Jumat, 10 September 2010

S I R R I*

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

MEMBACA garis hidupku, aku terobsesi pada cinta tiga perempuan sepanjang hidup: perempuan bermata tajam seperti elang yang kini jadi istriku, gadis bermata bening sebening telaga sebagai kekasih hatiku, dan kelak akan kuburu cinta perempuan buta agar bisa kulihat dunia dengan ketajaman matahati.

”Semua itu atas nama cinta. Begitu pula cintaku padamu, Rohana,” tulisku di akhir surat tertuju Rohana.

Surat itu kulayangkan pada Rohana, kekasihku, lebih duapuluh tahun lalu. Sungguh di luar dugaanku bila ternyata Rohana masih menyimpannya untukku. Ini kejutan bagiku karena sebagaimana biasa, perempuan-perempuan yang mampir dalam hidupku kurasa hilang begitu saja—meninggalkanku.

Mungkinkah aku telah meninggalkannya juga? Ah, aku tak tahu persis jawabnya. Tidaklah penting apakah sebetulnya aku yang menyingkir ataukah diriku yang dipunggunggi. Apapun, keduanya suatu perpisahan.

Meski kami, aku dan istriku, tak yakin benar mana yang terjadi, kenyataannya kami yang diberkati tiga anak, sekarang hidup bahagia sekalipun jauh dari sempurna. Kebahagian kami nyungsang karena gempuran masalah ekonomi. Salah sebuah buntutnya, istriku sibuk bekerja dan kami jarang bercengkerama dalam suasana harmonis sebagaimana digambarkan iklan-iklan televisi atau jaminan masa depan pada brosur asuransi. Sejak menikah kami sering berpisah dan jarang berkumpul lebih dari waktu dua hari dalam sebulan.

Sepertinya hal itu bukan benar-benar jadi masalah. Seperti halnya kebiasaan, apalagi oleh cinta kami yang luar biasa, kesetiaan sungguh tak masuk akal. Begitulah waktu pun berlalu tanpa resah. Anak-anak senang, ibunya girang tanpa repot dengan posisi kami seperti itu. Sesekali memang pernah muncul pertanyaan di otak kami perihal cinta itu. Akan tetapi sebagaimana kami percaya, bahwa cinta mengalahkan segalanya kecuali cinta itu sendiri. Hingga diantara kami, aku, istriku dan anak-anakku tak pernah lagi bertanya perihal cinta itu lagi. Sampai kami berpisah, terpisah, atau takdir yang memisahkan kami. Istriku mencari jawab atas pertanyaannya sendiri, demikian halnya kusoal gebalau tanya perihal cinta itu sebagaimana milikku sendiri.

”Rahasia apakah seperti ini?” hanya dalam pikiranku.

Hari berganti seperti biasa, bulan bergeser dan tahun mengalun semenjak lebih duapuluh tahun lalu. Di atas kebiasaan itu pula, istriku tak pernah menaruh curiga ketika aku jatuh hati pada Rohana,—perempuan bermata teduh seperti telaga yang kusebut-sebut dalam suratku. Mata tajam istriku yang seperti elang tidak pula mencium hubungan istimewaku dengan pujaan hatiku yang baru. Betapa mata tajam istriku telah tersedot oleh kesibukan kerjanya sehari-hari. Ah, aku tak bermaksud menyalahkan istriku yang dengan segenap jiwa mengabdi pada hidup, pada keluarga dan pada takdirnya di dunia. Bahkan dua puluh tahun lalu, sebelum kukirim suratku untuk meledakkan segenap perasaanku pada perempuan bermata bening itu, terlebih dulu kutunjukkan pada istriku meski dalam kesempatan yang mepet.

Sebuah jawaban membuatku tercengang.

”Kau petik darimana kata-kata seindah ini, Mas?” katanya.

”Kususun sendiri. Aku bermaksud membuat tulisan yang bagus hasil karanganku. Bagaimana menurutmu?” ucapku.

”Inspiratif,” jawaban yang tentu saja melegakanku.

Semenjak itu, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi padaku. Aku bukan saja jarang berkumpul dengan keluarga, istri dan anak-anak. Diam-diam aku sering melupakannya. Tepatnya, perpisahan kami ternyata lebih dari sekadar oleh sebab ruang waktu. Tapi juga ingatan. Istriku menjadi lebih sering absen dari ingatanku—tentang kebiasaannya, suaranya, kecantikannya, perhatiannya, mata tajamnya, juga suka dukanya, bahkan kepercayaannya pada sesuatu yang tak perlu diungkap dan disingkap—mungkin cinta itu sendiri.

Begitulah hidup kami, kukuh percaya pada betapa cinta sanggup mengalahkan segalanya, kecuali cinta itu sendiri. Kuakui, kami merasa kian terpisah, tapi tidak dengan cinta kami. Sebagaimana halnya, istriku tetap menyimpan kata-kata manis dalam surat itu menjadi bagian hidupnya yang tak pernah pula ia lupa.

***

KUTULIS surat itu, duapuluh tahun lalu. Usiaku beranjak tua ketika itu. Setidaknya, itulah perasaanku karena aku telah dipecat dari kantor tempat kerjaku di kawasan Kertajaya, Surabaya. Alasannya lantaran aku sudah tak lagi dianggap berguna. Daya kritis dan intuisiku dalam hal kepengarangan juga kian tumpul dan hambar sehingga tak ada lagi karya terbaik yang bisa kusajikan untuk pembaca. Syukurlah, seorang teman lama memberiku kesempatan untuk membantu mengurus galery art dan persewaan manekin ke butik-butik outlet musiman di Nginden. Inilah satu-satunya yang menyemangati hidupku di usia tua—kerja untuk menghabiskan sisa waktu senja. Tentu saja termasuk menghabiskan sisa cintaku yang tak jelas jluntrungnya—menyiksa hidup ataukah menyemangati gairah jiwaku. Hanya saja, kepada tuan dan puan pembaca, musti kukatakan bahwa ”Cintalah yang membuat gairah hidupku terus menyala berkobar. Bahkan bagiku hidupku untuk cinta. Hidup adalah perburuan atas nama cinta.” Spirit hidup ini kubakar karena perburuanku atas nama cinta belum kelar hingga usiaku lebih berkepala lima ini dan terus menuju senja. Amboi, tentang perempuan bermata bening seperti telaga itu! Tentang kecantikan wanita yang buta matanya itu!

Sementara usiaku kian merangkak di ujung senja saja.

Rohana—gadis bermata bening yang belum lama kutemukan di belantara galaksi ini—memuntahkan amarahnya padaku ketika ia memergoki aku menggagahi manekin yang tak sengaja kurobohkan dari tempat pengunci sandarannya. Sementara amarahku oleh suatu sebab tak bisa lepas melihat reaksi Rohana. Amarahku sejujurnya malah kutumpahkan pada manekin berambut pirang sialan itu. Ini bermula dari kebiasaanku yang tak sampai hati melihat manekin-manekin itu telanjang tanpa busana. Sebelum kukeluarkan dari gudang, tubuhnya terlebih dulu kubungkus kaos dan rok sebelum akhirnya bisa leluasa dilihat orang. Kuakui sejujurnya, di usia senjaku ini, aku ngeri bila tengah sendiri melihat, menyentuh, atau memindahkan manekin-manekin yang tanpa penutup badan keluar gudang.

Lantaran aku kehabisan kaos dan rok bekas, juga karena aku kekeringan ide, maka sore itu kupinjamkan sehelai rok milik Rohana untuk manekin sialan itu. Saat itulah Rohana tahu Manekin itu jatuh terlentang dan roknya tersingkap sehingga kedua pahanya terbuka. Aku yang berusaha membuatnya berdiri malah terjungkal dan menindih manekin itu. Rohana berpikir aku menyetubuhi manekin itu dan menuduhku tidak bermoral. Atau setidaknya, ia tersinggung berat karena aku memperkosa pikirannya—menyetubui boneka sialan itu dengan sengaja menyingkap rok milik Rohana. Dia pikir, akulah yang sebetulnya terobsesi dengan pikiranku sendiri untuk menyetubuhi Rohana, kekasih pujaan hati di usia senjaku ini.

Padahal harus jujur kuakui, menghadirkan pikiran seperti itu, dengan segenap cinta yang kupahami di usia senjaku ini, sungguh suatu siksaan. Justru Rohanalah yang menyulut pikiranku tentang persetubuhan itu.

Kukatakan padanya: ”Cinta dan persetubuhan itu sesuatu yang sungguh berbeda, Rohana. Kamulah, semenjak itu yang mengenalkan padaku, justru di usia senja ini, bahwa cintaku padamu telah menyeretku pada pikiran untuk bersetubuh denganmu. Aha! Betapa fantastisnya, sesosok tubuh tua yang memburu bayang-bayang cinta dari balik sorot mata ini manakala bercinta, bersetubuh dengan gadis belia bermata bening sepertimu, Rohana. Kamu berlebihan, sayang. Kamu ketakutan. Bagaimana bisa itu terjadi dan kau lestarikan di alam pikirmu, gadis muda. Cintaku tidak untuk menyusahkanmu, tidak untuk menyiksamu, juga tidak untuk menakut-nakutimu.”

Belum genap sebulan kami saling menyatakan cinta—antara lelaki tua dan gadis muda bermata bening seperti telaga itu–, lantas ia pun pergi entah kemana. Tanpa kabar, tanpa kata, dan tanpa cerita, tanpa berita. Tapi aku tahu apa yang ditinggalkan Rohana: Dendam dan pikiran bahwa akulah biang dirinya yang tersiksa karena ungkapan rasa cinta yang tidak pada tempatnya. Salah tempat, keliru alamat, dan tidak tepat ruang waktu peristiwa. Semenjak itu kami saling pergi menjauh. Aku pergi dan ia juga pergi. Meskipun kami tidak saling bepergian jauh. Lebih tepatnya kami sama-sama sembunyi di balik hati, perasaan, ingatan kami sendiri-sendiri.

***

”BERSEMBUNYI?”

”Bersembunyi dari apa, Kekasihku?”

Mungkin maksudmu menipu diri. Barangkali maksudku saling menyiksa diri. Karena itu, aku tergerak hati untuk menulis surat buatmu, semenjak peristiwa malam-malam kamu dengan nada keras memborbardirku dengan amarahmu. Kau, pertontonkan sungguh sakit hatimu padaku, Rohana. Rasa-rasanya kita bertengkar hebat waktu itu dan kuakhiri karena aku sungguh tak sudi bertengkar denganmu.

Terpikir bagiku menulis surat panjang—entah secepatnya kukirim padamu atau perlu kusimpan dulu untuk waktu yang lama sebelum akhirnya perlu kaubaca. Maksudku, agar kau dan aku saat membacanya, sontak bersedih hati yang dalam, atau malah tertawa lebar melihat kegelian dan kelucuan kita, Rohana.

Jadi suratku itu, yang khusus kutujukan padamu, niscaya tak lekang oleh waktu. Ketika kupunguti dan kurangkai kata dalam surat itu, aku tercenung dalam dengan tuduhanmu ’tidak bermoral’ padaku. Mungkin benar, mungkin juga salah. Tapi sudahlah, itu semata-mata kusimpan saja di lubuk jiwa bahwa betapa sulit mempertanggungjawabkan perasaan-perasaan dengan kata-kata. Surat itu semula kumaksudkan sebagai semacam pledoi atas tuduhan itu. Selebihnya, terserah apa artinya ini buatmu dan bagiku.

Bukan hal yang muskil, aku tercenung dalam lebih karena peristiwa-peristiwa kedekatan kita saja. Sehingga bukan lantaran benar-benar karena tuduhanmu itu. Maksudku, bila aku diizinkan untuk kemudian bertengkar denganmu, bersilat lidah, saling melempar tuduhan, bukan tidak mungkin dari mulutku bakal keluar kata-kata bahwa kamu orang yang tidak konsisten jikapun aku tidak mengatakannya munafik.

Sesungguhnya, seringkali ini kusinggung ketika mengkritik dirimu, Rohana. Ya, mungkin aku sering mengkritikmu, sebenarnya berawal dari kegoncangan, kegamangan, dan keraguanku menerima seluruh atau sebagian dari isi jiwa serta pikiranmu. Akan tetapi, aku selalu berupaya untuk menempatkanmu agar punya kualitas hidup lebih baik (dan sudah barangtentu juga berlaku buatku). Karena itu, kemarahanmu, kelancanganmu saat menggampariku dengan kata-kata setajam silet pada malam-malam dan terkesan mengajak berperang itu pun, dalam pengertian ini, sangatlah terhormat—betapa kamu adalah orang yang sangat merasa bertanggungjawab bahkan terhadap diriku. Kamu, sangat peduli padaku, mencemaskanku dan tidak ingin ada hal buruk yang bakal menimpaku, keluarga, istri dan anak-anakku.

Sampai di sini, aku yakin benar, juga sebagaimana aku menyakini sebelumnya, kamu perempuan yang sangat mulia. Kupikir, kemarahanmu, kelancanganmu, bicara kasarmu itu hanya soal bahasa saja. Di balik itu, aku belum pernah bergeser dari titik bahwa aku sungguh mengagumimu—cintalah yang menyebabkanku berada di pusaran takdir seperti ini.

Biasanya, di luar perasaanku seperti itu, yang mengemuka bilamana ada duri dalam daging, adalah keheranan-keheranan. Semisal, dalam kontek tuduhanmu itu, aku heran bagaimana kalimat itu berulang kali kau layangkan padaku? Padahal dua jarimu yang kauacungkan pada hidungku itu menyisakan tiga jari lainnya yang mengarah dirimu sendiri. Maksudku, kau pun membicarakan diri sendiri dengan kata ’tidak bermoral’ yang kamu selipkan di dadaku, Rohana.

Jadi kalaupun benar aku tidak bermoral, bukankah melibatkanmu dalam hal ini? Ataukah jangan-jangan kita tak sedang berada di tempat dan alamat yang benar untuk memahami apakah moral itu? Banyak hal kupertanyakan padaku perihal kamu, bermula dari keheranan-keheranan seperti itu dan tidak juga terjawab setelah lebih duapuluh tahun lamanya, Rohana. Satu-satunya jalan sempit yang menggiringku ke lorong yang sedikit kumengerti adalah kata maaf dan hasratku untuk tidak akan lagi menyusahkanmu.

Karena itu terus kujaga pertanyaanku, agar senantiasa terpelihara dari pemahamanku atasmu sebagai makluk yang misterius, Rohana. Manusia sebagai misteri. Hanya dengan demikian yang bisa menyelamatkanku dari kegelisahan yang kurang ajar dan subversif ini. Subversif karena betapa setiap kali berbincang denganmu, mencerna isi pikiran, hati dan perasaanmu, telah hampir menyentuh langit-langit dan puncak dari gebalau jiwa antara manusia dan mungkin bukan manusia—semacam alam cita yang diburu untuk dijangkau. Meski kusadari setiap yang kutanyakan terbukti hanyalah bagai pisau yang kubawa sendiri, kekasihku.

Telah kupetik sebutir trauma jiwa dari sorot matamu yang bening seperti telaga perawan, ketika mendadak sontak menyimpan rasa takut, gundah, gelisah. Marah. Takut karena menangkap perasaan cintaku yang rahasia. Ataukah gelisah akibat telah terjaring rasia rahasia kekuatan cintaku, Rohana? Aku lebih tersiksa melihatmu dalam pesakitan seperti itu, serba salah, gemetar, lungkrah dan yang pasti lemah—sesuatu yang belum pernah kusaksikan sebelumnya dan kini tak kusangsikan lagi. Sebab itu, hari ini, kusingkap rahasiaku sendiri atas kamu, Rohana. Bahwa aku tidak akan sudi lagi menyusahkanmu! Biarpun musti kutempuh dengan jalan menyiksa diri—suatu rahasia yang takkan pernah kubuka pada siapapun di belantara galaksi ini.

***

HARI ini, duapuluh tahun lalu, kami telah saling pergi. Beberapa bulan kemudian, Rohana berkeluarga. Sebagaimana ia ceritakan, maskawinnya perpustakaan dengan ratusan koleksi buku yang salah satu bacaannya, pada novel itu, ia pakai pembatas secarik kertas surat pendek dariku. Entah di buku novel apa, dan tentang apa, dia telah lupa. Sementara, kini aku memulai perburuan baruku meraih bayang rahasia di balik mata buta. Sayang, usiaku kian senja dan belum juga kutangkap bayang itu. Anak-anak telah tumbuh dewasa. Damir, Makhfi, Zahra tak sampai hati melihatku, ayahnya, tua dalam perburuan di belantara semesta yang sepertinya tak pernah renta.

”Sudahlah ayah, istirahatlah. Berliburlah.”

Seperti biasa, anak-anak tak hanya pandai bicara. Diam-diam mereka telah menyiapkan tiket liburan khusus ke Bali. Bali. Bali. Menyeberangi pantai. Ah, sudah belasan tahun lalu terakhir kali aku ke sana. Ini waktu yang tepat untuk menggali lagi spirit gairah hidup lebih muda. Anak-anak tahu hal yang paling kusuka—menyebarang selat Ketapang-Gilimanuk untuk membuang segala nestapa ke laut.

”Sendiri? Bagaimana dengan ibumu?” rupanya ini kali pertama tulus kuingat istriku.

”Ya. Sendiri, Ayah. Sebetulnya ibulah yang meminta ayah pelesir.”

”Ah, ibumu, masih juga seperti dulu.”

”Ibu tak ingin menyusahkan ayah.”

”Dia berkata begitu?”

”Ya. Ibu juga melarangku menceritakan rahasia ini pada ayah.”

Entah atas nama apa, aku melupakan lagi istriku. Tidak juga aku berpikir. Namun demikian pastilah istriku tahu itu, bahwa satu-satunya yang ada di kepalaku adalah perempuan yang buta matanya. Aku menyeberang persis ketika matahari terbit dan semenjak itu terbit pula seluruh gairah mudaku kembali—cinta pada hidup, pada keindahan, pada kecantikan, pada perempuan.

Setelah belasan tahun pakansinya yang lalu, saat ini berlibur di sini, ternyata baru kutahu bahwa tempat yang paling kusuka adalah pantai. Selain, jalan-jalan di sekitar pusat perbelanjaan di kuta. Di pantai aku leluasa melarung masa laluku. Sementara di jalanan, di sinilah timbul hasratku yang merasuk diam-diam dan tanpa kusadar menjadi bagian hidup di usia senjaku. Bagiku hal paling menarik perihal Bali selain keindahan alamnya, adalah manekin! Ada berjuta-juta manekin berkeliaran di depan mataku.

Satu diantaranya, perempuan mengempit novel yang pernah kuberikan pada Rohana—di dalamnya terselip kertas pembatas dari secarik suratku padanya.

Surabaya, 27 Agustus 2009
*) Dimuat Majalah Seni dan Budaya Dewan Kesenian Jawa Timur, KIDUNG, Edisi 17-18.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati