Pranita Dewi
http://www.balipost.com/
SEMANIS-MANISNYA cerita, tidak semanis kembang gula. Rasanya begitu legit. Terasa dingin di bibir dan kemudian rasa itu menghilang ketika sampai di pangkal lidah. Manisnya memang sungguh berbeda, perpaduan antara manisnya madu dengan sari gula tebu. Seperti sarang laba-laba, jaringnya begitu halus, setipis awan. Hanya karena berwarna merah, aku menyebutnya gulali Jawa.
Pacarku menyebutnya arum manis. Dibawakannya dari kampung sebagai oleh-oleh, bikinan ibunya. Jajanan khas dari kotanya. Aku disuruh ke tempat kostnya, mengambil jajanan yang tidak pernah dia jumpai selama tinggal di Denpasar. Dengan nada sombong dia katakan sebagai tanda sayang. Tanpa seikat kembang, hanya di dalam bungkus plastik, agar wangi dan sawang-nya tidak cepat menyusut.
‘Makasih sayang, ini jajanan kesukaanku.’
‘Oh, kau sudah mengenalnya?’ dia keheranan.
‘Tentu.’
Aku mengenal jajanan itu sejak dua puluh tahun yang lalu, sewaktu kecil ketika duduk di bangku SD. Sepulang sekolah, bersama teman-teman kami beradu lari menghampiri penjual jajanan itu. Kakek tua penjual kembang gula selalu menunggu kedatangan kami, tepat jam dua belas, ketika terik siang menghujam kepala. Anak-anak yang masih lugu. Salah satu di antara mereka adalah aku.
‘Hahaha, kukira kau lahir tanpa masa kecil.’
‘Enak saja.’
Aku termasuk pelanggan setia. Setiap pulang sekolah, membeli kembang gula adalah kebiasaan. Semacam kewajiban, mungkin karena belum ada es krim atau es lilin, kami mengulum kembang gula sepanjang perjalanan pulang. Hal-hal yang paling menyenangkan, hingga kini hal itu terngiang di ingatan. Kembang gula adalah batas kebebasan, antara bermain dan pelajaran yang begitu membosankan.
‘Memang di kotamu ada perkebunan tebu?’
‘Apa pentingnya, semut tidak lahir dari gula,’ jawabku.
Tak kuteruskan bicara. Ingatanku masih tertuju kepada kakek penjual jajanan itu. Kakek pincang penjual kembang gula. Entah mengapa kembang gula berwarna. Padahal gula tebu itu berwarna putih. Aku dan pacarku tentu tidak mengerti sebabnya, karena jelas jajanan itu telah ada sebelum kami lahir. Mungkin ibunya tahu, atau kakek penjual jajanan itu. Namun kenapa tidak terpikir sebelumnya, pertanyaan ini muncul secara tiba-tiba.
‘Sudah kau tanyakan pada ibumu?’
‘Sudah. Jajanan khas Malang,’ jawabnya lugu. ‘Coba kau tanyakan kakekmu,’ dia meniru suara ibunya dengan mimik acuh. Tapi entah kenapa, tak aku pedulikan. ‘Enakan bikinan ibu!’ tambah pacarku.
Pacarku tidak lagi menceritakan jajan buatan ibunya, dia ingin berbagi tentang kampungnya. Kota kecil yang penuh dengan perkebunan tebu. Tentang pabrik tebu yang berada di tengah-tengah kota, diapit pondok pesantren. Pabrik itu didirikan sejak zaman dulu, yang dia dengar ketika pendudukan Belanda di Indonesia.
‘Kau tidak sedang menceritakan sejarah kemerdekaan kan?’
‘Ini tentang pabrik tebu di kotaku,’ jawabnya sambil meneruskan cerita.
Menurut mereka, tebu di sini berbeda. Gula yang dihasilkan lebih manis dan tahan lama. Hampir menyerupai manisnya madu lebah. Aku bangga, pacarku begitu mengenali kota kelahirannya.
‘Itu karena kasih sayang petaniku,’ candaku memotong ceritanya.
Dia hanya tersenyum, lalu melanjutkan cerita. Dulu kakeknya bekas mandor perkebunan tebu milik kompeni Belanda. Meskipun mandor, kakeknya hanyalah buruh. Tidak ada gaji yang cukup besar bagi seorang buruh. Yang kaya tetaplah tuan tanah. Tuan yang tanahnya disewakan ke Belanda untuk dijadikan lahan perkebunan.
Untuk menjadi kaki tangan kompeni, tentu bukan perkara yang mudah. Setiap hari, dia memeriksa perkebunan tebu itu dengan seksama. Dari daun, batang hingga ke akarnya. Ketika batang sudah mulai matang dan pelapah daun mulai merimbun, diadakan kepras untuk persiapan panen.
‘Seperti tumpek uduh?’
‘Mirip!’ sahut pacarku, tapi di Jawa kepras bukan ritual agama, melainkan pekerjaan beberapa buruh perkebunan memotong dan membersihkan bunga, daun atau batang-batang tebu yang dianggap mengganggu. Membersihkannya dengan sebilah sabit yang mereka bawa dari rumah. Kepras hanyalah kerja borongan yang kadang-kadang tidak terbayar. Sebab, tuan tanah tidak pernah tahu, mereka jarang turun ke perkebunan untuk melihat kerja para buruh.
‘Termasuk tuan tanah yang di tempatmu?’
‘Terkecuali dia.’
Dia orang baik. Laki-laki diplomatis. Membenci penjajahan Belanda, tapi tidak menolak kemajuannya. Kakek pacarku menjadi mandor di perkebunan atas rekomendasi dari tuan tanah itu. Jadi mandor sekaligus mata-mata para pejuang, memperebutkan kemerdekaan. Selain seorang pejuang kemerdekaan, tuan tanah itu orang yang pintar, lulusan pendidikan Belanda. Hal itu pula yang membuat pihak Belanda tidak pernah curiga bermitra dengannya.
Revolusi pecah, tercapai kemerdekaan, keduanya dianggap pahlawan. Pasca itu, pengolahan pabrik tebu itu diserahkan kepada tuan tanah. Lalu dia ditugaskan oleh pemerintah untuk belajar pertanian ke negeri Cina, sedang kakek pacarku diangkat menjadi Komandan Resimen Brawijaya. Mereka menjadi kawan karib dan saling bertukar berita.
‘Sungguh beruntung nasib mereka’.
‘Tidak seberuntung dugaanmu!’
‘Maksudmu?’
Kemerdekaan tidak membuat suasana Indonesia menjadi tenang. Masih ada gejolak, malah lebih parah, konflik antar-pribumi. Sebuah peristiwa tragis. Pertentangan beda paham. Tragedi berdarah 65. Tragedi yang merusak persahabatan mereka. Kakek pacarku makin dikenal, sedangkan tuan tanah itu entah ke mana. Setahun sejak peristiwa itu terjadi, nasib tuan tanah itu tak pernah diketahui.
Kemudian pacarku melanjutkan cerita kakeknya. Suatu malam di sebuah perkebunan tebu, di selatan kota Malang, hujan belum juga reda. Bulir-bulir hujan seperti jarum-jarum yang jatuh. Menghujam lurus menembus pori-pori bumi. Dinginnya begitu gigil hingga tebal jaket tentara tak mampu menahannya. Malam itu suasana begitu riuh, namun terasa ganjil. Seperti malam tumpek uduh. Malam ketika para dewa memberkahi pepohonan tebu hingga memberikan sari gula yang paling manis, langsung dari surga. Sari gula yang diambil dari sari pati yang paling mumi. Legit namun anyir.
Kakek pacarku mendapat tugas menangkapi para buruh termasuk tuan tanah itu. Tanpa perlawanan, mereka dikirim ke perkebunan tebu. Entah mengapa, kakek pacarku tak pernah menolak tugas itu. Dia sendiri tak pernah paham kesalahan yang dilakukan oleh buruh-buruh perkebunan. Hanya cerita tentang pembangkangan terhadap negara yang dia terima dari sebuah telegram. Malam itu kakek pacarku tampak galau. Ada dilema di hatinya, sebab dia yakin teman karibnya tidak mungkin melakukan pembangkangan itu.
Tapi toh tetap saja takdir tak dapat dilawan. Tugas adalah kewajiban. Berkali-kali suara tembakan. Malam tak dapat ditolak. Kebun tebu ladang api, menjadi malam kepras yang paling pahit.
***
Malam ini langit penuh bintang. Aku berpamit pulang, pacarku mengantar sampai di teras depan. Temaram cahaya lampu kota mengiringi langkah-langkah datar, tiba-tiba gerimis jatuh, tapi tidak kuhentikan gerakku. Aku mulai teringat pada percakapan kembang gula. Sebuah cerita percakapan gulali Jawa. Percakapan yang belum tuntas.
Dalam rasa penasaran, aku melintasi jalanan basah sendirian di sepanjang trotoar sekolahku dulu. Di sudut gang kecil, tempat di mana aku pertama kali mengenalnya, seorang kakek tua penjual kembang gula.
Sudut jalanan telah sepi. Tanpa kekasih atau kakek tua penjual kembang gula itu. Hanya igauan sendiri, aku dan rasa penasaranku. Dalam kegamangan, pandanganku tertuju pada sebuah ujung gang jalanan, aku melintasi pelan. Di ujung jalanan yang basah karena hujan itu, seperti terlihat sosok tua yang masih menawarkan sesuatu.
Kakek tua yang tak asing bagiku. Tak banyak perubahan di dalam dirinya, kecuali uban yang banyak tumbuh di kepalanya, terurai acak, tidak beraturan seperti kembang gula. Namun tentu tidak serupa, sebab kembang gula itu berwarna merah, sedangkan uban yang tumbuh di rambut kakek itu berwarna putih logam.
Dalam gelap malam, begitu menyilaukan. Aku menghampirinya. Menawar sesuatu, tapi bukan tentang jajanan itu. Sebab kini, dia kakek tua penjual cerita. Pendongeng mimpi-mimpi. Aku mulai bertanya tentang tebu. Dia terdiam sebentar, menghela napas, lalu mengucapkan kata. Cerita kembang gula, tentang seekor anjing kecil. Cerita yang menarik, awalnya terdengar lucu. Meskipun begitu, tidak sepenuhnya dapat kumengerti. Hanya tokoh anjing yang membuat cerita ini tampak seperti fabel masa lalu. Cerita yang mencoba memutar sejarah yang belum sempat tertulis pada buku-buku.
‘Anjing yang mati dan lahir dari kembang gula.’ Aku cari maksudnya. Mendengarkan cerita dengan seksama. Membaca kata dalam gerak bibir. Cerita malam itu, malam para pemburu sedang berpesta kembang gula. Di tengah ladang tebu yang membara. Malam bagi anjing pincang sebab satu peluru menembur kaki kirinya. Malam ketika popor senapan menyobek wajahnya. Dari senapan pemburu yang dikenalnya. Dari pemburu yang kemudian memberikan jaketnya. Pemburu yang galau. Satu buruan dilepas. Getah tebu tak lagi pekat. Ada yang renggang, ada yang hilang di tengah malam. Dalam cerita kembang gula.
Aku tersentak. Mungkinkah dia orangnya? Terlintas wajah pacarku. Samar-samar membentuk wajah kakeknya. Lalu mengabur di mataku, dalam rinai gerimis yang semakin menipis. Menarik otot retina, menusuk akar gigi, meninggalkan ngilu di gisi. Manisnya hanya sesaat. Menipu seperti kembang gula.
‘Ah! Sepahit-pahitnya cerita, tidak ada yang melebihi pahitnya cerita kembang gula.’
Catatan:
Sawang = jaring laba-laba.
Kepras = pemotongan bagian-bagian tebu yang dianggap mengganggu.
Tumpek uduh = ritual agama Hindu di Bali sebagai upacara berbagai macam tanaman agar dapat tumbuh subur.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 06 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar