Selasa, 09 November 2010

Radhar Panca Dahana: Ada Masalah dalam Pola Relasi Kesenian Kita!

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Teaterikalisasi puisi dari buku antologi karya penyair Radhar Panca Dahana yang berjudul Lalu Batu kemarin digulirkan Teater Kosong di Gedung Kesenian Jakarta 10-11 April. Para aktor menyajikan pertunjukan yang ekspresif. Padahal, improvisasi bahasa puisi yang menjadi ”bahasa milik aktor” bukan pekerjaan yang mudah.

Namun yang menjadi perhatian malam itu—siapa lagi—kalau bukan Radhar Panca Dahana, sang penyair yang kondisi kesehatannya sempat memburuk. Ia tampil penuh semangat. Beberapa karya puisi yang telah dihafalnya di luar kepala begitu lancar dan lantang diucapkan malam itu.

Ditemui secara terpisah oleh SH, Radhar menyatakan antologi berjudul Lalu Batu itu sangat bermakna bagi dirinya.

Bagi Radhar, manusia mengejar waktu, lewat ilmu pengetahuan dan teknologi. ”Salah satu obsesi manusia adalah mengalahkan waktu,” ujarnya. Pada intinya, perjalanan mengalahkan waktu itu adalah sebuah upaya menaklukkan si empunya waktu juga, menaklukkan Tuhan. Karena baginya pemilik waktu adalah Tuhan.

Lalu Batu punya maksud bahwa batu adalah ”tempat berdiamnya waktu”. Ketika dia menjalani proses dan akhirnya dimakamkan pun dia menjadi batu. Seperti sebuah fosil. Jadi, kalau dia menjalani sebuah proses, maka ujung akhirannya adalah batu.

Radhar, selain dikenal ”bandel” juga termasuk orang yang kreatif. Menanggapi itu, sekalipun membantah, dan mengatakan bahwa yang bandel itu pada hakikatnya bukan cuma seniman dan tak paralel dengan kreativitas yang dia lakukan selama ini.

Dalam pertemuan dengan SH, Radhar menegaskan ketertarikannya yang lebih pada puisi ketimbang prosa yang cenderung beretorika. ”Saya jenuh beretorika. Pada puisi kita bisa lebih mengutamakan makna,” tandas penyair yang telah menghasilkan beberapa antologi puisi dan satu cerpen itu.

Berikut, Radhar mengungkapkan lebih banyak lagi pandangannya tentang sastra Indonesia.

Kenapa Anda lebih tertarik pada puisi? Prosa tak menarik ketimbang puisi?

Bagi saya, bukan puisi lebih menarik dari prosa, tapi puisi lebih sulit dari pada prosa. Dunia kita sekarang adalah dunia yang dikuasai prosa, dunia yang prosaik. Dunia prosaik ini sudah dikuasai seluruh kepentingan yang ada di bumi—kepentingan politik, bisnis, agama, dan lain-lain. Semua bermain dengan prosa yang sangat bagus, retorikanya bagus, tetapi tetap dunia retorik.

Padahal, retorika yang pernah menjadi raja di abad pertengahan telah dipinggirkan pada abad ke-19. Pelajaran retorika di kuliah filsafat juga sudah tidak ada. Namun, dunia sekarang justru kembali pada retorika dan ternyata sukses.

Seorang kritikus sastra dari Prancis, Antoine Compagnon, mengatakan retorika kembali muncul pada milenium baru dengan bukti-bukti seperti itu. Dunia prosaik yang semacam itu bagi saya sangat ganas, sangat liar, karena tiba-tiba orang harus berebut untuk hidup dengan mempertahankan retorikanya, termasuk media massa. Media massa ‘kan begitu, main gede-gedean headline. Sampai sekarang yang paling banal, paling jorok sudah muncul ‘kan?

Perbedaannya dengan puisi?

Puisi adalah tempat kata-kata mendapat penghargaan setinggi-tingginya. Puisi adalah sebuah dunia tempat kata-kata dimainkan seminimal mungkin dan seefektif mungkin untuk bisa menyelami makna sedalam-dalamnya. Cuma, persoalannya ternyata kemajuan sudah begitu luar biasa. Dunia prosa membahana. Perubahan-perubahan sudah lagi tidak tertangkap dalam pikiran kita dan sudah tidak termuat lagi dalam bahasa. Bahasa apa pun sudah tidak cukup lagi menggambarkan kenyataan sekarang.

Baru-baru ini JS Badudu memunculkan kamus bahasa serapan, begitu tebal. Artinya bahasa serapan sudah begitu banyak. Dengan bahasa serapan yang berasal dari Inggris, Jawa, Sunda itu pun bahasa Indonesia belum cukup mumpuni untuk menggambarkan kenyataan sekarang. Penyair pun mengalami kesulitan. Bagaimana dengan bahasa yang semiskin itu kita harus menggambarkan realitas semesta yang begitu kayanya. Penyair mengalami krisis ketika bahasa sebagai senjata utamanya, mengalami pemiskinan yang luar biasa. Ada berbagai macam bahasa baru dari dunia teknologi, sains dan lain-lain, yang tidak begitu mudah tercerap di dalam puisi. Puisi-puisi mutakhir tiba-tiba memasukkan begitu saja kosa-kata baru, lemari es, komputer, digit, karena dia terbata-bata melihat itu. Seorang penyair sangat sensitif terhadap hal seperti itu. Seorang penyair kan sebelum ini menerakan sebuah kata misalnya ”kau” atau ”antipati”, ini kata asing. Dia harus mengerti dulu dong, apa yang disebut dengan ”antipati”, apa yang disebut dengan ”kau”. Tapi sekarang dalam dunia yang gagap seperti ini, kita main masuk-masukin kata sebelum kita tahu apa artinya. Kenapa? Kita juga mengalami kesulitan untuk memaknai kenyataan dan kehidupan melalui kata-kata itu. Kehidupan ini aku maknai dengan kata-kataku. Dan kata-kata tidak cukup.

Nah, kecepatan perkembangan hidup peradaban kita sekarang ini, seperti kata Bill Gates, tidak diukur lagi oleh kecepatan melainkan oleh percepatan. Sementara bahasa berkembang seperti siput. Kita ngomong salah sedikit aja langsung dikoreksi, ‘eh salah lo!’ Orang Minang bilang, ‘Itu bahasa Jawa’. Terus, orang Sunda bilang itu bahasa sanskrit. Orang main tuding-tudingan. Lha terus kenapa kalau bahasa Jawa?

Bahasa planet juga boleh, prokem diinjek-injek dan lain-lain. Kita harus melepaskan bahasa dari
telikungan-telikungan itu, penjara-penjara itu. Makanya waktu ”Masa Depan Kesunyian”, ”97”, kumpulan cerpen saya, dibacakan dengan 10 bahasa. Marissa Haque baca bahasa Belanda. Desy Ratnasary baca bahasa Sunda. Rano Karno bahasa Betawi, Teguh Esha bahasa prokem. Satu cerpen bisa diekspresikan dengan berbagai bahasa yang pemaknaannya jadi beda-beda. Jadi sumber kekayaan dong, bagi bahasa, pengetahuan dan bagi kebudayaan itu sendiri. Jadi kalau begitu bahasa dibatasi, begitu pula membeku peradaban.

Tanggapan Anda terhadap sejarah kesusasteraan yang berlangsung lambat dan kurang dinamis?

Saya kira yang harus ditanggapi bukan karya-karyanya saja, tetapi pola relasi antara para seniman tersebut. Saya kira, kita ada masalah dengan pola relasi tersebut. Masalahnya, adanya kecenderungan, nah ini mungkin agak sentimental, ada kecenderungan yang terciptanya satu pola relasi patronklienistik. Artinya saya sangat menyayangkan beberapa teman yang harus menggantungkan diri kepada kekuatan-kekuatan literer tertentu yang didukung oleh kekuatan non-literer, misalnya kekuatan media, ekonomi, kekuatan politik dan lain-lain sehingga kekuatan sastranya sendiri tidak cukup bisa dipertahankan karena dia juga harus mempertahankan yang lain-lainnya itu.

Termasuk politik kesenian di dalamnya?

Termasuk dong. Artinya secara langsung sastra atau dunia literer itu sudah dipolitisasi untuk menciptakan kekuatan-kekuatan ini. Yang pada akhirnya dia berkompetisi. Kalau kompetisi itu sampai pada tingkatan dunia intelektual, katakanlah melahirkan cara berpikir, cara pandang, mazhab, sesuatu yang tersendiri dalam cara melihat kehidupan kita, nggak apa-apa. Itu bagus. Tapi kan kadang-kadang yang terjadi bukan perang konsep. Perang emosi. Perang sentimentalia, perang masa lalu, itu nggak perlu kan? Makanya saya bilang patronklienistik.

Itu berpengaruh pada sejarah sastra kita?

Sangat berpengaruh. Karena kemudian beberapa pengarang atau seniman yang tidak bisa terserap atau terhisap pada pusaran-pusaran itu, dia jadi terpinggirkan, teralienasi dan dengan sendirinya kesempatannya, peluangnya berkurang. Tampil dalam forum lokal dan internasional berkurang. Ia mungkin berbakat tapi tidak mempunyai kemampuan relasional yang bagus. Kemampuan publikasi yang bagus. Tidak punya modal yang cukup untuk bergaul, tidak bisa ngumpul di kafe-kafe untuk gimana gitu. Saya adalah pengarang yang mulainya dari situ. Saya adalah seniman kere sejak dulu. Sejak SMP saya sudah menghasilkan uang sendiri.

Tren seperti itu sejak kapan?

Sejak 80-an. Ada beberapa pengarang yang tidak setuju dengan tren itu akhirnya terpinggirkan karena dia tidak mampu main lagi di sentrum.

Anda punya keinginan untuk mencari solusinya?

Saya tidak pernah membayangkan diri saya untuk jadi solusionis, orang yang menciptakan solusi solusi. Cuma saya ingin memperlihatkan kenyataan itu saja. Disetujui atau tidak. Banyak orang mungkin tidak menyetujui mungkin ya dengan cara menipu dirinya sendiri. Silakan saja. Tapi bagi orang yang bisa melihatnya dengan clear dan jernih, harus mengakuinya kan?

Bukan tak mungkin, suatu saat, Anda pun bisa saja tersesat di labirin itu?

Bisa saja! Bisa saja! Memangnya saya tidak merasakan tarikan itu? Saya ditarik-tarik. Betot kanan betot kiri. Dan saya harus melawan itu untuk bisa mempertahankan independensi kita. Menjadi manusia yang independen sekarang ini, dalam bidang apa pun sangat sulit, termasuk sastra.

Angkatan Pujangga Baru tidak dalam kondisi seperti itu?

Saya kira juga iya, tetapi dalam pengertian yang berbeda. Ada cara bermain yang lebih fair. Artinya
kalau memang berbakat walaupun mungkin bukan selebriti dinilai dengan saksama. Bukan karena ia anak presiden, kita harus memberi perhatian yang saksama sehingga penilaian karya sastranya menjadi bias. Penilaian karya sastra jangan dikaitkan dengan yang nonliterer. Jangan dikaitkan dengan yang sifatnya politis, sosial, kultural, nggak bisa dong.

Atau kesalahan semua ini karena sekarang kita tak punya pengamat sastra?

Sebenarnya pengamat sastra itu selalu ada. Selama masyarakat ada, pengamat itu ada. Karena pengamat yang paling utama adalah masyarakat itu. Kalau kamu punya pengamat seribu tapi tidak ada masyarakat, siapa yang mau beli? Untuk apa puisi diciptakan. Yang penting kan pengamatnya masyarakat itu sendiri. Kritikus mati nggak apa-apa kalau masyarakatnya tetap ada. Nah, masyarakat yang hidup apresiatif sastra itu yang harus kita tumbuhkan. Jangan menumbuhkan kritikus-kritikus
hebat tapi mayarakatnya buta. Jangan dibalik dong.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati