Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/
Meski sama-sama wilayah kreatif, mungkin inilah takdirnya, penciptaan kritik sastra dan penciptaan puisi memiliki signifikansi keterbedaan. Keduanya menuntut ketekunan ataupun disiplin proses kreatif tersendiri.
Sejarah sastra Indonesia mencatatkan, banyak sastrawan yang sukses menulis kritik sastra. Kita memiliki Subagio Sastrowardoyo, Budi Darma, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Linus Suryadi AG. Kesemuanya adalah sastrawan mapan yang telah menulis kritik-kritik cemerlang. Fakta lain yang tak bisa dipungkiri, banyak kritikus kita yang ternyata gagal mencipta puisi cemerlang.
Tahun 1930-an, tidak ada yang meragukan kapasitas kritik Sutan Takdir Alisjahbana. Pemaparannya dalam seri Kesusastraan Baru yang disiarkan majalah Pujangga Baru seolah menampar tradisi puisi Melayu Lama. Sebaliknya, puisi Takdir tampak tenggelam ditelan gagasan-gagasan puisinya. Lihatlah kumpulan puisi Tebaran Mega. Puisi-puisi yang nyaris layu sebelum berkembang. Lebih parah lagi, puisi-puisi dalam kumpulan Lagu Pemacu Ombak. Itu seperti orang kaya berteriak-teriak minta jatah BLT (bantuan langsung tunai). Antara penampilan dan ucapan tidak nyambung. Gagasan Takdir tentang orisinalitas dan personalitas puitik justru lebih bisa dikonkretkan oleh Chairil Anwar.
Lantas siapa yang meragukan kemampuan Dami Ndandu Toda dalam menulis kritik-kritik sastra. Buku Hamba-hamba Kebudayaan merupakan bukti tak terbantah. Belum sah seorang penulis esai sastra di Indonesia jika belum membaca buku tersebut. Sebuah buku yang berhasil memberi paradigma logis atas perilaku aneh Sutardji Calzoum Bachri dalam berpuisi. Absurditas novel Iwan Simatupang pun bisa dijelaskan oleh Dami N Toda. Tapi sayang, puisi-puisi Dami tidak secemerlang kritik sastranya. Lihatlah kumpulan puisinya, Buru Abadi (2005). Di situ, puisi seperti mengemban kekangan konsep yang teramat ketat. Terlalu dibebani estetika. Bahkan, di situ, improvisasi seakan direncanakan.
Nasib buruk kritikus yang menulis puisi juga dialami oleh Rachmad Djoko Pradopo. Amat mengherankan, seorang tokoh pengkajian puisi sekaliber dia ternyata menghasilkan kumpulan puisi Aubade (1999). Puisi-puisi yang lebih pantas diciptakan oleh mahasiswa sastra semester pertama.
Konon, HB Jassin pun menulis puisi. Hanya saja, sampai akhir hayatnya, dia belum hendak menyiarkan hasil ciptaannya. Apakah dia menyimpan rapat puisi untuk menjaga reputasi kepausannya? Kita tidak tahu pasti.
Kini, masyarakat sastra Indonesia dicengangkan oleh kehadiran buku puisi Jantung Lebah Ratu dari Nirwan Dewanto. Hampir semua orang tahu, Nirwan adalah seorang lulusan geologi yang meyakini mampu mengedit puisi para penyair Tanah Air. Diedit agar memiliki daya jelajah tinggi, agar lebih tertib, puitis, metaforis. Dan selebihnya, puisi menjadi lebih seragam.
Apakah puisi-puisi Nirwan akan senasib dengan para pendahulunya? Seperti deretan para kritikus sastra yang gagal mencipta puisi gemilang. Jawabannya perlu ditunda dulu. Lebih baik mengutip sebagian puisi berjudul “Semangka” dari Nirwan Dewanto: Seperti kantung hijau berisi darah, berhenti percaya kepada tanah. Seperti bawal betina tak bersarung, menggelincir ke ujung tanjung. Seperti periuk penuh kuah ari, penat sudah oleh bara api. Seperti kandungan delapan bulan, siap tersedak ke batang jantan.
Puisi Nirwan tersebut sebenarnya berkisah tentang barang sederhana, semangka. Namun di tangan Nirwan, sesuatu yang sederhana itu menjadi rumit. Menjadi susah. Mengapa? Karena memang Nirwan tidak membahasakan dengan cara sederhana. Nirwan seakan mempersulit keadaan. Apakah Nirwan beranggapan bahwa “puisi yang istimewa” adalah “puisi yang rumit”. Bisa jadi, sebab, semangka dalam puisi Nirwan lebih tampak sebagai konsep tentang semangka daripada semangka itu sendiri. Sulit dibayangkan, semangka Nirwan adalah semangka petani yang tergeletak di tengah sawah. Atau setidaknya, semangka yang biasa didapati di supermarket.
Padahal, sejarah tradisi puisi Indonesia mencatatkan, kegemilangan puisi diperoleh berkat kesederhanaan dalam berpuitik. Bahasa Chairil Anwar sederhana, bahasa Subagio Sastrowardoyo sederhana. Pun bahasa dalam puisi Amir Hamzah, Rendra, Sapardi, Goenawan Mohamad, Oka Rusmini, apalagi Joko Pinurbo.
Kesederhanaan puisi Sapardi adalah kesederhanaan yang mendalam. Membaca puisi Sapardi seakan dihadapkan pada lapis-lapis makna (baca: tingkatan semiotik). Misalnya pada puisi “Kebun Binatang”. Lapis pertama adalah pembacaan biasa, bersifat informatif. Tanpa berusaha mencari maknanya, pembaca sudah bisa menikmati peristiwa ilustratif. Tentang pasangan muda yang datang ke kebun binatang dan bertemu dengan ular besar. Lapis kedua adalah pembacaan untuk mencari makna mendalam. Pembaca menafsirkan hubungan simbol (juga metaforis) antara ular dan wanita. Ternyata ada mitologi yang menghubungkan keduanya. Pembacaan ketiga adalah pembacaan komparatif. Bagaimana pola estetik puisi Sapardi dibandingkan dengan puisi para penyair lain yang sezaman. Bagaimana kontribusi puisi Sapardi dalam tradisi puisi di Indonesia.
Pola pembacaan yang sama bisa diterapkan dalam puisi Subagio Sastrowardoyo. Tapi pada puisi Nirwan, pembaca sudah tertahan pada lapis pertama. Itu terjadi karena puisi Nirwan terlalu rumit.
Konsep. Yah, puisi-puisi Nirwan terlalu “gagah dalam konsep”, namun kurang “rendah hati” dalam dunia keseharian. Puisi Nirwan terburu-buru ingin menjangkau semiotik lapis kedua, tapi lupa membangun semiotik lapis pertama. Problem tersebut seakan mengulang kegagapan semiotik dari puisi produksi Sutan Takdir Alisjahbana, Dami Ndandu Toda, dan Rachmad Djoko Pradopo. Puisi-puisi yang tidak menghadirkan kejernihan lanskap (panorama) dan kesederhanaan imaji (citraan).
Padahal, tidak hanya pada puisi “Semangka”, pada beberapa puisi yang lain, Nirwan juga bersandar pada benda-benda atau fenomena yang ada di keseharian. Lihat saja judul-judulnya: Kunang-Kunang, Cumi-Cumi, Gerabah, Gong, Apel, Harimau, Ular, Akuarium, Ubur-Ubur, Lonceng Gereja, Putri Malu, Tukang Kebun, Burung Merak, Kopi, Garam, Bubu, Bayonet, Selendang Sutra, Lembu Jantan, Burung Hantu, dan Keledai. Semua yang bersifat sehari-hari tersebut menjadi rumit di tangan Nirwan. Pasalnya, Nirwan lebih bergerak di wilayah lambang (simbol) daripada wilayah citraan (metafor).
Kasus yang sama sebenarnya terjadi pada puisi Mardi Luhung dan Afrizal Malna. Namun, meski terkesan rumit, puisi dua penyair tersebut amat komunikatif. Pola sintaktiknya lancar. Membaca puisi Afrizal dan Mardi seakan diajak ngobrol oleh penyairnya. Walau lingkungan teks yang dibangun berat, aspek lisannya amat kuat. Semisal puisi “Tarian Cintaku di Balik Ombak” dari Mardi: Kutarikan tarian cintaku di balik ombang. Igalkan gelang-gelang, kaki, paha, bokong, pusar, susu setuntas-tuntasnya. Kutarikan tarian cintaku di balik ombak. Merayumu, mencumbumu, dan kita pun bersutubuh sehabis-habisnya, setandas-tandasnya.
Puisi Goenawan Mohamad (GM) sebenarnya juga rumit dan penuh persilangan intelektualitas. Namun seperti halnya puisi Acep Zamzam Noor, GM membalutnya dengan permainan citraan yang matang. Meski susah dicerna, puisinya enak dinikmati. Di situ ada maksimalisasi citra bunyi, gerak, warna, permainan ruang, dan kecanggihan rima. Tujuannya sederhana, ya itulah, agar puisi enak dinikmati.
Nirwan sebetulnya telah cukup akomodatif dengan menggunakan beragam pola sastra lama. Terutama pantun dan gurindam. Tapi, pemakaian sastra lama tersebut tetap tidak menolong untuk menjernihkan puisi. Mengapa? Karena, logika puisi Nirwan tak selaras dengan logika puisi lama.
Semua puisi lama berpijak pada tradisi lisan. Aku lirik terlibat aktif dalam seluruh teks. Tubuh teks juga memiliki lagu. Ketika dibacakan, puisi lama mirip dengan nyanyian. Sementara itu, puisi Nirwan berpijak pada tradisi tulis. Aku lirik seperti mengambil jarak dari teks. Walau telah ada rima di tiap akhir baris, efeknya tidak menciptakan lagu. Justru memunculkan kejanggalan. Tidak lugas. Seperti seorang lelaki yang memakai daster. Tidak pada tempatnya.
Lain halnya dengan pemakaian pola pantun pada puisi “Lagu Gadis Itali” dari Sitor Situmorang. Sitor berhasil memadukan pola pantun dengan kesederhanaan ilustratif. Meski latar tempatnya di Italia, puisi tersebut serasa akrab bagi pembaca Indonesia.
Beragam perbandingan ini sebenarnya bermuara pada satu hal klise, mencari esensi puisi. Tidak bisa tidak, puisi adalah pergumulan antara kesederhanaan dan kompleksitas. Pertautan kejujuran dengan manipulasi makna. Puisi menghadirkan keluguan manusia sekaligus memamerkan kecerdasannya. Oktavio Paz (penyair yang diidolakan Nirwan) ketika menuliskan puisi “Kisah Dua Taman”, tidak menggunakan bahasa ilmiah atau bahasa yang susah dimengerti. Dia memaparkan argumentasi dan narasi dengan cara amat sederhana. Penuh citraan yang mudah dicerna pancaindra manusia. Hasilnya memang amat manusiawi. Di balik kesederhanaan itu, Paz mengabarkan kebaruan pemikiran: konvergensi. Pemikiran yang bersandar dari kitaran tradisi Amerika Latin dan tradisi India.
Nirwan tampaknya tidak menyadari klise (yang lebih tepat adalah klasik) ini. Dia berlari jauh pada pemikiran-pemikiran. Melupakan kesederhanaan bahwa penyair mengerutkan dahi dan menguras keringat dingin agar mampu mencipta bahasa sederhana. Bersahaja. Bandingkan dengan Amir Hamzah. Peziarah tradisi Melayu ini mengkaji banyak kitab demi mencari pola pembahasaan yang mudah dicerna. Tidak memerlukan banyak referensi.
Kerumitan puisi Nirwan diperparah dengan berjubelnya kosakata arkais. Kata-kata yang telah dilupakan masyarakat pemakainya. Lihat kutipan puisi “Ubur-Ubur” ini: Ia mata-mata, hanya terpindai di antara nisan batukarang dan gaun ganggang. Ia surai singa di belanga Cina, terpilin oleh pecahan cermin. Pemakaian kosakata arkais ini membuat teks puisi terpisah dengan konteks keseharian.
Begitulah, menulis puisi tidak gampang. Tidak setiap orang yang menguasai teori puisi (baca: kritikus sastra) mampu menulis puisi secara lugas, sebab, puisi membutuhkan kerendah-hatian. Seperti perempuan, tidak setiap gejolak diksi bisa dikontrol. Tidak bisa seenaknya memaksakan konsep puitik pada tubuh ringkih puisi. Jika pemaksaan tetap dijalankan, puisi berubah jadi konseptual, layaknya matematika. Puisi kehilangan kesehariannya, kebersahajaannya, dan kehilangan kemanusiaannya.
Surabaya, 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar