Sabtu, 20 November 2010

Pulau Talango

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Talango menghampar di depan mata. Namun, untuk merengkuh serta menjalajahi datar tubuh, bukit, lembah, ranau pepohon nyiur dan sayur mayur, aku perlu setapak langkah lagi. Tanpa perahu-perahu dan kapal kecil, Talango masih sayup bergelayut di riak-riak ombak.

Essang, desa itu ditulis Sindi dalam suratnya kepadaku. Satu di antara beberapa desa jujugan tengkulak cabe merah dari Pamekasan, Sampang dan Sumenep. Luas pulau Talango, seluas kecamatanku. Namun rumah-rumah lawasnya sudah banyak berganti still desain baru. Apalagi hamparan tanaman cabe, bak gelaran emas 24 karat saat area cabe Brebes dan sebagian pulau jawa tergenang banjir.

Di ujung Kali Anget, mata para tengkulak sudah berwana hijau. Ubun ubun mereka terlihat sibuk mengacak angka. Berbeda dengan aku yang sibuk mengacak gadis berwajah oval, alis tebal, kuning langsat cina, dan keramahannya.

Aku menangkap wajah Sindi saat ia menyelinap di gang kota dekat bukit Asta Tinggi. Ia bagai merak biru sedang melintas. Kepakan sayapnya mengibas bulukudu dan memathuk segumpal darah jantung hatiku. Geragap pathukan itu benar-benar melumpuhkan daya cintaku dengan ramuan Maduranya. Sebusur anak panah ku lepaskan dari jemparingnya tepat ke ulu hati. Dan di malam valentine ia jatuh terkapar di alun alun kota Sumenep. Aku mendekatinya di antara denting time thunnel masjid barat alun alun. Segera kukemasi, kupungutu rontok helai bulu bulunya dan kusanggar rapi dalam sangkar hatiku.

Sejak itu kota yang tadinya asing, kini menjadi ramai. Lampu lampu tampak mencorong di pojok kota tua yang kerap aku habiskan malam malamnya. Aku jadi betah mendengarkan penjual kaset memutar lagu lagu ala Madura yang dinyanyikan dengan aransemen musik meniru garapan si Alif pencipta lagu oeseng Banyuwangian yang diminati perantau Singonjuruh, Blambangan, Sritanjung, Ketapang yang bermukim di Denpasar. Padahal, aku tidak mengerti bahasanya.

Bersama Sindi, hari dan kota itu menjadi tepian sorga yang semilirnya tercipta khusus untukku. Sementara orang lain hanya menjadi pelengkap sausana kota. Apalagi ketika gerimis mengguyur becek bumi dari langitnya yang dirundung mendung. Bumi dengan sabarnya mewadai segala tumpahan gelora asap jingga yang menyekat pandangan kampung halaman. Langit dan bumi pun larut dalam dekapan semusim yang merekahkan kelopak teratai ungu di pancuran jantung kota.

Pagi di Februari. Sindi mengajariku lagu ‘Sapu Tangan Merah’nyaYus Yunus yang sering ku lantunkan. Duh Halimah se manis / manis rasana manggis / kenangan yang indah / tetap teroker di mata / duh Halimah se redin / potrana bapak Moden / kenangan yang indah / tetap teroker di mata /. Bagai sepasang menjangan kami berlarian menerobos semak belukar kawasan hutan Batangbatang. Selain pembakaran batu putih di tungku perapian, pemandangan memanjang adalah bonsai cemara udang, tanaman yang hanya tumbuh di tempat itu, sekitar pantai Lombeng. Kata Sindi, harga bonsai cemara berdahan elok itu mencapai jutaan rupiah. Bahkan kerap dipesan hotel berbintang dan reil esteat ibu kota.

Berbeda dengan Jawa yang banyak ditanami tebu, Batangbatang pohon nyiur berbaris rapat. Sesekali kami melihat petani turun dan memanjat pohon kelapa. Tak heran jika pelosok utara Sumenep ini terkenal penyuplai gula kelapa. Seingatku, inilah desa yang D.Zawawi Imron pernah mengatakan kalau dirinya tidak dibesarkan di gedung mewah milik orang kota, melainkan dari deresan pohon kelapa dan siwalan.

Dua jam pelesir bersama Sindi waktu memendek sepuluh menit. Dan pantai Lombengnya / berpagar pohon cemara /. Ohh sungguh, tak hanya wajah Sindi selaksa jelmaan bidadari, pantai Lombeng ini lebih dari sekedar yang dinyanyikan Yus Yunus. Aku sadar, kesalahanku kadang memercayai kabar dari kenyataan.

Sindi lama duduk di sampingku. Pantai seperti tak henti berkisah tentang kepiting dan rajungan, atau siput dan kerang. Rambutnya tergerai, walau hanya pendek sebahu. Kuning tangan dengan bulu lenting yang agak kentara, Sindi menggandengku menginjak desiran ombak. Matanya yang teduh ia lempar jauh ke tengah samudera. Aku tak mengerti persis kata hatinya, sepertinya aku disuruh menyaksikannya.

Tiba tiba fikiranku mengembara seperti angin di atas samudera. Terkaku menyangka, apa sih yang dikatakan samudera ketika kita dibibirnya? Tentang keluasan? Yang aku harus melintasinya walau tak menyeberangi. Tentang kedalaman? Yang aku harus menyelami tuk menyaksikan terumbu karang, ikan dan mutiara. Tentang kapal dan perahu sampan? Yang aku diayunkan gelombang dalam bahtera setiap aku berlabuh. Atau tentang badai? Yang akan menenggelamkan aku hingga ke dasarnya.

Lama Sindi berdiri. Ia seperti berbicara kepada laut. Sedang aku menoleh ke belakang. Tampak bercak telapak sepasang kaki kami terukir di pesir putih. Sekali nelayan melaut, ada tiga jawabnya, pulang membawa ikan, membawa sampan, atau membawa nama. Aku yang tak berani mencampuri kekhusyukannya berelaxasi dengan laut, cuma menangkap bahasa tunggu. Ohh, aku ingin menjadi laut, agar mendengar segala keluhan dadanya selain saat bersamaku. Sebab lelaki yang mencintai wanita, ia mengetahui detail hal terkecil pun yang terselip dalam wanita.
***

Seminggu aku gelisah. Itulah ketololanku yang tak jelas. Gampang menarik persoalan orang lain kedalam pribadiku. Bahkan urusan negara sekali pun. Demo mahasiswa sudah membludak di mana mana. Sedang sekali demo, tak jarang ada tubuh terluka. Meski bukan sanak famili, tak kuasa aku menghapus cemas. Hidup di negri dungu seperti karbau ini, urusan demo tak dimengerti. Demo sampai mampus sekali pun tak digubris, tak dihargai, sebab pemerintah memang orang yang tak siap didemo, dikritik, diusik kenyamanannya saat bertahta. Yang pemerintah inginkan hanyalah enjoi dengan kenyamanan jabatan.

Sehabis isyak tiba-tiba pintu no 9 terbuka. Kamar persegi empat yang kuhuni bersama laptop bututku. Mul dan Mamat, “permisi Kak,” dua perjaka yang akrab denganku masuk sengan khas sarung dan kopyahnya. “Besok setelah jum’atan ada demo di masjid agung lun alun. Yang ramai ramai bawa kain panjang itu lho Kak.” Dengan logat Maduranya, Mul dan Mamat mengabariku. Jariku terhenti di keybord laptop. “Kalian antarkan aku ke studio siaran radio, yang jam segini memutar tembang hits anak negri.” Sejenak mereka berfikir, “oow Sancaka FM, aku kenal penyiarnya Kak, orang dari Malang. Aku sering ngasi bungkusan tembakau Prancak. Katanya sih, buat bapaknya kalau sedang pulang kampung.” Tanpa mereka tau tujuanku, kami boncengan bertiga.

Sebelumnya mereka menjelaskan kalau motornya ‘Durno’, motor di kota Sumenep yang tidak ada STNKnya. Motor ini dibeli dari kapal asing dengan harga murah meskipun baru. Dari pada tertangkap polisi, kami melewati gang gang terobosan ke Sancaka FM. “ Dari pada uang dikasikan polisi, mending buat nongkrong di warung kopi mas,” gumam Mul sambil nyetir berkelak-kelok. “Saya dan Durno ini pernah kepergok operasi satlantas, ahirnya motor tak tuntun dan tak jalankan mundur. Pas saya dicegat, ditanyai surat, tak jawab, lho pak polisi, yang ada undang-undangnyakan kelau mengendarai motor, inikan saya tak tuntun, lagian jalannya kebelakang, kan gak ada hukumnya.” Spontan kelakar Mamat membuatku terpingkal, dan konsentrasi setir Mul pun buyar. Siiett! Awas! Brakk! Durno terguling. Mamat terpental kejebur got bacin. Lututku berdarah. Kepala Mul bonyok. Gara-gara se ekor kucing betina lari menyeberang dadakan. Rupanya kucing betina tak punya pilihan, kecuali lari sekencang kencannya saat dikejar dan hendak diperkosa kucing jantan.

Sesampai di studio, Mamat melobi nimbrung kirim atensi. Dengan alasan penting, Mamat meminta penyiar membaca puisi yang kusuruh. Sketsa Wajah Rasul / Cukuplah tinta kebodohanmu melukis wajahnya / Mampukan jarak pandangmu merumuskannya / YaaRasul atas ketimpangan ini / Volume kepalaku tidaklah menciut atau membesar / Karna tetap saja aku bisa mengantuk / Cintaku takkan surut / Karna cahyamu adalah / bagian hidupku / YaaRasul / Bagiku kau lebih indah jika bersemayam / Dalam hati ketimbang eksemplar sampah / Yang kau kibar-kibarkan itu / Sumenep Februari 2006 /. Sebagai mana pendemo senusantara, atas nama pemuda muslim Sumenep turut memrotes ulah pemuda Denmark yang melukis wajah Rasululloh.

Sepulang dari studio, Durno dan tiga penunggangnya kembali belusukan di gang. Entah tak jelas sebabnya, esok hingga pukul empat sore, tidak ada tanda aktivis berdemo.
***

Semua alun-alun yang ku jumpai, kini dipakai pasar dadakan. Lumayan buat warga refresing bersama keluarga. Bersama Sindi, aku habiskan sisah waktu pulang kerjanya yang agak siang. Tak ku duga, sekeluar dari warung soto Madura, empat lelaki menghujaniku kepalan tangan berkali-kali. Mendengar perkataan kerasnya, mereka menuduh aku nyenggol pacarnya. Cerita Sindi, mereka lari setelah aku memar dan tidak sadarkan diri. Orang orang dan beberapa teman yang mengenalku selama di kota itu, membopongku pulang. Aku melihat Sindi sedang menyaput bonyok wajahku dengan air hangat saat aku siuman dari pingsan semalam.

Wajah cemas Sindi rubuh ke dadaku. Air mata kewanitaannya tumpah bersama tangis. Mul dan Mamat rupanya cerita ke Sindi perihal usahaku menggagalkan aksi demo dengan beratensi puisi ke studio. Ketangguhan hati seorang wanita tak sebanding dengan rasa kekhawatirannya atas kehilangan orang yang dicintainya. “Mas jangan konyol. Semenjak rencana pemangunan jembatan Suramadu tidak bisa digagalkan para kiai, negriku ini akan menjadi milik orang asing. Tembakau yang masih di sawah sudah ditukar dengan motor kriditan. Yang mengeroyok Mas semalam para provokator kordinasi demo yang sudah dibayar 60 ribu dollar oleh kedutaan Amerika. Mereka kecewa kerena puisi Mas di radio Sancaka FM semalam.” Aku terhenyak di awal siumanku. Ternyata Sindi mengetahui detail konstelasi perpolotikan penggalang demo.
***

Empat tahun sudah berlalu. Kota dengan segala kenangan masa laluku bersama Sindi memanggilku singgah di kota ini. Empat tahun lalu, bulan Rajab tanggal muda, aku meneguhkan kelulusan Sindi dalam mencintaiku. Ia tak hanya mendampingi kala sukaku, kala duka dan aku jatuh terpuruk pun ia setia menemaniku. Sungguh suatu pengorbanan yang oleh para lelaki perlu waktu seumur hidup untuk melupakannya.

Keinginanku untuk meminangnya pun kandas, saat tangisan Sindi meledak di dadaku. “Waktu kecil aku pernah dijadikan pendamping pernikahan kemanten. Dua gadis kecil sebelah kiri, dan dua lelaki kecil sebelah kanan. Tradisi di sini sama artinya aku sudah dijodohkan sejak kecil. Dengan pendamping lelaki kecil pasanganku, kami tak perlu lagi berijab kabul jika sudah dewasa. Tubuhku ini sudah terpasung tradisi. Namun cintaku dibiarkan mengembara. Sesungguhnya aku hanya bahagia jika hidup denganmu. Tetapi tak bisa menikah denganmu. Maafkan aku mas!”

Dari ujung pulau ini aku ingin menatapmu walau sejenak. Aku berharap hijau ranau Talango adalah riang wajahmu hidup di seberang sana. Mungkin anakmu satu atau dua, atau mungkin tradisi negrimu yang memecahkan rekor dunia menciptakan janda muda.

(Sumenep 2006-2010)

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati