pencapaian sekaligus keintiman yang mudah diraih, yang selama ini cenderung dilupakan seperti gajah di pelupuk mata. Maka, ketika orang tanya apakah akar kebudayaan saya, tahukah asal-muasal sejarah kebudayaan saya, saya akan menjawabnya, “Kebudayaan saya adalah tubuh saya sendiri”. Tubuh itu sendiri begitu dekat dengan jenis (alat) kelamin. Maka, penulisan feminin-maskulin adalah penggalian tentang tubuh kita. Tubuh di sini adalah keseluruhan: esensi, eksistensi, wacana, dan wahanayangbertumpukdanbermesraan-peleburancakrawala dalam dunia penulisan.
Tubuh perlu dilahirkan kembali sebagai wacana internal yang dibangkitkan menuju wacana eksternal manusia sebab kesadaran tentang tubuh sama pentingnya dengan kesadaran tentang hasrat (hidup, seks, dan kematian). Hasrat adalah cakrawala tubuh itu sendiri. Kurangnya pengetahuan atas tubuh membuat manusia tidak memiliki bekal mengatasi persoalan hidup, seks, dan kematian-nya.
Perbincangan tentang tubuh dan hasrat dalam tulisan ini akan kita mulai dengan pemahaman penulisan feminin dan maskulin. Kedua tipe penulisan ini akan meluapkan ide tentang kematian, seks, kehidupan, dan menerangkan sesuatu yang berbasis perbedaan identitas jender.
Determinasi penulisan feminin-maskulin
Ecriture adalah kata atau konsep yang diambil dari bahasa Perancis tentang gagasan dunia penulisan. Istilah ecriture lahir dari Helene Cixous, tokoh sastra feminis Prancis yang biasa dikenal dengan ecriture feminine “penulisan feminin”. Ide ini tidak menutup kemungkinan penulisan maskulin atau penulisan yang dibangun oleh pengalaman pria. Penulisan feminin adalah dunia penulisan yang diciptakan berdasarkan perbedaan seks yang di dalamnya terdapat ketiadabatasan, seperti mimpi. Perbedaan seks dapat menunjukkan determinasi penulisan yang berbasis jender dan memiliki potensi alternatif sekaligus jalan memahami dunia. Penulisan feminin memiliki potensi kemungkinan analisis bagi kedua jenis kelamin, meski perempuan akan lebih dekat dengan konsep ini daripada laki-laki. Penulisan feminin berpotensi menyatakan dan memformulasi struktur yang bahkan meliputi atau memasukipengalamanlainnya(baca:pengalamanmaskulin)
Penulisan feminin adalah ide yang berangkat dari tubuh, seperti advokasi Cixous yang menyuarakan women’s writing their bodies dan tidak menutup kemungkinan men’s writing their bodies. Penulisan feminin adalah representasi tubuh untuk mendapatkan kesadaran tentang kehidupan, seks, dan kematian (baca: ketiadabatasan-kebebasan-ke-berada-an). “Write! Writing is for you, you are for you; your body is yours, take it. I know why you haven’t written. (And why I didn’t write before the age of twenty-seven). Because writing is at once to high, too great for you, it’s reserved for the great –that is, for ’greatmen’andit’s’silly’.”
Esai sastra Helene Cixous penuh dengan muatan hasrat kehidupan, seks, dan kematian. Dalam esainya Pancaran Kematian, ia mencatat, “Menulis adalah hidup dan hidup selalu mempertanyakan kematian.” Kematian menurut Cixous adalah daya sebab ia mengucapkannya dengan istilah pancaran yang sebanding dengan kehidupan. Lalu, ia luapkan hal itu dalam skenario esainya, “Kematian bukanlah apa-apa. Mati bukanlah sesuatu. Itu hanya sebuah lubang. Saya dapat mengisinya dengan fantasi (imajinasi) dan memberinya nama (baru), jika saya ingin. Saya juga dapat bicara tentang kastrasi (kebiri, pemotongan, pembunuhan) di mana tidak ada manusia atau ’segala yang harus’ kepada sayauntukmelakukannya.”
Penulisan feminin kental dengan hasrat kematian sebagai kehidupan (kelahiran) atau kebangkitan. Sedangkan penulisan maskulin menjadikan kematian sebagai inspirasi kesudahan, the end of the world. Penulisan feminin mencari kehidupan di balik kematian karena investasi organ seksnya yang bernama rahim selalu mengandung semangat kehidupan. Perempuan meninggalkan kehidupan karena penindasan dan posisinya sebagai jenis kelamin kedua setelah pria (meminjam The Second Sex Simone de Beauvoir). Kematian bagi perempuan adalah kehidupan yang tiada batas. Sedangkan pada laki-laki, kematian adalah lari dari absurditas hidup yang bergelimang kuasa dan kedudukan, yang sesungguhnya sangat terbatas dan tak bebas. Penulisan maskulin tertarik pada kematian karena jenuh dengan kemenangan dan kekuasaannya yang ternyata kaku, membosankan, dan penuh aturan.
Mereka yang mengais tubuh sendiri
“Tubuh adalah seismograf kebudayaan,” demikian respons Ignas Kleden terhadap puisi Di bawah Kibaran Sarung Joko Pinurbo. Seperti pandangan tradisional yang kerap mengidentikkan tubuh dengan dosa, Ignas meluruskan stigma tubuh yang murung ini dengan representasi kebudayaan manusia, “…karena dia (tubuh) menyingkapkan dan mengingatkan kembali pentingnya badan dan hidup, dalam kebudayaan… memahami bahasa badan dengan lebih sensitif adalah jalan aman untuk memahami banyak perkara pentingdalamkebudayaandanmasyarakat…”
Semangat tubuh memang tampil dominan dalam puisi Joko Pinurbo. Tubuh laki-laki sebagai proyeksi menangkap dunia, menangkap “kegenitan” masyarakat. Joko Pinurbo memancarkan tubuhnya dengan kengerian, keengganan, penyesalan, sekaligus penghormatan atas dunia yang ia hadapi. Dunia pribadi laki-laki yang hidupnya dikutuk berkutat dalam status dan pekerjaan dan, untuk tidak terjebak pada kemiskinan atau pengabdian pada publik hingga terseret, nyaris melupakan ke-diri-an, mengingkari tubuhnya sendiri. Karena itu, ia berpaling, melucuti tubuhnya melalui doa dalam puisi Doa Sebelum Mandi:
Tuhan, saya takut mandi/saya takut dilucuti/saya takut pada tubuh saya sendiri/kalau saya buka tubuh saya nanti/mayat yang saya sembunyikan akan bangun dan berkeliaran/saya ini orang miskin yang celaka/hidup saya sehari-hari sudah telanjang/kerja saya mencari pekerjaan….
Merepresentasikan kebudayaan, Joko Pinurbo cukup memilih wilayah-wilayah pribadi yang identik dengan aktivitas tubuh seperti mandi, bercukur, becermin, dan mengganti pakaian. Ia tidak terlalu repot-repot meluaskannya, kegiatan-kegiatan sepele laki-laki yang dekat dengan tubuhnya dapat mengeksplorasi kekayaan itu sendiri. Seperti komentar Ignas Kleden yang mengawang, ia menyebutnya “suatu metanoia yang tuntas”.
Puisi Binhad Nurrohmat adalah pernyataan tubuh laki-laki yang norak, namun percaya diri. Tubuh laki-laki tak menjadi haram bila tidak dibicarakan dalam konteks kejantanan. Bila Joko Pinurbo menggambarkan kebotakan seorang lelaki, maka dalam puisi Berak, Binhad membiarkan penis dan bokong bergelayut dalam bentuk yang buruk. Zakarmu sekuyu gelambir leher jompo/bungkuk dan malu-malu/mengintip puing tahi/terjepit bongkah coklat bokongmu. Joko Pinurbo melihat dunia dengan tubuhnya, Binhad melihat tubuhnya untuk terus meringkuk di dalamnya, merenung dan memandangnya sendiri, tubuh yang merana dalam dunia yang luas.
Joko Pinurbo dan Binhad Nurrohmat dalam gerak penulisan maskulin berlari, melongok tubuhnya sendiri, di sana ada dunia, wahana maskulin yang tak disadari dan tak berdaya. Semangat tubuh dalam kerangka maskulin ini mengingatkan saya dengan penulisan feminin eseis feminis Perancis, Annie Leclerc, dalam kumpulan esei Perempuan Angkat Bicara tentang menstruasi. Ia angkat bicara tentang ketimpangan jender melalui tubuh: Datang bulan atau tidak bagi mereka (laki-laki) sama saja. Mereka bukanlah orang yang tepat untuk diajak bicara tentang penderitaan… Bahkan, mereka tidak merasakan aliran darah hangat dan mirip madu… Begitu ada darah menetes, langsung disumbat dengan sumpal kapas, sederhana sekali. Asal tahu saja, darah perempuan memang bau… yang lazim dan benar-benar menimbulkan rasa muak. Lebih memuakkan daripada bau air susu, daripada bau sperma, daripada bau keringat, jauh lebih bau daripada tinja kita… Begitu banyak cara menolak tubuh kita sendiri, melakukankekerasanterhadapnya,menyucikannya,melupakannya…
Wacana tubuh pada penulisan feminin memang tampak lebih kompleks dan terbuka. Ia tidak hanya bicara bentuk-bentuk tubuh dalam melihat dunia, melainkan tubuh yang membawa proses-proses reproduksi, di antaranya menstruasi. Senapas dengan cerpen Menyusu Ayah Djenar Maesa Ayu dalam Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), Djenar membentang proses tubuh yang melahirkan manusia sebagai awal pertarungan hidup-mati Ibu dan anak perempuannya, Nayla. Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah daripada laki-laki. Sayalah yang membantu Ibu melahirkan, bukan dokter kandungan. Ketika Ibu kehabisan napas dan sudah tidak dapat lagi mengejan, saya menggigiti dinding vagina Ibu dengan gusi supaya jalan keluar bagi saya lebih mudah… saya menendang rahim Ibu dan mendorong badan saya keluar keras-keras. Dalam cerita ini Djenar mainkan imajinasinya, cerita baru tentang Electra Complex yang berangkat dari tubuh: tubuh anak yang terpisah dari tubuh Ibu, kerinduan pada tubuh Ibu, tetapi terlempar pada tubuh ayah: dokter kandungan memegang kedua kaki saya dan mengangkat saya hingga jungkir balik. Saya menangis keras. Saya ingin memeluk Ibu. Tapi dokter kandungan seperti tidak peduli. Ia malah menggunting tali pusar saya… saya berteriak memohon Ibu. Dokter menutup tubuh Ibu dengan kain putih… Terpisah dari Ibu… Saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Saya ingin membela Ibu.
Obsesi kematian tubuh
Selain hidup dan seksualitas, tubuh juga melihat dunia lain. Seperti lubang, ia adalah ruang yang berisi imaji, bebas untuk mencipta apa pun. Sekalipun mengerikan, ia bahkan mengharukan. Ia seperti mimpi atau gudang bawah sadar kita: penuh misteri, berantakan, mengentak, seperti percik api yang melompat, tak terbayangkan. Dan, semua dimediasi tubuh. Joko Pinurbo mengejanya dalam Tamu, masih dalam kengerian dan ketakutan: tubuh yang sumpek dan temaram/tamu itu merapal doa sepanjang malam/doanya mencengkeram meremas-remas jantung/sampai darahku bergolak dan tubuhku tersentak:/”Aku takut mati!”
Berbeda dengan Bertengkar dengan Maut Hudan Hidayat dalam Keluarga Gerilya, ia malah menyambutnya dengan antusias bahwa kematian sebagai cita-cita dan kepuasan ditemukan melalui kesakitan tubuh sekalian penaklukan Tuhan. Aku siap di kamarku. Aku ingin membunuh diriku sendiri. Tanganku menggenggam pistol. Aku telah mengisinya dengan peluru. Jadi siap tembak. Tinggal mengokang dan menarik pelatuknya/…siapa yang berkuasa kini? Atau aku? Atau Tuhan? Aku tinggal menarik pelatuk, maka meledaklah kepalaku. Mungkinkah Tuhan dapat menahan ledakan itu? Tidak bisa. Jadi siapa yang berkuasa?
Berbeda pula dengan Sakratul Maut dan Bom Tommy F Awuy dalam Logika Falus, ia mencangkoknya dengan logika cerita: permainan situasi dan pikiran untuk menghentikan organisasi tubuh atas beban hidup yang dipanggul. Melalui tokoh Rio, Tommy memetik semangat kisah Romeo dan Juliet yang membuat peristiwa bunuh diri jadi agung, mengakhiri tubuh sendiri. Rio gelisah tak karuan. Keinginan untuk mengalami sakratul maut makin lama makin kencang menekan-nekan obsesi… aku ingin mencari bagaimana caranya mengalami sakratul maut dalam kondisi yang kita buat sendiri, menikmatinya biar sebentar saja lalu kembali ke alam sadar… Ayo Wisdom, tolong carikan jalan untukku. Aku tak sabar lagi.
Namun, Hudan membangun kematian tanpa latar depresi, trauma, ataupun beban, melainkan hasrat kematian yang penuh kenikmatan untuk mencapai penderitaan tubuh sekaligus mengakhiri kesakitan: Tanganku menarik besi hitam itu, perlahan-lahan. Aku ingin merasakan tahap-tahap kematian. Saat maut menjemput, kata orang, adalah saat-saat istimewa.
Luapan hasrat bunuh diri Hudan seperti antusiasme anak-anak mencicipi es krim rasa coklat-vanila dan stroberi sambil bercita-cita jadi insinyur. Pasti menarik melihat darahku mengucur. Darah yang seperti manusia berjalan, melebar, membasahi karpet dan lantai, akhirnya akan merembes ke luar. Pada saat itu, sudah matikah aku? Kalau belum mati, kacau jadinya. Cita-citaku untuk membunuh diri gagal. Padahal sudah lama kuangankan. Sejak SMP.
Obsesi bunuh diri Hudan bukan sebuah kegilaan yang ekstrem. Ia cuma mau menantang hidup dan menjawabnya dengan kematian, mengajak pengoperasian tubuhnya berhenti. Dirobeklah tubuhnya, tepatnya di bagian perut dan bergumam, aku tidak merasa sedih meninggalkan dunia ini. Mereka bukan milikku. Dan aku bukan milik mereka. Kami membutuhkan secara fungsional saja.
Bila Tommy mencapai kematian dengan keteraturan logika, Hudan mencapai kematian dengan bentuknya yang impulsif, melompat, tercerai-berai. Keduanya berangkat dari pengalaman kelelakian yang menoleh pada kematian. Kematian sebagai ruang yang lengang untuk berjingkrak dan berakrobat. Bahkan, Hudan menyandingkan keinginan untuk mati dengan hasrat untuk membunuh. Bayang-bayang pembunuhan memenuhi otakku. Pokoknya kau harus membunuh! Mencari orang lain tidak mungkin, mengapa tidak diri sendiri? Tanpa menimbang lagi, kugigit lidahku sampai putus.
Mereka dengan pengalaman tubuh lelaki menghasilkan penulisan maskulin untuk mengatasi (baca: melawan) kejenuhan, kekakuan, dan keteraturan melalui kematian. Mereka mengatasi kejenuhannya dengan rentetan kengerian dan permainan kematian, seperti figur Ayah yang lelah bekerja seharian di bawah tekanan struktur kantor, seperti tokoh Ayah dalam Menyusu Ayah Djenar Maesa Ayu yang berperan dominan, juga Joko Pinurbo dalam puisinya yang takut mati tapi ingin pula mencapainya.
A Man’s World adalah dunia laki-laki yang terkungkung. Dengan pembagian kerja yang melelahkan, pria harus selalu mencari nafkah sekalipun tak berbakat. Kelelahan ini tampak pada Keluarga Gila Hudan Hidayat yang membalik pembagian kerja suami istri dan bersama anaknya, tema pembunuhan kemudian menjadi puncak kenikmatannya: Ayah memasak di dapur. Ibu membaca surat kabar-kopinya masih mengepul. Kami saling membenci. Ribuan kali ayah mau membunuh ibu, tapi ibu berhasil lolos… tidak hanya ayah yang mau membunuh ibu. Ibu juga selalu mau membunuh ayah. Juga membunuhku.
Mereka yang jenuh dengan tubuh dan dengannya dunia maskulin tercipta, semuanya begitu transparan terlihat. Saya menyebut kehidupan maskulin sebagai kehidupan yang tunggal seperti penis: tegang, kaku, harus besar dan senantiasa perkasa, tidak intim atau berjarak dan terlalu mengagungkan rasio. Itu sebabnya penulisan maskulin nekat lari ke tepi jurang dan menjatuhkan diri mereka pada kebebasan: membuat ketidakberaturan, membiarkan cair, melompat (kiasme), dan sengaja menjadi tidak rasional. Kematian menjadi nikmat dibandingkan dengan kehidupan yang kaku.
Cerpen-cerpen Hudan dalam Keluarga Gerilya tidak pernah mau tunduk pada aturan, tatanan, selalu ingin keluar dari struktur bahkan dari pembaca. Ia tidak pernah mau jadi obyek pembaca, maunya selalu jadi subyek yang mempermainkan pembaca. Ia selalu keluar dari logika yang mau mengatur. Inilah perjuangan Hudan menjadi bebas (kebetulan menjadi seperti Jean- Paul Sartre), yang tak pernah rela dijadikan obyek: keluar dari predikat maskulin dan aturan peran jender yang dibuat masyarakat. Selain Hudan, mungkinkah mereka berani keluar dari sejarah yang bekerja menurutlogikaLogosSpermatikos?
Mariana Amiruddin
Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan, Magister Humaniora Kajian Wanita UI. Tesisnya “Representasi Seksualitas Perempuan dalam Novel Saman” (Memakai Metode Hermeneutik dan Perspektif Feminis) Sedang dibukukan.
1. Sastra wangi adalah sebutan untuk karya-karya sastra perempuan yang diciptakan oleh kalangan sastrawan, sedangkan sastra bau adalah ciptaan saya sendiri untuk memosisikan bahwa yang bukan karya perempuan berarti “sastra bau”.
2. Baca pendapat Sigmund Freud tentang penis kecil dalam Juliet Mitchel, Psychoanalysis and Feminism (New York: Vintage Books a Division of Random Haouse, 1975) hal 46.
3. Istilah peleburan cakrawala diambil dari Paul Ricoeur dalam tulisan Bronwen Martin tentang Dictionary of Semiotics (New York: Cassel, 2001) hal 7. Peleburan cakrawala adalah konsep hermeneutika di mana penafsir memosisikan diri sebagai peneliti teks yang melebur masuk cakrawala teks yang ia teliti dan di dalamnya akan lahir wacana baru (memproduksi makna baru). Demikian pula dalam tubuh sebagai teks, maka tubuh bisa sebagai tubuh ataupun bukan semata tubuh itu sendiri.
4. Konsep penulisan feminin dapat pula diterapkan pada penulisan maskulin untuk menyatakan suatu hasrat: hidup, seks, dan narasi kematian seperti yang dikemukakan Helena Cixous dalam http://www.geocities.com/Paris/Metro/1022/female.htm tanggal 22 Februari 1998.
5. Baca pemikiran Helena Cixous yang lebih lengkap dalam esei sastranya The Laugh of the Medusa dalam Robyn R Warhol (Ed), Feminisms on Anthology of Literary Theory and Criticism (New Brunswick, New Jersey: Rutgers University Press, 1991) hal 334.
6. Esei Cixous ini sangat mengagumkan. Ia selalu bicara soal ketiadabatasan yang ia imajinasikan dalam kematian dan kehidupan. “Menyerang segala yang terstruktur” itulah misi Cixous yang dipengaruhi dekonstruksi Jacques Derrida dan Lacan, serta feminis Simone de Beauvoir. Baca Helena Cixous dalam Verena Andermatt Conley, Helena Cixous: Writing the Feminine, Expanded Edition (Lincoln and London: University of Nebraska Press, 1991), hal 9.
7. Lihat komentar Ignas Kleden dalam sampul belakang buku Joko Pinurbo, Di bawah Kibaran Sarung (Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2001).
8. Pembahasan ini lebih lengkap di Jurnal Perempuan edisi 30, “Perempuan dan Seni Sastra”, hal 89.
9. Istilah Logos Spermatikos sebetulnya senada dengan Phallosentris, ciri cara berpikir dan mencipta ala maskulin. Istilah ini saya pinjam dari epilog Rocky Gerung berjudul Thank God, It’s Feminism dalam buku Feminis Laki-laki Solusi atau Persoalan? (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,2001)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar