Kamis, 07 April 2011

Pengantar Cerpenis Syekh Bejirum dan Rajah Anjing

Fahrudin Nasrulloh
http://sastra-indonesia.com/

Menulis pengantar cerpen? Saya rasa ini lebih berat dibanding membikin cerpen atau tulisan lainnya. Seperti saya dipaksa menapaktilasi detik perdetik dalam ruang dan waktu di setiap cerpen. Menguruti jejak sungguh sesuatu yang rumit dan melelahkan. Tapi itu tampaknya perlu dibuat. Agar saya tidak menciderai pembaca. Meski sebelas cerpen dalam kumpulan ini masih terasa menggeret-geret saya ke entah. Ada rasa longsor. Tenggelam. Gelap dan melenyap pelan-pelan. Cerita-cerita itu seringkali terasa merangsek di malam-malam ketika saya dilimbur kosong. Tapi biarlah mereka terus mengerubungi saya dan sisanya saya serahkan pada waktu dan semacam iman yang saya teguhi dalam berkarya.

Baiklah, perkenankan saya bercerita tentang “sisi lain” yang melatari proses kreatif saya. Saya mengenal dunia sastra sejak kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, pada 1997. Mula-mula saya tertarik baca-baca puisi dan kemudian tergerak menulis puisi dan bergaul dengan banyak penulis di selingkungan kampus. Jogja, telah menjadi medan kreatif sekaligus takdir yang tak terbayangkan sebelumnya yang mempertemukan saya dengan dunia menulis. Keluarga saya hidup di kampung yang bercirikan kehidupan agraris dengan tradisi ke-NU-an yang kental. Ibu saya dari keluarga Muhammadiyah. Ayah saya dari kalangan NU. Ditambah pengalaman nyantri di beberapa pesantren dan perjalanan-perjalanan saya menelusuri kitab-kitab kuning di beberapa pelosok pesantren. Sebagian jejak cerita itu sempat saya rekam yang setidaknya menjadi latar tak langsung dari cerpen-cerpen saya:

1. Pintu Cerita dari Demit Laut Kidul Hingga Kanjeng Khidir

Suatu hari, pada pertengahan 1997, ketika sembari kuliah saya mondok di pesantren Al-Muhsin, Condong Catur, Sleman, Jogja, saya mendapati seorang teman, Zamzuri, dari Bengkalis, Riau, yang tiba-tiba di suatu malam dirasuki sejenis dedemit. Sebagian teman santri menceritakan kemungkinan sebabnya adalah saat ia mencuci usus kambing hasil sembelihan hari Raya Kurban di sebuah kali di daerah Seturan (selatan Desa Karangnongko) dengan seorang teman dari Pati, Nawawi. Zamzuri berteriak lantang di tengah malam itu dengan merapalkan sejenis amalan dari kiainya di daerah Purworejo yang ia sebut “hizib nashar”. Amalan ini semacam aji-ajian dengan lafal Arab. Selain bermanfaat untuk keselamatan diri, hizib tersebut berfaedah mengusir setan dan jin prayangan. Ada puluhan hizib sejenis itu yang bisa dilakoni dengan cara puasa. Bentuk lain hizib berupa “rajah”. Rajah adalah sejenis tato berhuruf dan berangka Arab. Coraknya macam-macam. Buku Dimensi Mistik Islam dan Misteri Angka karya Annemerie Schimmel menjabarkan perihal itu. Sedang dalam kitab-kitab kuning, terdapat puluhan referensi yang bisa dirujuk. Ada kitab Syamsul Ma’arif, Al-Aufaq, Tajul Arifin, dan lain-lain.

Pulang dari kali itu, selang 2 hari, Zamzuri kerasukan. Mengamuk membabi buta. Menggegerkan pondok. Orang-orang kampung Nglaren dibuat gempar. Hampir 2 bulanan ia tidak dapat disembuhkan. Meski sudah dibawa ke mana-mana hingga ke kiai-kiai ampuh di Jawa Timur. Ia meracau sendiri dan saya dengar darinya cerita kenapa ia mengalami peristiwa demikian. Ia menjawab bahwa ia kalah tanding dengan siluman perempuan dari laut kidul yang berambut panjang tanpa badan. Jadi bentuknya hanya kepala dan diujung lehernya berjulaian usus dengan darah segar yang menggelambir hingga menyentuh tanah. Karena tak satupun yang dapat memulihkannya, terpaksa orangtuanya menjemputnya dan dibawa pulang. Sampai sekarang saya tidak tahu kabarnya.

Serpih cerita lain adalah ketika saya bersama penyair Kuswaidi Syafe’i (Cak Kus). Pada 20 Desember 2007, saya mengantarkan Cak Kus ke UIN Malang untuk undangan diskusi sastra. Sehari sebelumnya, pas hari Senin, ia menginap di rumah saya. Di rehat waktu itu, ia minta dianter ke sejumlah “kiai karomah”, atau “gus jazab” atau “kiai linuwih”. Kami sudah saling paham dan saya mengerti harus bagaimana. Berangkatlah kami mengunjungi Gus Di atau Gus Mawardi di Dusun Kembang Sare, Mojowangi, Mojowarno, Jombang. Inilah sebenarnya tujuan Cak Kus ke Jombang. Sebab Gus Di pernah berfoto bareng dengan Kanjeng Khidir. Foto ini awalnya saya peroleh dari Mbah Yono (salah seorang warga di kampung saya), lantas saya scan. Suatu hari sebelum hari itu saya diminta oleh kawan saya, Pak Azzet dari Jogja, yang tertarik pingin melihat sosok Nabi Khidir itu kayak apa. Foto itu lalu saya kirim kepadanya. Dari Pak Azzet foto itu nyungsang ke kawan lain, Hendra Widiarto. Lewat Hendra, Cak Kus tidak sengaja melihat foto itu di layar monitor Hendra yang bekerja sebagai layouter dan desain cover di penerbit Pustaka Pelajar. Cak Kus sangat antusias campur setengah sadar melihatnya. Jadilah saya, pada 19 Desember 2007, mengantarkan Cak Kus ke Gus Di. Cak Kus ngobrol dengan gelora meluap-luap dan penuh takzim dengannya yang telah tersingkapkan batinnya mampu berjumpa langsung dengan Kanjeng Khidir. Demikian juga Cak Kus, ia mengaku saat itu dirinya sering ketemu Kanjeng Khidir dengan perwujudan berbeda-beda. Mereka asyik-masyuk mengobrol. Saya bengong sendirian. Kini Cak Kus tak lagi menulis puisi maupun esai sebagaimana sebelumnya di tahun 1990-an sampai esai terakhirnya di Jawa Pos tentang polemik sastra GSM (Gerakan Sahwat Merdeka) yang sebelumnya disulut Taufiq Ismail di koran Republika pada kisaran 2005.

Dua cerita pengalaman di atas adalah contoh kerangka dasar, sebagaimana saya menyelesaikan cerpen Maria van Pauosten atau Arung Beliung.

2. Pintu Cerita dari Dua Kitab Iblis

Pada pagi 12 November 2007, bersama Amaluddin, seorang penyair yang memiliki kumpulan sajak Mantra-Mantra Meleleh (terdiri dari 1000 syair) tapi himpunan sajak itu selalu ditolak penerbit, saya meluncur dengan mengendarai sepeda motor Grand Honda ’94 dari Jombang menuju Jl. Sasak dan Jl. Panggung di Surabaya. Ternyata kota industri yang hiruk-pikuk ini juga menyimpan sekitar 50-an toko buku kitab kuning. Sejarah tlatah padepokan Sunan Ngampel Delta hingga Pangeran Pekik berlintasan di sepanjang jalan ini.

Dalam buku catatan harian saya, saya sudah menyiapkan daftar kitab yang saya cari: Hilyat Ahliya karya Abu Nuaym Al-Isfahani (w.1038 M), Qut Al-Qulub karya Ali Ibnu ‘Atiya Al-Haritsi Al-Makki (w.996 M), sejumlah karya Fariduddin Attar (seperti Usfurnama, Ganjnama, Musibatnama, Ilahinama, Lisan Al-Ghayb, dan Mazhar Al-Ajaib), Awarif Al-Ma’arif karya Suhrawardi Al-Maqtul, Taflis Iblis karya Ibnu Ghanim Al-Maqdisi (abad 13 M), Talbis Iblis karya Abi Al-Faraj Abdurrahman Al-Jauzy (w. 597 M), Masrab Al-Arwah karya Al-Baqli, Asrar al-Tauhid karya Ibnu Munawwar, dan Haqiqah Al-Haqiqah karya Imam Sana’i.

Setelah menyusuri belasan toko buku di dua jalan itu, terutama di TB. Menara Kudus dan TB. Al-Hidayah, ternyata hanya ada satu kitab dari semua kitab tersebut: Talbis Iblis. Saya dapati kitab ini di TB. Ahmad Nabhan, Jl. Panggung 146 Surabaya. Selebihnya, serampung mencermati sekian katalog, yang ada hanyalah kitab-kitab fiqih, tajwid, dan fashalatan. Saya beli Talbis Iblis, berisi bagaimana iblis mereka-daya manusia dengan segala kenikmatan dunia yang paling tersamar agar makhluk Tuhan itu terjerumuskan ke lembah dosa. Justru yang saya cari Taflis Iblis tidak ada. Kitab ini mengabarkan ihwal kebangkrutan dan betapa kedodorannya iblis kala mencoba menipu-daya kaum sufi. “Akal khayali” yang mewujud dalam tubuh wadak manusia bertarung dengan “akal hudhuri” yang dititiskan Allah kepada hamba-hamba terkasihnya. Kaum sufi klasik di sini dalam kesejarahannya yang panjang juga kita temui dalam cerita wali di Jawa dengan sosok Siti Jenar atau Malang Sumirang yang termaktub dalam Babad Jaka Tingkir.

Cerita ini bisa menjadi pintu lain ketika pembaca coba menelusuri cerpen Surabawuk Megatruh.

3. Pintu Cerita dari Renik Naskah Babad

Saya masih merasakan gelora “taman gaib Jawa” dan sejarahnya yang termaktub dalam sejumlah naskah babad. Salah satunya adalah Serat Centini yang digubah ulang secara prosais oleh Elizabeth D. Inandiak. Naskah ini diterbitkan secara berseri oleh penerbit Galang Press pada 2006. Seri pertama Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, kedua Minggatnya Cebolang, ketiga Ia yang Memikul Raganya, dan yang buncit Nafsu Terakhir. Menyusuri ceritanya seperti merenangi samudra peristiwa yang bercahaya, ngeri-bisu, angkara dan kembara nafsu yang binal, dengan gelimang kesia-siaan dan kefanaan. Saya merasakan Elizabeth mengembarai sosok-sosok di kedalaman batin Tambangraras, Jayengraga dan Jayengwesti bersama kedua punakawan mereka, Nuripin dan Kulawirya untuk menemukan kembali Amongraga.

Adegan homo antara Kulawirya dengan Nuripin sungguh memerindingkan zakar. Peristiwa Kulawirya yang zakarnya kena raja singa, lalu untuk mengobatinya, ia benamkan palatnya itu ke dubur kuda betina. Juga persetubuhan ganjil nan hiruk antara Jayengraga dengan tiga gadis kelewat jelek (Banem, Banikem dan Baniyah). Namun Jayengraga merasakan keindahan sinaran daging yang terpendam dalam keburukan wadak mereka. Pada bagian Pulau Besi diceritakan tentang kelimun cinta duniawi dan ilahiah yang diujikan Allah kepada Amongraga dan Tambangraras. Akhirnya keduanya berhasil menyatu dalam keheningan-Nya. Lalu mereka diperjumpakan dengan Endrasena yang berkisah tentang keadaan terakhir Ayahanda Sunan Giri di sel Mataram.

Pada bagian lain, Amongraga dan Tambangraras berhadapan langsung dengan Sultan Agung, yang lagi menyamar jadi petapa. Tapi mereka tahu. Lalu mereka menyerahkan diri seraya berkata: Kami serahkan wujud manusia kami kepada kebijaksanaan Sang Raja, karena kami tidak dapat membebaskan diri sendiri sembari tetap menjadi diri sendiri. Buatlah agar pengembaraan kami ke batas-batas ilmu kebahagiaan bisa berlanjut hingga termakan oleh kekuasaanmu sesuai dengan adat asal mula Mataram.

Kemudian keduanya menjelma menjadi ulat. Ulat Amongraga dilahap Sang Sultan, sedang ulat Tambangraras ditelan Pangeran Pekik. Di bagian pungkasan pada buku Nafsu Terakhir terhadir kisah Raja Amangkurat I, putra Sultan Agung, yang lalim terhadap rakyatnya hingga lantaran isu munculnya orang dalam yang dinyana akan menggulingkan tahtanya dengan dukungan sejumlah ulama kraton, maka lima ribu ulama di setiap sudut Mataram ditangkap, lalu digorok, ditembaki dan disembelih.

Teks yang saling berjalin-kelindan menyusup dan bergerak tanpa batas ke dalam teks terkait yang sesungguhnya, bagi saya, adalah pembayangan diri pengarang semata atas pembacaan sastrawi yang dilakukannya. Bisakah pengarang hidup tanpa sejarah atau dongeng yang menyimpan politik, tragedi, dan kehancuran? Kejatuhan dan keterasingan manusia ke dunia adalah dongeng asali yang dihamburkan oleh “Sesuatu” Yang Tak Terbatas itu. Maka, saya, dalam cerpen Abu Zardak, Prahara Giri Kedaton, Huru-hara Babarong, atau Montel, mencoba mengongkosi alur narasi “yang lain” untuk menghadirkan teks lain. Pekerjaan ini seperti menyusun ulang potongan-potongan arca atau reruntuhan candi di malam hari.

4. Semacam Pintu Buku Kecil ke Biografi Kecil

Petilan beberapa cerita di atas hanyalah salah satu contoh di mana pengalaman saya sebagai pribadi, mulai bersentuhan dengan khazanah pesantren, mistisisme Islam-Jawa, dan perjalanan saya dalam memahami teks-teks keislaman mulai dari kitab-kitab yang mengajarkan banyak hal semisal kitab Jurumiyah (tata bahasa Arab yang paling bawah), fiqh, ushul fiqh, qawaidul fiqh, sampai di masa kuliah dengan memamah buku-buku keislaman dan kejawaan yang lumayan lawas misalnya dari karya-karya Ibnu Arabi, Ibnu Athaillah, Ainul Qudat, Harun Nasutian, Iqbal, Rumi, Ronggowarsito atau Pak Simuh yang kerap mengupas sinkretisme Islam-Jawa. Semua itu menuntun persinggungan saya secara alami dengan buku-buku sastra dan lainnya.

Pendek kata, saya hidup dengan jejak-jejak pengalaman seperti itu yang selanjutnya ketika saya dalam proses berkarya nyaris tidak tahu persis jika ditanya sejumlah teman: kenapa cerpen-cerpenmu sangat “klenik” sekali. Sebutan “mbah dukun” tiba-tiba disematkan begitu saja oleh editor saat dua buku saya Syekh Branjang Abang (2007) dan Geger Kiai (2009), keduanya tentang cerita-cerita dari bilik pesantren yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Pesantren, lini Penerbit LKiS Jogja. Padahal saya bukan dukun. Saya cuma santri kluyuran yang berusaha ingin menjadi penyimak dan pencatat khazanah pesantren yang bagi saya sangat melimpah ruah. Saya kadang membayangkan Syekh Nawawi al-Bantani yang telah menganggit 114 kitab. Kitab-kitabnya hampir 80 persen menjadi bahan ajar di seluruh pesantren di Nusantara hingga ke wilayah Timur Tengah. “Beliau pernah bermimpi dihadiahi sebuah pena oleh Rasululloh. Dan tatkala bangun ia mendapati pena itu di genggaman tangannya,” begitu yang saya dengar dahulu dari kiai saya. Boleh jadi dengan pena itulah ia mampu berkarya seabrek itu. Dalam Kongres Kebudayaan Pesantren tahun 1998 di pesantren Pandan Arang, Magelang, Menteri Agama RI, Tholhah Hasan, menyebut bahwa pesantren laksana “raksasa yang sedang tidur”. Saya tidak paham saat itu, apakah ungkapan itu hanya imajinasi yang mletik begitu saja ataukah basa-basi. Saya hanya memahami buku-buku sejarah peradaban Islam, khususnya di Nusantara. Jenis cerita tutur beginian teramat banyak ditemukan dalam tulisan Gus Dur, misalnya dalam bukunya Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur (LKiS: 2010).

Tahun 1997 sampai 2003 di Jogja adalah masa-masa di mana saya tenggelam dalam membaca, berburu buku-buku lawas, berziarah dengan kelompok Mbah Siroh dari Karangnongko ke makam-makam ulama dan raja-raja di seputar Jogja, sembari sedikit demi sedikit mengasah dan mempertajam berkarya. Puisi merupakan keseriusan saya yang paling utama. Namun saya selalu merasa gagal menulis puisi yang baik. Setidaknya menurut ukuran saya. Tidak banyak puisi saya yang saya kirim ke koran. Dan memang hanya 1-2 yang pernah nyantol di Kedaulatan Rakyat dan Majalah Kuntum. Saya terus bertanya pada diri sendiri kenapa ketika saya sudah banyak nulis puisi, saya tetap merasa gagal. Saya tidak tahu jawabannya. Tapi, batin saya, saya harus terus berusaha. Dan di saat-saat demikian saya mengimbangi dengan menulis esai dan sesekali cerpen. Saya tidak menyadari, justru saya lebih banyak nulis esai, dan cerpen hanya beberapa gelintir. Bisa dikata upaya saya menulis esai dan cerpen adalah untuk menempa ketelatenan dan kesungguhan agar suatu saat saya dapat membikin puisi yang lebih baik. Kadang sebab lain juga membayang-bayangi bahwa pengalaman membaca puisi-puisi karya orang lain itulah yang mengubur keyakinan saya akan puisi-puisi saya. Saya kadang berpikir, cerpen-cerpen saya adalah produk gagal atau ampas kering cerpen-cerpen itu adalah pelarian saya dalam kegagalan menulis puisi. Kenapa muncul relasi yang tak berjuntrung ini, saya tidak tahu. Mungkin sangat naif dan tidak penting dijelas-jelaskan dan biarlah demikian.

Sebelas cerpen dalam Syekh Bejirum dan Rajah Anjing ini saya garap dari tahun 2002 hingga 2009. Demikianlah yang dapat saya antarkan. Untuk Nurel Javissyarqi dan Pustaka Pujangga, matur suwun sudah sudi menerbitkan kumpulan cerpen ini. Kepada Bang Afrizal Malna, saya sampaikan terima kasih berkenan meluangkan waktu memberi kata pengantar. Juga untuk istriku dan anakku, kalianlah yang menguatkan bara hidupku. Dan kepada semua sahabat, saya sampaikan terima kasih atas semua dukungan dan apresiasinya.

Tandes, 26 Mei 2010

*) dijumput dari buku “Syekh Bejirum dan Rajah Anjing,” karya Fahrudin Nasrulloh, terbitan PuJa [PUstaka puJAngga] tahun 2011.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati