S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/
MEMBACA garis hidupku, aku terobsesi pada cinta tiga perempuan sepanjang hidup: perempuan bermata tajam seperti elang yang kini jadi istriku, gadis bermata bening sebening telaga sebagai kekasih hatiku, dan kelak akan kuburu cinta perempuan buta agar bisa kulihat dunia dengan ketajaman matahati.
”Semua itu atas nama cinta. Begitu pula cintaku padamu, Rohana,” tulisku di akhir surat tertuju Rohana.
Surat itu kulayangkan pada Rohana, kekasihku, lebih duapuluh tahun lalu. Sungguh di luar dugaanku bila ternyata Rohana masih menyimpannya untukku. Ini kejutan bagiku karena sebagaimana biasa, perempuan-perempuan yang mampir dalam hidupku kurasa hilang begitu saja—meninggalkanku.
Mungkinkah aku telah meninggalkannya juga? Ah, aku tak tahu persis jawabnya. Tidaklah penting apakah sebetulnya aku yang menyingkir ataukah diriku yang dipunggunggi. Apapun, keduanya suatu perpisahan.
Meski kami, aku dan istriku, tak yakin benar mana yang terjadi, kenyataannya kami yang diberkati tiga anak, sekarang hidup bahagia sekalipun jauh dari sempurna. Kebahagian kami nyungsang karena gempuran masalah ekonomi. Salah sebuah buntutnya, istriku sibuk bekerja dan kami jarang bercengkerama dalam suasana harmonis sebagaimana digambarkan iklan-iklan televisi atau jaminan masa depan pada brosur asuransi. Sejak menikah kami sering berpisah dan jarang berkumpul lebih dari waktu dua hari dalam sebulan.
Sepertinya hal itu bukan benar-benar jadi masalah. Seperti halnya kebiasaan, apalagi oleh cinta kami yang luar biasa, kesetiaan sungguh tak masuk akal. Begitulah waktu pun berlalu tanpa resah. Anak-anak senang, ibunya girang tanpa repot dengan posisi kami seperti itu. Sesekali memang pernah muncul pertanyaan di otak kami perihal cinta itu. Akan tetapi sebagaimana kami percaya, bahwa cinta mengalahkan segalanya kecuali cinta itu sendiri. Hingga diantara kami, aku, istriku dan anak-anakku tak pernah lagi bertanya perihal cinta itu lagi. Sampai kami berpisah, terpisah, atau takdir yang memisahkan kami. Istriku mencari jawab atas pertanyaannya sendiri, demikian halnya kusoal gebalau tanya perihal cinta itu sebagaimana milikku sendiri.
”Rahasia apakah seperti ini?” hanya dalam pikiranku.
Hari berganti seperti biasa, bulan bergeser dan tahun mengalun semenjak lebih duapuluh tahun lalu. Di atas kebiasaan itu pula, istriku tak pernah menaruh curiga ketika aku jatuh hati pada Rohana,—perempuan bermata teduh seperti telaga yang kusebut-sebut dalam suratku. Mata tajam istriku yang seperti elang tidak pula mencium hubungan istimewaku dengan pujaan hatiku yang baru. Betapa mata tajam istriku telah tersedot oleh kesibukan kerjanya sehari-hari. Ah, aku tak bermaksud menyalahkan istriku yang dengan segenap jiwa mengabdi pada hidup, pada keluarga dan pada takdirnya di dunia. Bahkan dua puluh tahun lalu, sebelum kukirim suratku untuk meledakkan segenap perasaanku pada perempuan bermata bening itu, terlebih dulu kutunjukkan pada istriku meski dalam kesempatan yang mepet.
Sebuah jawaban membuatku tercengang.
”Kau petik darimana kata-kata seindah ini, Mas?” katanya.
”Kususun sendiri. Aku bermaksud membuat tulisan yang bagus hasil karanganku. Bagaimana menurutmu?” ucapku.
”Inspiratif,” jawaban yang tentu saja melegakanku.
Semenjak itu, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi padaku. Aku bukan saja jarang berkumpul dengan keluarga, istri dan anak-anak. Diam-diam aku sering melupakannya. Tepatnya, perpisahan kami ternyata lebih dari sekadar oleh sebab ruang waktu. Tapi juga ingatan. Istriku menjadi lebih sering absen dari ingatanku—tentang kebiasaannya, suaranya, kecantikannya, perhatiannya, mata tajamnya, juga suka dukanya, bahkan kepercayaannya pada sesuatu yang tak perlu diungkap dan disingkap—mungkin cinta itu sendiri.
Begitulah hidup kami, kukuh percaya pada betapa cinta sanggup mengalahkan segalanya, kecuali cinta itu sendiri. Kuakui, kami merasa kian terpisah, tapi tidak dengan cinta kami. Sebagaimana halnya, istriku tetap menyimpan kata-kata manis dalam surat itu menjadi bagian hidupnya yang tak pernah pula ia lupa.
***
KUTULIS surat itu, duapuluh tahun lalu. Usiaku beranjak tua ketika itu. Setidaknya, itulah perasaanku karena aku telah dipecat dari kantor tempat kerjaku di kawasan Kertajaya, Surabaya. Alasannya lantaran aku sudah tak lagi dianggap berguna. Daya kritis dan intuisiku dalam hal kepengarangan juga kian tumpul dan hambar sehingga tak ada lagi karya terbaik yang bisa kusajikan untuk pembaca. Syukurlah, seorang teman lama memberiku kesempatan untuk membantu mengurus galery art dan persewaan manekin ke butik-butik outlet musiman di Nginden. Inilah satu-satunya yang menyemangati hidupku di usia tua—kerja untuk menghabiskan sisa waktu senja. Tentu saja termasuk menghabiskan sisa cintaku yang tak jelas jluntrungnya—menyiksa hidup ataukah menyemangati gairah jiwaku. Hanya saja, kepada tuan dan puan pembaca, musti kukatakan bahwa ”Cintalah yang membuat gairah hidupku terus menyala berkobar. Bahkan bagiku hidupku untuk cinta. Hidup adalah perburuan atas nama cinta.” Spirit hidup ini kubakar karena perburuanku atas nama cinta belum kelar hingga usiaku lebih berkepala lima ini dan terus menuju senja. Amboi, tentang perempuan bermata bening seperti telaga itu! Tentang kecantikan wanita yang buta matanya itu!
Sementara usiaku kian merangkak di ujung senja saja.
Rohana—gadis bermata bening yang belum lama kutemukan di belantara galaksi ini—memuntahkan amarahnya padaku ketika ia memergoki aku menggagahi manekin yang tak sengaja kurobohkan dari tempat pengunci sandarannya. Sementara amarahku oleh suatu sebab tak bisa lepas melihat reaksi Rohana. Amarahku sejujurnya malah kutumpahkan pada manekin berambut pirang sialan itu. Ini bermula dari kebiasaanku yang tak sampai hati melihat manekin-manekin itu telanjang tanpa busana. Sebelum kukeluarkan dari gudang, tubuhnya terlebih dulu kubungkus kaos dan rok sebelum akhirnya bisa leluasa dilihat orang. Kuakui sejujurnya, di usia senjaku ini, aku ngeri bila tengah sendiri melihat, menyentuh, atau memindahkan manekin-manekin yang tanpa penutup badan keluar gudang.
Lantaran aku kehabisan kaos dan rok bekas, juga karena aku kekeringan ide, maka sore itu kupinjamkan sehelai rok milik Rohana untuk manekin sialan itu. Saat itulah Rohana tahu Manekin itu jatuh terlentang dan roknya tersingkap sehingga kedua pahanya terbuka. Aku yang berusaha membuatnya berdiri malah terjungkal dan menindih manekin itu. Rohana berpikir aku menyetubuhi manekin itu dan menuduhku tidak bermoral. Atau setidaknya, ia tersinggung berat karena aku memperkosa pikirannya—menyetubui boneka sialan itu dengan sengaja menyingkap rok milik Rohana. Dia pikir, akulah yang sebetulnya terobsesi dengan pikiranku sendiri untuk menyetubuhi Rohana, kekasih pujaan hati di usia senjaku ini.
Padahal harus jujur kuakui, menghadirkan pikiran seperti itu, dengan segenap cinta yang kupahami di usia senjaku ini, sungguh suatu siksaan. Justru Rohanalah yang menyulut pikiranku tentang persetubuhan itu.
Kukatakan padanya: ”Cinta dan persetubuhan itu sesuatu yang sungguh berbeda, Rohana. Kamulah, semenjak itu yang mengenalkan padaku, justru di usia senja ini, bahwa cintaku padamu telah menyeretku pada pikiran untuk bersetubuh denganmu. Aha! Betapa fantastisnya, sesosok tubuh tua yang memburu bayang-bayang cinta dari balik sorot mata ini manakala bercinta, bersetubuh dengan gadis belia bermata bening sepertimu, Rohana. Kamu berlebihan, sayang. Kamu ketakutan. Bagaimana bisa itu terjadi dan kau lestarikan di alam pikirmu, gadis muda. Cintaku tidak untuk menyusahkanmu, tidak untuk menyiksamu, juga tidak untuk menakut-nakutimu.”
Belum genap sebulan kami saling menyatakan cinta—antara lelaki tua dan gadis muda bermata bening seperti telaga itu–, lantas ia pun pergi entah kemana. Tanpa kabar, tanpa kata, dan tanpa cerita, tanpa berita. Tapi aku tahu apa yang ditinggalkan Rohana: Dendam dan pikiran bahwa akulah biang dirinya yang tersiksa karena ungkapan rasa cinta yang tidak pada tempatnya. Salah tempat, keliru alamat, dan tidak tepat ruang waktu peristiwa. Semenjak itu kami saling pergi menjauh. Aku pergi dan ia juga pergi. Meskipun kami tidak saling bepergian jauh. Lebih tepatnya kami sama-sama sembunyi di balik hati, perasaan, ingatan kami sendiri-sendiri.
***
”BERSEMBUNYI?”
”Bersembunyi dari apa, Kekasihku?”
Mungkin maksudmu menipu diri. Barangkali maksudku saling menyiksa diri. Karena itu, aku tergerak hati untuk menulis surat buatmu, semenjak peristiwa malam-malam kamu dengan nada keras memborbardirku dengan amarahmu. Kau, pertontonkan sungguh sakit hatimu padaku, Rohana. Rasa-rasanya kita bertengkar hebat waktu itu dan kuakhiri karena aku sungguh tak sudi bertengkar denganmu.
Terpikir bagiku menulis surat panjang—entah secepatnya kukirim padamu atau perlu kusimpan dulu untuk waktu yang lama sebelum akhirnya perlu kaubaca. Maksudku, agar kau dan aku saat membacanya, sontak bersedih hati yang dalam, atau malah tertawa lebar melihat kegelian dan kelucuan kita, Rohana.
Jadi suratku itu, yang khusus kutujukan padamu, niscaya tak lekang oleh waktu. Ketika kupunguti dan kurangkai kata dalam surat itu, aku tercenung dalam dengan tuduhanmu ’tidak bermoral’ padaku. Mungkin benar, mungkin juga salah. Tapi sudahlah, itu semata-mata kusimpan saja di lubuk jiwa bahwa betapa sulit mempertanggungjawabkan perasaan-perasaan dengan kata-kata. Surat itu semula kumaksudkan sebagai semacam pledoi atas tuduhan itu. Selebihnya, terserah apa artinya ini buatmu dan bagiku.
Bukan hal yang muskil, aku tercenung dalam lebih karena peristiwa-peristiwa kedekatan kita saja. Sehingga bukan lantaran benar-benar karena tuduhanmu itu. Maksudku, bila aku diizinkan untuk kemudian bertengkar denganmu, bersilat lidah, saling melempar tuduhan, bukan tidak mungkin dari mulutku bakal keluar kata-kata bahwa kamu orang yang tidak konsisten jikapun aku tidak mengatakannya munafik.
Sesungguhnya, seringkali ini kusinggung ketika mengkritik dirimu, Rohana. Ya, mungkin aku sering mengkritikmu, sebenarnya berawal dari kegoncangan, kegamangan, dan keraguanku menerima seluruh atau sebagian dari isi jiwa serta pikiranmu. Akan tetapi, aku selalu berupaya untuk menempatkanmu agar punya kualitas hidup lebih baik (dan sudah barangtentu juga berlaku buatku). Karena itu, kemarahanmu, kelancanganmu saat menggampariku dengan kata-kata setajam silet pada malam-malam dan terkesan mengajak berperang itu pun, dalam pengertian ini, sangatlah terhormat—betapa kamu adalah orang yang sangat merasa bertanggungjawab bahkan terhadap diriku. Kamu, sangat peduli padaku, mencemaskanku dan tidak ingin ada hal buruk yang bakal menimpaku, keluarga, istri dan anak-anakku.
Sampai di sini, aku yakin benar, juga sebagaimana aku menyakini sebelumnya, kamu perempuan yang sangat mulia. Kupikir, kemarahanmu, kelancanganmu, bicara kasarmu itu hanya soal bahasa saja. Di balik itu, aku belum pernah bergeser dari titik bahwa aku sungguh mengagumimu—cintalah yang menyebabkanku berada di pusaran takdir seperti ini.
Biasanya, di luar perasaanku seperti itu, yang mengemuka bilamana ada duri dalam daging, adalah keheranan-keheranan. Semisal, dalam kontek tuduhanmu itu, aku heran bagaimana kalimat itu berulang kali kau layangkan padaku? Padahal dua jarimu yang kauacungkan pada hidungku itu menyisakan tiga jari lainnya yang mengarah dirimu sendiri. Maksudku, kau pun membicarakan diri sendiri dengan kata ’tidak bermoral’ yang kamu selipkan di dadaku, Rohana.
Jadi kalaupun benar aku tidak bermoral, bukankah melibatkanmu dalam hal ini? Ataukah jangan-jangan kita tak sedang berada di tempat dan alamat yang benar untuk memahami apakah moral itu? Banyak hal kupertanyakan padaku perihal kamu, bermula dari keheranan-keheranan seperti itu dan tidak juga terjawab setelah lebih duapuluh tahun lamanya, Rohana. Satu-satunya jalan sempit yang menggiringku ke lorong yang sedikit kumengerti adalah kata maaf dan hasratku untuk tidak akan lagi menyusahkanmu.
Karena itu terus kujaga pertanyaanku, agar senantiasa terpelihara dari pemahamanku atasmu sebagai makluk yang misterius, Rohana. Manusia sebagai misteri. Hanya dengan demikian yang bisa menyelamatkanku dari kegelisahan yang kurang ajar dan subversif ini. Subversif karena betapa setiap kali berbincang denganmu, mencerna isi pikiran, hati dan perasaanmu, telah hampir menyentuh langit-langit dan puncak dari gebalau jiwa antara manusia dan mungkin bukan manusia—semacam alam cita yang diburu untuk dijangkau. Meski kusadari setiap yang kutanyakan terbukti hanyalah bagai pisau yang kubawa sendiri, kekasihku.
Telah kupetik sebutir trauma jiwa dari sorot matamu yang bening seperti telaga perawan, ketika mendadak sontak menyimpan rasa takut, gundah, gelisah. Marah. Takut karena menangkap perasaan cintaku yang rahasia. Ataukah gelisah akibat telah terjaring rasia rahasia kekuatan cintaku, Rohana? Aku lebih tersiksa melihatmu dalam pesakitan seperti itu, serba salah, gemetar, lungkrah dan yang pasti lemah—sesuatu yang belum pernah kusaksikan sebelumnya dan kini tak kusangsikan lagi. Sebab itu, hari ini, kusingkap rahasiaku sendiri atas kamu, Rohana. Bahwa aku tidak akan sudi lagi menyusahkanmu! Biarpun musti kutempuh dengan jalan menyiksa diri—suatu rahasia yang takkan pernah kubuka pada siapapun di belantara galaksi ini.
***
HARI ini, duapuluh tahun lalu, kami telah saling pergi. Beberapa bulan kemudian, Rohana berkeluarga. Sebagaimana ia ceritakan, maskawinnya perpustakaan dengan ratusan koleksi buku yang salah satu bacaannya, pada novel itu, ia pakai pembatas secarik kertas surat pendek dariku. Entah di buku novel apa, dan tentang apa, dia telah lupa. Sementara, kini aku memulai perburuan baruku meraih bayang rahasia di balik mata buta. Sayang, usiaku kian senja dan belum juga kutangkap bayang itu. Anak-anak telah tumbuh dewasa. Damir, Makhfi, Zahra tak sampai hati melihatku, ayahnya, tua dalam perburuan di belantara semesta yang sepertinya tak pernah renta.
”Sudahlah ayah, istirahatlah. Berliburlah.”
Seperti biasa, anak-anak tak hanya pandai bicara. Diam-diam mereka telah menyiapkan tiket liburan khusus ke Bali. Bali. Bali. Menyeberangi pantai. Ah, sudah belasan tahun lalu terakhir kali aku ke sana. Ini waktu yang tepat untuk menggali lagi spirit gairah hidup lebih muda. Anak-anak tahu hal yang paling kusuka—menyebarang selat Ketapang-Gilimanuk untuk membuang segala nestapa ke laut.
”Sendiri? Bagaimana dengan ibumu?” rupanya ini kali pertama tulus kuingat istriku.
”Ya. Sendiri, Ayah. Sebetulnya ibulah yang meminta ayah pelesir.”
”Ah, ibumu, masih juga seperti dulu.”
”Ibu tak ingin menyusahkan ayah.”
”Dia berkata begitu?”
”Ya. Ibu juga melarangku menceritakan rahasia ini pada ayah.”
Entah atas nama apa, aku melupakan lagi istriku. Tidak juga aku berpikir. Namun demikian pastilah istriku tahu itu, bahwa satu-satunya yang ada di kepalaku adalah perempuan yang buta matanya. Aku menyeberang persis ketika matahari terbit dan semenjak itu terbit pula seluruh gairah mudaku kembali—cinta pada hidup, pada keindahan, pada kecantikan, pada perempuan.
Setelah belasan tahun pakansinya yang lalu, saat ini berlibur di sini, ternyata baru kutahu bahwa tempat yang paling kusuka adalah pantai. Selain, jalan-jalan di sekitar pusat perbelanjaan di kuta. Di pantai aku leluasa melarung masa laluku. Sementara di jalanan, di sinilah timbul hasratku yang merasuk diam-diam dan tanpa kusadar menjadi bagian hidup di usia senjaku. Bagiku hal paling menarik perihal Bali selain keindahan alamnya, adalah manekin! Ada berjuta-juta manekin berkeliaran di depan mataku.
Satu diantaranya, perempuan mengempit novel yang pernah kuberikan pada Rohana—di dalamnya terselip kertas pembatas dari secarik suratku padanya.
Surabaya, 27 Agustus 2009
*) Dimuat Majalah Seni dan Budaya Dewan Kesenian Jawa Timur, KIDUNG, Edisi 17-18.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 10 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar