Senin, 06 Desember 2010

Kembang Gula

Pranita Dewi
http://www.balipost.com/

SEMANIS-MANISNYA cerita, tidak semanis kembang gula. Rasanya begitu legit. Terasa dingin di bibir dan kemudian rasa itu menghilang ketika sampai di pangkal lidah. Manisnya memang sungguh berbeda, perpaduan antara manisnya madu dengan sari gula tebu. Seperti sarang laba-laba, jaringnya begitu halus, setipis awan. Hanya karena berwarna merah, aku menyebutnya gulali Jawa.

Pacarku menyebutnya arum manis. Dibawakannya dari kampung sebagai oleh-oleh, bikinan ibunya. Jajanan khas dari kotanya. Aku disuruh ke tempat kostnya, mengambil jajanan yang tidak pernah dia jumpai selama tinggal di Denpasar. Dengan nada sombong dia katakan sebagai tanda sayang. Tanpa seikat kembang, hanya di dalam bungkus plastik, agar wangi dan sawang-nya tidak cepat menyusut.

‘Makasih sayang, ini jajanan kesukaanku.’

‘Oh, kau sudah mengenalnya?’ dia keheranan.

‘Tentu.’

Aku mengenal jajanan itu sejak dua puluh tahun yang lalu, sewaktu kecil ketika duduk di bangku SD. Sepulang sekolah, bersama teman-teman kami beradu lari menghampiri penjual jajanan itu. Kakek tua penjual kembang gula selalu menunggu kedatangan kami, tepat jam dua belas, ketika terik siang menghujam kepala. Anak-anak yang masih lugu. Salah satu di antara mereka adalah aku.

‘Hahaha, kukira kau lahir tanpa masa kecil.’

‘Enak saja.’

Aku termasuk pelanggan setia. Setiap pulang sekolah, membeli kembang gula adalah kebiasaan. Semacam kewajiban, mungkin karena belum ada es krim atau es lilin, kami mengulum kembang gula sepanjang perjalanan pulang. Hal-hal yang paling menyenangkan, hingga kini hal itu terngiang di ingatan. Kembang gula adalah batas kebebasan, antara bermain dan pelajaran yang begitu membosankan.

‘Memang di kotamu ada perkebunan tebu?’

‘Apa pentingnya, semut tidak lahir dari gula,’ jawabku.

Tak kuteruskan bicara. Ingatanku masih tertuju kepada kakek penjual jajanan itu. Kakek pincang penjual kembang gula. Entah mengapa kembang gula berwarna. Padahal gula tebu itu berwarna putih. Aku dan pacarku tentu tidak mengerti sebabnya, karena jelas jajanan itu telah ada sebelum kami lahir. Mungkin ibunya tahu, atau kakek penjual jajanan itu. Namun kenapa tidak terpikir sebelumnya, pertanyaan ini muncul secara tiba-tiba.

‘Sudah kau tanyakan pada ibumu?’

‘Sudah. Jajanan khas Malang,’ jawabnya lugu. ‘Coba kau tanyakan kakekmu,’ dia meniru suara ibunya dengan mimik acuh. Tapi entah kenapa, tak aku pedulikan. ‘Enakan bikinan ibu!’ tambah pacarku.

Pacarku tidak lagi menceritakan jajan buatan ibunya, dia ingin berbagi tentang kampungnya. Kota kecil yang penuh dengan perkebunan tebu. Tentang pabrik tebu yang berada di tengah-tengah kota, diapit pondok pesantren. Pabrik itu didirikan sejak zaman dulu, yang dia dengar ketika pendudukan Belanda di Indonesia.

‘Kau tidak sedang menceritakan sejarah kemerdekaan kan?’

‘Ini tentang pabrik tebu di kotaku,’ jawabnya sambil meneruskan cerita.

Menurut mereka, tebu di sini berbeda. Gula yang dihasilkan lebih manis dan tahan lama. Hampir menyerupai manisnya madu lebah. Aku bangga, pacarku begitu mengenali kota kelahirannya.

‘Itu karena kasih sayang petaniku,’ candaku memotong ceritanya.

Dia hanya tersenyum, lalu melanjutkan cerita. Dulu kakeknya bekas mandor perkebunan tebu milik kompeni Belanda. Meskipun mandor, kakeknya hanyalah buruh. Tidak ada gaji yang cukup besar bagi seorang buruh. Yang kaya tetaplah tuan tanah. Tuan yang tanahnya disewakan ke Belanda untuk dijadikan lahan perkebunan.

Untuk menjadi kaki tangan kompeni, tentu bukan perkara yang mudah. Setiap hari, dia memeriksa perkebunan tebu itu dengan seksama. Dari daun, batang hingga ke akarnya. Ketika batang sudah mulai matang dan pelapah daun mulai merimbun, diadakan kepras untuk persiapan panen.

‘Seperti tumpek uduh?’

‘Mirip!’ sahut pacarku, tapi di Jawa kepras bukan ritual agama, melainkan pekerjaan beberapa buruh perkebunan memotong dan membersihkan bunga, daun atau batang-batang tebu yang dianggap mengganggu. Membersihkannya dengan sebilah sabit yang mereka bawa dari rumah. Kepras hanyalah kerja borongan yang kadang-kadang tidak terbayar. Sebab, tuan tanah tidak pernah tahu, mereka jarang turun ke perkebunan untuk melihat kerja para buruh.

‘Termasuk tuan tanah yang di tempatmu?’

‘Terkecuali dia.’

Dia orang baik. Laki-laki diplomatis. Membenci penjajahan Belanda, tapi tidak menolak kemajuannya. Kakek pacarku menjadi mandor di perkebunan atas rekomendasi dari tuan tanah itu. Jadi mandor sekaligus mata-mata para pejuang, memperebutkan kemerdekaan. Selain seorang pejuang kemerdekaan, tuan tanah itu orang yang pintar, lulusan pendidikan Belanda. Hal itu pula yang membuat pihak Belanda tidak pernah curiga bermitra dengannya.

Revolusi pecah, tercapai kemerdekaan, keduanya dianggap pahlawan. Pasca itu, pengolahan pabrik tebu itu diserahkan kepada tuan tanah. Lalu dia ditugaskan oleh pemerintah untuk belajar pertanian ke negeri Cina, sedang kakek pacarku diangkat menjadi Komandan Resimen Brawijaya. Mereka menjadi kawan karib dan saling bertukar berita.

‘Sungguh beruntung nasib mereka’.

‘Tidak seberuntung dugaanmu!’

‘Maksudmu?’

Kemerdekaan tidak membuat suasana Indonesia menjadi tenang. Masih ada gejolak, malah lebih parah, konflik antar-pribumi. Sebuah peristiwa tragis. Pertentangan beda paham. Tragedi berdarah 65. Tragedi yang merusak persahabatan mereka. Kakek pacarku makin dikenal, sedangkan tuan tanah itu entah ke mana. Setahun sejak peristiwa itu terjadi, nasib tuan tanah itu tak pernah diketahui.

Kemudian pacarku melanjutkan cerita kakeknya. Suatu malam di sebuah perkebunan tebu, di selatan kota Malang, hujan belum juga reda. Bulir-bulir hujan seperti jarum-jarum yang jatuh. Menghujam lurus menembus pori-pori bumi. Dinginnya begitu gigil hingga tebal jaket tentara tak mampu menahannya. Malam itu suasana begitu riuh, namun terasa ganjil. Seperti malam tumpek uduh. Malam ketika para dewa memberkahi pepohonan tebu hingga memberikan sari gula yang paling manis, langsung dari surga. Sari gula yang diambil dari sari pati yang paling mumi. Legit namun anyir.

Kakek pacarku mendapat tugas menangkapi para buruh termasuk tuan tanah itu. Tanpa perlawanan, mereka dikirim ke perkebunan tebu. Entah mengapa, kakek pacarku tak pernah menolak tugas itu. Dia sendiri tak pernah paham kesalahan yang dilakukan oleh buruh-buruh perkebunan. Hanya cerita tentang pembangkangan terhadap negara yang dia terima dari sebuah telegram. Malam itu kakek pacarku tampak galau. Ada dilema di hatinya, sebab dia yakin teman karibnya tidak mungkin melakukan pembangkangan itu.

Tapi toh tetap saja takdir tak dapat dilawan. Tugas adalah kewajiban. Berkali-kali suara tembakan. Malam tak dapat ditolak. Kebun tebu ladang api, menjadi malam kepras yang paling pahit.
***

Malam ini langit penuh bintang. Aku berpamit pulang, pacarku mengantar sampai di teras depan. Temaram cahaya lampu kota mengiringi langkah-langkah datar, tiba-tiba gerimis jatuh, tapi tidak kuhentikan gerakku. Aku mulai teringat pada percakapan kembang gula. Sebuah cerita percakapan gulali Jawa. Percakapan yang belum tuntas.

Dalam rasa penasaran, aku melintasi jalanan basah sendirian di sepanjang trotoar sekolahku dulu. Di sudut gang kecil, tempat di mana aku pertama kali mengenalnya, seorang kakek tua penjual kembang gula.

Sudut jalanan telah sepi. Tanpa kekasih atau kakek tua penjual kembang gula itu. Hanya igauan sendiri, aku dan rasa penasaranku. Dalam kegamangan, pandanganku tertuju pada sebuah ujung gang jalanan, aku melintasi pelan. Di ujung jalanan yang basah karena hujan itu, seperti terlihat sosok tua yang masih menawarkan sesuatu.

Kakek tua yang tak asing bagiku. Tak banyak perubahan di dalam dirinya, kecuali uban yang banyak tumbuh di kepalanya, terurai acak, tidak beraturan seperti kembang gula. Namun tentu tidak serupa, sebab kembang gula itu berwarna merah, sedangkan uban yang tumbuh di rambut kakek itu berwarna putih logam.

Dalam gelap malam, begitu menyilaukan. Aku menghampirinya. Menawar sesuatu, tapi bukan tentang jajanan itu. Sebab kini, dia kakek tua penjual cerita. Pendongeng mimpi-mimpi. Aku mulai bertanya tentang tebu. Dia terdiam sebentar, menghela napas, lalu mengucapkan kata. Cerita kembang gula, tentang seekor anjing kecil. Cerita yang menarik, awalnya terdengar lucu. Meskipun begitu, tidak sepenuhnya dapat kumengerti. Hanya tokoh anjing yang membuat cerita ini tampak seperti fabel masa lalu. Cerita yang mencoba memutar sejarah yang belum sempat tertulis pada buku-buku.

‘Anjing yang mati dan lahir dari kembang gula.’ Aku cari maksudnya. Mendengarkan cerita dengan seksama. Membaca kata dalam gerak bibir. Cerita malam itu, malam para pemburu sedang berpesta kembang gula. Di tengah ladang tebu yang membara. Malam bagi anjing pincang sebab satu peluru menembur kaki kirinya. Malam ketika popor senapan menyobek wajahnya. Dari senapan pemburu yang dikenalnya. Dari pemburu yang kemudian memberikan jaketnya. Pemburu yang galau. Satu buruan dilepas. Getah tebu tak lagi pekat. Ada yang renggang, ada yang hilang di tengah malam. Dalam cerita kembang gula.

Aku tersentak. Mungkinkah dia orangnya? Terlintas wajah pacarku. Samar-samar membentuk wajah kakeknya. Lalu mengabur di mataku, dalam rinai gerimis yang semakin menipis. Menarik otot retina, menusuk akar gigi, meninggalkan ngilu di gisi. Manisnya hanya sesaat. Menipu seperti kembang gula.

‘Ah! Sepahit-pahitnya cerita, tidak ada yang melebihi pahitnya cerita kembang gula.’

Catatan:
Sawang = jaring laba-laba.
Kepras = pemotongan bagian-bagian tebu yang dianggap mengganggu.
Tumpek uduh = ritual agama Hindu di Bali sebagai upacara berbagai macam tanaman agar dapat tumbuh subur.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati