Sabtu, 05 Maret 2011

Pemikir(an) Kebudayaan Lampung

Udo Z. Karzi*
Lampung Post, 2 Des 2006

Terus terang, saya berharap banyak mendapatkan “sesuatu” ketika menghadiri peluncuran buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2006) karya H. Rizani Puspawidjaya, S.H. di Hotel Indra Puri, Bandar Lampung, 19 Oktober 2006. Meski telat saya dapat menangkap substansi dari acara ini: tak lebih dari membicarakan masalah lama yang — menurut saya — sudah terlalu sering dibahas.

Ah, mungkin saya terlalu berharap banyak pada pertemuan itu. Barangkali juga saya terlalu terobsesi ingin menemukan hal yang terasa menggairahkan dari apa yang saya angan dari “kebudayaan Lampung”. Sungguh, terlalu minim untuk berbicara secara lebih komprehensif tentang yang disebut dengan kebudayaan Lampung. Buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran terlalu sedikit untuk menjawab rasa ingin tahu saya tentang: Apa, siapa, dan bagaimanakah manusia dan kebudayaan Lampung itu?

Relatif tidak ada yang baru — minimal interpretasi baru tentang kebudayaan Lampung — dari isi buku ini. Kalau dirujuk, masalah-masalah yang dibahas tidak jauh dari hasil diskusi/seminar yang melibatkan, antara lain Prof. Hilman Hadikusuma (alm.), Anshori Djausal, A. Effendi Sanusi, Sanusi Husin, Firdaus Augustian, dan Rizani Puspawidjaya sendiri selama ini. Semua pembicaraan itu sebenarnya sudah terangkum dalam buku Adat Istiadat Lampung (diterbitkan Kanwil Depdikbud Lampung, 1979/1980; cetak ulang 1985/1986) yang ditulis Hilman Hadikusuma dkk.

Sebenarnya, tidak ada persoalan kalau tak ada buku-buku: Manusia Indonesia (karya Mochtar Lubis) yang disusul buku-buku tentang manusia/kebudayaan Jawa, Sunda, Bugis/Makassar, Batak, Minangkabau, dan lain-lain yang ditulis para sejarahwan-sosiolog-antropolog. Dan, baru-baru ini terbit dua buku antropologi dan sejarah terjemahan: Bugis (karya Christian Pelras) dan Kerajaan Aceh, Zaman Iskandar Muda 1607-1636 (karya Denys Lombard).

Membaca buku-buku textbook itu, saya merasa semakin “cemburu” ketika dihadapkan pada sebuah konsep yang mahakomplek tentang manusia/masyarakat dan kebudayaan Lampung. Referensi yang sudah ada — menurut saya — sangat tidak cukup untuk menerangkan konsep itu. Kebanyakan ulun Lampung hanya bicara hal-hal kecil tentang sastra lisan Lampung, bahasa Lampung, kesenian Lampung, piil pesenggiri, adat istiadat, kebiasaan, serta hal-hal lain yang serbakecil semacam Tugu Siger, perbedaan Pepadun dan Peminggir (menurut textbook bukan Pesisir atau Saibatin!), dan pembagian orang Lampung secara sektarian (orang Abung, orang Menggala, orang Pubian, orang Sungkai, orang Way Kanan, orang Belalau, dll) yang tidak akan mampu menerangkan apa yang dimaksud dengan kebudayaan Lampung secara general.

Kebudayaan Lampung?

Sebelum masuk terlalu jauh, saya ingin mengutipkan sebuah definisi tentang kebudayaan. Soalnya, konsep ini terlalu sering disempitkan artinya dengan kesenian, adat-istiadat, atau apalah.

Kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu sikap dan orientasi nilai yang mempengaruhi pemikiran dan mendorong ke suatu tindakan; serta seni budaya sebagai wujud material kebudayaan yang dapat menghasilkan interaksi secara dinamis dan reflektif antara jati diri bangsa dan modernitas. Wujud konkretnya, antara lain mendorong tumbuhnya rasa percaya di antara sesama warga bangsa, disiplin, meletakkan pendidikan dalam pusat kehidupan, dan tidak hidup konsumtif.

Kebudayaan bisa diteropong dari berbagai sudut pandang. Tetapi, setidaknya ada tiga dimensi yang dicakup kebudayaan. Ketiga dimensi itu adalah dimensi ide, dimensi material, dan dimensi perilaku.

Dimensi ide menyangkut nilai-nilai kehidupan, tujuan-tujuan, dan cita-cita yang kadang-kadang bersifat utopis dan dikemukakan sebagai sesuatu arahan untuk bergerak maju. Budaya material berwujud ke dalam, antara lain seni dan bentuk-bentuk peninggalan masa lalu seperti karya arsitektur, prasasti, dan bangunan candi. Dimensi perilaku adalah wujud yang hadir sehari-hari, termasuk di dalamnya bahasa.
Saat ini ada kecenderungan kebudayaan diasingkan dari fakta sosial, ekonomi, dan politik. Tetapi, pada saat yang sama kebudayaan menemukan perannya sebagai pentas untuk merayakan gaya hidup yang menakutkan dan juga membius (Ninuk Mardiana Pambudy, Kompas, Senin, 31 Juli 2006).

Definisi kebudayaan ini menunjukkan kepada kita betapa luasnya cakupan konsep kebudayaan. Maka, ketika kita disodorkan sebuah pertanyaan tentang apa dan bagaimana kebudayaan Lampung itu, tidak bisa tidak tercakup di dalamnya dimensi ide, dimensi material, dan dimensi perilaku. Pertanyaannya, dimensi ide, material, dan perilaku apakah yang khas yang melekat pada ulun Lampung (masyarakat Lampung secara kolektif)? Saya pikir, tidak mudah menggambarkan masalah ini secara sistematis, komprehensif, dan ilmiah; yang bukan berdasarkan prasangka.

Piil Pesenggiri

Bagian yang kembali menyulut perdebatan adalah konsep piil pesenggiri. Rizani Puspawijaya menuturkan, pada 1988, saat digelar Dialog Kebudayaan Daerah Lampung, Rizani Puspawijaya dan almarhum Hilman Hadikusuma berusaha mereaktualisasikan konsep piil pesenggiri sebagai kearifan budaya Lampung. Ketika itu, para intelektual Lampung masih sulit menerimanya dengan berbagai argumentasi penolakan. “Saya yang pertama sekali memperkenalkan konsep filsafat piil pesenggiri dalam skripsi gelar sarjana. Bersama almarhum Prof. Hilman Hadikusuma, konsep itu terus dipelajari dan dikaji sehingga bisa dirumuskan unsur-unsur pembentuk piil pesenggiri yang terdiri dari juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai-sambaiyan, dan titie gemanttei,” kata Rizani Puspawidjaja (Lampung Post, 20 Oktober 2006).

Beberapa minggu setelah itu, Firdaus Augustian menulis “Puzzle Bernama Piil Pesenggiri” (Lampung Post, 11 November 2006) yang menggugat piil pesenggiri. “Rasanya terlalu berlebihan kalau kita mengatakan tatanan moral piil pesenggiri yang merupakan inspirasi dan motivasi berpikir dan bersikap masyarakat Lampung, hanya dikenal masyarakat Lampung. Kebudayaan lain pun apalagi pada masyarakat tradisional amat akrab terhadap tatanan moral ini. Bahkan, tatanan moral ini telah built in dalam kehidupan mereka,” kata Firdaus.

Tapi segera saja Fachruddin (Lampung Post, 18 November 2006) menampik dengan mengatakan, piil pesenggiri sudah menjadi milik perguruan tinggi, diuji para guru besar dengan pendekatan akademis, bukan sekadar puzzle dengan tantangan yang relatif ringan. Piil pesenggiri sebuah keseriusan, seriusnya mereka yang mengidamkan berdirinya Kesultanan Islam Lampung, di mana piil pesenggiri sebagai dasar nilainya.

Masih menurut Fachruddin, berbeda dengan piil pesenggiri yang dipanuti masyarakat Lampung. Banten memberikan advokasi dengan kitab Kuntara Rajaniti, seperti yang diturunkan kepada Keratuan Darah Putih, yang diniatkan untuk masyarakat mulai dari Kalianda, Padang Cermin, Cukuh Balak, hingga Semaka. Sebenarnya para pimpinan adat telah siap mendukung berdirinya Kesultanan Islam Lampung bersama Keratuan Pugung.

“Saya pernah dikejutkan ketika menghadiri upacara anjau marga di daerah Cukuh Balak, ternyata ada seorang tokoh adat yang berpidato dengan inti pidato: khepot delom mufakat, khopkhama delom bekekhja, tetengah tetanggah, bupudak waya, bupiil bupesenggir. Berarti di daerah pesisir pun dikenal piil pesenggiri, kendati sedikit berbeda. Tetapi mengapa kita harus sibuk mencari perbedaan, bukankah lebih baik kita mencari persamaan agar kekayaan yang masih terpendam ini dapat digali sebagai sumbangan bagi kemajuan ummat manusia,” tulis Fachruddin.

Begini — ini menurut saya — masih dibutuhkan penelitian (reseach) mendalam soal piil pesenggiri. Saya pikir, piil pesenggiri bukan kitab suci yang tidak bisa dipermasalahkan. Misalnya, masih dibutuhkan bukti yang lebih banyak lagi soal betapa orang Lampung tak bisa lepas dari piil pesenggiri-nya. Syukur-syukur ada interpretasi atau tafsir baru piil pesenggiri.

Ada tidak ada, yang jelas dia sudah menjadi wacana publik, menjadi bagian dari konsep adat-istiadat Lampung dan sebagian kecil dari konsep besar bernama kebudayaan Lampung.

Pemikir(an) Kebudayaan Lampung

Saya sebenarnya gembira ketika Rizani mengatakan, orang Lampung itu terbuka, demokratis, dan ada konsep kepemimpinan Lampung?

Wah, saya pikir ini kan kajian yang menarik tentang konsep-konsep kekuasaan Lampung (sebagai contoh, konsep kekuasaan Jawa sudah jelas dipaparkan oleh Benedict Anderson, Cliffort Geerth, dll). Sayangnya, tidak ada yang mengelaborasi lebih jauh, tentang bagaimana sikap terbukanya orang Lampung itu, dimana letak demokratis orang Lampung, dan bagaimana contoh kepemimpinan Lampung itu.

Saya hanya memimpikan penelitian dan diskusi sosial dan kebudayaan Lampung marak. Dengan kata lain, Lampung memiliki banyak pemikir dan pemikiran kebudayaan Lampung. Sehingga orang tak lagi berkata, “Kebudayaan Lampung, Api Muneh” (Udo Z. Karzi, Lampung Post, 23 Oktober 2005). Cuma siapakah yang mau memulai? Pemerintah daerah yang lebih berorientasi “proyek” susah diharap. Yang paling mungkin adalah perguruan tinggi, terutama Universitas Lampung (baca: Udo Z. Karzi, “Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung”, Lampung Post, 8 April 2006), yang paling kompeten. Atau adakah orang atau lembaga yang lebih tepat?

Pemikiran kebudayaan Lampung hanya akan lahir dari pemahaman konsep kebudayaan yang benar dan dari riset dengan metodologi yang benar oleh peneliti/pemikir kebudayaan yang teliti, tekun, dan konsisten. Tentu saja, gagasan kebudayaan yang muncul tidak berasal dari pemikiran sempit dan sektarian yang membagi-bagi Lampung menjadi bagian yang kecil-kecil: adat Pepadun dan adat Peminggir, bahasa dialek A (api) dan O (nyo), Menggala, Abung, Pepadun, Melinting, Belalau, Way Kanan, Kalianda, dan seterusnya.

Budaya Lampung. Bahasa Lampung. Adat Lampung. Kesenian Lampung. Sastra Lampung…. dst. Lampung!

Saya menulis dalam bahasa Lampung. Tidak saya namai bahasa Lampung Pesisir. Cukup saya katakan: memakai bahasa Lampung?

Bisakah kita — ulun Lampung — berbicara dengan bahasa kesatuan: Lampung (!) untuk kemudian secara bersama merumuskan kebudayaan Lampung?

Sungguh, belum ada lagi pengganti pakar hukum adat Lampung almarhum Prof. Hilman Hadikusuma!

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2006/11/esai-pemikiran-kebudayaan-lampung.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati