Rabu, 30 Juni 2010

“Tuk”, Menziarahi (Legenda) Sastra Jawa

Ardus M Sawega, Sonya Helen Sinombor
http://cetak.kompas.com/

”Ana tangis layung-layung/Tangise wong wedi mati/Gedongana, kuncenana/Wong mati mangsa wurunga….”

Sepenggal Ketawang Soyung yang dilagukan dengan nada pilu di bagian awal pementasan lakon ”Tuk” —sebuah repertoar berbahasa Jawa yang dipentaskan pada 26-28 Juni 2008 di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Solo—itu seakan mengentak setiap penghayat yang memahami filsafat yang terkandung di dalamnya.

Terjemahan tembang di atas: Ada tangis terdengar samar/Tangis orang yang takut mati/Meski dikepung gedung, meski digembok serapat apa pun/Maut mustahil dicegah…. Tembang ageng serupa requiem atau nyanyian kematian itu hanya pembuka, nyaris tak ada kaitan langsung dengan adegan-adegan berikutnya yang penuh gebrakan dan cerocos caci-maki ala Jawa.

Lakon ”Tuk” yang selama tiga malam dipentaskan oleh Teater Lungid Solo tak lain adalah lakon sama yang beberapa kali dipentaskan oleh kelompok Teater Gapit, sekitar tahun 1980-1990. Bahkan, sebagian besar personel pemainnya pun adalah pemain Teater Gapit: Pelok Sutrisno, Budi Bayek, Wahyu Cunong, Djarot B Santoso, Cempluk Lestari, dan lain-lain.

”Teman-teman pendukung Teater Gapit ingin lepas dari bayang-bayang Kenthut (Bambang Widoyo SP, pendiri, penulis naskah, dan sutradara Teater Gapit). Mereka ingin membuat produksi baru, bukan dengan lakon-lakon yang ditulis Kenthut. Biarlah nama Gapit menyatu dengan Kenthut, tetapi kami akan memulai debut baru dalam pementasan teater berbahasa Jawa pada masa mendatang,” papar Budi Bayek, pimpinan Teater Lungid.

Pernyataan Budi Bayek itu bisa memancing debat panjang, tetapi tulisan kali ini hanya mau membuat refleksi tentang keberadaan Teater Gapit atau lebih tepat repertoar-repertoar karya mendiang Bambang Widoyo SP alias Kenthut (1957-1996). Setidaknya ada tujuh lakon telah ditulis Kenthut sejak 1982, yaitu ”Suksukpeng”, ”Brug”, ”Rol”, ”Leng”, ”Tuk”, ”Dom”, dan ”Reh”. Lakon terakhir, ”Luh”, tak sempat dia selesaikan karena Kenthut keburu menghadap Sang Pencipta akibat sakit yang bertahun ia derita.

Ode kaum miskin

Pementasan ”Tuk” di Taman Buadaya Jawa Tengah lalu memang bukan pentas pertama, melainkan sebuah repetisi—hanya dengan nama kelompok berbeda. Tak ada perubahan sedikit pun dari lakon yang ditulis Kenthut pada tahun 1992. Setelah 10 tahun absen, para pemain (lama) masih menunjukkan stamina yang sama. Dialog-dialognya masih terasa segar dan mengundang gelak tawa, berikut pisuhan (makian) spontan khas masyarakat marginal.

Dari tujuh lakon karya Kenthut, ”Tuk” mungkin bisa disebut sebagai masterpiece. Lakon yang berdurasi sekitar 2 jam 15 menit ini bercerita tentang nasib wong cilik dan kaum miskin yang tinggal dalam lingkungan magersaren. Magersaren adalah permukiman rumah-rumah sempit sewaan yang berjejalan dalam satu areal.

Para penghuni magersaren itu antara lain terdiri atas tukang jahit, bakul pasar, preman, pengangguran, tukang kerok, tukang tambal ban, dan pedagang kelontong keliling. Mereka disatukan oleh nasib sebagai orang kecil, marginal, menghadapi kekuasaan pemilik magersari dan pemilik modal besar yang konon hendak menggusur areal magersaren tersebut untuk dijadikan pertokoan modern. Sebuah tema yang akan tetap ”abadi” dalam persoalan perkotaan kita.

Kelompok marginal ini oleh Kenthut diletakkan dalam latar dunia pikir atau world view Jawa yang sedikit banyak diwarnai oleh mistikisme dan mitologi wayang yang hidup hingga sekarang. Salah satunya adalah pandangan—diwakili tokoh perempuan tua Mbah Kawit—tentang sumur atau tuk sebagai sumber kehidupan, yang kebetulan berada di tengah lingkungan magersaren.

Ketika sumber kehidupan itu ternoda lantaran dikencingi oleh tokoh preman Soleman alias Lisman Lempit dan jadi lokasi perselingkuhan Menik (anak pemilik magersari), penunggu sumur pun murka. Magersaren itu diamuk api dan terbakar habis. Bersamaan dengan itu, Mbak Kawit, janda tua tanpa anak yang menjadi panutan komunitas ini, mengembuskan napas terakhir. Pementasan panjang yang menghabiskan napas itu pun berakhir.

Selain ”Tuk”, repertoar-repertoar Gapit umumnya menyuarakan nasib orang-orang kecil yang tertindas, sebuah ode atau nyanyian sedih bagi kaum miskin. ”Suksukpeng” misalnya bercerita tentang masa senja seorang juragan kesenian, ”Rol” bercerita tentang kecemasan para preman dan gali akan ancaman penembakan misterius atau ”petrus” yang dilakukan aparat keamanan, ”Leng” cerita tentang pembangunan pabrik yang menjadi simbol kapitalisme yang menindas, atau ”Dom” cerita tentang nasib masyarakat yang terbuang oleh stigma yang dilakukan pemerintah.

Karena itu, tak heran bila ”ideologi” Bambang Widoyo itu terekspresikan lewat ”orasi” para tokoh dalam lakonnya. Ekspresi orang tertindas yang marah dan tak berdaya sehingga sering terkesan bertele-tele.

Legenda

Nilai lebih Teater Gapit dengan lakon-lakon yang ditulis Bambang Widoyo SP justru karena ia ditulis dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa, sebagaimana bahasa daerah atau bahasa ibu lain yang dalam konteks kebudayaan Indonesia, dilaporkan mengalami penggerusan alias terancam tidak populer di tengah masyarakat penuturnya sendiri.

Pilihan penggunaan media bahasa Jawa jelas bukan sekadar romantisme. Dalam pementasan Teater Gapit yang melibatkan para pendukung—pada tahun 1980-an terdiri atas mahasiswa Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta—yang amat akrab dengan elemen-elemen seni budaya tradisi Jawa, betul-betul telah memperkaya seluruh pementasan. Mereka bukan hanya sebagai pemain, melainkan juga sebagai kontributor yang konkret sejak proses penulisan naskah hingga pemanggungan karena masing-masing memiliki latar keterampilan yang memadai, seperti karawitan, pedalangan, dan tari.

Oleh karena itu, pementasan Teater Gapit terasa utuh dan memperlihatkan kekompakan dari setiap unsur pemanggungannya. Ini mungkin yang membedakannya dengan pementasan kelompok teater lain. Sering kali, pada lakon-lakon Gapit kita menemukan dunia pikir Jawa yang mistik, seperti pada Ketawang Soyung yang dikutip di awal tulisan. Ini memperlihatkan kedalaman Bambang Widoyo pada ajaran spiritual ala Kejawen.

Pilihan Teater Gapit menggunakan media bahasa Jawa lisan atau sehari-hari yang kadang vulgar bagi telinga priayi, pasti bukan sekadar berangkat dari romantisme. Ini sebuah pilihan akan sebuah genre yang berpretensi bahwa sastra Jawa (modern) akan bisa diterima di tengah masyarakat (Jawa) yang selalu berubah. Inilah yang membedakannya dengan bentuk sandiwara berbahasa Jawa lainnya, baik di panggung maupun radio.

Dalam konteks perjalanan dan perkembangan sastra Jawa, Teater Gapit dan lakon-lakonnya bisa disebut sebagai ”metamorfosis” tradisi kapujanggan yang pernah hidup di Surakarta. Seperti kita tahu, pada kurun pertengahan abad ke-19, Surakarta menjadi mercusuar sastra Jawa, yang adiluhung lewat sejumlah pujangga, seperti RNg Ronggowarsito dan KGPAA Mangkunegara IV. Namun, tradisi itu telah lama ”putus” dan kini tinggal legenda.

Sejak lebih dari 10 tahun, sebagian kalangan pemerhati memprihatinkan perkembangan sastra Jawa yang dewasa ini bisa dibilang ”mati suri” atau antara ada dan tiada. Namun, anehnya, fenomena Teater Gapit dengan lakon-lakon yang ditulis oleh Bambang Widoyo tidak pernah menjadi bahan telaah di tengah masyarakat sastra dan bahasa Jawa. Teater Gapit berhenti semenjak meninggalnya Bambang pada tahun 1996.

Lalu, Gapit seolah menjadi legenda dan tinggal sebagai kenangan. Maka, jangan-jangan pementasan ”Tuk” di TBJT yang lalu menjadi semacam ”peziarahan” belaka. Entah ziarah pada Gapit (Bambang Widoyo) atau pada sastra Jawa.…

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati