Asarpin
http://lampungpost.com/
Yang rasional dan yang spiritual pada akhirnya juga diskusi tentang seni dan sains. Namun, sains tak mendapat perhatian budayawan dan sastrawan. Mungkinkah berharap puisi menjadi penyembuh luka besar kemanusian?
Pada diskusi tentang fiksi mikro di UKMBS Unila beberapa waktu lalu, Ari Pahala dan Iswadi Pratama menyinggung soal logika dalam sastra. Kedua penyair terdepan di Lampung ini tidak cuma sekali melontarkan hubungan seni dan sains.
Beberapa waktu lalu, Iwan Nurdaya Djafar juga meneropong novel tetralogi Andrea Hirata dari sudut pandang sains dengan kesimpulan yang agak ganjil. Isbedy Stiawan dalam esai tanggapan atas esai Iswadi yang mengkritik miskinnya kritikus seni di Lampung menekankan keharusan memasukkan yang spiritual.
Diskusi tentang yang rasional dan yang spiritual, mau tak mau mengajak kita berdiskusi tentang seni dan sains. Beberapa karya sastra dan seni rupa akhir-akhir ini mulai ramai menyinggung apa yang dulu oleh Albert Einstein dinamakan relativitas dan gravitasi.
Andrea membuka novel ketiganya, edensor (2007), dengan teori relativitas Einstein dan mengajak kita berdiskusi tentang astronomi. Iwan Nurdaya Djafar mempersoalkan keberpihakan Andrea pada teori Barat dalam resensi atas tetralogi Andrea di Lampung Post (tanggal 22 dan 29 Juni 2008). Iwan juga menyebut novel Andrea sebagai takhayul dan klenik yang lain dengan cara pandang khas kaum rasionalis.
Empat novel Andrea, bagaimanapun, menyuguhkan tafsir-ulang atas peran fisika, kimia, biologi, dan astronomi yang sama sekali tak mengklaim agamanya yang mesti di lap-lap. Dalam Laskar Pelangi, Andrea menggugat Tuhan dengan cantik, dan katanya, seindah apa pun sebuah teorema tak akan mampu menjangkau Tuhan. Karena “Tuhan tidak tunduk pada postulat dan teorema mana pun. Oleh karena itu, Tuhan sama sekali tak dapat diramalkan”.
Bahkan di sana-sini Andrea menyinggung soal lambang dalam aritmatika dan geometri. Ihwal yang terakhir ini muncul bersamaan dengan perbincangan mengenai teori gravitasi dalam bab Rahasia Gravitasi buku edensor.
Makin jelas kini kita tengah dihadapkan pada karya sastra yang menampilkan berbagai ekspedisi dan petualangan, yang tampaknya menunjukkan kepada kita bahwa dunia kini memang tak lagi tersekat-sekat oleh batas dan disiplin ini dan itu. Ayu Utami dengan Bilangan Fu dan Andrea dengan tetraloginya jelas tifikal novelis lintas batas yang fasih mengaduk-aduk sains dalam narasi. Seperti kata salah seorang tokoh dalam edensor, “ekspedisiku telah membuka jalan rahasia yang tersembunyi di antara lipatan sekat-sekat dimensi ruang dan waktu; sebuah jalan rahasia yang menghubungkan apa yang kualami saat ini dengan peristiwa-peristia masa laluku. Ini adalah ekstase terbesar yang hanya mungkin dicapai mereka yang berani bermimpi, berani keluar dari cangkang siputnya, untuk menemukan jawaban pertanyaan atas dirinya. Inikah postulat hukum nasib? Inikah yang dimaksud Albert Einstein sebagai lngkaran alamiah filsafat manusia?”
***
Jika Iwan Simatupang pernah bilang, salah satu ciri novel masa depan adalah novel-esai dan novel tanpa genre, saya kira novel Bilangan Fu dan tetralogi Andrea adalah di antaranya, walau bukan juga sebuah kemutlakan. Gaya kedua novel ini nyaris tak bergenre, dan kalau pun ini novel maka tak lagi terpilah secara ketat dengan genre-genre kesenian yang lain.
Analogi antara geometri dan seni, atau bahkan antara geometri dan puisi, memang terhitung sudah tua, namun sampai kini masih diparodikan. Andrea hemat saya hanya memarafrasekan kembali dunia mimpi dan komedi putar yang mengingatkan saya pada istilah Richard Rorty–dalam terjemahan Arif Bagus Prasetyo–ini: suatu ziarah “komidi-putar sastra-sejarah-antropologi-politik”.
Inilah ziarah kritisisme budaya, kata Arif, di mana matematika menopang fisika–yang berupaya menangkap sejumlah keping semesta– sementara seni menyokong etika, yang berjuang menangkap sebagian lain dari keping semesta yang sama. Karena itu: “Sains, tak lebih dan tak kurang, hanyalah sebuah genre sastra”, tulis Arif.
Seandainya sains dan seni tak mengandung keindahan melalui lambang-lambang, barang kali tak akan pernah menarik. Kekuatan puisi dan geometri justru pada pola dan topografi serta lambangnya yang ringkas. Simbol-simbol, khususnya bilangan dan perhitungan numerologi, muncul jauh sebelum kata-kata dipakai dalam tulisan. Nenek-moyang kita bahkan menulis dengan lambang-lambang seperti takik.
John Forbes Nash, yang pernah mengalami skizofrenia puluhan tahun dan akhirnya meraih Nobel Matematika, pernah menuturkan pengalaman hidupnya dengan gaya berpikir yang eksotik-matematik kepada Sylvia Nasar dalam buku A Beautiful Mind (1998). “Saya selalu asyik dengan konsep bahwa perhitungan numerologi yang bergantung pada sistem desimal mungkin tak cukup intrinsik. Bahwa bahasa dan struktur alfabet mungkin mengandung ciri-ciri budaya kuna yang bersilangan dengan pemahaman yang gamblang atau pemikiran yang tidak bias”, kata Nash.
Dari sini Nash menuliskan serangkaian lambang “baru”; simbol-simbol yang terkait dengan sistem untuk menggambarkan bilangan-bilangan bulat melalui metafora-metafora yang berdasarkan perkalian-perkalian bilangan-bilangan prima yang berurutan, yang tak ubahnya dengan seni.
Tahun 1950-an, Nash berusaha menulis ulang dasar-dasar fisika kuantum dan tak henti-hantinya menggali makna tersembunyi di balik angka-angka dan teks Alkitab. Disertasinya yang hanya 12 halaman sangat populer karena mengekspresikan dunia sains yang kaya dengan metafora dan pikiran-pikiran simbolik yang tak mudah dicerna.
Banyak ahli fisika dan matematika menghasilkan karya kreatif yang juga menjadi inspirasi para penyair. Sistem numerologi dan teorema-teorema matematika telah memengaruhi penulisan puisi model kuatrin di negeri Arab-Islam.
Bahkan apa yang disebut fiksi mikro, seperti pernah diuraikan dengan baik oleh Hasif Amini dalam Dunia di Sebutir Pasir, yang disinggung panjang lebar oleh Iswadi dalam diskusi di UKMBS itu, salah satu cirinya adalah ringkas dan padat secara maksimal dan indah seperti sebuah teorema. Sajak-sajak haiku dan koan Zen, misalnya, mengandung teka-teki tak ubahnya dengan teorema aritmetika. Apa yang ditekankan bukan aritmetika sebagai ilmu pasti dan rasional, melainkan lambang, metafora.
***
Sains memang melahirkan rasionalisme. Sementara seni menguatkan spiritualisme.
Post-modernisme hadir sambil menggugat jalan tengah yang ditawarkan agama atau menampik sintesa dan dialektika Hegelian. Semangatnya yang mendekonstruksi di sana-sini banyak mempengaruhi keeksakan sains. Lonceng kematian filsafat dan kepastian sains ditabuh dan dipulangkan dalam dunia spiritual. Maka orang pun ramai menyebut filsafat dan sains jika hendak eksis, seperti kata Bambang Sugiharto,
mesti mengambil spirit dari puisi.
Sains bagaimana pun mementingkan logika atau penalaran logis. Seni sepintas bertolak belakang, walau beberapa penyair Lampung masih menekankan kelogisan dalam puisi. Bukan sains sebagai genre sastra, tapi sastra sebagai genre sains.
Subagio Sastrowardoyo dahulu pernah menilai puisi dengan penekanan pada logika, bahkan tuntutannya pada logika hampir mutlak. Asrul Sani menganggap penilaian Subagio merupakan sikap “antipuisi yang paling ekstrim” seraya ditambahkannya bahwa “puisi punya logikanya sendiri”.
Nirwan Dewanto menyayangkan kegagapan kita terhadap sains. Sains tak mendapat perhatian di kalangan budayawan dan sastrawan kita padahal kehadiran masyarakat sains yang terus membesar, kata Nirwan dalam pidato kebudayaan 1991 di TIM yang kemudian diterbitkan menjadi esai bertajuk Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991, mestinya akan terlihat dengan meningkatnya kemampuan mereka melakukan refleksi terhadap seluruh tata kebudayaan yang berlaku. Tapi nyatanya tidak. Hal itu justru menjadi bukti peran budayawan makin merosot. Bahwa cara berpikir kultural sudah aus.
Ayu Utami baru-baru ini menunjukkan paradoks post-modernisme yang tampaknya dialami sebagian besar orang Indonesia. Di satu sisi Ayu masih menganggap kanon sastra masih penting dan karena itu mengusulkan novel tetralogi Pulau Buru Pramoedya sebagai kanon sastra dalam esai Kanon Sastra: Mengapa Takut? Tapi pada novel Bilangan Fu (2008), Ayu secara terbuka mengkampanyekan apa yang disebutnya “3M: Tiga Musuh Dunia Postmodern, yaitu modernisme-monotheisme-militerisme”.
Apa yang digugat dan digayang kaum post-modern ternyata itulah yang tengah mereka rayakan. Betapa pun ilmu pengetahuan ditolak dan ditampik, kenyataannya justru banyak yang terpukau. Aritmatika dan geometri masih laku, bahkan di sekolah-sekolah diminati siswa dan mahasiswa dengan gairah.
Kepercayaan kepada Tuhan yang Mahaesa, walau digugat habis-habisan oleh para teoritkus posmo, nyaris tak tergoyahkan. Bahkan muncul pembelaan dengan merebaknya semangat fundamentalisme.
Di lain tempat muncul gugatan tehadap paham monotheisme. Ada juga kritikus yang menggugat bentuk, ruang, dan pedalaman karena ketiga soal ini meniscayakan keterbatasan dan kedangkalan; tak lebih sebagai ilusi.
***
Gaston Bachelard pernah menulis tentang puisi ruang, yang oleh Syariati dalam esai Mazhab Pemikiran dan Ideologi dikatakan Bachelard meyakini anggapan: “manakala suatu gagasan dapat dikoseptualkan dalam bentuk geometris, ia telah menemukan bahasa yang tepat guna mengekspresikan dan menjelaskan dirinya sendiri. Artinya, manakala suatu gagasan bisa diekspresikan secara geometris, ia telah menemukan bahasa terbaik ekspresinya”.
Bagi Syariati, jika seorang bisa memanfaatkan matematika sebagai bahasa ekspresi suatu mazhab agama, filsafat dan sastra atau seni pada umumnya, maka ia bakal menemukan ekspresi lewat penalaran logis seraya membuktikan dirinya logis dan ilmiah. Suatu mazhab puisi dan pemikiran akan teruji dan menampakkan sosoknya lewat batu-batu sendi dan sandi geometris: apakah ia berbentuk natural, apakah kurvanya normal dan abnormal, apakah bentuknya heterogen atau homogen, tak jadi soal.
Artinya, seseorang–entah sebagai filsuf maupun sebagai penyair–bisa memahami kualitas-kualitas natural suatu mahzab dari suatu ekspresi geometrisnya. Kaum sufi banyak menulis karya dengan teorema-teorema cantik yang umumnya dirumuskan dalam sembilan waktu dan sembilan ruang yang sangat simbolik.
Sebuah teorema bahkan sempat menjadi ekspresi di kalangan mistikus, koan zen, kebatinan Timur. Ada banyak contoh puisi tanpa kata yang mengekspresikan kekonkritan yang ditakik dari geometri, yang bisa dikemukakan di sini.
***
Demikianlah. Kesibukan berdebat soal seni untuk seni atau seni untuk politik sudah aus. Momentum krisis sains telah dimanfaatkan secara serius oleh kalangan penyair di belahan dunia. Tipologi matematika dan pola-pola kompleks geometri sudah bertemu dengan tipologi dan pola-pola puisi. Jorge Luis Borges dengan intim bicara tentang ensiklopedi berbagai disiplin dengan Tlon, Uqbar, Orbius, dan Tertius yang terkenal itu. Para kritikus dunia mulai tertarik menguak wawasan puitik Omar Khayam dalam al-Rubaiyat yang memanfaatkan lambang-lambang aljabar, algoritme dan trigonometri Al Khuwarizmi. Sebuah situs Aulipo di internet mulai banyak dibicarakan orang Indonesia sejak Nirwan Ahmad Arsuka menulis di Bentara.
Di kalangan penyair mulai tumbuh wawasan sains yang, mungkin karena daya gedor gerakan posmo yang begitu dahsyat, sehingga muncul karya sastra dengan gaya yang tampaknya bukan lagi ditulis pada zaman kita. Karya sastra bukan lagi buah dari suatu zaman kini, melainkan zaman entah. Karya sastra bukan ditulis dari tanah sendiri, melainkan tanah tak bernama.
Sains telah berkembang pesat sehingga, seperti halnya magi, ia bukan lagi suatu bangunan yang tunggal. Karena itu sains pun merumuskan dirinya terus-menerus dan senantiasa berada dalam proses yang tidak seperti labirin berujung tunggal. Baik sains maupun sastra memang membutuhkan sebuah kritik, mungkin sejenis kritik terhadap diri sendiri seperti tekanan yang diberikan Karl Popper.
Harus diakui, para penyair modern tidak lebih berhasil daripada ahli magi primitif. Teori Frazer tentang magi dan sains sebagai rangkai kejadian terhadap sesuatu yang pasti dan mengikuti aturan hukum yang ketat dan operasinya dapat diperhitungkan dengan tepat, telah banyak diakui ilmuwan. Terlepas dari adanya banyak kritik dan perbedaan mendasar antara magi dan ilmu pengetahuan, teori Frazer juga diyakni B. Malinowski yang–kendati Malinowski lebih tertarik menghubungkan magi dan agama ketimbang sains–menganggap magi sebagai pseudo ilmu dengan sebuah proses yang sama-sama dilakukan dengan perhitungan rasional.
Percuma saja berharap pada puisi agar bisa menjadi penyembuh luka besar kemanusian jika kita sendiri tidak memanfatkan puisi dengan mendasar. Begitu juga dengan sains, seperti yang dilukiskan ahli neurologi, Donal B. Calne dalam Batas Nalar: percuma kau mengharapkan sains menyembuhkan kanker kalau kau tidak lebih dahulu menempatkannya di jalur perkembangan yang cocok dengan itu.
Bahwa para ilmuwan dan penyair tak sanggup menentukan jalur yang dimaksud, tidak berarti sains dan puisi gagal, melainkan jalur tersebut tidak cukup dilejajahi dan karena itu terlalu banyak halangan harus dihadapi. Namun, siapa pun sulit mengingkari bahwa zaman teknologi yang dilahirkan sains sekarang ini ternyata bisa menghasikan tahap-tahap penting imajinasi yang terkadang masih berbau sihir. Dan sihir: mengapa tidak?
31 Agustus 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar