Akmal Nasery Basral, Budi Darma
http://www.ruangbaca.com/
BUDI DARMA selalu dikenal sebagai sosok bersahaja dan rendah hati. Ketika sedang mempersiapkan disertasi doktoralnya yang berjudul Character and Moral Judgment in Jane Austen’s Novels di Universitas Indiana pada 1979-1980, ia menulis novel Olenka yang menorehkan namanya dalam lanskap sastra tanah air. Jauh sebelumnya di tahun 1963 saat usianya baru 26, ia sudah menjabat Dekan Fakultas Sastra dan Seni IKIP Surabaya (kini Universitas Negeri Surabaya/Unesa), kampus yang juga pernah merasakan gaya kepemimpinannya sebagai rektor (1984-1988).
Namanya juga tercatat sebagai anggota Modern Language Association, New York, dan dalam buku Who’s Who in the World. Tetapi ia selalu menolak dipanggil dengan sebutan akademis yang sudah menjadi haknya: Profesor Doktor. “Saya tidak memiliki prestasi luar biasa untuk dipanggil ‘doktor’ atau ‘profesor’. Apa yang saya tulis selama ini adalah kewajiban,” katanya. Padahal sumbangsihnya bagi dunia sastra tidak hanya dilakukan lewat Unesa. Dalam kerangka kerja sama Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), Budi Darma membimbing cerpenis dan esais muda berbakat dari Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia dalam wadah Program Penulisan Mastera (1998—1999). Tahun-tahun sebelumnya ia menjadi guru besar tamu di Barat maupun Timur. Dari Northern Territory University, Australia, almamaternya di Indiana, Bloomington; Ocemania University di Hyderabad India, sampai Nanyang University, Singapura. Tak syak lagi, lelaki kelahiran Rembang ini adalah seorang guru dunia. Selasa 25 April lalu, sang guru berulang tahun ke-69. “Saya berterima kasih kepada Tuhan, apalagi relatif tidak ada masalah kesehatan,” ujarnya kepada wartawan Tempo Akmal Nasery Basral.
Lebih jauh Budi Darma memaparkan pandangannya tentang Sastra Dunia dan perkembangan astra Indonesia dalam sebuah perbincangan yang menyenangkan. Berikut ini petikannya.
Bagaimana rasanya berusia 69 tahun?
Ini proses alami yang wajar. Saya berterima kasih kepada Tuhan, apalagi relatif tidak ada masalah kesehatan.
Maksud saya dalam konteks kreatif …
Kurang waktu untuk menulis. Cara saya menulis itu harus nge-blok waktu, tidak bisa terputus-putus. Banyak sekali tugas akademis dan makalah ilmiah yang harus saya kerjakan.
Termasuk untuk Seminar Redefinisi Sastra Dunia di Universitas Indonesia Juli nanti?
Ya. Tapi saya belum sempat menulis makalah sama sekali.
Mengapa harus ada redefinisi Sastra Dunia? Apa perbedaannya dengan pemahaman selama ini yang mengacu pada dominasi sastra berbahasa Inggris atau bahasa utama dunia lainnya?
Kita harus melihat pasca Perang Dunia II, pada tahun 1950-1960, ketika sastra Inggris dan Amerika sudah kekurangan darah, padahal publik ingin membaca hal-hal baru. Mereka beruntung dengan adanya penulis-penulis migran dari India, Jepang, dan Cina. Keadaan serupa juga terjadi di Prancis, Jerman. Lalu terjadi pergeseran makna sastra, antara lain lewat wacana posmo yang menyatakan bahwa semua tulisan adalah sastra. Tak ada tinggi rendah dalam sastra. Tulisan pop juga sastra, seperti semua bunyi adalah musik. Karena itu definisi sastra dunia perlu dipikirkan lagi. Tapi ada masalah di sini.
Yaitu?
Sekarang yang merajalela adalah budaya pop yang suka dengan sesuatu yang baru, tak suka yang usang. Setelah Perang Dunia II, musik-musik yang sebelumnya tidak dianggap, tiba-tiba mengubah wajah musik dunia seperti The Beatles, The Rolling Stones atau The Doors. Tapi kemunculan sastra pop tidak sehebat musik The Beatles atau grupgrup lain sesudah itu sehingga ketika membicarakan sebuah standar baru dalam sastra, yang muncul tetap saja standar lama seperti Hemingway atau Kipling.
Apakah penerjemahan ke dalam bahasa Inggris tidak bisa menjadi jembatan agar sebuah karya bisa disebut Sastra Dunia?
Belum tentu. Sastra Malaysia sangat gencar menerjemahkan karya-karya mereka ke dalam bahasa Inggris dan memasarkannya ke berbagai penjuru dunia. Tetapi di toko buku, karya-karya itu diletakkan di bagian bawah rak, atau tempat-tempat yang tidak mendapat perhatian utama pengunjung. Posisi karya sastra sebuah negara atau bangsa sebenarnya berkaitan dengan kekuatan ekonomi, politik, dan kebudayaan mereka dalam konteks global. Faktor-faktor itu yang tidak dimiliki Malaysia.
Bagaimana dengan sastra negara-negara Afrika, misalnya Nigeria yang banyak melahirkan sastrawan dunia seperti Chinua Achebe atau Ben Okri, meski sebagai negara Nigeria tidak lebih kokoh posturnya dibandingkan Malaysia?
Mengapa Nigeria diperhatikan? Itu pertanyaan bagus. Menurut saya selain faktor bahasa Inggris yang mereka kuasai, juga menyangkut eksotisme. Kombinasi ini yang menyebabkan Chinua Achebe dan kawan-kawan lebih mendapat tempat dibandingkan sastrawan Asia. Dalam pandangan Barat, yang disebut Asia itu hanya India, Cina, dan Jepang yang meninggalkan jejak kebudayaan yang tinggi, terutama lewat pengaruh Hindu dan Buddhisme. Itu bagian dari eksotisme. Selain itu kiprah para penulis asal ketiga negara itu di Inggris atau Amerika juga meyakinkan seperti ditunjukkan Bharati Mukherjee.
Jika tadi disebutkan pengaruh Hindu dan Buddhisme yang lebih mudah diterima Barat, bagaimana terhadap agama lain, Islam khususnya?
Ada prasangka Barat terhadap Islam yang sesungguhnya telah terbentuk lama sebelum Peristiwa 11 September. Misalnya pada cerpen Anton Chekhov di abad ke-19. Salah satu cerpennya menggambarkan seorang tokoh lelaki yang ingin menikahkan anaknya dan mengundang banyak orang. Salah seorang tamu yang datang adalah pembantunya. Si tokoh ini melakukan salam cium kepada pembantunya seperti kepada tamu lain. Bukan berciuman, tapi salam cium. Tapi setelahmelakukan hal itu, istri sang tokoh kurang lebih berkata, “Saya percaya kamu tidak akan macam-macam, tetapi kamu ternyata pengikut Nabi Muhammad.” Contoh lain menyangkut kartun Denmark yang menghina Nabi Muhammad.
Menurut saya jejaknya bisa ditelusuri sampai karya Dante Alighieri terutama bagian Inferno.
Bukankah Olenka sangat terinspirasi oleh The Darling karya Chekhov? Bagaimana menjelaskan citra Chekhov yang bias terhadap Islam dengan Chekhov sebagai sumber inspirasi Anda?
Betul, tapi masalahnya kan berbeda. Yang saya ambil dari Chekhov itu perhatiannya terhadap isu kemanusiaan yang sangat kritis. Sama saja dengan novel Anda Imperia yang concernnya juga terhadap masalah kemanusiaan. Saya kira pengaruhnya juga dari banyak pihak.
Tentang Sastra Indonesia, bagaimana Anda melihatnya sebagai sastra nasional?
Sebagai wacana, Orde Lama melihatnya sebagai pluralisme. Ini buah dari kompromi Sutan Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane yang ditengahi oleh Ki Hajar Dewantara, sehingga muncullah rumusan seperti kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah, dan seterusnya itu. Tapi sekarang yang lebih diterima adalah ide multikulturalisme. Artinya, semua bentuk kebudayaan daerah itu mendapat tempat yang sama. Semuanya adalah kebudayaan nasional, sastra nasional, termasuk kebudayaan Cina yang mulai diakui secara terbuka sejak pemerintahan Gus Dur.
Adakah contoh multikulturalisme sebagai bentuk sastra nasional di negara lain?
Contoh terdekat adalah Singapura. Sastra Nasional di negeri itu ada empat bentuk, yakni Sastra Melayu, Sastra Cina, Sastra Tamil, dan Sastra yang ditulis dalam bahasa Inggris. Semua diakui sebagai bentuk Sastra Nasional. Jadi kalau ide multikulturalisme ini mau kita gunakan di Indonesia, maka setiap karya sastra dalam bahasa daerah apa pun ditulis sesungguhnya adalah sastra nasional.
Menjelang pergantian millennium Anda menyebutkan adanya bagian dari aliran pokok Sastra Indonesia, antara lain “Sastra Kabur” dan Sastra Feminis. Bagaimana kecenderungan dalam 5-6 tahun terakhir?
Dulu jumlah pengarang kita terbatas. Sastra kabur itu mencoba mengikuti bentuk seorang penulis terkemuka tetapi tak jelas hasilnya. Kalau kita lihat di tahun 50-an, semua penulis ingin seperti Toto Sudarto Bachtiar. Setelah itu, semuanya ingin menjadi Sapardi Djoko Damono atau Goenawan Mohamad. Tetapi yang dihasilkan adalah kekaburan. Saat ini kesempatan menulis ada di mana saja, dan setiap individu bisa menulis tanpa perlu mengidolakan penulis sebelumnya.
Yang muncul adalah segmentasi seperti teenlit atau chicklit. Saat ini setiap hari muncul 15 novel dalam bahasa Indonesia.
Anda sempat baca chicklit dan teenlit?
Ya. Tentu tidak semua, tapi saya ikuti perkembangannya.
Tentang sastra feminis di Indonesia apakah ada perkembangan baru yang Anda perhatikan?
Sastra feminis harus dibedakan dengan emansipasi wanita. Yang terakhir ini sekadar memberi cita-cita seperti karya Sutan Takdir “Layar Terkembang”. Sedangkan feminisme adalah gerakan yang menyalahkan laki-laki. Semua karya NH Dini menunjukkan ini dengan “memaki-maki” lelaki. Ayu Utami menurut saya tidak termasuk feminis. Kecuali dalam pendeskripsiannya tentang seks, ada kesetaraan jender antara pria dan wanita yang jelas dalam karya-karyanya. Misalnya jika si tokoh wanita melihat seorang lelaki terlambat menepati janji, dia tidak akan bilang, “Dasar lelaki!”, tetapi “Dasar tidak bertanggung jawab.”
Apakah Anda melihat predikat post-novel dalam karya sastra Indonesia sebagai sebuah konsep yang bisa dipertanggungjawabkan secara teoritis?
Ini tentang Tuan dan Nona Kosong dari Hudan dan siapa itu yang wanita?
Mariana Amiruddin.
Ya, Mariana. Saya kira mereka berdua menginginkan kebaruan dalam bentuk penceritaan.
Berhasilkah?
Waktu yang akan menentukan. Tapi cerpen “Kota Kelamin” yang ditulis Mariana (dimuat oleh edisi minggu Jawa Pos akhir tahun lalu – red) lebih banyak seksnya ketimbang muatan sastra. Di sini (Surabaya – red) menjadi heboh sampai ada yang berkomentar, “Matamu picek.” Itu ungkapan keras sekali dalam bahasa Jawa Timuran.
Siapa penulis Indonesia yang karyanya sedang Anda baca?
Filosofi Kopi dari Dewi Lestari. Dia tampaknya menulis secara main-main tapi isinya serius.
Sekarang kita bicarakan karya-karya Anda sendiri seperti Orang-orang Bloomington atau Olenka. Setelah tiga dekade berlalu, sejauh mana relevansinya sekarang?
Masalah kemanusiaan dalam karya-karya itu rasanya masih relevan. Hubungan antarpersonal, dan bagaimana individu mendefinisikan dirinya sendiri dalam konteks masyarakat. Saya kira sama juga dengan Imperia yang mencoba menyodorkan universalitas kemanusiaan dengan mencoba menghubungkan apa yang terjadi di Barat dengan problem kemanusiaan di Indonesia.
Boleh tidak sekarang saya yang bertanya, ‘Bagaimana Anda sendiri melihat Imperia?’
Secara umum belum puas.
Itu bagus. Setiap penulis selalu merasa tidak puas dengan karyanya, dan hal itu yang menyebabkannya menulis lagi. Penulis Abasalom Absalom (William) Faulkner berkata, “Penulis yang mudah puas itu sama saja dengan bunuh diri.” Tetapi, ada juga penulis yang hanya mau menulis sekali dan merasa karyanya itu masterpiece. Contohnya adalah E.M. Foster yang menulis A Passage to India. Setelah menulis itu, dia berhenti.
Karya-karya Anda banyak mengandung lanturan (digresi) berupa loncatan-loncatan pemikiran dari persoalan pokok yang justru memperkuat tema utama yang ingin disampaikan. Tapi teknik ini tak selalu berhasil dilakukan penulis lain. Bagaimana caranya agar lanturan itu tetap dalam kontrol penulis?
Prinsipnya kalau semua lanturan itu diurut kembali, maka semuanya harus relevan dengan tema utama. Setiap penulis saya kira tahu kapan tema lanturannya mulai tidak relevan. Ketika itu terjadi ia harus stop. Tapi sepanjang masih relevan, lakukan saja.
Hollywood semakin sering membuat film dari novel Jane Austen. Yang terakhir adalah Pride & Prejudice. Bagaimana Anda sebagai pakar Austen melihat hal ini?
Karya-karya Austen itu selalu mengejek orang-orang snob. Pada jaman dia menulis, yang disindirnya adalah bangsawan-bangsawan kecil kelas kampung. Ada juga istri-istri bangsawan atau pejabat yang tiba-tiba menjadi penyair atau pembaca puisi. Ini jenis snobisme yang juga ada di Indonesia sampai sekarang, juga di banyak masyarakat.
Jika harus diringkas, siapa tiga sastrawan yang paling banyak mempengaruhi Anda?
Pertama tetap Chekov dan Tolstoy. Kedua, penulis Yahudi (Isaac Bashevis) Singer yang pernah menerima Nobel Sastra (1978). Karya- karyanya sangat dalam. Lalu Albert Camus.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar