Kamis, 19 Mei 2011

Menguak Luka dalam Satu Hari Bukan di Hari Minggu

Dessy Wahyuni *
Riau Pos, 14 Mei 2011

YETTI A. KA menghadirkan realitas keperempuanan dalam empat belas cerpennya yang terkumpul dalam Satu Hari Bukan di Hari Minggu (SHBdHM [Yogyakarta: Gress Publishing, 2011]). Sebagai pengarang perempuan yang berada pada masa kini —yang seringkali berupaya mendobrak budaya patriarki— Yetti hadir dengan sekumpulan cerpennya yang tidak terjebak dalam kehidupan kosmopolitan dan berpesta merayakan tubuh dan seksualitas perempuan.

Kumpulan cerpen ini pernah dibedah di pelataran Kafe Uniang Kamek, Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, 5 Januari 2011. Pembicara dalam bedah buku tersebut adalah Romi Zarman (cerpenis asal Sumatra Barat) dan Elly Delfia (cerpenis dan dosen di Fakultas Sastra Unand). Romi Zarman berpendapat bahwa cerpen-cerpen Yetti A. KA dalam kumpulan cerpen ketiganya ini berkisah tentang kehidupan yang sangat alami. Keberadaan karya Yetti yang sangat alami ini menjadi sebuah arus perlawan terhadap kehadiran para penulis perempuan yang berbincang seputar kehidupan kosmopolitan. Sementara itu, Elly Delfia dalam pemaparannya mengatakan bahwa cerpen-cerpen Yetti A. Ka adalah feminisme dalam rasa lain. Perempuan dalam cerpen Yetti bukan perempuan yang tertindas, melainkan perempuan dengan cara hidup yang sudah bebas, sudah punya pilihan, tetapi pilihan itu diambil karena tekanan ataupun kekecewaan (http://www.padangmedia.com/?mod=berita&id =65619).

Berangkat dari pemaparan Elly Delfia tentang feminisme dalam rasa lain tersebut, dapat dilihat bahwa cerpen-cerpen Yetti ini berusaha menyuarakan kehidupan perempuan dengan segala luka dan kekecewaan, serta pilihan hidup yang tidak tertawar. Perempuan-perempuan dalam (SHBdHM) tidak berusaha keras untuk keluar dari luka yang menganga tersebut. Bahkan sebagian perempuan di dalamnya seolah-olah menikmati perihnya luka itu. Hal inilah yang barangkali disebut Elly Delfia sebagai feminisme dalam rasa lain.

Feminisme sudah tidak asing lagi di telinga kita. Feminisme merupakan gerakan yang diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi keperempuanan. R.A. Kartini menyebutnya dengan emansipasi. Gerakan Feminisme lahir dari sebuah ide yang di antaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan.

Pada awalnya feminisme bangkit untuk membela para wanita dari ketertindasan serta menuntut penyerataan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang. Tapi kemudian feminisme yang semula lahir sebagai gerakan yang seharusnya dapat meningkatkan harga diri wanita yang ingin dinilai sesuai dengan potensinya sebagai manusia tanpa harus memandang gender mulai disalahartikan. Banyak wanita yang menjadi korban salah kaprah ini. Feminisme yang terlahir sebagai cita-cita mulia para wanita pendahulu berubah menjadi kemerosotan harga diri seorang wanita. Ironisnya, wanita tersebut tidak menyadari bahwa ia telah menjatuhkan harga dirinya sendiri.

Berkaitan dengan uraian tersebut, cerpen-cerpen dalam SHBdHM menarik untuk dibaca melalui perspektif feminisme. Perspektif feminisme pada dasarnya berfokus pada keberadaan dan masalah gender perempuan dalam karya sastra dari sudut pandang perempuan. Perspektif feminisme dibutuhkan untuk mengentalkan pengalaman-pengalaman spesifik yang dialami tokoh-tokoh perempuan dalam kumpulan cerpen tersebut. Perspektif feminisme memberi tekanan pada posisi dan persepsi perempuan yang akan bisa membuka tabir tentang aktivitas atau kehidupan perempuan yang selama ini terbungkam.

Terdapat empat belas judul cerpen yang terangkum di sini, yaitu “Kisah Bambu”, “Re Hati (Kisah Bambu II)”, “Bunga Meranti (Kisah Bambu III )”, “Pelabuhan”, “Suatu Hari Bukan di Hari Minggu”, “Hujan, Pulanglah”, “Gadis Pemetik Jamur”, “Perempuan Bunga Kertas”, “Perempuan dan Mata yang Menatap”, “Lampu Taman”, “Seseorang yang Menyimpan Rahasia di sepasang Bola Mata”, “Kosong”, “Cerita Daun”, dan “Dalam Kabut, Aku”. Keempat belas cerpen ini masing-masing mengisahkan tokoh perempuan yang menyimpan luka namun memiliki kebebasan untuk memilih hidupnya, tanpa ada paksaan. Dengan bahasa yang indah dan putis, Yetti dalam kumpulan cerpennya ini tidak hadir untuk menantang budaya patriarki. Ia hanya mencoba memutar ke hadapan pembaca tentang realita kehidupan wanita, kehidupan yang lebih banyak pahitnya dibanding manisnya, kehidupan yang kerap menghadirkan luka yang berkepanjangan, namun harus dijalani meski tanpa paksaan, sebaik atau seburuk apapun itu. Seperti yang diutarakan oleh Falantino, seorang pengajar di salah satu perguruan tinggi di Ambon, dalam komentarnya tentang SHBdHM.

Kisah tentang keluarga, perempuan, rumah dan cinta ini terjalin dengan bahasa yang indah, penuh keintiman…. Membaca kumcer ini membuat saya semakin merasa pasti bahwa sebuah rumah, sebaik atau seburuknya, tetaplah tempat untuk pulang. Kumcer ini seharusnya semakin mengukuhkan Yetti sebagai penulis perempuan Indonesia yang karyanya patut dinanti. Salut! (SHBdHM, 2011).

Cerpen “Kisah Bambu” misalnya, menghadirkan tokoh “Aku” sebagai seorang perempuan yang terluka akibat kehilangan ayah dan ibunya. Saat perampokan dan pembunuhan terjadi di rumahnya, ia hanya bisa menyaksikan tubuh yang berdarah-darah. Selain itu, adiknya (Ikatri) juga kehilangan harga diri sebab diperkosa oleh para perampok. Sejak saat itu “Aku” hidup tanpa keluarga. Untuk itu ia memilih hidup untuk mempermainkan lelaki, memberi ruang untuk cinta dan kebencian sekaligus.

Berbeda dengan cerpen “Re Hati (Kisah Bambu II)”, Yetti menyuguhkan seorang tokoh perempuan yang terluka akibat ibu serta saudara-saudaranya tidak pernah menyukainya. Tanpa diketahui sebabnya, tokoh “Aku” yang menjadi perempuan yang terluka di sini mencoba untuk berontak dengan memasukkan teman lelakinya (yang dia sendiri lupa namanya) ke dalam kamar ketika berusia lima belas tahun. “Aku” seperti menemukan kebahagiaan tersendiri tatkala ibunya sangat marah, namun ia sesungguhnya juga merasa sedih. “Aku” tidak berniat sama sekali menjadi perempuan sopan kebanggaan keluarga, perempuan yang menurut pada aturan-aturan yang ada. Kemudian ia memilih hidup menjadi wanita (istri) kedua bagi seorang lelaki. Anak (Re Hati) hasil hubungan mereka pun direnggut paksa oleh si ibu dan dihasut untuk membenci ibunya sendiri yaitu “Aku”. Serupa dengan “Re Hati (Kisah Bambu II)”, cerpen “Bunga Meranti (Kisah Bambu III)” juga menghadirkan sosok perempuan bernama Meranti yang terluka akibat ibunya tidak pernah bersikap manis padanya. Sikap yang kontras ditunjukkan si ibu pada adiknya, Bunga, yang selalu dimanja. Pada cerpen ini, Meranti selalu bersikap manis pada Bunga dengan harapan ibunya pun akan menyayanginya, namun sia-sia. Meranti akhirnya memilih hidup membesarkan anak Bunga —karena Bunga meninggal saat melahirkan— hasil hubungannya dengan paman mereka atas permintaan Bunga sendiri.

Luka lain yang disuguhkan Yetti pada pembaca terdapat dalam cerpen “Pelabuhan”. Luka di sini dialami oleh seorang istri bernama Nial. Ia dikhianati Tami, suaminya yang meninggalkannya bersama anak-anak di pelabuhan saat mereka berniat meninggalkan Jakarta untuk kembali ke kampung halamannya. Saat mereka tiba di pelabuhan, Tami menyuruh istri dan anak-anaknya menunggunya di sebuah warung nasi sementara ia pergi mencari tiket. Namun Tami tidak pernah kembali. Nial berusaha mengingat-ingat penyebab suaminya meninggalkan mereka. Tami ternyata tidak pernah sungguh-sungguh ingin melupakan sejumlah perempuan dalam hidupnya dan itu kerap diutarakannya pada Nial melalui celetukan kecil di atas ranjang. Nial pun akhirnya tetap menyimpan luka menganga yang berkepanjangan dalam kehidupannya.

Wiwi, tokoh perempuan dalam “Suatu Hari Bukan di Hari Minggu” mengalami luka yang berbeda pula dengan tokoh perempuan lainnya. Gadis miskin anak seorang babu cuci ini sangat terluka saat menyaksikan pengkhianatan dan kegilaan ibunya yang berselingkuh dengan perempuan manis pemilik rumah tempat ia bekerja sebagai babu cuci. Meskipun Wiwi telah berjanji untuk menghindari rumah besar itu dan melupakan semua yang pernah ada di sana, ia tetap tidak bisa melupakan kejadian tersebut. Ia selalu teringat semua kejadian itu tiap melewati rumah besar itu.

Luka sederhana namun tetap mengiris hati dialami oleh Runi, sosok wanita dalam cerpen “Hujan, Pulanglah”. Luka ini merupakan rindu yang tak tertahankan karena ia harus berpisah untuk beberapa saat dengan suaminya. Seumur hidupnya baru kali ini ia berjauhan dengan suaminya, sebab ia harus ke Bengkulu melihat cucu-cucunya atas permintaan anaknya.

Lolanda adalah seorang gadis pemetik jamur dalam cerpen “Gadis Pemetik Jamur”. Ia mengalami luka akibat bibinya mengambil alih posisi ibunya dengan menggantikan tempat ibu yang harus pergi karena sakit yang merenggutnya. Padahal ini adalah permintaan ibunya sendiri sebelum pergi. Ia terluka akibat takut kehilangan ayahnya, sebab menurutnya hanya dirinyalah yang mampu menggantikan posisi ibunya tersebut. Untuk itu, Lolanda memilih hidup dalam kepalsuan dengan berpura-pura menjadi gadis periang, lincah, dan manis. Padahal di balik itu ia mempunyai rencana-rencana busuk untuk menyingkirkan bibi dari ayahnya.
Cerpen lain yang terdapat dalam SHBdHM ini adalah “Perempuan Bunga Kertas”. Dalam cerpen ini terdapat seorang perempuan yang hidup dalam kepalsuan untuk menyembunyikan dirinya setelah terjadi sebuah tragedi.

Perempuan Bunga Kertas. Panggil saja demikian. Meskipun, tentu saja, itu bukan nama sebenarnya. Segala sesuatu dalam diri dia memang hampir sepenuhnya palsu setelah suatu tragedi merebut seluruh hidupnya. Dalam kepalsuan itulah dia menyembunyikan diri dalam kotak teka-teki. Kepalsuan yang justru dinilai oleh banyak perempuan, sungguh genit dan menjijikkan. Sebaliknya, bagi banyak lelaki kepalsuan itu serupa rimba gelap yang tengah menanti untuk ditualangi (SHBdHM, 2011:72).

Luka yang dialami Perempuan Bunga Kertas ini berawal dari kurangnya kasih sayang seorang ibu. Ibunya tidak pernah punya waktu dan keinginan untuk mendengarkan cerita apapun dari anaknya. Sedangkan gadis itu memiliki segudang cerita dan membutuhkan seorang teman untuk berbagi. Pada saat itulah seorang lelaki yang disukainya, bekas teman sekolahnya, mengajak si gadis berkencan. Ia terjebak permainan cinta. Sehabis berkencan, lelaki itu pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Untuk itu Perempuan Bunga Kertas pun harus mendapat hukuman dari ibunya, dikurung di kamar hukuman. Tiba-tiba terjadi kebakaran, ibunya meninggal dan ia hidup (karena diselamatkan oleh ibunya), tapi dengan cacat di wajah dan sebagian tubuhnya yang dibawa seumur hidupnya. Akhirnya ia memilih hidup terdampar dari satu ruas jalan ke ruas jalan lainnya, dari satu keramaian ke keramaian lain, bahkan dari satu lelaki ke lelaki lain dengan kedua bola matanya yang pecah.

Yetti berusaha mendobrak budaya patriarki dalam cerpennya yang berjudul “Perempuan dan Mata yang Menatap”. Dalam cerpen ini tokoh Nuna adalah seorang perempuan yang rendah hati dan tidak pernah membenci laki-laki.

Ia perempuan rendah hati, dan tidak pernah membenci laki-laki. Tapi orang-orang menatapnya dengan mata penuh sindiran, seolah ia telah melukai dada seluruh laki-laki seisi dunia; termasuk ayah, paman, tetangga-tetangga berkelamin laki-laki, suami atau bahkan ponakan-ponakannya yang sering bertandang ke rumah beberapa hari atau sampai hitungan minggu (SHBdHM, 2011:81).

Hal ini terjadi sebab Nuna dianggap tidak menghargai kehidupan. Padahal ia hanya seorang perempuan yang tidak ingin berada di tempat paling belakang, yaitu sumur dan dapur. Pemberontakan yang dilakukan Nuna ternyata selalu menghantuinya. Ia serasa dikejar-kejar oleh berpasang-pasang mata sebab Nuna dianggap telah membunuh harga diri laki-laki.

Cerita tentang seorang perempuan kesepian terdapat pada cerpen “Lampu Taman”. Hara, nama perempuan kesepian itu, sejak lama telah memilih hidup sendiri. Yetti mencipta Hara sebagai perempuan yang haus akan kasih sayang seorang ayah, membutuhkan perlindungan dari seorang ayah, serta rindu kelakar dan canda tawa dari seorang ayah. Ayahnya telah meninggalkan ia dan ibunya sejak ia dilahirkan ke dunia, bahkan ayahnya hanya sempat membisikkan nama untuknya di telinga ibunya sebelum ia menghilang untuk selamanya. Ia dituduh PKI dan dimasukkan ke dalam tahanan. Namun kemudian dilepaskan berkat pertolongan seorang teman. Tapi ia tidak berani kembali dan memilih pergi ke Bengkulu, kemudian ke pulau Jawa. Ia lalu menikah lagi dengan perempuan Sunda dan memiliki seorang anak laki-laki lima tahun lebih muda dari Hara.

Hara terluka karena ayahnya tidak ada saat ia sangat membutuhkannya, di mana ia sudah tidak bisa lagi menangis bila berhadapan dengan anak-anak yang selalu mengejeknya anak PKI. Akhirnya Hara tumbuh menjadi perempuan yang begitu penakut sepanjang hidupnya. Ia merasa terancam setiap saat. Sementara sosok ibu terlihat tegar meskipun sebenarnya ia sangat terluka, sebab suaminya telah mengkhianatinya dengan menikahi wanita lain dan menyaksikan anaknya yang tumbuh dengan memendam perasaan rindu bersama ayah.

SHBdHM mengusung kehidupan perempuan dengan segala luka yang tak berkesudahan. Hal ini suatu kehidupan yang sebenarnya tidak mudah untuk diarungi. SHBdHM ini terlepas dari kehidupan kosmopolitan yang biasanya sangat mempengaruhi penulis perempuan saat ini. Yetti berusaha memotret masalah-masalah yang kerap terabaikan oleh hiruk-pikuk kehidupan kota. Perempuan-perempuan dalam kumpulan cerpen ini sesungguhnya merasa terikat oleh budaya patriarki, namun dengan segala kebebasan yang mereka miliki, mereka tetap memilih menjadi perempuan dalam lingkaran patriarki tersebut, meskipun dengan membawa luka yang tiada pernah usai. Luka bisa sembuh jika diobati, tapi tetap berbekas. Betapa jeleknya suatu bekas. Warna hitam, cokelat, atau kemerahan yang mengganggu. Umumnya perempuan benci bekas luka. Secara pasti dapat mengurangi kecantikan, membuat seseorang tidak percaya diri (SHBdHM, 2011:98).***

*) Staf peneliti pada Balai Bahasa Riau. Menulis esai dan cerpen di beberapa media. Tinggal di Pekanbaru.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/05/menguak-luka-dalam-satu-hari-bukan-di.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati