Rabu, 08 September 2010

Cermin

Agus B. Harianto
http://www.sastra-indonesia.com/

Cermin itu telah retak. Retakannya membentuk garis tak beraturan. Layaknya pantulan petir menyambar pepohonan. Sebuah garis tak beraturan memisahkan dua sisi retakannya. Dari pojok kanan atas. Memecah keutuhan cermin hingga kiri bawah. Tak ayal lagi, bias sebelah kanan menjadi lebih tinggi. Cermin itu layak tak terpakai. Seharusnya dibuang. Untuk mengaca pun, cermin itu terasa kurang pas. Apalagi mengamati pantulan kekurangan riasan diri.

Cermin itu kubeli tiga bulan lalu. Tukang loakan yang kebetulan lewat membawanya. Tawar menawar pun terjadi. Hasil akhir dicapai. Sebuah cermin untuk menghiasi kamar. Pelengkap ruangan tempat melihat-lihat diri. Dan kala ingin keluar, tiada lagi perasaan kekurangan dengan dandanan.

Aku melangkah tergopoh melawan kejamnya waktu. Tak pernah kudapati ia mau berhenti dan tak pernah dapat mengerti. Terlambat bangun adalah kebiasaan yang tak mampu kupatahkan begitu saja. Saat begadang semalaman menjadi idaman semenjak sore. Berkejaran dengan jadwal jam masuk kerja menjadikanku terbatah melawan kantuk. Kamar tempatku ngekos menjadi mau memahami. Kepanikan sebagai akibat keterlambatan bangun pagi. Dua kamar terpisah seakan telah hafal dengan peristiwa yang jarang terjadi, bangun telat. Dapat ditengarai. Hampir setiap jum’at pagi, hal ini terjadi. Gedubrak barang-barang. Langkah tergesa ataupun senggolan tangan menjadi penyebab. Jatuh dari tempatnya semula atau terguling menjadi akrab pada telinga sekitar. Tawa kawan-kawan sekitar tak bisa menyurutkan kepanikanku.

Aku mandi sekenanya. Air yang membatasi dirinya mengalir pelan. Hingga tak menetes setitik pun. Kuguyurkan sedikit pada kepalaku. Otakku masih terasa penat dengan diskusi semalam. Keesaan dan pengesaan Tuhan. Pening kepalaku memikirkannya.

Senyum-senyum kecut kulewati. Tampang-tampang menertawakan kulalui. Wajah-wajah sok usil tak kuhiraukan. Mereka hanya berniat menggoda dan mengendurkan semangatku mencumbui kehidupan yang keras. What the hell! Aku tak perduli. Aku mainkan saja peran sok penting. Sok sibuk. Dalam benakku hanyalah jam masuk kantor yang terus meneror.

Kamar kontrakan yang tidak begitu luas dapat menghemat gerakku. Tiga kali empat merupakan ukuran umum di Ciputat. Sebuah pintu menghadap ke utara menjadikannya terhindar dari panas menyengat. Kala liburan dan ingin istirahat dari penat pekerjaan. Kaca bening dan jendela krepyak di sebelahnya membuatku dapat melihat keluar dengan leluasa. Hanya dengan menyibakkan sedikit kelambu usang yang menempel padanya.

Lemari plastik yang terpampang di balik pintu adalah perkakas yang kubeli dengan cicilan. Buku-buku tertumpuk rapi menyebelahi lemari itu, hampir semuanya pernah terbaca. Di sisi satunya dari lemari itu, sebuah kardus yang terisi pakaian kotor yang kerapiannya melebihi ombak lautan. Tiga inchi dari buku-buku itu kasur kecil, tempatku meregangkan penat, terburai tak sedap dipandang mata. Dan, di sebelah pintu bagian dalam kugantungkan cermin yang retak tersebut. Jika pagiku longgar, seringkali aku memandangi cermin itu. Ataukah memandangi diriku sendiri dalam cermin?

Semenjak cermin itu tergantung di sana, dan jika pintu terbuka, selalu saja ada yang memanfaatkannya. Aku sendiri memakainya sebelum berangkat kerja, ataupun kawan-kawan sekitar.Walaupun murah dan kubeli dari tukang loakan, ia tak pernah sepi dari kegunaannya. Ia tak pernah lepas dari bayangan wajah orang-orang sekitar.

Seragam kerja telah terpakai di badan. Kesiapan kerja untuk hari jum’at ini telah di tangan. Tinggal kunci motor dan berangkat. Seperti biasa, aku pun berdiri mematung. Diam sebentar sebagai pelaksanaan pemasrahan diri dan doa sebelum berangkat. Sebagaimana pesan kedua orangtuaku. Berdoa sebelum melaksanakan segala sesuatu.

Tawa anak kosan yang lain beriringan melaju ke areal parkir. Deru suara motor dipanasi telah terdengar. Bersaingan. Berselingan dengan canda dan obrolan ringan tentang demo kemarin. Anak-anak kampus mengusut korupsi. Jalanan macet. Suara-suara jahil anak majikan merasa berisik. Sayup-sayup terdengar ke telingaku. Mengalun lamban untuk akhirnya hilang di telan angin pagi. Menguap musnah dipanggang hangat mentari pagi.

Sejak tiga bulan lalu, kunci motor aku gantung di bawah cermin itu. Untuk kemudahan dan kecepatan. Bercermin sebentar sambil meraih kunci dan pergi. Dengan sigap, aku pun melangkah ke depan cermin. Maksud hati meraih kunci dan helm di atasnya. Mengamati dandanan dan membenahi yang kurang sedap dipandang.

Aku tersentak kaget. Kulihat gerakanku tidaklah demikian. Tiba-tiba cermin itu memantulkan bayangan yang gerakannya berbeda sedikit dengan gerakanku. Otakku berputar cepat. Analisa masalah sedang berlangsung. Sambil. Mataku terus menatap cermin retak itu. Kugerakkan sedikit lain tanganku kini.

Cermin itu retak memanjang. Tentunya bayangan sebelah kanan lebih tinggi. Hanya aku yang berada di depan cermin. Dan pastinya segala macam gerakan yang ada di dalam sana akan sama dengan gerakan yang kubuat. Tetapi kenapa tangan yang ada dalam cermin itu bergerak berbeda?

Tanganku sebelah kanan kugerakkan menyamping. Tangan kiri tergerai memegang kunci. Sedangkan tangan-tangan yang ada dalam cermin itu bersilang di depan dada. Ia membentuk silangan pertapa. Tak ayal lagi, aku bingung. Kacau otakku memikirkannya.

Istirahatku kurang. Mataku belum terpejam cukup. Perih. Berkaca-kaca. Benakku berusaha keras menelaah kejadian itu. Kupejamkan mata dan kubuka kembali berulang-ulang. Kedipannya tak terhitung lagi. Sembari kugerakkan kepala memahami yang sedang terjadi. Tetap saja gerakan dalam cermin itu tidak juga sesuai dengan gerakanku.

Kubuka mulutku. Ia tidak menirukannya. Kupegang hidungku. Ia masih mematung. Matanya melotot menatapku. Nanar. Jalang. Tetapi, kepasrahan dan penuh pengharapan dapat kurasakan dari tatapan mata itu.

Kutelisik wajahnya. Ia sama mirip dengan gambar wajahku yang kuhapal dari foto-fotoku. Codetan memanjang di pipi sebelah kiri pun terbentang di wajah itu juga. Buru-buru aku memegangnya. Ia tetap mematung. Bagai pertapa-pertapa yang tidak mendapatkan gizi berbulan-bulan. Namun kini matanya memejam. Mulutnya berkomat-kamit. Entah yang ia gumamkan.

“Hei, kamu!” teriakku pada bayangan di cermin itu.

Mendengar teriakanku, bayangan manusia dalam cermin itu membuka matanya. Mulutnya tidak lagi berkomat-kamit. Mata itu sendu menatapku. Rasa memelas dapat kutengarai darinya. Tangannya tetap bersilang di depan dada.

“Iya, Baginda!”
“Siapa kamu?”
“Saya adalah engkau, Baginda!”

Aku semakin bingung dengan suaranya. Jawabnya. Cermin bisa bicara? Apakah ini hanya mimpi? Kucubit pipiku. Sakit dapat kurasakan dari bekasnya. Bayangan itu masih menatapku sayu. Mulutnya bungkam. Wajahnya menyiratkan penantian. Kuputar otakku keras. Aku tak percaya fenomena di hadapanku.

Aku menoleh ke belakang. Harapanku akan orang lain yang mirip diriku berada di belakangku berdiri. Sedang ingin bercanda denganku. Seperti saat-saat istirahat sore sepulang kerja dengan kawan sekosan. Mataku mulai menyapu sekeliling kamar kosan. Tak seorang pun. Kosong. Hamparan tembok beku masih berdiri kokoh di belakangku. Bersih dari tempelan gambar. Kasur kecil berserak di dasar tembok itu.

Jam dinding tergantung menempel di tembok samping kanan. Dapat kulihat pula ia di dalam cermin itu. Detakannya terdengar miris. Aku beringsrut dari tempatku semula. Mundur selangkah. Bulu kudukku semakin tidak sabar untuk berdiri. Satu persatu mereka berkejaran untuk berdiri. Hingga puncak ubun-ubunku. Terkesiap aku dibuatnya. Merinding.

Kutatap lagi cermin itu dalam-dalam. Retakannya masih sama. bayangan yang ada di dalamnya masih membisu. Kini, matanya mengamati gerak-gerikku. Ia menelisik setiap lekuk tubuhku. Tiap helai rambutku. Aku merasa ditelanjangi.

“Siapa kamu sebenarnya?”
“Maaf, Baginda! Saya adalah engkau!”
“Jadi benar! Kamu adalah aku?”
“Benar Baginda!”
“Kalau kamu adalah aku, maka seharusnya aku adalah kamu!”
“Benar, Baginda!”
“Tapi kenapa kamu tidak mengikuti setiap gerakanku?”

Suasana lengang. Seperti biasa, jam masuk kerja. Kawan-kawan pasti sudah berangkat. Deru motor tiada lagi kudengar. Kota metropolitan ini membuat kami harus berjuang keras melawan kejamnya waktu. Tinggal caci maki ibu-ibu pada anak-anaknya, yang sebentar kemudian menghilang. Sepoi panas angin Jakarta menelusuk celah-celah bangunan.

Bayangan dalam cermin itu diam. Ia tiada menjawab pertanyaanku. Kesunyian pagi sungguh terasa. Kutajamkan telingaku. Barangkali ada langkah datang, setelah aku membentak keras pada bayangan dalam cermin itu. Tak satu pun. Sunyi. Tik-tak jam dinding ikut hanyut dalam kesunyian.

“Baiklah! Jika kamu adalah aku, aku ingin menanyakan suatu hal! Jikalau aku berkata ‘A’, maka seharusnya kamu pun berkata ‘A’. Jika aku mengangkat tangan kiriku, seharusnyalah kamu juga mengangkat tangan kirimu. Apakah karena kamu berhadapan denganku sekarang, yang itu berarti kiriku adala kananmu, hingga kamu tidak mau mengangkatnya dan hanya menyilangkannya? Dan, itu berarti kamu bukanlah aku!”

Bayangan dalam cermin itu masih diam. Malah, ia kini duduk bersila. Seperti pertapa-pertapa kesepian di atas garis-garis keramik yang terpantul dari lantai kamarku. Matanya terpejam, seakan tidak menghiraukanku. Aku mengernyitkan dahiku. Harapan hati dapat memahami yang sedang ia lakukan. Tapi, bagaimana aku bisa memahaminya tanpa sepatah kata pun darinya?

Otakku terhenyak dalam keheranan. Wajahnya adalah wajahku. Tubuhnya adalah tubuhku. Segala yang aku kenakan ia memakainya juga. Tetapi kenapa segalanya berbeda dengan semua yang aku kehendaki? Gontai aku berjalan mendekat kembali. Kuamati sekali lagi. Dari ujung rambut hingga lutut-lutut yang bersila itu. Semuanya sama persis dengan diriku. Hmmm!

“Baiklah akan kucoba menuruti kemauanmu. Kamu ada karena aku, namun aku ada bukan karena kamu. Dengan membelakangi dirimu, akankah kamu bertindak seperti yang kuperintahkan? Dengan membelakangi dirimu berarti sisi kananmu adalah sisi kananku juga. Lantas bagaimana aku dapat mengawasi kamu melaksanakan apa yang kuperintahkan dengan membelakangi dirimu?”

Ia tetap membisu. Mulutnya berkomat-kamit yang tidak bisa aku baca. Matanya terkatup rapat. Tangannya masih menyilang di depan dada. Wajahnya memancarkan keseriusan. Tiada gerak lain yang aku temukan. Kecuali dadanya yang menahan nafas keluar masuk.

Aku semakin tidak mengerti. Aku asyik mengamatinya. Tiba-tiba saja muncul dalam cermin itu. Bayangan-bayangan lain dalam sikap posisi yang sama. Satu persatu mereka bermunculan. Sepuluh. Seratus. Seribu. Jutaan. Milyaran. Hingga berjubel tak terhitung lagi. Dan suara-suara lantang menggemuruhkan telingaku. Suara-suara itu berbunyi sama.

“Aku adalah engkau!”
“Aku adalah engkau!”

Aku tersentak. Mataku liar memperhatikan mereka . Mulut-mulut itu meneriakkan yel-yel yang sama. “Aku adalah engkau!” Benakku semakin bingung. Dan, tanpa kusadari, tanganku meraih helm di atas cermin itu. Pyarrr!

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati