Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Pembicaraan mengenai visi dan misi kesusastraan Indonesia, tentu saja kaitannya menyangkut prospek kesusastraan kita dan tugas yang diembannya di masa mendatang. Bagaimanakah kehidupan kesusastraan Indonesia abad ke-21? Apakah ia kembali akan terperangkap pada isu-isu kontemporer atau klise? Apakah persoalannya berskala lokal, regional atau global? Masihkah kesusastraan Indonesia berkutat, berjalan di tempat atau mengalami lompatan yang mengagumkan?
Meski diakui, masih banyak pihak yang pesimis menatap masa depan kesusastraan Indonesia. Tidak sedikit keluh-kesah dilontarkan yang memasalahkan keterpencilan kesusastraan Indonesia; kurangnya apresiasi para siswa terhadap khazanah sastra kita; dan gugatan terhadap mandulnya kritik sastra. Lalu, bagaimana pula kita menyikapinya?
Dalam konteks mengedepankan visi dan misi kesusastraan Indonesia memasuki abad ke-21, perlu kiranya kita mengevaluasi berbagai problem yang selama ini melanda kesusastraan Indonesia. Dengan cara demikian, kita mencoba melakukan semacam langkah-langkah antisipatif atas berbagai persoalan yang mungkin timbul di masa yang akan datang. Sebagai sebuah visi, ia mengandung perspektif tertentu, pandangan tertentu yang jauh ke depan. Dengan perspektif ini, maka problem kekinian perlu menjadi acuan. Ia juga menjadi semacam tempat berpijak untuk menengok ke belakang dan sekaligus juga sebagai titik berangkat menuju masa depan yang lebih cerah atau mungkin lebih suram. Dalam hal itulah, wacana visi kesusastraan Indonesia perlu ditempatkan.
Lalu bagaimana pula dengan misi yang diembannya? Ia niscaya menyangkut peran yang dimainkan untuk menanamkan sekaligus mencapai sesuatu yang diharapkan. Sangat mungkin ia menyuarakan kegelisahan kolektif atas berbagai persoalan sosio-kultural yang terjadi dewasa ini. Dengan demikian, problem kultural yang dihadapi bangsa ini menjadi sangat signifikan dalam wadah sastra. Dalam hal inilah, peranan sastra sebagai salah satu agen kebudayaan menjadi cukup strategis.
Beberapa Masalah
Sebelum kita memasuki pembicaraan visi dan misi kesusastraan Indonesia menjelang abad ke-21, ada baiknya kita coba mengidentifikasi berbagai persoalan yang terjadi dalam rumah tangga sastra Indonesia. Salah satu persoalan yang mendesak yang perlu penanganan menyangkut pelurusan sejarah sastra Indonesia; benarkah kesusastraan Indonesia modern lahir seputar berdirinya Balai Pustaka? Berikutnya berkaitan dengan sistem sastra yang melingkupi kehidupan sastra Indonesia sendiri.1 Dalam hal ini, pembicaraannya meliputi lingkaran budaya sastrawan, penerbit dan media massa sebagai lembaga yang melakukan reproduksi karya sastra, pelajaran sastra di sekolah sebagai ujung tombak pembudayaan apresiasi sastra bagi para siswa, dan yang terakhir menyangkut kritik sastra sebagai salah satu sarana penyehatan dan dinamisator kehidupan kesusastraan.
Melalui pembicaraan sejumlah persoalan tersebut, maka diharapkan, bakal ter-ungkap langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan dalam menghadapi abad ke-21, agar kesusastraan Indonesia tidak mengalami nasib yang sama sebagaimana yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
Persoalan Sejarah Sastra Indonesia
Sejak kelahirannya sampai ke awal perkembangannya kemudian, kesusastraan Indonesia tidak lain dari kesusastraan etnik yang menggunakan bahasa Melayu sebagai mediumnya. Sebelum Balai Pustaka berdiri, surat-surat kabar seperti Bromartani (Soerakarta, 1855), Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (1856), Serat Chabar Betawie (Betawi, 1858), Selompret Malajoe (Batavia, 1860), Bintang Soerabaja (Soerabaja, 1860), Bientang Timoor (Soerabaja, 1865), Djoeroe Martani (Soerakarta, 1864), Bianglala (Batavia, 1867), Bintang Djohar (Betawi, 1873), Retno Dhoemilah (Jogjakarta, 1895) tidak jarang memuat sejumlah syair, pantun, sinom, feuilleton (cerita bersambung) atau cerpen.2
Berdirinya Balai Pustaka yang sesungguhnya dilatarbelakangi persoalan politis, dan bukan kultural, secara sistematik berusaha menafikan keberadaan sastra yang dimuat di majalah dan surat-surat kabar yang terbit waktu itu. Kemudian, Balai Pustaka mene-tapkan secara ketat kriteria atas karya-karya yang akan diterbitkan lembaga itu. Salah satunya adalah dengan memberlakukan bahasa Melayu yang sesuai dengan ejaan Van Ophuijsen. Akibatnya, unsur etnik lain, terutama unsur-unsur bahasa daerah non-Melayu, dibersihkan. Bahwa Balai Pustaka lebih gencar menerbitkan novel-novel yang berbahasa Melayu, pertimbangannya semata-mata lantaran bahasa Melayu sudah dikenal secara luas. Tetapi, tema-tema yang diangkatnya pada hakikatnya merupakan persoalan etnik, terutama Minangkabau.3
Akibat kebijaksanaan Balai Pustaka dalam memilih bahasa Melayu dan menerapkannya secara ketat, maka pemakaian bahasa Melayu dalam sastra Balai Pustaka sebelum perang sangat berbeda dengan karya-karya sastra yang diterbitkan penerbit swasta di luar Balai Pustaka. Tetapi apakah dengan demikian, dengan serta-merta pula kita lalu menye-but karya sastra di luar Balai Pustaka sebagai bukan karya sastra Indonesia? Jika Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial menafikan keberadaannya, pertimbangannya semata-mata lantaran faktor politis. Lalu, mengapa pula dalam banyak buku sejarah sastra Indo-nesia keberadaan sastra di luar Balai Pustaka, ikut-ikutan ditenggelamkan? Apakah kita menyetujui cara pandang kolonial (Nederlando centris) yang seperti itu?
Jika demikian, lahirnya sastra Indonesia yang menurut Ajip Rosidi sekitar tahun 1920,4 kiranya patut dipertanyakan kembali. Hal yang sama juga berlaku pada pendapat A. Teeuw,5 yang juga menunjuk angka tahun 1920 sebagai awal lahirnya kesusastraan Indonesia. Catatan perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia selepas Balai Pustaka, cenderung berdasarkan sudut pandang yang seperti itu. Karya-karya yang diterbitkan di luar Balai Pustaka –kecuali karya-karya Hamka, Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Kabah,6 dan karya Armijn Pane, Belenggu,7 dan karya yang tidak diterbitkan sebagai buku, tetapi dimuat di suratkabar dan majalah, ditenggelamkan begitu saja. Pola ini pula yang terjadi dalam catatan sejarah sastra Indonesia selepas perang.
Sesungguhnya begitu banyak persoalan yang terjadi dalam pencatatan sejarah kesusastraan Indonesia. Ada banyak sastrawan yang ditenggelamkan atau dilalaikan, sehingga namanya –apalagi karyanya, ikut terkubur. Inilah tugas besar yang harus segera diselesaikan tuntas, agar tidak terjadi penyesatan, penggelapan, dan penghilangan fakta-fakta historis.
Sastrawan dan Intelektualisme
Sejak kelahirannya, sastra Indonesia adalah sastra elitis. Ia ditulis dan dibaca oleh kaum terpelajar dan golongan intelektual. Sementara mereka yang sekadar dapat membaca dan menulis, terpaksa meminggirkan diri dan tidak mempunyai kesempatan untuk menikmati karya sastra. Budi Darma menyatakan bahwa sastrawan Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan Angkatan 45 … tidak lain adalah cendekiawan-cendekiawan muda yang benar-benar haus ilmu. Mereka juga sangat menyadari pentingnya sastra. Di dalam diri mereka, ada kesadaran terhadap kebutuhan tradisi pemikiran, kecedekiawanan, dan ilmu. Lepas dari berbagai kesulitan yang harus mereka hadapi pada waktu itu, mereka cukup mempu-nyai waktu untuk bulat-bulat mengabdikan diri mereka pada sastra dan ilmu.8
Memasuki tahun 1950-an, ketika pendidikan terbuka lebar bagi semua lapisan masyarakat, makna golongan terpelajar dan kaum cendekiawan ini sebatas bagi sebagian golongan masyarakat menengah dan golongan atas, dan tidak termasuk golongan masya-rakat menengah bawah, meskipun mereka pandai baca-tulis. Kondisi ini lalu seolah-olah memperoleh pembenaran ketika harga buku sastra relatif mahal. Inilah salah satu kendala bagi golongan masyarakat menengah bawah tidak dapat (atau tidak mau) menikmati karya sastra. Mereka harus berhitung dahulu antara kebutuhan dapur dan keinginan membeli buku-buku sastra. Belakangan, kondisi demikian itu dimanfaatkan oleh sejumlah penerbit yang menjual buku terbitannya dengan harga murah. Dengan format buku yang tidak menarik, sangat sederhana, kertas dan cetakannya dengan kualitas rendah memungkinkan buku seperti itu dapat dijual murah. Buku-buku yang seperti itulah yang kemudian kita kenal sebagai roman picisan.9
Pada tahun 1950-an itu, buku-buku jenis ini banyak diterbitkan di Medan, meskipun sebelum perang, Surabaya dan Semarang, juga banyak menerbitkan buku sejenis itu. Para pengarangnya, umumnya cenderung mengandalkan bakat alam. Tidak ada usaha memasukkan segi intelektualitas dalam karya-karya seperti itu. Sesungguhnya, tidak sedikit pula sastrawan pada dekade itu yang juga cenderung mengandalkan bakal alam. Inilah sebabnya, Subagio Sastrowardojo10 menulis sebuah artikel berjudul “Bakal Alam dan Intelektualisme.” Menurutnya, sastrawan yang mengandalkan diri pada bakal alam saja ternyata tenggelam dalam kelupaan karena habisnya daya untuk memberikan kepada dunia intelektualitas pemikiran yang matang tentang dunia dan kehidupan.11
Kecenderungan yang terjadi dasawarsa tahun 1950-an itu, kini banyak pula kita jumpai pada karya sastrawan dekade 1990-an ini. Bahkan dari sastrawan Angkatan 66 pun, tidak sedikit yang sekadar mengandalkan bakal alam. Akibatnya, banyak yang kehabisan daya dan kreativitasnya mandek.
Memasuki abad ke-21 ini, Indonesia akan menjadi salah sebuah desa dunia. Arus globalisasi memutuskan sekat-sekat geografis. Di tingkat Asia Tenggara saja, sudah terjalin hubungan mesra para sastrawan antar-anggota ASEAN, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Mastera (Majlis Sastera Asia Tenggara).12 Dengan demikian, tuntutan intelektualitas bagi sastrawan Indonesia mendatang merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Tanpa usaha untuk mengembangkan intelektualitasnya, niscaya mereka tinggal menunggu saatnya saja terkubur. Sebaliknya, jika masih punya keinginan untuk berkiprah dalam tiga atau empat dasawarsa mendatang, mereka harus terus meluaskan wawasannya. Ia harus menjadi seorang cendekiawan yang mumpuni. Inilah visi yang mesti disadari benar oleh sastrawan kita.
Lalu dengan tingkat intelektualitas yang mumpuni, ia tinggal mengemas misi yang diembannya ke dalam karya sastra yang khas mengungkapkan masalah etnis atau masalah di sekitarnya, tetapi juga berdimensi universal mengingat ia juga hakikatnya mengangkat problem manusia dan kemanusiaan. Berbagai kerusuhan dan ketidakpuasan yang terjadi di pelosok tanah air ini sesungguhnya merupakan lahan subur untuk menjadi sebuah karya yang khas dan universal. Belum lagi yang menyangkut legenda atau tradisi sastra daerah yang tidak terhitung banyaknya. Jadi, bagi sastrawan kita, lahan garapannya masih terbuka seluas-luasnya. Tinggal apakah ia cukup piawai untuk mengolahnya menjadi sebuah karya monumental.
Peranan Media Massa
Bertebarannya majalah dan surat-surat kabar lokal dan nasional, sungguh merupakan wadah yang niscaya memberi kontribusi berarti bagi perkembangan kesusastraan Indonesia. Diberlakukannya otonomi daerah dan adanya kesadaran untuk tidak lagi sentralistik dalam sistem pemerintahan kita, jelas memberi peluang yang sangat lebar bagi pemberdayaan potensi di berbagai daerah. Kiblat sastra Indonesia yang semula sangat ditentukan Jakarta, dalam abad ke-21 itu tidak lagi demikian.13
Majalah Horison yang sejak awal penerbitannya merupakan salah satu majalah yang berwibawa di kalangan sastrawan, kini kondisinya tidak lagi demikian. Karya-karya sastra yang diterbitkan dalam surat-surat kabar minggu, nyatanya kualitasnya tidak berada di bawah karya-karya yang diterbitkan majalah Horison. Dengan begitu, media massa apa pun dan diterbitkan di kota mana pun, tidaklah menjadi halangan bagi penampungan kreativitas sastrawan-sastrawan kita.
Demikianlah, peranan media massa (surat kabar dan majalah) dan penerbit-penerbit yang berada di berbagai daerah, akan sangat menentukan maju-mundurkan kesusastraan Indonesia pada abad ke-21 ini. Mengingat sastra sebagai bagian dari kebudayaan, maka sudah saatnya sastra sekarang ini memperoleh ruang yang lebih luas sebagai salah satu usaha membangun kebudayaan bangsa yang sudah morat-marit ini. Sastra diharapkan dapat memberi penyadaran dan pencerahan, betapa penting dan bernilainya penghargaan manusia atas manusia dan pembelaan terhadap kemanusiaan, agar manusia itu sendiri dapat menjadi lebih beradab dan manusiawi. Inilah salah satu misi yang diemban sastra Indonesia di masa mendatang.
Pelajaran Sastra di Sekolah
Keluhan atas rendahnya apresiasi sastra para siswa, tentu saja kesalahannya tidak dapat ditimpukkan kepada para guru sastra di sekolah. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya “kesemrawutan” pola pengajaran sastra di sekolah. Salah satunya adalah pola pengajaran yang cenderung bersifat hapalan, dan bukan apresiatif. Para siswa disodorkan begitu banyak konsep, nama pengarang, dan judul buku. Tetapi hanya sesekali saja siswa diwajibkan membaca langsung karya sastranya. Akibatnya, pelajaran sastra nyaris sama dengan pelajaran ilmu sosial lainnya.14
Sudah kondisinya demikian, pelajaran sastra lebih merupakan “pelengkap” pelajaran bahasa Indonesia. Ia menjadi semacam tempelan. Keadaannya makin parah lantaran materi yang harus diberikan guru kepada para siswa begitu banyaknya. Ada pengetahuan mengenai sastra lama, majas dan gaya bahasa, sampai ke sejarah sastra Indonesia yang dimulai dari zaman Balai Pustaka sampai Angkatan 66.
Terlalu banyak beban materi dan cenderung diberikan sebagai hapalan merupakan salah satu faktor tidak efektifnya pelajaran sastra di sekolah. Sangat wajar jika sastrawan pasca-Angkatan 66, sama sekali tidak dikenal para guru, apalagi oleh para siswanya.
Apa yang dilakukan Taufiq Ismail, dkk. (Majalah Horison bekerja sama dengan Pusat Pengembangan Penataran Guru Bahasa) yang menyelenggarakan Pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra untuk guru-guru SMU se-Indonesia,15 merupakan salah satu cara untuk mengubah paradigma pengajaran sastra di sekolah (SMU). Diha-rapkan, pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMU dapat dilakukan para guru tanpa harus terbebani oleh sederet konsep dan bentuk hapalan lainnya.
Kritik Sastra
Adanya sejumlah kritik atas mandulnya fakultas sastra dalam melahirkan kritikus sebagaimana yang pernah dilakukan H.B. Jassin dan Aliran Rawamangun (M.S. Hutagalung, Lukman Ali, M. Saleh Saad, dan S. Effendi), sesungguhnya tidak cukup beralasan, meskipun ada juga benarnya. Skripsi-skripsi dan sejumlah tugas karya ilmiah mahasiswa yang menelaah karya sastra, di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (dulu: Fakultas Sastra UI, FSUI), sesungguhnya sudah menjadi bagian integral dari kewajiban mahasiswa. Ia menjadi salah satu syarat kelulusan mahasiswa bersangkutan dalam mata-mata kuliah tertentu.
Demikian juga, tesis (S-2), disertasi (S-3), dan penelitian-penelitian lainnya untuk bidang sastra, sudah sejak lama menjadi tradisi. Belum lagi adanya berbagai kegiatan seminar dan diskusi, tidak lain merupakan pengejawantahan dan implementasi kritik sastra. Bahwa publikasinya sangat kurang, persoalannya bukan terletak pada dugaan mandulnya kritik sastra (akademis), melainkan pada lembaga-lembaga penerbitan itu sendiri.
Meskipun demikian, kurangnya kerja sama antara kritikus dan sastrawan serta masyarakat peminat sastra lainnya, telah disadari sebagai salah satu penyebab adanya anggapan bahwa fakultas sastra cenderung eksklusif. Citra itu tentu saja kurang sehat. Oleh karena itu, citra ekskulsif demikian itu harus segera diubah. Dalam konteks inilah, FIB-UI khususnya, akan mendirikan sebuah laboratorium seni dan budaya yang membuka peluang bagi seniman –termasuk sastrawan– dalam dan luar negeri, lokal dan nasional, untuk mengadakan kegiatan atau pementasan di FIB-UI. Dengan langkah itu, diharapkan FIB-UI dapat menjadi salah satu pusat kegiatan seni dan budaya di kawasan Asia Tengga-ra, atau setidak-tidaknya di Indonesia. Inilah visi yang hendak dijalankan FIB-UI. Lalu apa pula misinya? Tentunya sebagai usaha mengangkat kesenian dan kebudayaan Indonesia lebih bermartabat di mata dunia.
Penutup
Demikianlah gambaran ringkas mengenai visi dan misi sastra Indonesia menjelang peralihan abad ini. Tujuan idealnya tentu saja menempatkan profesi kesastrawanan dan peran yang dimainkan sastra secara proporsional. Demikianlah!
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar