Jumat, 13 Mei 2011

Membela Manusia dan Merayakan Kebebasan

M Fadjroel Rachman*
Media Indonesia, 29 Juli 2007

Kami adalah manusia bebas. Berdaulat atas jiwa dan raga kami untuk mencipta kemanusiaan kami sendiri dalam kebebasan tanpa penjajahan.
(Memo Indonesia, 12 Juli 2007)

MENCIPTA diri sendiri dan mencipta kemanusiaan kita sendiri adalah sarana sekaligus tujuan segala aktivitas manusia. Garis batas penciptaan dan kebebasannya hanya cakrawala historis bumi manusia. Kita semua adalah warga negara bumi manusia dan negara hanya batasan hukum belaka, bukan batas imajinasi, kreasi, maupun aktivitas. Praktisnya, segala aktivitas manusia di muka bumi di mana pun yang mengorbankan manusia hanya sebagai sarana, alat, atau objek dari satu tujuan tertentu, sebaik dan sesuci apa pun, semestinya ditolak dan harus ditolak. Tidak ada tujuan dan ukuran di luar kehidupan manusia dan kemanusiaan. Itulah pula tujuan dan ukuran sastra dan kebudayaan kita hari ini. Bukankah paradigma humanisme global dan kosmopolitan seperti ini adalah identitas baru manusia di muka bumi, termasuk generasi abad XXI manusia Indonesia. Sungguh bahagia menyatukan diri kembali dalam identitas sebagai umat manusia di bumi manusia. Sedangkan negeri, entah Indonesia atau apa pun namanya, hanyalah tempat badan secara relatif terikat, tetapi pikiran dan kesadaran membubung tinggi mengatasi tempat.

Jadi, apakah artinya menjadi manusia Indonesia hari ini? Menjadi manusia global membumbung tinggi bersama jiwa-jiwa bebas seluas bumi, mencipta hari depan manusia bersama-sama secara global. Dengan kebebasan seluas bumi, bukan sekadar kebebasan yang diciptakan dan dipaksakan negara Indonesia. Apakah artinya identitas baru manusia Indonesia seperti itu dengan kehidupan sastra dan kebudayaan kita hari ini? Sebuah konflik, sebuah konfrontasi tuntas terhadap paradigma yang sekadar menyempitkan diri pada norma, nilai, atau patriotisme sebatas negara Indonesia.

Tiga Paradigma, Empat Polemik

Kita sempitkan dulu pada polemik sastra dan kebudayaan antara Memo Indonesia (MI), Barisan Taufik Ismail (BTI), dan pernyataan sikap Sastrawan Ode Kampung (SOK). Polemik itu pada dasarnya menyangkut empat hal, yakni paradigma manusia, tujuan sastra dan kebudayaan, standar dan variasi estetika sastra dan kebudayaan, serta sarana aktivitas sastra dan kebudayaan. Memo Indonesia (M Fadjroel Rachman, Hudan Hidayat, Mariana Amiruddin, dan Rocky Gerung) jelas menempatkan paradigma manusia sebagai ukuran, sarana, dan tujuan. Meyakini tak ada ukuran, sarana, dan tujuan yang lain di luar manusia. Mengutip Erich Fromm, Memo Indonesia menempatkan man for him/herself.

Sementara itu, BTI, bila membaca pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang menyebut sastra yang ditulis generasi baru Indonesia sebagai sastra mazhab selangkangan (SMS), gerakan syahwat merdeka (GSM), dan fiksi alat kelamin (FAK) berakar pada paradigma ‘keagamaan konservatif’ untuk membedakannya dengan paradigma ‘keagamaan progresif’. Sementara itu, SOK, menegaskan di Serang, Banten, 20-22 Juli 2007 yang ditandatangani 138 orang (sebenarnya kata Einstein, untuk menggagas dan menggagalkan satu teori atau paradigma cukup satu orang tidak beratus-ratus orang). Tetapi tuntutannya menarik, simak saja menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya, menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika, menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kita. Selain itu, pada baris terakhir, SOK menegaskan solidaritas terhadap musibah kejahatan kapitalisme di seluruh Indonesia. SOK tampak berparadigma eklektik untuk tidak mengatakan saling bertabrakan. SOK dan BTI setuju dengan gagasan BTI, terutama dalam aspek standar dan variasi estetika sastra. Tetapi, BTI tidak pernah secara langsung menyerang komunitas tertentu, seperti Komunitas Utan Kayu (KUK) dan pribadi-pribadi di dalamnya, seperti Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, Ayu Utami. Bahkan jurnal Boemi Poetera secara kasar ‘mengorbankan’ edisi pertama untuk melecehkan secara seksual (apakah itu termasuk kategori eksploitasi seksual juga? Penulis mengatakan ya) dan mengaburkan istilah jurnal sebagai sarana ‘dialog ilmiah dan cerdas’ dengan ‘pamflet kuning’. Prestasi yang tidak mengagumkan. Bila BTI membaca Boemi Poetera, tuduhan GSM, FAK, dan SMS semestinya juga berlaku bagi Boemi Poetera.

Tak ada kebudayaan Indonesia

SOK dan BTI juga belum sepakat mengenai keindonesiaan. Keindonesiaan SOK terasa lebih berdimensi sekuler daripada ‘agama konservatif’-nya BTI apalagi SOK menegaskan sikap ideologis mereka yang bersimpati pada korban kapitalisme dan kapitalisme global di Indonesia. SOK bukanlah paduan homogen sebuah paradigma, bahkan pada titik tertentu setuju dengan Memo Indonesia. Misalnya, MI juga bersikap kritis terhadap dominasi paradigma tertentu maupun kelembagaan tertentu sebab sikap MI adalah membuka ruang demokrasi seluas-luasnya, terutama mendukung pasar besar gagasan, tetapi tanpa penghakiman dan penghukuman individu, kelompok ataupun negara. MI berarti menolak penjajahan dalam bentuk apa pun terhadap gagasan, iman, agama, ideologi, ekspresi seni, dan kebudayaan. Tetapi, MI tidak mau dan tidak pernah mau memuja satu interpretasi tertentu terhadap keindonesiaan. Tidak ada pribadi Indonesia, tak ada kebudayaan Indonesia, manusia yang tinggal di negeri Indonesia adalah pribadi global, kebudayaan global, termasuk kreasi dan ekspresi keseniannya. Lebih jauh lagi, setiap manusia adalah ‘manusia relatif’ dengan ‘kebudayaan relatif’. Yang murni hanya cita-cita totaliter kebudayaan dan pribadi Rusia oleh almarhum Uni Soviet, sedangkan kebudayaan dan pribadi Indonesia oleh Soeharto dan almarhum Orde Baru. Apakah BTI dan SOK mau mengulangi jaman kegelapan kemanusiaan ini? Karena kata Soedjatmoko (Etika Pembebasan, LP3ES, 1984), ‘Pada asasnya seniman harus mempunyai kebebasan untuk menyimpang daripada yang sudah dikenal umum untuk menerobos kepada jalan-jalan dan cara-cara penciptaan baru sebab kebenaran senantiasa harus ditangkap dan ditaklukkan lagi. Kebenaran, seperti binatang jalang, mengelakkan diri dari jalan-jalan yang sudah terkenal. Kesempatan bereksperimen sama pentingnya dengan air untuk menyirami tanaman.

Mari menajamkan polemik

Polemik antara MI, BTI, dan SOK sekarang ini barulah tahapan awal dari ketiga pihak merumuskan tesisnya masing-masing. Elaborasi paradigma, estetika, lembaga, ruang persaingan dan kerja sama, dan lainnya baru menyentuh kulitnya. Tentu akan indah bila ketiganya bisa menghasilkan karya lengkap dan masterpiece yang mewakili kelompok masing-masing. Lebih hebat lagi jika bukan saja hasil karya masing-masing bisa bersaing secara nasional, melainkan juga bersaing secara global mewarnai taman sari sastra, seni, dan kebudayaan global. Jangan sampai ketakutan bersaing, inferioritas, dan ketidakmampuan berkarya dilindungi dengan slogan revolusioner dan parokialisme standar seni dan kebudayaan. Mari bertarung terbuka dalam paradigma, teori, maupun karya. Jangan bermimpi segera membuat sintesis, ataupun menjadi gerombolan eklektik seperti SOK. Jangan cepat-cepat menghakimi dan menghukum secara pribadi dan golongan apalagi mengundang negara (pemerintah) untuk memberangus pemikiran dan kecenderungan ekspresi atau ideologi tertentu. Marilah kita menjaga kebebasan dalam pasar bebas gagasan kita semua beruntung mendapat kompetitor sepadan dan akan memperkaya tesis kelompok –masing-masing. Itulah ruang kebebasan yang ingin dijaga MI dan seharusnya tidak diberangus BTI dan tidak diracuni SOK. Ingatlah, tanpa kebebasan, kita semua tak bisa memilih, tak bisa membuat alternatif dalam eksperimen kreatif, tak perlu bertanggung jawab, bahkan tak perlu bicara surga dan neraka. Salib kemanusiaan adalah kewajiban menjaga kebebasan, selain mempertahankannya sebagai hak bersama. Hanya dengan jalan kebebasan, kita dapat meraih puncak tertinggi kemanusiaan kita. Kita undang Ignazio Silone (The God That Failed, 1959) untuk merayakan kemanusiaan, merayakan kebebasan, dan merayakan polemik yang lebih bermutu dari MI, BTI, dan SOK. Apakah kebebasan itu? …liberty is the possibility of doubting, the possibility of making a mistake, the possibility of searching and experimenting, the possibility of saying ‘no’ to any authority – literary, artistic, philosophic, religious, social, and even political.

Bukankah kita rindu pada kemungkinan untuk meragukan segala otoritas apa pun. Lalu, memajukan kemanusiaan dengan belajar dari kesalahan. Adalah salah untuk mengeksploitasi, menindas, mendominasi, dan menghina manusia di manapun, di level kampung, nasional, maupun global atas nama apa pun, termasuk lembaga dan komunitas tertentu. Mari berpolemik secara cerdas, etis, ilmiah, dan meninggikan kemanusiaan kita bersama. Karena, kata Sutardji Calzoum Bachri, “Luka padamu, berdarah padaku. Ketulusan menerima perbedaan apa pun dari Chairil Anwar, “Semua harus dicatat, harus dapat tempat.

*) Esais, penyair, novelis, dan penggagas Memo Indonesia.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/07/membela-manusia-dan-merayakan-kebebasan.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati