Selamat Jalan Pramoedya Ananta Toer…
IBM Dharma Palguna
http://www.balipost.co.id/
SAYA seorang mahasiswa yang sedang nenulis sebuah skripsi untuk menamatkan kuliah di Fakultas Sastra. Pramoedya Ananta Toer adalah nama yang langsung saya pilih tanpa keraguan sedikit pun. Setelah itu barulah memilih salah satu karyanya untuk dianalisis. Pilihan jatuh pada roman Perburuan. Ketika itu tahun 1984.
Saya tidak mengenal pemilik nama besar itu. Saya juga sama sekali tidak pernah melihatnya. Bagi saya ini seperti tokoh tidak nyata, yang samar-samar menampakkan diri hanya kalau saya sedang membaca bukunya. Saya pun lantas menulis surat kepada tokoh tidak nyata itu, menanyakan beberapa hal berkaitan dengan dirinya, kepengarangannya, dan pertanyaan seputar roman Perburuan.
”Tidakkah pilihan Anda akan menimbulkan kesulitan di masa depan? Saya siap membantu, asal bisa dipastikan dengan surat persetujuan Rektor.”
ITULAH salah satu isi jawaban yang saya terima. Kedatangan surat balasan itu sangat membesarkan hati saya. Ia seketika menjadi figur real yang bisa diajak berkorespondensi. Surat dengan bahasa Indonesia jernih cemerlang itu membuat hati saya lama berbunga-bunga. Saya bahkan tidak begitu memikirkan apa yang dikemaskan oleh Pramoedya, termasuk kecemasan beberapa rekan yang mengetahui permasalahan sejarah antara Pramoednya dengan Orde Baru. Saya hanya seorang mahasiswa yang mabuk oleh idealisme tentang sesuatu yang hanya saya ketahui dari buku-buku. Bacaan seputar politik dan sastra Indonesia seputar awal tahun 1960-an telah membentuk keyakinan saya, bahwa piilhan saya tidak salah. Sehingga mustahil saya mengganti nama pengarang dan judul karya pilihan demi ”keamanan”. Surat persetujuan yang diminta Pramoedya bisa saya dapatkan. Bukan persetujuan Rektor, cukup Dekan. Saya kirimkan dengan kilat khusus!
Setelah tonggak itu, saya terus berkirim surat. Ia tidak pernah tidak membalasnya. Tidak jarang dalam sebuah amplop besar Pramoedya mengirimkan buku, majalah, fotokopi artikel, dan nama serta alamat relasinya untuk saya hubungi. Kesabarannya meladeni anak ingusan seperti saya, membuat saya hormat di dalam hati. Saya merasa didukung oleh sebuah kekuatan besar, jauh lebih besar daripada kekuatan lembaga formal dan orang penakut yang ingin menggagalkan skripsi itu, baik dengan alasan stabilitas maupun alasan pribadi yang dibungkus bingkai akademis.
Waktu berjalan seperti apa adanya. Lama saya tidak mengabarkan perjalanan penulisan skripsi itu kepadanya. Suatu hari datanglah sebuah surat. Saya membacanya seperti menerima teguran dari seorang guru. Tapi mau bilang apa? Penulisan skripsi itu tidak selesai rencana, akibat permasalahan seputar ”stabilitas”. Saya hanya bisa mengatakan ”bersabarlah” kepada diri sendiri. Saya tahu kesadaran itu susah sekali direalisasikan, tapi saya harus mengatakan sesuatu pada diri. Dan kepada Pramoedya saya kabarkan, ”tidak akan lama lagi!” Saya percaya ia mengerti apa yang saya maksud berkaca pada pengalamannya sendiri, baik sebagai penulis maupun sebagai manusia.
Memang skripsi itu akhirnya selesai. Saya diuji dan dinyatakan lulus. Secara hukum saya dibolehkan memakai gelar ”drs.”. Tapi bukan gelar itu yang pertama-tama saya urus. Langsung saya berkabar dengan sebuah fotokopi skripsi sebagai tanda bukti. Pramoedya membalas dengan beberapa catatan, terutama hal yang berhubungan dengan kehidupan pribadinya, yang tidak bisa tidak juga muncul dalam skripsi itu.
Balasan itu adalah surat Pramoedya terakhir yang saya terima. Karena setelah itu saya tidak pernah mengiriminya surat. Bukan karena nama itu hilang dalam pikiran saya. Karena saya tidak lagi punya alasan bermutu untuk mengganggunya. Saya tidak bisa dan tidak biasa menulis surat untuk sekadar menanyakan musim apa sekarang di sana, apakah tanaman pisangnya sudah berbuah, apa acaranya menyambut hari raya nanti, dan sebagainya. Ketika untuk suatu urusan saya berada di Jakarta, saya beranikan diri mengunjunginya langsung. Ketika itu ia tinggal di sebuah daerah bernama Utan Kayu, Jalan Multikarya.
Seorang perempuan seumur ibu saya menyambut kedatangan saya di depan pintu. ”Siapa Dik?” sapanya pelan. Saya yakin perempuan itu tentulah istri Pramoedya yang bernama Maimunah. Fotonya menghiasi banyak surat kabar ketika Pramoedya dibebaskan dari pulau Buru, tempat ia diasingkan lebih dari sepuluh tahun atas ”dosanya” menjadi pengarang besar. Saya jelaskan siapa diri saya, dan mau apa datang ke sana.
”Oh, yang dari Bali itu ya,” katanya seperti mengingat-ingat sesuatu. ”Silahkan, Bapak ada di ruang kerjanya, di atas,” tangannya menunjuk ke lantai dua.
Rumah itu bertingkat dua. Sangat sederhana. Sebuah sepeda motor tua merek Honda berwarna merah bersandar di tembok samping rumah. Tangga kayu lapuk menuju lantai atas. Satu per satu saya naiki anak tangga. Di sana saya melihat seorang lelaki, tidak mengenakan baju, duduk di belakang meja menghadapi lembaran-lembaran kertas. Di sana sini buku dan kertas bertumpuk-tumpuk. Sebuah mesin ketik manual di atas meja. Wajahnya tidak berbeda dengan foto-foto yang disebarkan media cetak.
Saya merasa seperti murid sekolah dasar yang dipanggil menghadap guru karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Saya tidak bisa menebak bagaimana perasaannya. Bahwa saya sudah duduk manis di depan Sang Guru, sudah lebih dari cukup. Saya tidak berharap ia akan menuturkan rahasia kesaktiannya. Saya bahkan tidak ingin ngomong. Tapi alangkah konyolnya, jika saya bertamu hanya untuk diam. Percakapan yang kemudian terjadi tidak saya ingat. Saya hanya sibuk merasakan bahwa pengarang legendaris itu sedang berbicara kepada seorang murid malas.
***
BAU KATA pramoedya mengantarkan perjalanan saya selanjutnya. Kira-kita lima tahun setelah itu, saya memulai hidup di Leiden, Belanda. Di sana saya bertemu seseorang yang kemudian menjadi figur mempengaruhi hampir sepuluh tahun hidup saya selanjutnya. Ia mengaku betah berada di Jakarta karena sebuah kata, pramoedya. Namanya Henk Maier, seorang profesor sastra. Seminggu sekali saya ikuti kuliahnya yang sangat inspiratif. Banyak artikel tentang Pram lahir dari renungannya. Salah satunya bahkan pernah dikirimkan dan direkomendasikan oleh Pram sendiri untuk saya baca. Banyak pula terjemahan roman Pram ke dalam bahasa Belanda lahir dari ketekunannya.
Pada sebuah acara perkenalan mahasiswa baru ia nampak tertarik mendengar saya mengaku menaruh hormat dan kagum pada Pram. Pertemuan itu menjadi awal kerja-sama panjang selanjutnya. Henk, begitu saya memanggilnya, bukan saja dua tahun kemudian mengundang saya menjadi pengajar bahasa Indonesia di jurusannya, ia kemudian bahkan menjadi promotor saya. Dua keberuntungan itu datang bukannya tanpa sebab. Intuisi saya membisikkan bahwa peluang itu datang tidak lepas dari bau kata pramoedya.
Saya tidak hendak mengecilkan arti diri sendiri, karena pasti ada faktor lain yang menyebabkan kesempatan itu diberikan pada saya. Faktor itu tidak relevan dibicarakan di sini. Dalam batas tertentu, saya yakin, sebuah persamaan lebih mendekatkan seseorang dengan orang lain daripada sejumlah perbedaan. Salah satu persamaan itu adalah kata pramoedya, yang sama-sama kami jadikan password.
Intuisi saya mengatakan, kata pramoedya ikut membuka jalan yang kemudian saya tempuh bertahun-tahun. Intuisi itu tentu amat sangat subjektif. Karenanya, tidak usah dipercaya. Intuisi itu hanyan berbicara untuk saya. Itupun dengan suara yang tidak kedengaran. Tapi saya mendengarnya amat jelas. Tentang suara intuisi ini, bahwa Pram ikut membuka jalan, saya, saya tidak memiliki pembelaan apa pun. Walau saya jadi tercengang, ketercengangan itu bukan pembuktian sebuah kebenaran. Bisa jadi membuktikan saya terkena halusinasi.
Izinkan saya melanjutkan cerita ini. Ketika itu saya sering membayangkan, bagaimana ending cerita yang saya rekonstruksi dari potongan-potongan peristiwa. Jika Pram ikut membuka jalan, akankah ia ikut mengakhiri perjalanan ini? Bertahun-tahun di Leiden tidak ada yang tahun pertanyaan itu menempel di otak saya. Karena saya memang tidak memberitahu siapa pun.
Waktu terus berjalan dengan kecepatan yang sama. Kadang terasa cepat, kadang lambat, tergantung jumlah dan kualitas peristiwa yang saya alami. Sehari-hari saya mengajar. Bila tidak mengajar, saya melanjutkan penelitian untuk menyelesaikan studi. Bila tidak mengajar dan tidak meneliti, saya bermain dan diam. Sastra Jawa Kuno yang saya pelajari mengilhami saya untuk belajar diam. Saya tidak tahu apakah ilham yang saya dapatkan keliru atau benar. Yang jelas, saya tidak merasa mengkhianati Pram ketika memilih spesialisasi Filologi.
Beberapa orang menuduh saya menyeberang dari Sasra Modern ke Sastra Klasik. Bagi saya tuduhan itu tidak beralasan. Saya hanya menarik garis dari satu titik ke titik berikutnya. Pada titik yang mana pun berada, saya tetap berhadapan dengan kata. Apa yang bisa saya lakukan kecuali menghormati kata. Karena kata ternyata jauh lebih tua, dan menyimpan lebih banyak pengalaman daripada saya. Karenanya saya menjadikannya sebagai guru. Kata hanya berbicara kalau saya membuka mulutnya.
Banyak orang berhasil terbebaskan dari duka karena kata. Saya tidak termasuk di dalam kelompok orang berhasil itu. Yang saya dapatkan baru keletihan. Kata memang menjanjikan kebebasan itu, tapi entah kapan. Dalam suasana batin letih seperti itulah saya kumpulkan tahun demi tahun di Leiden. Sampai pada suatu hari, bulan Mei tahun 1999.
Saya mencatat dua peristiwa pada awal tahun itu. Pertama, saya akan segera meninggalkan Leiden karena misi saya menyelesaikan studi sudah berakhir. Kedua, Pramoedya datang ke Leiden untuk memberikan ceramah umum. Semua orang waras tahu, kedua peristiwa itu tidak berhubungan satu sama lainnya. Tapi ada satu orang tidak waras di dunia ini yang merasakan kedua peristiwa itu memiliki hubungan. Orang itu saya. Tapi jangan bertanya bagaimana kedua peristiwa itu berhubungan. Karena saya tidak akan sanggup menjelaskannya. Paling-paling, saya hanya akan mengatakan, di dunia ini tidak ada kebetulan. Bukan suatu kebetulan pada akhir keberadaan saya di Leiden saya bertemu Pramoedya.
”Ternyata saya duluan menjadi Doktor!” katanya bercanda. Pram baru datang dari penganugrahan gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Michigan, Amerika. Saya hanya tersenyum, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Otak saya sibuk dengan kekagetan. Ternyata ia memang hadir di akhir perjalanan saya menempuh lorong, yang ia sendiri ikut membukakan pintunya. Saya tidak banyak berbicara, karena Henk Majer membisikkan bahwa pendengaran Pram sudah tidak bagus lagi. Saya hanya melakukan percakapan kecil dengan ibu Maimunah.
(Catatan: Tulisan ini selesai tanggal 30 April, pukul 16.00 Wita, di Tabanan, Bali. Petang harinya pukul 19.05, saya baru mendengar berita Pramoedya meninggal dunia dan telah dikuburkan).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar