Sayuri Yosiana
http://m.kompas.com/
Aku terkantuk-kantuk disudut bangku stasiun tua. Disebuah kota kecil yang kuno. Kota lama di perbatasan ibukota. Senyumku lama menghilang. Betapa tidak? Nyaris dua jam aku menanti kereta terakhir tiba. Lelah setelah seharian membantu keluarga sahabatku yang mengadakan pesta tunangan dengan kekasihnya. Berkali-kali mataku melirik jam tangan.
Hatiku lelah sudah. Jadwal kereta api negeri ini sudah kadung semrawut. Masyarakat hanya mampu menggerutu untuk setiap keterlambatan datang dan perginya kereta. Tak mampu berbuat lain. Para pejabat berwenang agaknya sudah lama terkena penyakit tuli. Hingga suara masyarakat pemakai jasa setia kereta apipun tak lagi terdengar. Aku menghela nafas berkali-kali.
Malam makin larut. Sudah jam sembilan ! Astaga, aku nyaris berdiri saking kagetnya. Mundar mandir tak karuan. Baru kusadari sekelilingku mulai sepi. Beberapa orang yang tadi tampak masih menunggu sepertiku, entah kemana perginya. Mungkin mereka pulang lagi. Atau ke kamar kecil. Penjaja makanan juga sudah sejam lalu membereskan dagangannya dan kembali pulang. Berarti sekarang tinggal aku sendirian di stasiun kecil ini.
Aku menoleh berkeliling. Sepi. Tiba-tiba dari arah belakang ada suara serak menegur. Membuatku nyaris terperanjat. Lho, tadi tak ada siapa-siapa? Seorang kakek berseragam pegawai kereta api tersenyum seraya mengepulkan asap rokoknya. Perlahan menghampiriku. Matanya menyipit memperhatikanku. Aku samasekali tak gugup, meski sempat kaget tadi. Dia tersenyum menganggukan kepala.
“Masih bertahan menunggu keretanya, mba?” tanyanya dengan suara serak yang lembut. Aku tersenyum. “Ya, pak. Soalnya cuma naik kereta saya bisa sampai dengan cepat kerumah. Kendaraan umum malam begini sudah jarang. Dan kurang aman” jawabku. Dia mengaggukan kepala. Lalu memandang jauh kearah lajur datangnya kereta. Pandangannya tampak menerawang jauh. Sejauh pandangannya. Wajahnya tampak pias. Terbatuk kecil di berkata lagi.
”Mba, mungkin sebentar lagi kereta terakhir akan tiba. Tenang saja. Pasti mba akan segera sampai kerumah dengan selamat. Kereta terakhir ini sudah lama tak beroperasi. Tapi kecepatannya tak kalah dengan yang biasa beroperasi”
Aku merasa heran. Memang kereta seperti apa yang akan membawaku pulang ini? Apa bukan yang biasa?
Seolah mengerti isi benakku, si petugas stasiun ini tertawa kecil. ” Keterlambatan ini memang karena kereta terakhir biasa ada sedikit masalah, mba. Jadi kami sedang mencoba mengoperasikan kembali yang lama. Tak perlu banyak tanya, mba. Naik saja dengan nyaman. Dan selamat berkumpul kembali dengan keluarga”, jelasnya sambil melengos pergi. Aku hanya menganggukan kepala. Lalu menatap kepergiannya sampai membelok kepintu samping.
Kini aku benar-benar sendiri. Menunggu kereta terakhirku. Mata yang kantuk kucoba menahannya sekuat mungkin. Aku berjalan mundar mandir. Beberapa saat kemudian telingaku seperti mendengar peluit dikejauhan.
Peluit? Tak sempat berfikir lebih jauh, buru-buru kukemasi barangku yang terdiri dari ransel, payung dan jacket malam serta topi pet pemberian abangku. Benar saja, dikejauhan tampak sebuah sosok hitam muncul. Derunya menggetarkan jantung. Rel-rel kereta didepanku seolah bersiap-siap untuk menyambut kereta yang sempat membuatku marah karena keterlambatannya yang tak kira-kira ini. Meskipun tentu saja bukan keretanya yang salah. Tapi faktor human errornya. Aku merasa sedikit aneh. Kereta yang pelan-pelan tiba dihadapanku ini agak lain dari yang lain. Tampak berkilau. Seluruhnya berwarna hitam berkilau. Baru kali ini kulihat dengan jelas sosoknya. Tampak seperti sepur jaman dulu kala.
Aku ternganga. Ini sih memang sepur jaman kemerdekaan seperti yang sering kubaca dibuku atau kulihat di film-film. Astaga ! Jadi ini kereta terakhirku? Oh no ! tidak. ih serem. Mana mungkin aku mau naik kereta jaman silam ini. Tak berlampu pula. Masinisnya mana? Penumpangnya? Astaga. jangan-jangan cuma aku sendiri. Aku melangkah mundur menjauhi keretaku. Kereta itu tampak anggun menunggu. Aku masih ternganga memperhatikan benda hitam didepanku ini. Naik tidak, naik tidak? batinku bertanya ragu. Akhirnya aku berlari kecil menuju pintu samping. Barangkali petugas kereta itu masih ada. Aku akan minta pendapatnya. Tapi pintu itu telah terkunci. Aku sedikit panik. Tak lagi bisa keluar dari stasiun ini. Sungguh aneh. Menurut beberapa petugas stasiun yang biasa aku temui, biasanya sepi atau ramainya penumpang terakhir, pintu gerbang samping stasiun tak pernah dikunci. Tetap dibiarkan terbuka. Karena memang tak ada kuncinya, alias sudah lama tak pernah dikunci. Entahlah..aku merasa sedikit merinding.
Kereta itu tampaknya akan segera meninggalkanku. Aku bingung. Kalau tak naik berarti aku akan disini sampai pagi. Kalau ada orang jahat bagaimana? Aku jadi gelisah. Akhirnya dengan berdoa aku naiki sepur aneh itu. Sedikit kaget karena dipintu kereta ternyata ada petugas berdiri tersenyum. Astaga, nyaris jantungku copot. Aku tak membalas senyumnya. Hanya memberikan karcis kereta tanpa sadar meski dia tak menagihnya. Wong aku baru naik. Tapi aku sudah tak sabar lagi ingin cepat agar kereta ini berangkat. Digerbong yang kumasuki, ternyata ada beberapa orang tampak tertidur. Pakaian mereka tampak lusuh. Aku menarik nafas lega. Setidaknya aku tidak sendirian di gerbong aneh ini. Tak ada lampu, Hanya pelita kecil berkelip-kelip disudut gerbong. Aneh ! benar-benar seperti kembali keabad lalu. Sempat terfikir aku setengah memasuki lorong waktu. Kutepis pikiran gila itu. Lelah membuat fikiranku mulai tak waras agaknya.
Kuletakkan ranselku didekat kaki. Lalu kusandarkan kepala dikaca jendela. Memandang keluar. Ke peron yang sepi. Kereta mulai berjalan perlahan. Tiba-tiba aku melihat si kakek petugas stasiun nampak duduk di bangku ujung dekat pintu samping tempat dia menghilang tadi. Kami saling tatap. Kulihat dia melambaikan tangannya dan mengacungkan jempol sambil tersenyum. Aku hanya mampu terpana sambil terus memandangnya semakin menjauh. Aku merasa benar-benar aneh malam ini. Halusinasikah? Baru kusadari sepertinya aku memang belum pernah melihat petugas itu sebelumnya. Siapa dia? petugas barukah? entahlah, aku mulai didera lagi kantuk yang tadi sempat menyerangku berkali-kali. Rasanya aku mulai tertidur.
Aku terbangun karena pundakku serasa didorong-dorong. Aku mengerjapkan mata dan terduduk. Kulihat petugas kereta tersenyum padaku. “Sebentar lagi sampai, mba. Siap-siap ya. Jangan ada yang ketinggalan” bisiknya perlahan. Kuucapkan terimakasih. Ah, rasanya baru saja aku tertidur sebentar, tahu-tahu sudah sampai. Diluar tampak lampu-lampu kota.
Keretapun memasuki stasiun kotaku. Suasana stasiun sama sepinya malam ini. Yah tentu saja, jam segini siapa pula yang akan naik kereta? batinku kesal. Seharusnya aku sudah sampai rumah jam tujuh tadi. Kubersiap turun. Sempat kulirik arah kursi yang selagi aku naik, masih ada penumpangnya. Tapi kursi itu kosong. Tak ada penumpangnya yang terdiri dari seorang ibu tua, seorang anak kecil dan seorang gadis muda. Kemana mereka? Sudah lebih dulu turunkah? Ah, masa bodolah.
Di pintu kereta sempat kutanyakan pada petugas. Kemana penumpang-penumpang yang tadi satu gerbong bersamaku.
Petugas itu tersenyum. “Mereka tidak turun kemanapun , mba. Mereka adalah penumpang abadi kami. Seperti juga saya petugas abadi kereta ini sejak lama. Hanya dikereta ini kami bertugas dan berjaga. Dan menjemput penumpang yang kemalaman, tapi masih setia menunggu kehadiran kami untuk membawa kembali kekeluarganya”.
Mendengar penjelasannya, aku seperti merasakan ada sesuatu yang tak beres. Tapi logikaku lebih mendominasi.
“Apa mereka keluarga bapak, atau masinisnya?” tanyaku iseng. Dia cuma tertawa.
“Mereka dan saya adalah petugas khusus yang mengurusi kereta ini bagi penumpang yang sabar menunggu hingga larut. Penumpang seperti itu adalah bagian kami. ” ujarnya tersenyum. Mengulangi lagi penjelasannya.
Aku masih tak memahami. Tapi petugas itu segera mendorongku keluar. Aku nyarus terjungkal. Baru saja kakiku menginjak lantai peron, aku terkejut setengah mati karena kereta tiba-tiba langsung berangkat dengan kecepatan tinggi. Nyaris terbang. Aku menjerit kecil. Jantungku rasa lepas. Kakiku lemas tak terkira. Aku terduduk di lantai peron. Tak mampu berdiri. Rasanya ingin berteriak. Tapi mulutku terkunci. Semakin terkejut karena tanganku seolah ada yang menarik untuk berdiri. Aku melongo, ternyata abangku yang tampak pias . Aku amat lega. Aduh aku ketakutan sekali tadi melihat kereta ajaib itu kabur begitu saja. Serasa mimpi rasanya. Abangku tak mengatakan sepatah katapun sementara aku bercerita. Membimbingku berjalan melewati lorong stasiun hingga pintu keluar. Kotaku selalu ramai duapuluhempat jam. Masih banyak orang nongkrong-nongkrong di warung kopi sekitar stasiun.
Abangku hanya bertanya apa aku baik-baik saja? Aku menganggukan kepala. Tenggorokanku rasa kering. Abangku pergi kesebuah warung dan membelikanku minuman dingin. Tenggorokanku terasa lega.
“Aku tak bisa mengantarmu sampai rumah, karena aku mau kerumah bude. Numpang nginap karena besok ada ujian skripsi. Aku takut kesiangan. Jadi kau pulang sendiri ya. Dekat ini kan?” kata abangku seraya memberiku ongkos pulang. Aku jadi kesal. Kok sempat-sempatnya menjemputku, tapi tak mau mengantarku pulang sekalian? protesku.
“Dari tadi aku menunggumu. Ternyata keretamu telat ya. Aku sungguh harus segera pergi. Itu ada angkot. Cepatlah naik.” Badanku didorongnya masuk angkot tanpa mau mendengarkan penjelasanku. Abangku melambaikan tangan saat angkot berangkat.
Lima menit kemudian, aku sudah sampai halaman rumah. Ayah ibuku sudah duduk diteras depan. Mereka segera menyambutku dan sibuk bertanya mengapa aku begitu terlambat. Aku jelaskan sambil berjalan masuk rumah. Sempat kulihat wajah kedua orangtuaku pias. Lalu saling lirik satu sama lain. Aku merasa konyol telah menceritakan semua pengalaman anehku distasiun malam ini. Tapi orangtuaku tak bertanya lagi. Mereka menyuruhku segera mandi dan istirahat. Aku merasa kebetulan tak lagi ditanya-tanya. Segera kuganti baju tanpa istirahat lagi, mandi dan berganti pakaian. Duduk dikamar sendiri, merenungi pengalaman tadi. Entah kenapa perasaanku menjadi tak enak hati. Aku merasa tak percaya seperti yang kulihat diwajah orangtuaku tadi. Setelah mandi fikiranku agak segar. Namun aku sempat merinding dan tak percaya bahwa yang kunaiki tadi adalah sebuah sepur jaman dulu. Masa kereta seperti itu masih beroperasi sih di jalur kereta ibukota?
Aku keluar kamar dan menghampiri kedua orangtuaku yang sedang asyik nonton tivi. Ibuku bertanya apa aku baik-baik saja. Aku hanya mengangguk lalu mulai bertanya tentang pengalamanku yang aneh itu. Apakah aku memang tidak sedang bermimpi? Ayah menepuk pundakku. Lalu berdehem. ” Sepertinya kau termasuk salah satu orang dikota ini yang akhirnya terpilih untuk ikut menikmati kereta hantu itu, nak”, jawab ayahku tenang. Tapi aku melotot mendengar jawabannya. Kereta hantu? Mana mungkin aku bisa naik kereta hantu? Itukan hanya cerita karangan masyarakat saja yang pernah aku dengar sebelumnya.
Ayah melanjutkan. ” Dulu Erry abangmu juga sempat mengalaminya. Itu saat dia masih SMA loh. Maka sekarang dia faham apa yang terjadi padamu. Tak mungkin kau naik kendaraan umum setelah lewat jam delapan belum pulang. Pasti kau nekad menunggu kereta. Maka dia mungin berinisiatif menjemputmu. Mengingat pengalamannya dulu, mungkin dia takut kereta hantu itu akan menjemput adiknya pula. Dan ternyata perasaannya tepat, bukan?
“Tapi dia mengatakan akan kerumah bude yah. Jadi aku disuruh pulang sendiri.” gerutuku.
”Ya, memang. sekalian jalan , jawab ayah santai. Ibu tertawa. Yang penting kau selamat nak. Lain kali jangan terlalu larut pulang. Terutama penggemar kereta sepertimu. Ingat nak, kereta terakhir itu sudah jadi legenda dikotanya sebagai pengantar terakhir orang-orang yang kepulangan malam. Tanya saja abangmu nanti kalau dia sudah pulang.”
“Ah, kereta itu bukan kereta hantu, ayah. Petugasnya sendiri yang cerita padaku bahwa itu kereta sengaja dioperasikan karena kereta lainnya sudah tidur semua malam ini”, jawabku mangkel. Ibu cekikikan sambil mengelus tanganku. Ayah tetap tenang dengan cerutunya.”
Petugas yang kau temui sudah almarhum, nak. Itulah mengapa dia masih ada disekitar situ malam begini. Percayalah nak, hal-hal seperti ini bukan yang pertamakalinya. Hanya saja kau terlalu percaya diri. Terlalu asyik dengan duniamu yang realistis. Tak mampu menangkap pesan alam yang disampaikan udara malam”, jelas ayahku membuatku makin keki. Ah, ayah dari dulu kebanyakan berkhayal. Hingga lebih sering menakut-nakuti anaknya yang mencoba berfikir secara logika. Ayah adalah seorang dalang yang juga penyair setingkat kecamatan.
Sedangkan ibuku sinden terkenal dikota kelahirannya dulu. Namun aku tak ingin ikut pola pikir mereka yang suka menghubungkan segala sesuatunya dengan hal-hal yang diluar nalar. Aku bergegas masuk kamar setelah pamit pada kedua orangtuaku.
Diranjang, aku berfikir keras. Benarkah pengalamanku ini, ya Gusti? Ah, baru kali ini aku tak sabar menunggu kepulangan abangku. Selama ini aku tak pernah menggubris cerita tentang kereta hantu yang konyol itu. Padahal sudah lama terdengar dari mulut kemulut. Termasuk kisah abangku yang sebenarnya justru tak pernah diceritakannya padaku. Aku justru baru tahu dari penuturan ayah tadi. Lalu aku terkenang kembali tentang petugas yang datang dan pergi tanpa jejak itu. Tentang pintu gerbang yang tiba-tiba terkunci. Hingga aku tak bisa melarikan diri keluar stasiun saat takut melihat bentuk kereta yang akan membawaku pulang. Aku tersentak. Ya, kereta itu memang layak diberi julukan kereta hantu karena aneh bentuknya, dan tiba-tiba pergi dengan kecepatan tinggi begitu saja setelah mengantarku. Juga penumpang dan petugas kereta dengan ceritanya yang mendirikan bulu romaku sekarang. Mereka adalah penumpang dan petugas abadi? Astaga, berarti mereka juga hantu dong. Aku tiba-tiba merasa merinding juga malu sendiri karena merasa logikaku mulai goyah. Setelah kurangkai-rangkai kejadian di stasiun tadi, rasanya aku mulai mempercayai apa kata ayah. Yang kunaiki kereta hantu! Aku mengkerukan kening tak habis fikir. Soalnya semua tampak begitu nyata, terlepas dari yang aneh-anehnya tadi.
Jadi malam ini aku telah menaiki kereta hantu, dengan penumpang hantu dan petugas hantu? Kecuali aku sendiri yang manusia?. Aku masih tak mampu percaya. Namun toh sejak saat itu aku nyaris tak pernah pulang malam dengan kereta lagi. Cukup naik kendaraan umum saja. Naik kereta hanya kalau hari masih siang atau sorei. Good bye kereta hantuku. Good bye Sepur jadulku! Semoga itu benar-benar kereta hantu terakhirku.
----
Terinspirasi dari kisah legenda kereta hantu Jakarta-Depok
TENTANG PENLIS: Sayuri Yosiana lahir dan besar di Jakarta. Hobi membaca, menulis, fotografi dan travelling. Menyukai dunia seni, sejarah dan heritage. Bersama rekannya mendirikan dan mengelola situs kesehatan holistik kabarsehat.com. Saat ini masih aktif menulis dan menerima jasa pengeditan dan pengembangan tulisan untuk naskah-naskah ringan. Dapat dihubungi melalui kontak email sy@sayuriyosiana.om
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 24 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar