Jumat, 25 Februari 2011

Sekarang Ide Multikulturalisme lebih Diterima

Akmal Nasery Basral, Budi Darma
http://www.ruangbaca.com/

BUDI DARMA selalu dikenal sebagai sosok bersahaja dan rendah hati. Ketika sedang mempersiapkan disertasi doktoralnya yang berjudul Character and Moral Judgment in Jane Austen’s Novels di Universitas Indiana pada 1979-1980, ia menulis novel Olenka yang menorehkan namanya dalam lanskap sastra tanah air. Jauh sebelumnya di tahun 1963 saat usianya baru 26, ia sudah menjabat Dekan Fakultas Sastra dan Seni IKIP Surabaya (kini Universitas Negeri Surabaya/Unesa), kampus yang juga pernah merasakan gaya kepemimpinannya sebagai rektor (1984-1988).

Namanya juga tercatat sebagai anggota Modern Language Association, New York, dan dalam buku Who’s Who in the World. Tetapi ia selalu menolak dipanggil dengan sebutan akademis yang sudah menjadi haknya: Profesor Doktor. “Saya tidak memiliki prestasi luar biasa untuk dipanggil ‘doktor’ atau ‘profesor’. Apa yang saya tulis selama ini adalah kewajiban,” katanya. Padahal sumbangsihnya bagi dunia sastra tidak hanya dilakukan lewat Unesa. Dalam kerangka kerja sama Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), Budi Darma membimbing cerpenis dan esais muda berbakat dari Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia dalam wadah Program Penulisan Mastera (1998—1999). Tahun-tahun sebelumnya ia menjadi guru besar tamu di Barat maupun Timur. Dari Northern Territory University, Australia, almamaternya di Indiana, Bloomington; Ocemania University di Hyderabad India, sampai Nanyang University, Singapura. Tak syak lagi, lelaki kelahiran Rembang ini adalah seorang guru dunia. Selasa 25 April lalu, sang guru berulang tahun ke-69. “Saya berterima kasih kepada Tuhan, apalagi relatif tidak ada masalah kesehatan,” ujarnya kepada wartawan Tempo Akmal Nasery Basral.

Lebih jauh Budi Darma memaparkan pandangannya tentang Sastra Dunia dan perkembangan astra Indonesia dalam sebuah perbincangan yang menyenangkan. Berikut ini petikannya.

Bagaimana rasanya berusia 69 tahun?

Ini proses alami yang wajar. Saya berterima kasih kepada Tuhan, apalagi relatif tidak ada masalah kesehatan.

Maksud saya dalam konteks kreatif …

Kurang waktu untuk menulis. Cara saya menulis itu harus nge-blok waktu, tidak bisa terputus-putus. Banyak sekali tugas akademis dan makalah ilmiah yang harus saya kerjakan.

Termasuk untuk Seminar Redefinisi Sastra Dunia di Universitas Indonesia Juli nanti?

Ya. Tapi saya belum sempat menulis makalah sama sekali.

Mengapa harus ada redefinisi Sastra Dunia? Apa perbedaannya dengan pemahaman selama ini yang mengacu pada dominasi sastra berbahasa Inggris atau bahasa utama dunia lainnya?

Kita harus melihat pasca Perang Dunia II, pada tahun 1950-1960, ketika sastra Inggris dan Amerika sudah kekurangan darah, padahal publik ingin membaca hal-hal baru. Mereka beruntung dengan adanya penulis-penulis migran dari India, Jepang, dan Cina. Keadaan serupa juga terjadi di Prancis, Jerman. Lalu terjadi pergeseran makna sastra, antara lain lewat wacana posmo yang menyatakan bahwa semua tulisan adalah sastra. Tak ada tinggi rendah dalam sastra. Tulisan pop juga sastra, seperti semua bunyi adalah musik. Karena itu definisi sastra dunia perlu dipikirkan lagi. Tapi ada masalah di sini.

Yaitu?

Sekarang yang merajalela adalah budaya pop yang suka dengan sesuatu yang baru, tak suka yang usang. Setelah Perang Dunia II, musik-musik yang sebelumnya tidak dianggap, tiba-tiba mengubah wajah musik dunia seperti The Beatles, The Rolling Stones atau The Doors. Tapi kemunculan sastra pop tidak sehebat musik The Beatles atau grupgrup lain sesudah itu sehingga ketika membicarakan sebuah standar baru dalam sastra, yang muncul tetap saja standar lama seperti Hemingway atau Kipling.

Apakah penerjemahan ke dalam bahasa Inggris tidak bisa menjadi jembatan agar sebuah karya bisa disebut Sastra Dunia?

Belum tentu. Sastra Malaysia sangat gencar menerjemahkan karya-karya mereka ke dalam bahasa Inggris dan memasarkannya ke berbagai penjuru dunia. Tetapi di toko buku, karya-karya itu diletakkan di bagian bawah rak, atau tempat-tempat yang tidak mendapat perhatian utama pengunjung. Posisi karya sastra sebuah negara atau bangsa sebenarnya berkaitan dengan kekuatan ekonomi, politik, dan kebudayaan mereka dalam konteks global. Faktor-faktor itu yang tidak dimiliki Malaysia.

Bagaimana dengan sastra negara-negara Afrika, misalnya Nigeria yang banyak melahirkan sastrawan dunia seperti Chinua Achebe atau Ben Okri, meski sebagai negara Nigeria tidak lebih kokoh posturnya dibandingkan Malaysia?

Mengapa Nigeria diperhatikan? Itu pertanyaan bagus. Menurut saya selain faktor bahasa Inggris yang mereka kuasai, juga menyangkut eksotisme. Kombinasi ini yang menyebabkan Chinua Achebe dan kawan-kawan lebih mendapat tempat dibandingkan sastrawan Asia. Dalam pandangan Barat, yang disebut Asia itu hanya India, Cina, dan Jepang yang meninggalkan jejak kebudayaan yang tinggi, terutama lewat pengaruh Hindu dan Buddhisme. Itu bagian dari eksotisme. Selain itu kiprah para penulis asal ketiga negara itu di Inggris atau Amerika juga meyakinkan seperti ditunjukkan Bharati Mukherjee.

Jika tadi disebutkan pengaruh Hindu dan Buddhisme yang lebih mudah diterima Barat, bagaimana terhadap agama lain, Islam khususnya?

Ada prasangka Barat terhadap Islam yang sesungguhnya telah terbentuk lama sebelum Peristiwa 11 September. Misalnya pada cerpen Anton Chekhov di abad ke-19. Salah satu cerpennya menggambarkan seorang tokoh lelaki yang ingin menikahkan anaknya dan mengundang banyak orang. Salah seorang tamu yang datang adalah pembantunya. Si tokoh ini melakukan salam cium kepada pembantunya seperti kepada tamu lain. Bukan berciuman, tapi salam cium. Tapi setelahmelakukan hal itu, istri sang tokoh kurang lebih berkata, “Saya percaya kamu tidak akan macam-macam, tetapi kamu ternyata pengikut Nabi Muhammad.” Contoh lain menyangkut kartun Denmark yang menghina Nabi Muhammad.

Menurut saya jejaknya bisa ditelusuri sampai karya Dante Alighieri terutama bagian Inferno.

Bukankah Olenka sangat terinspirasi oleh The Darling karya Chekhov? Bagaimana menjelaskan citra Chekhov yang bias terhadap Islam dengan Chekhov sebagai sumber inspirasi Anda?

Betul, tapi masalahnya kan berbeda. Yang saya ambil dari Chekhov itu perhatiannya terhadap isu kemanusiaan yang sangat kritis. Sama saja dengan novel Anda Imperia yang concernnya juga terhadap masalah kemanusiaan. Saya kira pengaruhnya juga dari banyak pihak.

Tentang Sastra Indonesia, bagaimana Anda melihatnya sebagai sastra nasional?

Sebagai wacana, Orde Lama melihatnya sebagai pluralisme. Ini buah dari kompromi Sutan Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane yang ditengahi oleh Ki Hajar Dewantara, sehingga muncullah rumusan seperti kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah, dan seterusnya itu. Tapi sekarang yang lebih diterima adalah ide multikulturalisme. Artinya, semua bentuk kebudayaan daerah itu mendapat tempat yang sama. Semuanya adalah kebudayaan nasional, sastra nasional, termasuk kebudayaan Cina yang mulai diakui secara terbuka sejak pemerintahan Gus Dur.

Adakah contoh multikulturalisme sebagai bentuk sastra nasional di negara lain?

Contoh terdekat adalah Singapura. Sastra Nasional di negeri itu ada empat bentuk, yakni Sastra Melayu, Sastra Cina, Sastra Tamil, dan Sastra yang ditulis dalam bahasa Inggris. Semua diakui sebagai bentuk Sastra Nasional. Jadi kalau ide multikulturalisme ini mau kita gunakan di Indonesia, maka setiap karya sastra dalam bahasa daerah apa pun ditulis sesungguhnya adalah sastra nasional.

Menjelang pergantian millennium Anda menyebutkan adanya bagian dari aliran pokok Sastra Indonesia, antara lain “Sastra Kabur” dan Sastra Feminis. Bagaimana kecenderungan dalam 5-6 tahun terakhir?

Dulu jumlah pengarang kita terbatas. Sastra kabur itu mencoba mengikuti bentuk seorang penulis terkemuka tetapi tak jelas hasilnya. Kalau kita lihat di tahun 50-an, semua penulis ingin seperti Toto Sudarto Bachtiar. Setelah itu, semuanya ingin menjadi Sapardi Djoko Damono atau Goenawan Mohamad. Tetapi yang dihasilkan adalah kekaburan. Saat ini kesempatan menulis ada di mana saja, dan setiap individu bisa menulis tanpa perlu mengidolakan penulis sebelumnya.

Yang muncul adalah segmentasi seperti teenlit atau chicklit. Saat ini setiap hari muncul 15 novel dalam bahasa Indonesia.

Anda sempat baca chicklit dan teenlit?

Ya. Tentu tidak semua, tapi saya ikuti perkembangannya.

Tentang sastra feminis di Indonesia apakah ada perkembangan baru yang Anda perhatikan?

Sastra feminis harus dibedakan dengan emansipasi wanita. Yang terakhir ini sekadar memberi cita-cita seperti karya Sutan Takdir “Layar Terkembang”. Sedangkan feminisme adalah gerakan yang menyalahkan laki-laki. Semua karya NH Dini menunjukkan ini dengan “memaki-maki” lelaki. Ayu Utami menurut saya tidak termasuk feminis. Kecuali dalam pendeskripsiannya tentang seks, ada kesetaraan jender antara pria dan wanita yang jelas dalam karya-karyanya. Misalnya jika si tokoh wanita melihat seorang lelaki terlambat menepati janji, dia tidak akan bilang, “Dasar lelaki!”, tetapi “Dasar tidak bertanggung jawab.”

Apakah Anda melihat predikat post-novel dalam karya sastra Indonesia sebagai sebuah konsep yang bisa dipertanggungjawabkan secara teoritis?

Ini tentang Tuan dan Nona Kosong dari Hudan dan siapa itu yang wanita?

Mariana Amiruddin.

Ya, Mariana. Saya kira mereka berdua menginginkan kebaruan dalam bentuk penceritaan.

Berhasilkah?

Waktu yang akan menentukan. Tapi cerpen “Kota Kelamin” yang ditulis Mariana (dimuat oleh edisi minggu Jawa Pos akhir tahun lalu – red) lebih banyak seksnya ketimbang muatan sastra. Di sini (Surabaya – red) menjadi heboh sampai ada yang berkomentar, “Matamu picek.” Itu ungkapan keras sekali dalam bahasa Jawa Timuran.

Siapa penulis Indonesia yang karyanya sedang Anda baca?

Filosofi Kopi dari Dewi Lestari. Dia tampaknya menulis secara main-main tapi isinya serius.

Sekarang kita bicarakan karya-karya Anda sendiri seperti Orang-orang Bloomington atau Olenka. Setelah tiga dekade berlalu, sejauh mana relevansinya sekarang?

Masalah kemanusiaan dalam karya-karya itu rasanya masih relevan. Hubungan antarpersonal, dan bagaimana individu mendefinisikan dirinya sendiri dalam konteks masyarakat. Saya kira sama juga dengan Imperia yang mencoba menyodorkan universalitas kemanusiaan dengan mencoba menghubungkan apa yang terjadi di Barat dengan problem kemanusiaan di Indonesia.

Boleh tidak sekarang saya yang bertanya, ‘Bagaimana Anda sendiri melihat Imperia?’

Secara umum belum puas.

Itu bagus. Setiap penulis selalu merasa tidak puas dengan karyanya, dan hal itu yang menyebabkannya menulis lagi. Penulis Abasalom Absalom (William) Faulkner berkata, “Penulis yang mudah puas itu sama saja dengan bunuh diri.” Tetapi, ada juga penulis yang hanya mau menulis sekali dan merasa karyanya itu masterpiece. Contohnya adalah E.M. Foster yang menulis A Passage to India. Setelah menulis itu, dia berhenti.

Karya-karya Anda banyak mengandung lanturan (digresi) berupa loncatan-loncatan pemikiran dari persoalan pokok yang justru memperkuat tema utama yang ingin disampaikan. Tapi teknik ini tak selalu berhasil dilakukan penulis lain. Bagaimana caranya agar lanturan itu tetap dalam kontrol penulis?

Prinsipnya kalau semua lanturan itu diurut kembali, maka semuanya harus relevan dengan tema utama. Setiap penulis saya kira tahu kapan tema lanturannya mulai tidak relevan. Ketika itu terjadi ia harus stop. Tapi sepanjang masih relevan, lakukan saja.

Hollywood semakin sering membuat film dari novel Jane Austen. Yang terakhir adalah Pride & Prejudice. Bagaimana Anda sebagai pakar Austen melihat hal ini?

Karya-karya Austen itu selalu mengejek orang-orang snob. Pada jaman dia menulis, yang disindirnya adalah bangsawan-bangsawan kecil kelas kampung. Ada juga istri-istri bangsawan atau pejabat yang tiba-tiba menjadi penyair atau pembaca puisi. Ini jenis snobisme yang juga ada di Indonesia sampai sekarang, juga di banyak masyarakat.

Jika harus diringkas, siapa tiga sastrawan yang paling banyak mempengaruhi Anda?

Pertama tetap Chekov dan Tolstoy. Kedua, penulis Yahudi (Isaac Bashevis) Singer yang pernah menerima Nobel Sastra (1978). Karya- karyanya sangat dalam. Lalu Albert Camus.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati