Sabtu, 20 November 2010

Dan Intuisi Membisikkan Peluang sang Legendaris

Selamat Jalan Pramoedya Ananta Toer…

IBM Dharma Palguna
http://www.balipost.co.id/

SAYA seorang mahasiswa yang sedang nenulis sebuah skripsi untuk menamatkan kuliah di Fakultas Sastra. Pramoedya Ananta Toer adalah nama yang langsung saya pilih tanpa keraguan sedikit pun. Setelah itu barulah memilih salah satu karyanya untuk dianalisis. Pilihan jatuh pada roman Perburuan. Ketika itu tahun 1984.

Saya tidak mengenal pemilik nama besar itu. Saya juga sama sekali tidak pernah melihatnya. Bagi saya ini seperti tokoh tidak nyata, yang samar-samar menampakkan diri hanya kalau saya sedang membaca bukunya. Saya pun lantas menulis surat kepada tokoh tidak nyata itu, menanyakan beberapa hal berkaitan dengan dirinya, kepengarangannya, dan pertanyaan seputar roman Perburuan.

”Tidakkah pilihan Anda akan menimbulkan kesulitan di masa depan? Saya siap membantu, asal bisa dipastikan dengan surat persetujuan Rektor.”

ITULAH salah satu isi jawaban yang saya terima. Kedatangan surat balasan itu sangat membesarkan hati saya. Ia seketika menjadi figur real yang bisa diajak berkorespondensi. Surat dengan bahasa Indonesia jernih cemerlang itu membuat hati saya lama berbunga-bunga. Saya bahkan tidak begitu memikirkan apa yang dikemaskan oleh Pramoedya, termasuk kecemasan beberapa rekan yang mengetahui permasalahan sejarah antara Pramoednya dengan Orde Baru. Saya hanya seorang mahasiswa yang mabuk oleh idealisme tentang sesuatu yang hanya saya ketahui dari buku-buku. Bacaan seputar politik dan sastra Indonesia seputar awal tahun 1960-an telah membentuk keyakinan saya, bahwa piilhan saya tidak salah. Sehingga mustahil saya mengganti nama pengarang dan judul karya pilihan demi ”keamanan”. Surat persetujuan yang diminta Pramoedya bisa saya dapatkan. Bukan persetujuan Rektor, cukup Dekan. Saya kirimkan dengan kilat khusus!

Setelah tonggak itu, saya terus berkirim surat. Ia tidak pernah tidak membalasnya. Tidak jarang dalam sebuah amplop besar Pramoedya mengirimkan buku, majalah, fotokopi artikel, dan nama serta alamat relasinya untuk saya hubungi. Kesabarannya meladeni anak ingusan seperti saya, membuat saya hormat di dalam hati. Saya merasa didukung oleh sebuah kekuatan besar, jauh lebih besar daripada kekuatan lembaga formal dan orang penakut yang ingin menggagalkan skripsi itu, baik dengan alasan stabilitas maupun alasan pribadi yang dibungkus bingkai akademis.

Waktu berjalan seperti apa adanya. Lama saya tidak mengabarkan perjalanan penulisan skripsi itu kepadanya. Suatu hari datanglah sebuah surat. Saya membacanya seperti menerima teguran dari seorang guru. Tapi mau bilang apa? Penulisan skripsi itu tidak selesai rencana, akibat permasalahan seputar ”stabilitas”. Saya hanya bisa mengatakan ”bersabarlah” kepada diri sendiri. Saya tahu kesadaran itu susah sekali direalisasikan, tapi saya harus mengatakan sesuatu pada diri. Dan kepada Pramoedya saya kabarkan, ”tidak akan lama lagi!” Saya percaya ia mengerti apa yang saya maksud berkaca pada pengalamannya sendiri, baik sebagai penulis maupun sebagai manusia.

Memang skripsi itu akhirnya selesai. Saya diuji dan dinyatakan lulus. Secara hukum saya dibolehkan memakai gelar ”drs.”. Tapi bukan gelar itu yang pertama-tama saya urus. Langsung saya berkabar dengan sebuah fotokopi skripsi sebagai tanda bukti. Pramoedya membalas dengan beberapa catatan, terutama hal yang berhubungan dengan kehidupan pribadinya, yang tidak bisa tidak juga muncul dalam skripsi itu.

Balasan itu adalah surat Pramoedya terakhir yang saya terima. Karena setelah itu saya tidak pernah mengiriminya surat. Bukan karena nama itu hilang dalam pikiran saya. Karena saya tidak lagi punya alasan bermutu untuk mengganggunya. Saya tidak bisa dan tidak biasa menulis surat untuk sekadar menanyakan musim apa sekarang di sana, apakah tanaman pisangnya sudah berbuah, apa acaranya menyambut hari raya nanti, dan sebagainya. Ketika untuk suatu urusan saya berada di Jakarta, saya beranikan diri mengunjunginya langsung. Ketika itu ia tinggal di sebuah daerah bernama Utan Kayu, Jalan Multikarya.

Seorang perempuan seumur ibu saya menyambut kedatangan saya di depan pintu. ”Siapa Dik?” sapanya pelan. Saya yakin perempuan itu tentulah istri Pramoedya yang bernama Maimunah. Fotonya menghiasi banyak surat kabar ketika Pramoedya dibebaskan dari pulau Buru, tempat ia diasingkan lebih dari sepuluh tahun atas ”dosanya” menjadi pengarang besar. Saya jelaskan siapa diri saya, dan mau apa datang ke sana.

”Oh, yang dari Bali itu ya,” katanya seperti mengingat-ingat sesuatu. ”Silahkan, Bapak ada di ruang kerjanya, di atas,” tangannya menunjuk ke lantai dua.

Rumah itu bertingkat dua. Sangat sederhana. Sebuah sepeda motor tua merek Honda berwarna merah bersandar di tembok samping rumah. Tangga kayu lapuk menuju lantai atas. Satu per satu saya naiki anak tangga. Di sana saya melihat seorang lelaki, tidak mengenakan baju, duduk di belakang meja menghadapi lembaran-lembaran kertas. Di sana sini buku dan kertas bertumpuk-tumpuk. Sebuah mesin ketik manual di atas meja. Wajahnya tidak berbeda dengan foto-foto yang disebarkan media cetak.

Saya merasa seperti murid sekolah dasar yang dipanggil menghadap guru karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Saya tidak bisa menebak bagaimana perasaannya. Bahwa saya sudah duduk manis di depan Sang Guru, sudah lebih dari cukup. Saya tidak berharap ia akan menuturkan rahasia kesaktiannya. Saya bahkan tidak ingin ngomong. Tapi alangkah konyolnya, jika saya bertamu hanya untuk diam. Percakapan yang kemudian terjadi tidak saya ingat. Saya hanya sibuk merasakan bahwa pengarang legendaris itu sedang berbicara kepada seorang murid malas.
***

BAU KATA pramoedya mengantarkan perjalanan saya selanjutnya. Kira-kita lima tahun setelah itu, saya memulai hidup di Leiden, Belanda. Di sana saya bertemu seseorang yang kemudian menjadi figur mempengaruhi hampir sepuluh tahun hidup saya selanjutnya. Ia mengaku betah berada di Jakarta karena sebuah kata, pramoedya. Namanya Henk Maier, seorang profesor sastra. Seminggu sekali saya ikuti kuliahnya yang sangat inspiratif. Banyak artikel tentang Pram lahir dari renungannya. Salah satunya bahkan pernah dikirimkan dan direkomendasikan oleh Pram sendiri untuk saya baca. Banyak pula terjemahan roman Pram ke dalam bahasa Belanda lahir dari ketekunannya.

Pada sebuah acara perkenalan mahasiswa baru ia nampak tertarik mendengar saya mengaku menaruh hormat dan kagum pada Pram. Pertemuan itu menjadi awal kerja-sama panjang selanjutnya. Henk, begitu saya memanggilnya, bukan saja dua tahun kemudian mengundang saya menjadi pengajar bahasa Indonesia di jurusannya, ia kemudian bahkan menjadi promotor saya. Dua keberuntungan itu datang bukannya tanpa sebab. Intuisi saya membisikkan bahwa peluang itu datang tidak lepas dari bau kata pramoedya.

Saya tidak hendak mengecilkan arti diri sendiri, karena pasti ada faktor lain yang menyebabkan kesempatan itu diberikan pada saya. Faktor itu tidak relevan dibicarakan di sini. Dalam batas tertentu, saya yakin, sebuah persamaan lebih mendekatkan seseorang dengan orang lain daripada sejumlah perbedaan. Salah satu persamaan itu adalah kata pramoedya, yang sama-sama kami jadikan password.

Intuisi saya mengatakan, kata pramoedya ikut membuka jalan yang kemudian saya tempuh bertahun-tahun. Intuisi itu tentu amat sangat subjektif. Karenanya, tidak usah dipercaya. Intuisi itu hanyan berbicara untuk saya. Itupun dengan suara yang tidak kedengaran. Tapi saya mendengarnya amat jelas. Tentang suara intuisi ini, bahwa Pram ikut membuka jalan, saya, saya tidak memiliki pembelaan apa pun. Walau saya jadi tercengang, ketercengangan itu bukan pembuktian sebuah kebenaran. Bisa jadi membuktikan saya terkena halusinasi.

Izinkan saya melanjutkan cerita ini. Ketika itu saya sering membayangkan, bagaimana ending cerita yang saya rekonstruksi dari potongan-potongan peristiwa. Jika Pram ikut membuka jalan, akankah ia ikut mengakhiri perjalanan ini? Bertahun-tahun di Leiden tidak ada yang tahun pertanyaan itu menempel di otak saya. Karena saya memang tidak memberitahu siapa pun.

Waktu terus berjalan dengan kecepatan yang sama. Kadang terasa cepat, kadang lambat, tergantung jumlah dan kualitas peristiwa yang saya alami. Sehari-hari saya mengajar. Bila tidak mengajar, saya melanjutkan penelitian untuk menyelesaikan studi. Bila tidak mengajar dan tidak meneliti, saya bermain dan diam. Sastra Jawa Kuno yang saya pelajari mengilhami saya untuk belajar diam. Saya tidak tahu apakah ilham yang saya dapatkan keliru atau benar. Yang jelas, saya tidak merasa mengkhianati Pram ketika memilih spesialisasi Filologi.

Beberapa orang menuduh saya menyeberang dari Sasra Modern ke Sastra Klasik. Bagi saya tuduhan itu tidak beralasan. Saya hanya menarik garis dari satu titik ke titik berikutnya. Pada titik yang mana pun berada, saya tetap berhadapan dengan kata. Apa yang bisa saya lakukan kecuali menghormati kata. Karena kata ternyata jauh lebih tua, dan menyimpan lebih banyak pengalaman daripada saya. Karenanya saya menjadikannya sebagai guru. Kata hanya berbicara kalau saya membuka mulutnya.

Banyak orang berhasil terbebaskan dari duka karena kata. Saya tidak termasuk di dalam kelompok orang berhasil itu. Yang saya dapatkan baru keletihan. Kata memang menjanjikan kebebasan itu, tapi entah kapan. Dalam suasana batin letih seperti itulah saya kumpulkan tahun demi tahun di Leiden. Sampai pada suatu hari, bulan Mei tahun 1999.

Saya mencatat dua peristiwa pada awal tahun itu. Pertama, saya akan segera meninggalkan Leiden karena misi saya menyelesaikan studi sudah berakhir. Kedua, Pramoedya datang ke Leiden untuk memberikan ceramah umum. Semua orang waras tahu, kedua peristiwa itu tidak berhubungan satu sama lainnya. Tapi ada satu orang tidak waras di dunia ini yang merasakan kedua peristiwa itu memiliki hubungan. Orang itu saya. Tapi jangan bertanya bagaimana kedua peristiwa itu berhubungan. Karena saya tidak akan sanggup menjelaskannya. Paling-paling, saya hanya akan mengatakan, di dunia ini tidak ada kebetulan. Bukan suatu kebetulan pada akhir keberadaan saya di Leiden saya bertemu Pramoedya.

”Ternyata saya duluan menjadi Doktor!” katanya bercanda. Pram baru datang dari penganugrahan gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Michigan, Amerika. Saya hanya tersenyum, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Otak saya sibuk dengan kekagetan. Ternyata ia memang hadir di akhir perjalanan saya menempuh lorong, yang ia sendiri ikut membukakan pintunya. Saya tidak banyak berbicara, karena Henk Majer membisikkan bahwa pendengaran Pram sudah tidak bagus lagi. Saya hanya melakukan percakapan kecil dengan ibu Maimunah.

(Catatan: Tulisan ini selesai tanggal 30 April, pukul 16.00 Wita, di Tabanan, Bali. Petang harinya pukul 19.05, saya baru mendengar berita Pramoedya meninggal dunia dan telah dikuburkan).

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati