Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/
Talango menghampar di depan mata. Namun, untuk merengkuh serta menjalajahi datar tubuh, bukit, lembah, ranau pepohon nyiur dan sayur mayur, aku perlu setapak langkah lagi. Tanpa perahu-perahu dan kapal kecil, Talango masih sayup bergelayut di riak-riak ombak.
Essang, desa itu ditulis Sindi dalam suratnya kepadaku. Satu di antara beberapa desa jujugan tengkulak cabe merah dari Pamekasan, Sampang dan Sumenep. Luas pulau Talango, seluas kecamatanku. Namun rumah-rumah lawasnya sudah banyak berganti still desain baru. Apalagi hamparan tanaman cabe, bak gelaran emas 24 karat saat area cabe Brebes dan sebagian pulau jawa tergenang banjir.
Di ujung Kali Anget, mata para tengkulak sudah berwana hijau. Ubun ubun mereka terlihat sibuk mengacak angka. Berbeda dengan aku yang sibuk mengacak gadis berwajah oval, alis tebal, kuning langsat cina, dan keramahannya.
Aku menangkap wajah Sindi saat ia menyelinap di gang kota dekat bukit Asta Tinggi. Ia bagai merak biru sedang melintas. Kepakan sayapnya mengibas bulukudu dan memathuk segumpal darah jantung hatiku. Geragap pathukan itu benar-benar melumpuhkan daya cintaku dengan ramuan Maduranya. Sebusur anak panah ku lepaskan dari jemparingnya tepat ke ulu hati. Dan di malam valentine ia jatuh terkapar di alun alun kota Sumenep. Aku mendekatinya di antara denting time thunnel masjid barat alun alun. Segera kukemasi, kupungutu rontok helai bulu bulunya dan kusanggar rapi dalam sangkar hatiku.
Sejak itu kota yang tadinya asing, kini menjadi ramai. Lampu lampu tampak mencorong di pojok kota tua yang kerap aku habiskan malam malamnya. Aku jadi betah mendengarkan penjual kaset memutar lagu lagu ala Madura yang dinyanyikan dengan aransemen musik meniru garapan si Alif pencipta lagu oeseng Banyuwangian yang diminati perantau Singonjuruh, Blambangan, Sritanjung, Ketapang yang bermukim di Denpasar. Padahal, aku tidak mengerti bahasanya.
Bersama Sindi, hari dan kota itu menjadi tepian sorga yang semilirnya tercipta khusus untukku. Sementara orang lain hanya menjadi pelengkap sausana kota. Apalagi ketika gerimis mengguyur becek bumi dari langitnya yang dirundung mendung. Bumi dengan sabarnya mewadai segala tumpahan gelora asap jingga yang menyekat pandangan kampung halaman. Langit dan bumi pun larut dalam dekapan semusim yang merekahkan kelopak teratai ungu di pancuran jantung kota.
Pagi di Februari. Sindi mengajariku lagu ‘Sapu Tangan Merah’nyaYus Yunus yang sering ku lantunkan. Duh Halimah se manis / manis rasana manggis / kenangan yang indah / tetap teroker di mata / duh Halimah se redin / potrana bapak Moden / kenangan yang indah / tetap teroker di mata /. Bagai sepasang menjangan kami berlarian menerobos semak belukar kawasan hutan Batangbatang. Selain pembakaran batu putih di tungku perapian, pemandangan memanjang adalah bonsai cemara udang, tanaman yang hanya tumbuh di tempat itu, sekitar pantai Lombeng. Kata Sindi, harga bonsai cemara berdahan elok itu mencapai jutaan rupiah. Bahkan kerap dipesan hotel berbintang dan reil esteat ibu kota.
Berbeda dengan Jawa yang banyak ditanami tebu, Batangbatang pohon nyiur berbaris rapat. Sesekali kami melihat petani turun dan memanjat pohon kelapa. Tak heran jika pelosok utara Sumenep ini terkenal penyuplai gula kelapa. Seingatku, inilah desa yang D.Zawawi Imron pernah mengatakan kalau dirinya tidak dibesarkan di gedung mewah milik orang kota, melainkan dari deresan pohon kelapa dan siwalan.
Dua jam pelesir bersama Sindi waktu memendek sepuluh menit. Dan pantai Lombengnya / berpagar pohon cemara /. Ohh sungguh, tak hanya wajah Sindi selaksa jelmaan bidadari, pantai Lombeng ini lebih dari sekedar yang dinyanyikan Yus Yunus. Aku sadar, kesalahanku kadang memercayai kabar dari kenyataan.
Sindi lama duduk di sampingku. Pantai seperti tak henti berkisah tentang kepiting dan rajungan, atau siput dan kerang. Rambutnya tergerai, walau hanya pendek sebahu. Kuning tangan dengan bulu lenting yang agak kentara, Sindi menggandengku menginjak desiran ombak. Matanya yang teduh ia lempar jauh ke tengah samudera. Aku tak mengerti persis kata hatinya, sepertinya aku disuruh menyaksikannya.
Tiba tiba fikiranku mengembara seperti angin di atas samudera. Terkaku menyangka, apa sih yang dikatakan samudera ketika kita dibibirnya? Tentang keluasan? Yang aku harus melintasinya walau tak menyeberangi. Tentang kedalaman? Yang aku harus menyelami tuk menyaksikan terumbu karang, ikan dan mutiara. Tentang kapal dan perahu sampan? Yang aku diayunkan gelombang dalam bahtera setiap aku berlabuh. Atau tentang badai? Yang akan menenggelamkan aku hingga ke dasarnya.
Lama Sindi berdiri. Ia seperti berbicara kepada laut. Sedang aku menoleh ke belakang. Tampak bercak telapak sepasang kaki kami terukir di pesir putih. Sekali nelayan melaut, ada tiga jawabnya, pulang membawa ikan, membawa sampan, atau membawa nama. Aku yang tak berani mencampuri kekhusyukannya berelaxasi dengan laut, cuma menangkap bahasa tunggu. Ohh, aku ingin menjadi laut, agar mendengar segala keluhan dadanya selain saat bersamaku. Sebab lelaki yang mencintai wanita, ia mengetahui detail hal terkecil pun yang terselip dalam wanita.
***
Seminggu aku gelisah. Itulah ketololanku yang tak jelas. Gampang menarik persoalan orang lain kedalam pribadiku. Bahkan urusan negara sekali pun. Demo mahasiswa sudah membludak di mana mana. Sedang sekali demo, tak jarang ada tubuh terluka. Meski bukan sanak famili, tak kuasa aku menghapus cemas. Hidup di negri dungu seperti karbau ini, urusan demo tak dimengerti. Demo sampai mampus sekali pun tak digubris, tak dihargai, sebab pemerintah memang orang yang tak siap didemo, dikritik, diusik kenyamanannya saat bertahta. Yang pemerintah inginkan hanyalah enjoi dengan kenyamanan jabatan.
Sehabis isyak tiba-tiba pintu no 9 terbuka. Kamar persegi empat yang kuhuni bersama laptop bututku. Mul dan Mamat, “permisi Kak,” dua perjaka yang akrab denganku masuk sengan khas sarung dan kopyahnya. “Besok setelah jum’atan ada demo di masjid agung lun alun. Yang ramai ramai bawa kain panjang itu lho Kak.” Dengan logat Maduranya, Mul dan Mamat mengabariku. Jariku terhenti di keybord laptop. “Kalian antarkan aku ke studio siaran radio, yang jam segini memutar tembang hits anak negri.” Sejenak mereka berfikir, “oow Sancaka FM, aku kenal penyiarnya Kak, orang dari Malang. Aku sering ngasi bungkusan tembakau Prancak. Katanya sih, buat bapaknya kalau sedang pulang kampung.” Tanpa mereka tau tujuanku, kami boncengan bertiga.
Sebelumnya mereka menjelaskan kalau motornya ‘Durno’, motor di kota Sumenep yang tidak ada STNKnya. Motor ini dibeli dari kapal asing dengan harga murah meskipun baru. Dari pada tertangkap polisi, kami melewati gang gang terobosan ke Sancaka FM. “ Dari pada uang dikasikan polisi, mending buat nongkrong di warung kopi mas,” gumam Mul sambil nyetir berkelak-kelok. “Saya dan Durno ini pernah kepergok operasi satlantas, ahirnya motor tak tuntun dan tak jalankan mundur. Pas saya dicegat, ditanyai surat, tak jawab, lho pak polisi, yang ada undang-undangnyakan kelau mengendarai motor, inikan saya tak tuntun, lagian jalannya kebelakang, kan gak ada hukumnya.” Spontan kelakar Mamat membuatku terpingkal, dan konsentrasi setir Mul pun buyar. Siiett! Awas! Brakk! Durno terguling. Mamat terpental kejebur got bacin. Lututku berdarah. Kepala Mul bonyok. Gara-gara se ekor kucing betina lari menyeberang dadakan. Rupanya kucing betina tak punya pilihan, kecuali lari sekencang kencannya saat dikejar dan hendak diperkosa kucing jantan.
Sesampai di studio, Mamat melobi nimbrung kirim atensi. Dengan alasan penting, Mamat meminta penyiar membaca puisi yang kusuruh. Sketsa Wajah Rasul / Cukuplah tinta kebodohanmu melukis wajahnya / Mampukan jarak pandangmu merumuskannya / YaaRasul atas ketimpangan ini / Volume kepalaku tidaklah menciut atau membesar / Karna tetap saja aku bisa mengantuk / Cintaku takkan surut / Karna cahyamu adalah / bagian hidupku / YaaRasul / Bagiku kau lebih indah jika bersemayam / Dalam hati ketimbang eksemplar sampah / Yang kau kibar-kibarkan itu / Sumenep Februari 2006 /. Sebagai mana pendemo senusantara, atas nama pemuda muslim Sumenep turut memrotes ulah pemuda Denmark yang melukis wajah Rasululloh.
Sepulang dari studio, Durno dan tiga penunggangnya kembali belusukan di gang. Entah tak jelas sebabnya, esok hingga pukul empat sore, tidak ada tanda aktivis berdemo.
***
Semua alun-alun yang ku jumpai, kini dipakai pasar dadakan. Lumayan buat warga refresing bersama keluarga. Bersama Sindi, aku habiskan sisah waktu pulang kerjanya yang agak siang. Tak ku duga, sekeluar dari warung soto Madura, empat lelaki menghujaniku kepalan tangan berkali-kali. Mendengar perkataan kerasnya, mereka menuduh aku nyenggol pacarnya. Cerita Sindi, mereka lari setelah aku memar dan tidak sadarkan diri. Orang orang dan beberapa teman yang mengenalku selama di kota itu, membopongku pulang. Aku melihat Sindi sedang menyaput bonyok wajahku dengan air hangat saat aku siuman dari pingsan semalam.
Wajah cemas Sindi rubuh ke dadaku. Air mata kewanitaannya tumpah bersama tangis. Mul dan Mamat rupanya cerita ke Sindi perihal usahaku menggagalkan aksi demo dengan beratensi puisi ke studio. Ketangguhan hati seorang wanita tak sebanding dengan rasa kekhawatirannya atas kehilangan orang yang dicintainya. “Mas jangan konyol. Semenjak rencana pemangunan jembatan Suramadu tidak bisa digagalkan para kiai, negriku ini akan menjadi milik orang asing. Tembakau yang masih di sawah sudah ditukar dengan motor kriditan. Yang mengeroyok Mas semalam para provokator kordinasi demo yang sudah dibayar 60 ribu dollar oleh kedutaan Amerika. Mereka kecewa kerena puisi Mas di radio Sancaka FM semalam.” Aku terhenyak di awal siumanku. Ternyata Sindi mengetahui detail konstelasi perpolotikan penggalang demo.
***
Empat tahun sudah berlalu. Kota dengan segala kenangan masa laluku bersama Sindi memanggilku singgah di kota ini. Empat tahun lalu, bulan Rajab tanggal muda, aku meneguhkan kelulusan Sindi dalam mencintaiku. Ia tak hanya mendampingi kala sukaku, kala duka dan aku jatuh terpuruk pun ia setia menemaniku. Sungguh suatu pengorbanan yang oleh para lelaki perlu waktu seumur hidup untuk melupakannya.
Keinginanku untuk meminangnya pun kandas, saat tangisan Sindi meledak di dadaku. “Waktu kecil aku pernah dijadikan pendamping pernikahan kemanten. Dua gadis kecil sebelah kiri, dan dua lelaki kecil sebelah kanan. Tradisi di sini sama artinya aku sudah dijodohkan sejak kecil. Dengan pendamping lelaki kecil pasanganku, kami tak perlu lagi berijab kabul jika sudah dewasa. Tubuhku ini sudah terpasung tradisi. Namun cintaku dibiarkan mengembara. Sesungguhnya aku hanya bahagia jika hidup denganmu. Tetapi tak bisa menikah denganmu. Maafkan aku mas!”
Dari ujung pulau ini aku ingin menatapmu walau sejenak. Aku berharap hijau ranau Talango adalah riang wajahmu hidup di seberang sana. Mungkin anakmu satu atau dua, atau mungkin tradisi negrimu yang memecahkan rekor dunia menciptakan janda muda.
(Sumenep 2006-2010)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 20 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar