Rabu, 08 September 2010

Anak Betawi Sebagai Sastrawan

JJ Rizal*
http://www.ruangbaca.com/

Betul juga Zefry Alkatiri, yang bilang dalam sajaknya, “Anda Memasuki Wilayah…”, bahwa masuk wilayah Jakarta itu ada saja syaratnya. Disebutnya rupa-rupa tempat di Jakarta yang mesti dimasuki dengan rupa-rupa syarat. Kalau tidak, bakal ketiban pulung. Tetapi, dalam sajak itu Zefry tak menyebutkan kalau Jakarta pun menuntut syarat kepada teman-teman atau pendahulunya sesama sastrawan ketika mau masuk.

Jakarta, yang dianggap sastrawan seantero Tanah Air sebagai ikon modernitas, mensyaratkan mereka sebelum masuk untuk mencopot tradisi dan masa lalu yang dibawa dari kampung halaman. Tengoklah pengakuan Goenawan Mohamad. Ketika masuk Jakarta di tahun 1960, sebagai seorang penyair “kemarin sore” dengan segerobak ambisi sastra, ia mengaku mesti menggosok-gosokkan punggungnya hingga beberapa sisa masa lalu yang melekat seperti daki itu kikis, makin pudar.

Asrul Sani menghardik orang kampungnya supaya meninggalkan ia sendiri di Jakarta dan jangan menganggunya lagi. Sedasawarsa sebelum Asrul menulis Surat Kepercayaan Gelanggang (1946) yang kritis (kalau tidak bisa disebut apriori) dengan masa lalu, kampung halaman dan tradisi, eksponen Polemik Kebudayaan, Takdir Alisjahbana dan Achdiat Karta Mihardja, mengajukan tesis yang serupa. Demi terbentuknya “manusia baru” dan seni yang betul-betul baru serta terinspirasi dari Barat, bersikap kritislah terhadap tradisi. Tesis yang laris manis.

Apakah bagi Zefry dagangan laris manis dari zaman ke zaman itu tak ada artinya? Atau dirasa tak perlu menyebutkannya, lantaran sebagai anak Betawi ia tak pernah merasakan ketegangan dengan masa lalu, tradisi, dan juga kampungnya? Lebih jauh lagi, apakah sikap mental Zefry itu merupakan sikap mental kolektif mayoritas anak Betawi yang mengambil jalan sastra: kukuh pada tradisi dan setia pada akar kebetawiannya?

***

Tanpa mempedulikan kecenderungan perkembangan puisi Indonesia mutakhir, Zefry merintis jalan sastranya sendiri dalam peta sastra Indonesia dengan memanfaatkan sumber-sumber sejarah lisan maupun tulisan. Namun, jika diperhatikan sajak-sajak dalam kumpulan Dari Batavia Sampai Jakarta (2001), ia sesungguhnya telah mengambil peran persis tukang cerite yang hidup dalam tradisi Betawi.

Sajak-sajaknya naratif. Bahkan menjurus epik. Dalam epik tukang cerite berisi petualangan jin dalam pelbagai kaliber. Sedangkan dalam sajak Zefry dapat dinikmati petualangan sejumlah petinggi Kompeni, seperti J.P. Coen, Valckenier, dan Reineir, saksi tikus yang berpesta saban hari di graanpakhuizen Kompeni. Termasuk petualangan dari zaman pasca-Belanda minggat, seperti Mat Item benggolan tukang santron, cokek Teluk Naga, Habib kampung Arab, dukun Betawi dan Bang Ali pembangun Jakarta.

Pada keseluruhan karya Zefry terpantul hubungan antara penyair dengan lingkungan sosial-budayanya. Karyanya adalah perhatian dan penghayatan si penyair akan kehidupan budaya Batavia-Betawi-Jakarta yang plural. Masa lalu bagi Zefry bukan beban, tetapi alat untuk memahami identitas dan artinya menjadi selaras zaman. Tengok sajaknya “Lorong Waktu”. Meski bergaya polos, tapi judulnya tidak kekanak-kanakan. Pilihan judul “Lorong Waktu” mengisyaratkan sebuah rumus filsafat tentang waktu. Lorong waktu adalah refleksi di mana siapa pun bisa ke masa lalu dan ke masa depan dengan sejarah. Membaca sajak ini–seperti juga sajak-sajaknya yang lain–bisa dirasakan refleksi tentang waktu, tentang kefanaan dalam konteks Jakarta sebagai kemasyarakatan dalam berabad-abad.

Dengan masa lalu itu pula mata batinnya Zefry terus dalam kepekaan dan nalurinya terasah mencerap kemanusiaan yang membawanya kepada keharuan. Sehingga sejarah yang ada dalam sajak-sajaknya bukanlah sejarah dengan S besar. Sejarah yang ditunjukkannya itu adalah sejarah perikemanusiaan di atas tragedi pertentangan penjajahan dan orang-orang yang dijajah, di atas pembunuhan yang dilakukan Valcnier terhadap orang-orang Cina, bukan sekadar derita eks-PKI yang dianggap lepra keparat, atau serangan membabi buta tentara terhadap mahasiswa di Semanggi tahun 1998. Segala muatan tragedi itu diperlihatkan Zefry, bahkan yang kecil sekalipun, seperti dalam sajaknya, “Buah Jambu dari Pasar Minggu”.

Zefry pun melahirkan sejenis sajak yang dalam bangsa mana pun di dunia sampai abad ke-21 masih hidup dan dikenal sebagai sajak yang berorientasi terhadap folklor. Beberapa contohnya sajak “Legenda Mat Item”, “Keroncong Tugu”, “Habib”, “Jampi Dukun Bayi Betawi”, “Pantun Mainan Anak Blande, Indo, dan Pribumi Betawi”.

***

Pada generasi sastrawan Betawi yang lebih muda dari Zefry keterikatan dengan akar tradisi, masa lalu dan lingkungan budayanya pun terlihat kuat. Cerpenis Zen Hae dalam Rumah Kawin(2004) memperlihatkan betapa asyik ia mengawinkan pengalaman masa lalu, lengkap dengan tradisi-budayanya sebagai orang Betawi pinggir. Dari sana ia–saya pinjam ungkapan Nirwan Dewanto–menjelma menjadi narator.

Ya, lewat caranya sendiri Zen Hae pun–seperti disebut dalam cerpennya, “Kelewang Batu”–telah mengaitkan diri pada tradisi sahibul hikayat alias si ampunya cerita atau tukang cerite. Dan, sebagai yang ampunya cerita Zen Hae berjasa besar memperlihatkan dunia batiniah Betawi pinggir, yang dalam sejarah, juga sastra, masih sedikit sekali mendapat perhatian (kalau tidak bisa disebut belum pernah).

Dalam cerpen “Rumah Kawin” tergambar kehidupan cokek (penyanyi gambang) dan perkaitannya dengan dunia jago yang menjadi bagian dari tradisi khas masyarakat Cina Benteng Tanggerang. Bisa tahu pula tradisi nyambut (berlaga) lengkap dengan gaya dan corak maen pukulan (silat) Betawi yang hidup di antara para jago dari kulon (barat) Jakarta yang dilukiskan dalam “Hikayat Petarung Kampung”. Termasuk ihwal kesurupan dalam “Rumah Jagal” dan “Kelewang Batu” soal peninggalan prasejarah Jakarta yang hidup dan dikenali penduduk Betawi secara khas serta dihidupkan dalam mitos-mitos.

Segenerasi dengan Zen Hae adalah Chairil Gibran Ramadhan. Anak Betawi Pondok Pinang, Jakarta Selatan, ini pun membawa set Betawi dalam cerpen-cerpennya yang sejak 1997 tersebar di surat kabar nasional.

Seperti halnya Zefry dan Zen Hae, ia pun mengolah mitos dan folklor serta menangkap “pengalaman otentik” masyarakat Betawi-Jakarta menjadi kisah kesaksian, namun dengan nada kegelisahan yang kuat akan keburukan-keburukan nasibnya di tengah metropolis Jakarta. Wabil khusus cerpennya ihwal perkaitan tradisi Betawi dengan Islam, yang sering disebut sebagai napas hidup orang Betawi, tentu akan menjadi dokumen sosial menarik, seperti “Tarawih”, “Malam Lebaran”, “Dzikir”.

***

Zefry, Zen Hae dan Gibran adalah kabar menggembirakan jika membicarakan masa depan dan percaturan anak Betawi sebagai sastrawan. Generasi baru yang telah mengambil estafet dengan caranya sendiri-sendiri dari sastrawan Betawi terdahulu, seperti S.M. Ardan dan Firman Muntaco, namun dengan sikap dasar dan tempat berangkat yang sama, yaitu masa lalu, tradisi, dan kampung halaman sendiri.

Dan, seumpama ujian kepengarangan adalah kritik dan waktu, maka ketiganya telah mendapat tempat dan pandangan positif dari masyarakat luas, juga kritikus sastra. Hal yang menarik adalah, dengan orientasi penciptaan yang mengakar pada akar kebetawiannya, mereka tidak mengalami nasib seperti sastrawan Yogyakarta yang setia pada akar kejawaannya. Mereka tak dikucilkan, dipandang sinis dan tak bernilai oleh barisan kritikus sastra nasional, sebagaimana yang dilukiskan menjadi pengalaman pahit, mengecewakan, bahkan bikin dendam sastrawan Yogyakarta oleh Farida Soemargono dalam Groupe de Yogya les voies javanaises d’une literature Indonesienne (1979).

Pada akhir 1954 dan awal 1955, cerpen-cerpen bertema dan berdialek Betawi-Jakarta S.M. Ardan ketika dimuat di majalah Kisah, yang sudah dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari usaha penyebarluasan sastra Indonesia modern, memang menuai kritik keras yang terus berlanjut menjadi polemik. Namun, H.B. Jassin selaku redaksi Kisah membelanya, sebab karya Ardan akan memperkaya kesusastraan Indonesia. Sastra Indonesia mencakup juga karya yang tertulis dalam dialek Jakarta, karena itu Kisah tetap memuat cerita-cerita Ardan. Sebab itu pula mungkin Jassin enteng saja menyebut nama Ardan, juga Firman Muntaco dengan Gambang Jakarte-nya yang pol Betawinya itu, dalam pembahasannya mengenai sastra Indonesia.

Ada banyak kemungkinan sebab penerimaan ramah dan apresiasi di aras nasional terhadap sastrawan Betawi. Mungkin karena mereka ada di “pusat”; mungkin juga lantaran kritikus lebih dekat dan mengenal tradisi budaya Betawi-Jakarta, sebab di kota itulah mereka mukim; mungkin juga sebab bahasa Melayu dialek Jakarta itu sudah menjadi bahasa ngoko-nya orang Indonesia dalam perkembangan bahasa Indonesia yang mengalami kromoisasi.

Yang jelas, dalam karya-karya anak Betawi sebagai sastrawan sejak S.M. Ardan, Firman Muntaco, hingga ke Zefry, Zen Hae serta Gibran, pembaca dan kritikus bukan saja disajikan sastra sebagai belles letters. Lebih jauh lagi sesuatu yang disebut Denys Lombard dalam Histoires courtes d’Indonesie sebagai karya-karya yang dianggap sumber yang bisa mengantarkan kepada sejarah sosial masyarakat Indonesia di suatu periode dalam keanekaan budaya dan masyarakatnya, khususnya Betawi-Jakarta. Sebab mereka memiliki “cara merasakan semesta Betawi-Jakarta”. Tradisi Betawi-Jakarta, dalam hal ini, rupanya “telah jadi” dalam nilai yang seterusnya terpadu dalam batin mereka.

Akhirnya, dalam karya-karya mereka, siapa pun dapat menemukan sebuah jaringan dari referensi-referensi secara puitis, budaya dan antropologi yang nyata dan mempunyai pengaruh yang menentukan sebagai simbol semua cinta mereka dan perih mereka atas kejahatan dan keburukan kota Jakarta yang sedang dimodernisasi (kalau tidak bisa disebut diwesternisasi). Dan, ini bukan saja memungkin mereka dapat menangkap dengan tepat gambaran khas masyarakat asli dan kaum urban Jakarta, tetapi juga mampu membuat karya mereka disemangati pengamatan rasa kemanusiaan yang inklusif, merangkul dan memiliki kesadaran kemanusiaan yang satu.

*) Peneliti sejarah dan sastra Komunitas Bambu

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati