Kamis, 24 Juni 2010

Mitos Panji dalam Bingkai Puisi Payung Hitam

S. Jai*)
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

EMPAT aktor—seorang diantaranya perempuan—di atas panggung memitoskan sebentuk orang-orangan yang mengenakan sarung dan raut wajah tertutup topeng warna putih. Pada leher sebatang manusia yang digantung di ujung bambu persis di tengah panggung itu juga menjuntai selendang putih bersih.

Empat aktor itu khidmad memuja yang dilanjutkan dengan menyeka kulit tubuhnya sendiri dengan air, lalu menghentakkan kaki pada tanah dan sepanjang pertunjukkan actor-aktor bermain dalam bias cahaya api dari lilin di panggung bagian depan.

Aktor terus bermain dengan keseluruhan gesture dan idiom tubuhnya. Sesekali dua kali muncul tubuh aktor lain berperawakan sangat tinggi, aneh, berkaki palsu, berkepala warna merah, berdahi super besar, berjubah. Ia lebih menyerupai makluk angkasa luar dalam film-film Alien. Begitu aneh jelas itu bukan melukiskan tubuh manusia, mungkin tubuh setan atau sejenisnya yang dimainkan oleh manusia berlaku kekanak-kanakkan.

Itulah pertunjukkan Teater Payung Hitam dari Bandung Puisi Tubuh yang Runtuh yang kurang lebih berdurasi 30 menit, di Gedung Cak Durasim, Jl. Gentengkali 85 Surabaya, Kamis malam, 25 Maret 2010 lalu. Meski demikian Rahman Sabur (53), sang sutradara sengaja menggerakkan pola bermain tidak saja pada tubuh aktor-aktornya, melainkan juga dengan pukau slide bergambar topeng. Selain topeng itu sendiri yang lantas dikenakan oleh keempat aktornya.

Sampai di sini, tampaknya akan memunculkan asumsi ketidakpercayaan sepenuhnya pada tubuh, untuk tidak segera membawa pemahaman dominasi atas tubuh—sesuatu cara berpikir aristotalian yang jelas ditolak dari pilihan estetika pertunjukkan ini. Meski demikian hadirnya banyak elemen di luar tubuh aktor justru disadari karena berangkat dari spirit bahwa bagaimanapun tubuh tidak pernah sendiri. Setidaknya alam menjadi bagian dari tubuh atau tubuh telah menyatu dengan alam. Inilah yang coba ditaklukkan ke dalam semacam gagasan atau konsep estetis Teater Payung Hitam maupun oleh sang sutradara Rahman Sabur.

Kiranya menyebut nama Rahman Sabur ini penting mengingat berkali-kali ditegaskan spirit Puisi Tubuh yang Runtuh bermula dari persoalan yang sangat personal. Dalam arti persoalan pribadi—dan mungkin juga bukan soal ilmu pengetahuan—yakni perjuangan melawan penyakit stroke ketika tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan dan juga tidak bisa berbicara. Pada tingkat ini, pada pribadi sutradara menyakini apa yang dikonsepkan dramawan Suyatna Anirun, bahwa berteater adalah untuk menemukan manusia, berhadapan dengan kenyataan. Rahman Sabur boleh menambah deretan teater sebagai terapi.

Di luar itu semua lebih banyak terkandung misteri atau rahasia teater: mitos, tradisi, identitas, simbol dan sudah barang tentu ideologi atau pengetahuan. Yaitu pengetahuan dalam bahasa sosiologi fenomenologi Peter Berger dan Thomas Luckmann perihal internalisasi maupun eksternalisasi dari sutradara maupun aktor-aktor di panggung atas realitas keseharian. Terus terang pada Puisi Tubuh yang Runtuh misteri ini menjadi hal yang sangat menarik dalam dunia hermeneutic sekaligus confuse, membingungkan karena menutup diri—apabila tak merelakan diri segera kembali menggunakan pola pikir model Aristotelian.

Mempertimbangkan mitos Cerita Panji misalnya akan berhadapan pada resiko membuat teks baru dari spirit Panji secara utuh, dan bukan demi sepenggal semisal menukil ruh dari tokoh Panji ataukah ruh Candra Kirana. Ini yang tampaknya tidak dilakukan oleh Teater Payung Hitam. Mitos adalah suatu dunia, demikian pula Cerita Panji adalah dunia. Sebagaimana puisi juga suatu semesta yang memang tidak sederhana. Apalagi musti ditambah dunia wayang topeng (Cirebon, Malang, Madura) di dalamnya yang memang mengambil inspirasi dari Cerita Panji. Sesuatu dunia bukanlah sebuah dunia. Sesuatu dunia adalah dunia yang tak berbingkai.

Karena itu menikmati pertunjukkan Puisi Tubuh yang Runtuh dengan menyederhanakan semesta-semesta, teks-teks tersebut adalah suatu hal yang memiskinkan sense of aesthetic. Dunia ini sangat rumit dan fatalnya tingkat kerumitan teks pertunjukkan ini justru disokong oleh sebuah cara berpikir penyederhanaan. Berbeda tentu saja, manakala menikmati kerumitan itu oleh karena “spiritulitas” memang segalanya tak mau diam. Bahkan sepotong topeng yang keindahannya menakjubkan justru saat berdiam diri, malah dikacaukan dengan gerakan yang pada akhirnya menghancur-leburkannya.

Satu hal amat menarik diajukan dalam analisis Zoetmulder pada Manunggaling Kawula Gusti. Dikatakan bahwa sebetulnya dalam diri Panji kita berjumpa dengan gambaran mengenai Tuhan yang menampilkan diri di dalam dunia. Ia seolah-olah meninggalkan kedudukannya yang asli selaku Dzat Mutlak lalu mengembara jauh diluar negeri-Nya, terlindung oleh samarannya sehingga hanya mereka yang terpilih dapat mengenal-Nya. Jenggalane nut tan adoh, Jenggala tan katilar (Megatruh Serat Centini). Juga dari teks Asmaradana, wayang topeng dengan kisah pernikahan Panji dan Kirana, Zoetmulder mengulas ada pesan bahwa manusia bisa tersesat oleh apa yang mereka anggap kenyataan. Hyang sukmalah yang menyembunyikan diri dalam badan manusia, sehingga manusia tidak melihat Dia dan hanya terserap oleh badan yang hanya berfungsi sebagai topeng.

Dengan kata lain menangkap spirit cerita panji, ruh dari bentuk sebuah mitos jauh lebih subtansial ketimbang menguasai bentuk artistik. Bentuk suatu pencapaian artistik boleh hancur dan tak perlu ditangisi. Agar tak tergelincir pada pengalaman kebimbangan dan sebagai penganut romantisisme yang kerdil dengan berbangga pada masa silam tanpa peradaban. Sebaliknya, mengharu-biru, berdarah-darah hanya dalam mempertahankan bentuk bakal menenggelamkan diri pada sikap narsistis.

Penyederhanaan atau usaha untuk menaklukkan suatu misteri ini tampaknya proses transformasi yang agak mengganggu pada pertunjukkan Teater Payung Hitam kali ini. Hal itu tampak sebagai usaha malu-malu untuk menggeser konsep teater dari titik kulminasi yang dicapainya di bawah baying-bayang proses teater. Utamanya saat beresiko menumbukkan tubuh dengan topeng, tradisi dengan modern, mitos dengan puisi, hitam dengan putih bahkan mungkin sakral dengan profan. Masing-masing punya sejarah dan takdir yang hanya dengan kejujuran, keiklasan dan kebesaran jiwa sanggup untuk bertemu, berdialog agar memperkaya diri berkat puncak-puncak kulminasi identitas teater.

Apa yang tersebut terakhir ini ditemukan pada konsep bermain dalam pengertian yang seutuh-utuhnya, setinggi-tingginya sonder reduksi ideologi berpikir tertentu. Apalagi cara berpikir model Cartesian yang kesohor cogito ergo sum. Sebetulnya hal itu bisa ditangkap dari bangun artistik pertunjukkan, dimana di panggung tergantung berayun lima bambu vertikal yang mengesankan alami namun sakral. Aktor-aktor tersebut bermain di ruang dan dalam kesepakatan permainan mereka sendiri. Kesepakatan bermain inilah meminjam istilah Johan Huizinga, yang menjadi ajang ruang luang untuk bergerak dalam diri maupun tubuh keaktoran—dan di sisi lain penikmat teks permainan dipertemukan dengan waktu dan ruang pertunjukan teater. Permainan adalah suatu perbuatan atau kegiatan sukarela yang dilakukan dalam batas-batas ruang dan waktu tertentu yang sudah ditetapkan, menurut aturan yang telah diterima tapi mengikat sepenuhnya dengan tujuan dalam dirinya sendiri, disertai oleh perasaan tegang dan gembira, dan kesadaran ”lain daripada kehidupan sehari-hari.”

Hanya dengan demikianlah apa yang menjadi credo muasal Teater Payung Hitam dalam “dialektika antara realitas dan idealitas” mampu menempuh lintas ruang waktu. Meskipun ketiganya baik dialektika, realitas maupun idealitas produk dari suatu aliran filsafat barat namun sanggup menembus proses tranformasi menuju kulminasi identitas teater pasca-modern Indonesia atau teater pasca mitos kita. Estetika baru yang pernah dicapai Teater Payung Hitam saat mendekonstruksi teks Kaspar-nya Peter Handke seakan inhern dengan situasi dan kondisi krisis kemanusiaan, ketidakadilan, kekerasan, otoritarianisme, politik pada massanya. Pendeknya, Teater Payung Hitam yang menurut kabar bakal menggelar karya terbaru Rahman Sabur ini pada public festival di Belgrade Serbia di Patosoffiranje International Multimedia Festival di Serbia yang berlangsung 2 Juli hingga 20 Agustus 2010 nanti, bakal melestarikan suatu utopian perihal kesepakatan abadi. Yakni sepakat untuk sejenak tidak menjadi manusia modern. Sejenak untuk menjadi makluk primitif oleh karena bentuk-bentuk permainan paling suci ada pada spirit hidup makluk primitif–sudah barangtentu termasuk di dalamnya dunia binatang.[]

*) Penulis adalah pengarang dan pegiat komunitas teater keluarga, tinggal di pinggiran hutan jati Lamongan selatan.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati