Sabtu, 20 November 2010

Pram, Buku dan Sastra Rasa Penjara

Catatan Buku Biografi Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)
Rama Prabu *
http://oase.kompas.com/

Membincangkan Pramoedya Ananta Toer atau lebih dikenal Pram memang tak ada habis-habisnya, terbukti satu lagi buku biografi menambah khasanah dalam hal itu. Pram memang menarik untuk dibahas, dari sudut manapun terlebih jalan hidupnya yang berliku tak sewajarnya sebagai seorang tokoh perjuangan yang pada akhirnya lebih memainkan penanya dari pada terjun langsung dalam kancah politik nasional. Tapi jangan dikira, menjadi pengarang, menjadi sastrawan justru Pram telah membuat jalur sendiri dan menarik lawan politiknya untuk ikut dalam konsep permainan tinta hitamnya.

Buku Muhammad Rifai, dengan judul Pramoedya Ananta Toer ini memang tidak menghadirkan kebaruan baik data maupun fakta-fakta sejarah, dia hanya merangkumnya, meramunya serta menghimpun cerita-cerita yang berserakan disekitar Pram. Tapi ini patut diapresiasi khususnya bagi mereka yang hendak melakukan penelitian mengenai sosok pram maupun bagi Pramis sendiri. Ada beberapa yang menarik perhatian, selain sejumlah karya baik yang dapat terselamatkan ataupun karya-karya yang dihilangkan penguasa sampai cerita dinominasikannya Pram untuk hadiah Nobel Sastra, hal itu pertama, ada dua periode yang menjadi pertentangan besar kalangan sastrawan sebut saja Kelompok Manikebu dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang didalamnya ada Pram, yaitu ketika Lekra memenangkan pertaruangan politik dengan ujung dilarangnya kelompok Manikebu oleh Soekarno karena menghalangi cita-cita Revolusi, satu kemenangan Pram secara nyata dengan realisme sosialisnya; dan kelompok Manikebu juga kemudian bersitegang kembali dengan Pram ketika Pram akan dianugerani hadiah Magsaysay Award, tokoh sastra seperti Muchtar Lubis, H.B. Jassin, Asrul Sani, Rendra, Taufik Ismail, Ikranagara da 26 pengarang lainnya melakukan protes terhadap keputusan Yayasan dan mendesaknya membatalkan keputusan tersebut. Alasan mereka peran terkemuka yang selama bertahun-tahun dimainkan Pram sebagai pemuka lekra dalam penindasan terhadap seniman yang tidak sepaham dengan dia, mereka juga berkata “dia memimpin penindasan kreativitas penulis, dramawan, sineas, pelukis dan musikus non komunis, melecehkan kebebasan ekpresi, menyambut pelarangan buku dan piringan hitam dan mengelu-elukan pembakaran buku besar-besaran di Jakarta dan Surabaya.

Disebut juga sebagai faktor pemberat bahwa ‘sebegitu jauh Pramoedya tidak pernah menyesalkan peran yang dilakukannya dahulu, tidak pernah mengakui seluruh sepak-terjangnya dimasa itu sebagai tindakan pemberangusan kemerdekaan kreatif yang dilakukan secara sistematik’, saya menyangkan pendapat Rifai dalam hal ini, dia seolah memberikan simpulan dari kejadian masa lalu yang masih abu-abu itu. Rifai berkata “Pram tetap keras kepala menolak bertobat dan meminta maaf atas kelakuannya sebagai pemuka Lekra. Ia tetap penuh amarah terhadap perlakuan yang ia derita selama 20 tahun lebih.” Pernyataan ini dapat disimpulkan oleh pembaca bahwa Pram benar melakukan apa seperti yang dituduhkan kelompok Manikebu yang minus Goenawan Mohamad, Arif Budiman dan Ajip Rosidi karena mereka justru berada pada kelompok yang kembali memberikan ruang bagi pencarian jalan tengah.

Saya tertarik dengan pernyataan Arif Budiman yang bijaksana “kita menciptakan budaya baru di mana kita saling menghormati martabat orang lain, meskipun dia berlainan pendapat dengan kita. Saya terntu berharap bahwa karena sikap saya ini, Pram akan menjadi setuju dengan saya, bahwa bagi seorang intelektual, kebebasan manusia lebih bernilai ketimbang kekuasaan”, bahkan Goenawan Muhamad sendiri mempunyai alasan dan tidak menandatangani nota protes tersebut yaitu bahwa Pram masih belum bebas, belum dipulihkan hak-hak sipilnya, masih ada pelarangan terhadap bukunya, pelarangan bepergian ke luar negeri, dan lain-lain.

Jadi simpulan yang masih wilayah kontroversi itu malah akan membuat kontoversi lain lagi. Kedua, pelakuan penindasan, penyiksaan dan tahanan tanpa proses pengadilan yang diterima Pram baik pada masa Orde Soekarno maupun Orde Soeharto oleh Pram tidak dibalas dengan menjelek-jelekan Indonesia begitu bahasa penulis buku tersebut, dalam karya-karyanya Pram mengajak seluruh rakyat dan penguasa Indonesia untuk tidak melupakan para pahlawan yang memberikan sumbangan tenaga, pikiran, harta dan nyawanya untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa Indonesia. Dengan Pram-lah nama Indonesia menjadi terkenal di dunia Internasional lewat buku-buku yang humanisnya serta sarat dengan ajaran-ajaran kemanusiaan, keadilan dan perjuangan HAM-nya. Pertanyaannya, selain Pram pada kedua era tersebut siapa lagi Sastrawan yang dapat kita banggakan, mengharumkan nama bangsanya, kelompok Manikebu yang tetap menghirup udara bebas pun tak mampu melakukannya!

Itu fakta sejarah yang harus dicatat dengan tinta emas, bahwa bangsa Indonesia bangga pernah memiliki seorang sastrawan yang mencapai tingkatan paripurna. Dan bagi saya, bintang mahaputra itu harus segera disematkan pada dada kirinya walau beliau kini telah tiada, penghargaan terbaik dari bangsa untuk sastrawan yang jadi pahlawan. Jadi, gelar pahlawan itu tak hanya kita berikan pada mereka yang pernah mengangkat senjata bertempur walau jadi tukang bawa peluru tapi bagi sastrawan yang benar-benar telah berjasa memberikan pencerahan dan petunjuk jalan, jadi lentera bagi bangsanya, dalam hal ini saya setuju dengan yang dikemukakan penulis dalam hal nasionalisme Pram yaitu Pram tidak menyetujui penjajahan karena penjajahan telah merusak sendi kehidupan masyarakat, berbangsa termasuk sendi kehidupan keluarga dan menyengsarakan kehidupan manusia, konsepsi nasionalisme Pram dipengaruhi oleh pemikiran revolusi sosialis atau nasionalisme kiri, hal tersebut terlihat dari aspek humanisme, sosialisme, kebencian terhadap barat-asing nasionalisme dari spirit rakyat yang minoritas dan tertindas.

Dan perkembangan konsepsi nasionalisme Pram di era Orba bagaimana nasionalisme keindonesiaan dikontektualkan dengan perlawanan atau penentangan adanya kekuasaan yang absolut, tiran, korup, formalis, dan administratif, dimana Pram berkeinginan kekuasaan yang memberikan kebebasan berekspresi dan berkreasi dan terutama memikirkan kemiskinan warganya; ketiga, berkaitan dengan pelarangan buku yang pernah diderita Pram selama perode kepengaranganya, yang dalam hal ini dimulai semenjak penyerbuan rumah yang sekaligus perpustakaannya pada medio Oktober 1965 dan beberapa buku yang dilarang pihak Kejaksaan, dalam buku ini masih ditulis adanya pelarangan buku tetapi semenjak diumumkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pada 13 Oktober lalu, pelarangan barang cetakan, termasuk buku, kini hanya dapat dilakukan melalui proses hukum dan diputuskan oleh pengadilan. Putusan ini merupakan tanggapan Mahkamah Konstitusi atas permintaan uji materi terhadap UU No 4/PNPS/1963 yang diajukan oleh sejumlah penulis, penerbit, dan peminat bahan bacaan sejak akhir tahun lalu sampai awal tahun ini.

Menanggapi hal tersbeut, saya sependapat dengan Atmakusumah (Kompas, 18 Oktober 2010) bahwa larangan peredaran buku tidak pernah efektif dalam situasi politik apa pun. Termasuk pada 30 tahun masa pemerintahan otoriter Orde Baru dan dalam suasana yang sama selama 10 tahun terakhir masa Orde Lama. Buku-buku karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, misalnya, beredar luas di negeri kita pada masa Orde Baru walaupun dilarang oleh Kejaksaan Agung. Meski seorang penjual eceran buku Pramoedya di Yogyakarta ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan negeri, ada keluarga pembaca yang memiliki tiga sampai empat eksemplar dari setiap karya Pramoedya. Ini karena semua anggota keluarga berminat membaca buku—yang terbit selama masa pelarangan—pada waktu bersamaan tanpa harus bergiliran. Kita lihat saja faktanya, buku-buku Pramoedya yang dilarang beredar di Indonesia pada masa Orde Baru menjadi bacaan wajib bagi para mahasiswa jurusan sastra di Malaysia. Salah satu novelnya, yang diterbitkan di Malaysia, memasang foto Wakil Presiden Adam Malik di halaman kulit belakang dan komentarnya yang memuji karya sastra Pramoedya. Jadi seperti dikatakan Dr. Yudi Latif yang tampil sebagai ahli dalam persidangan putusan tentang nasib buku, beliau mengatakan “[Hari ini kita menarik] garis batas antara masa lalu dan masa depan, antara otoritarianisme dan demokrasi, antara masyarakat beradab dan masyarakat biadab.” Dan kini saatnya buku-buku Pram menjadi bacaan wajib juga anak-anak negeri ini, tentunya dengan satu tujuan agar jika kelak jadi penguasa tak berlaku keliru bahkan salah seperti yang pernah dilakukan masa Orde Lama maupun Orde Baru dan terakhir Orde Reformasi. ©

*) Peneliti di Dewantara Institute, Dewan Pembaca Indonesia Buku

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati