Dessy Wahyuni *
Riau Pos, 14 Mei 2011
YETTI A. KA menghadirkan realitas keperempuanan dalam empat belas cerpennya yang terkumpul dalam Satu Hari Bukan di Hari Minggu (SHBdHM [Yogyakarta: Gress Publishing, 2011]). Sebagai pengarang perempuan yang berada pada masa kini —yang seringkali berupaya mendobrak budaya patriarki— Yetti hadir dengan sekumpulan cerpennya yang tidak terjebak dalam kehidupan kosmopolitan dan berpesta merayakan tubuh dan seksualitas perempuan.
Kumpulan cerpen ini pernah dibedah di pelataran Kafe Uniang Kamek, Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, 5 Januari 2011. Pembicara dalam bedah buku tersebut adalah Romi Zarman (cerpenis asal Sumatra Barat) dan Elly Delfia (cerpenis dan dosen di Fakultas Sastra Unand). Romi Zarman berpendapat bahwa cerpen-cerpen Yetti A. KA dalam kumpulan cerpen ketiganya ini berkisah tentang kehidupan yang sangat alami. Keberadaan karya Yetti yang sangat alami ini menjadi sebuah arus perlawan terhadap kehadiran para penulis perempuan yang berbincang seputar kehidupan kosmopolitan. Sementara itu, Elly Delfia dalam pemaparannya mengatakan bahwa cerpen-cerpen Yetti A. Ka adalah feminisme dalam rasa lain. Perempuan dalam cerpen Yetti bukan perempuan yang tertindas, melainkan perempuan dengan cara hidup yang sudah bebas, sudah punya pilihan, tetapi pilihan itu diambil karena tekanan ataupun kekecewaan (http://www.padangmedia.com/?mod=berita&id =65619).
Berangkat dari pemaparan Elly Delfia tentang feminisme dalam rasa lain tersebut, dapat dilihat bahwa cerpen-cerpen Yetti ini berusaha menyuarakan kehidupan perempuan dengan segala luka dan kekecewaan, serta pilihan hidup yang tidak tertawar. Perempuan-perempuan dalam (SHBdHM) tidak berusaha keras untuk keluar dari luka yang menganga tersebut. Bahkan sebagian perempuan di dalamnya seolah-olah menikmati perihnya luka itu. Hal inilah yang barangkali disebut Elly Delfia sebagai feminisme dalam rasa lain.
Feminisme sudah tidak asing lagi di telinga kita. Feminisme merupakan gerakan yang diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi keperempuanan. R.A. Kartini menyebutnya dengan emansipasi. Gerakan Feminisme lahir dari sebuah ide yang di antaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan.
Pada awalnya feminisme bangkit untuk membela para wanita dari ketertindasan serta menuntut penyerataan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang. Tapi kemudian feminisme yang semula lahir sebagai gerakan yang seharusnya dapat meningkatkan harga diri wanita yang ingin dinilai sesuai dengan potensinya sebagai manusia tanpa harus memandang gender mulai disalahartikan. Banyak wanita yang menjadi korban salah kaprah ini. Feminisme yang terlahir sebagai cita-cita mulia para wanita pendahulu berubah menjadi kemerosotan harga diri seorang wanita. Ironisnya, wanita tersebut tidak menyadari bahwa ia telah menjatuhkan harga dirinya sendiri.
Berkaitan dengan uraian tersebut, cerpen-cerpen dalam SHBdHM menarik untuk dibaca melalui perspektif feminisme. Perspektif feminisme pada dasarnya berfokus pada keberadaan dan masalah gender perempuan dalam karya sastra dari sudut pandang perempuan. Perspektif feminisme dibutuhkan untuk mengentalkan pengalaman-pengalaman spesifik yang dialami tokoh-tokoh perempuan dalam kumpulan cerpen tersebut. Perspektif feminisme memberi tekanan pada posisi dan persepsi perempuan yang akan bisa membuka tabir tentang aktivitas atau kehidupan perempuan yang selama ini terbungkam.
Terdapat empat belas judul cerpen yang terangkum di sini, yaitu “Kisah Bambu”, “Re Hati (Kisah Bambu II)”, “Bunga Meranti (Kisah Bambu III )”, “Pelabuhan”, “Suatu Hari Bukan di Hari Minggu”, “Hujan, Pulanglah”, “Gadis Pemetik Jamur”, “Perempuan Bunga Kertas”, “Perempuan dan Mata yang Menatap”, “Lampu Taman”, “Seseorang yang Menyimpan Rahasia di sepasang Bola Mata”, “Kosong”, “Cerita Daun”, dan “Dalam Kabut, Aku”. Keempat belas cerpen ini masing-masing mengisahkan tokoh perempuan yang menyimpan luka namun memiliki kebebasan untuk memilih hidupnya, tanpa ada paksaan. Dengan bahasa yang indah dan putis, Yetti dalam kumpulan cerpennya ini tidak hadir untuk menantang budaya patriarki. Ia hanya mencoba memutar ke hadapan pembaca tentang realita kehidupan wanita, kehidupan yang lebih banyak pahitnya dibanding manisnya, kehidupan yang kerap menghadirkan luka yang berkepanjangan, namun harus dijalani meski tanpa paksaan, sebaik atau seburuk apapun itu. Seperti yang diutarakan oleh Falantino, seorang pengajar di salah satu perguruan tinggi di Ambon, dalam komentarnya tentang SHBdHM.
Kisah tentang keluarga, perempuan, rumah dan cinta ini terjalin dengan bahasa yang indah, penuh keintiman…. Membaca kumcer ini membuat saya semakin merasa pasti bahwa sebuah rumah, sebaik atau seburuknya, tetaplah tempat untuk pulang. Kumcer ini seharusnya semakin mengukuhkan Yetti sebagai penulis perempuan Indonesia yang karyanya patut dinanti. Salut! (SHBdHM, 2011).
Cerpen “Kisah Bambu” misalnya, menghadirkan tokoh “Aku” sebagai seorang perempuan yang terluka akibat kehilangan ayah dan ibunya. Saat perampokan dan pembunuhan terjadi di rumahnya, ia hanya bisa menyaksikan tubuh yang berdarah-darah. Selain itu, adiknya (Ikatri) juga kehilangan harga diri sebab diperkosa oleh para perampok. Sejak saat itu “Aku” hidup tanpa keluarga. Untuk itu ia memilih hidup untuk mempermainkan lelaki, memberi ruang untuk cinta dan kebencian sekaligus.
Berbeda dengan cerpen “Re Hati (Kisah Bambu II)”, Yetti menyuguhkan seorang tokoh perempuan yang terluka akibat ibu serta saudara-saudaranya tidak pernah menyukainya. Tanpa diketahui sebabnya, tokoh “Aku” yang menjadi perempuan yang terluka di sini mencoba untuk berontak dengan memasukkan teman lelakinya (yang dia sendiri lupa namanya) ke dalam kamar ketika berusia lima belas tahun. “Aku” seperti menemukan kebahagiaan tersendiri tatkala ibunya sangat marah, namun ia sesungguhnya juga merasa sedih. “Aku” tidak berniat sama sekali menjadi perempuan sopan kebanggaan keluarga, perempuan yang menurut pada aturan-aturan yang ada. Kemudian ia memilih hidup menjadi wanita (istri) kedua bagi seorang lelaki. Anak (Re Hati) hasil hubungan mereka pun direnggut paksa oleh si ibu dan dihasut untuk membenci ibunya sendiri yaitu “Aku”. Serupa dengan “Re Hati (Kisah Bambu II)”, cerpen “Bunga Meranti (Kisah Bambu III)” juga menghadirkan sosok perempuan bernama Meranti yang terluka akibat ibunya tidak pernah bersikap manis padanya. Sikap yang kontras ditunjukkan si ibu pada adiknya, Bunga, yang selalu dimanja. Pada cerpen ini, Meranti selalu bersikap manis pada Bunga dengan harapan ibunya pun akan menyayanginya, namun sia-sia. Meranti akhirnya memilih hidup membesarkan anak Bunga —karena Bunga meninggal saat melahirkan— hasil hubungannya dengan paman mereka atas permintaan Bunga sendiri.
Luka lain yang disuguhkan Yetti pada pembaca terdapat dalam cerpen “Pelabuhan”. Luka di sini dialami oleh seorang istri bernama Nial. Ia dikhianati Tami, suaminya yang meninggalkannya bersama anak-anak di pelabuhan saat mereka berniat meninggalkan Jakarta untuk kembali ke kampung halamannya. Saat mereka tiba di pelabuhan, Tami menyuruh istri dan anak-anaknya menunggunya di sebuah warung nasi sementara ia pergi mencari tiket. Namun Tami tidak pernah kembali. Nial berusaha mengingat-ingat penyebab suaminya meninggalkan mereka. Tami ternyata tidak pernah sungguh-sungguh ingin melupakan sejumlah perempuan dalam hidupnya dan itu kerap diutarakannya pada Nial melalui celetukan kecil di atas ranjang. Nial pun akhirnya tetap menyimpan luka menganga yang berkepanjangan dalam kehidupannya.
Wiwi, tokoh perempuan dalam “Suatu Hari Bukan di Hari Minggu” mengalami luka yang berbeda pula dengan tokoh perempuan lainnya. Gadis miskin anak seorang babu cuci ini sangat terluka saat menyaksikan pengkhianatan dan kegilaan ibunya yang berselingkuh dengan perempuan manis pemilik rumah tempat ia bekerja sebagai babu cuci. Meskipun Wiwi telah berjanji untuk menghindari rumah besar itu dan melupakan semua yang pernah ada di sana, ia tetap tidak bisa melupakan kejadian tersebut. Ia selalu teringat semua kejadian itu tiap melewati rumah besar itu.
Luka sederhana namun tetap mengiris hati dialami oleh Runi, sosok wanita dalam cerpen “Hujan, Pulanglah”. Luka ini merupakan rindu yang tak tertahankan karena ia harus berpisah untuk beberapa saat dengan suaminya. Seumur hidupnya baru kali ini ia berjauhan dengan suaminya, sebab ia harus ke Bengkulu melihat cucu-cucunya atas permintaan anaknya.
Lolanda adalah seorang gadis pemetik jamur dalam cerpen “Gadis Pemetik Jamur”. Ia mengalami luka akibat bibinya mengambil alih posisi ibunya dengan menggantikan tempat ibu yang harus pergi karena sakit yang merenggutnya. Padahal ini adalah permintaan ibunya sendiri sebelum pergi. Ia terluka akibat takut kehilangan ayahnya, sebab menurutnya hanya dirinyalah yang mampu menggantikan posisi ibunya tersebut. Untuk itu, Lolanda memilih hidup dalam kepalsuan dengan berpura-pura menjadi gadis periang, lincah, dan manis. Padahal di balik itu ia mempunyai rencana-rencana busuk untuk menyingkirkan bibi dari ayahnya.
Cerpen lain yang terdapat dalam SHBdHM ini adalah “Perempuan Bunga Kertas”. Dalam cerpen ini terdapat seorang perempuan yang hidup dalam kepalsuan untuk menyembunyikan dirinya setelah terjadi sebuah tragedi.
Perempuan Bunga Kertas. Panggil saja demikian. Meskipun, tentu saja, itu bukan nama sebenarnya. Segala sesuatu dalam diri dia memang hampir sepenuhnya palsu setelah suatu tragedi merebut seluruh hidupnya. Dalam kepalsuan itulah dia menyembunyikan diri dalam kotak teka-teki. Kepalsuan yang justru dinilai oleh banyak perempuan, sungguh genit dan menjijikkan. Sebaliknya, bagi banyak lelaki kepalsuan itu serupa rimba gelap yang tengah menanti untuk ditualangi (SHBdHM, 2011:72).
Luka yang dialami Perempuan Bunga Kertas ini berawal dari kurangnya kasih sayang seorang ibu. Ibunya tidak pernah punya waktu dan keinginan untuk mendengarkan cerita apapun dari anaknya. Sedangkan gadis itu memiliki segudang cerita dan membutuhkan seorang teman untuk berbagi. Pada saat itulah seorang lelaki yang disukainya, bekas teman sekolahnya, mengajak si gadis berkencan. Ia terjebak permainan cinta. Sehabis berkencan, lelaki itu pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Untuk itu Perempuan Bunga Kertas pun harus mendapat hukuman dari ibunya, dikurung di kamar hukuman. Tiba-tiba terjadi kebakaran, ibunya meninggal dan ia hidup (karena diselamatkan oleh ibunya), tapi dengan cacat di wajah dan sebagian tubuhnya yang dibawa seumur hidupnya. Akhirnya ia memilih hidup terdampar dari satu ruas jalan ke ruas jalan lainnya, dari satu keramaian ke keramaian lain, bahkan dari satu lelaki ke lelaki lain dengan kedua bola matanya yang pecah.
Yetti berusaha mendobrak budaya patriarki dalam cerpennya yang berjudul “Perempuan dan Mata yang Menatap”. Dalam cerpen ini tokoh Nuna adalah seorang perempuan yang rendah hati dan tidak pernah membenci laki-laki.
Ia perempuan rendah hati, dan tidak pernah membenci laki-laki. Tapi orang-orang menatapnya dengan mata penuh sindiran, seolah ia telah melukai dada seluruh laki-laki seisi dunia; termasuk ayah, paman, tetangga-tetangga berkelamin laki-laki, suami atau bahkan ponakan-ponakannya yang sering bertandang ke rumah beberapa hari atau sampai hitungan minggu (SHBdHM, 2011:81).
Hal ini terjadi sebab Nuna dianggap tidak menghargai kehidupan. Padahal ia hanya seorang perempuan yang tidak ingin berada di tempat paling belakang, yaitu sumur dan dapur. Pemberontakan yang dilakukan Nuna ternyata selalu menghantuinya. Ia serasa dikejar-kejar oleh berpasang-pasang mata sebab Nuna dianggap telah membunuh harga diri laki-laki.
Cerita tentang seorang perempuan kesepian terdapat pada cerpen “Lampu Taman”. Hara, nama perempuan kesepian itu, sejak lama telah memilih hidup sendiri. Yetti mencipta Hara sebagai perempuan yang haus akan kasih sayang seorang ayah, membutuhkan perlindungan dari seorang ayah, serta rindu kelakar dan canda tawa dari seorang ayah. Ayahnya telah meninggalkan ia dan ibunya sejak ia dilahirkan ke dunia, bahkan ayahnya hanya sempat membisikkan nama untuknya di telinga ibunya sebelum ia menghilang untuk selamanya. Ia dituduh PKI dan dimasukkan ke dalam tahanan. Namun kemudian dilepaskan berkat pertolongan seorang teman. Tapi ia tidak berani kembali dan memilih pergi ke Bengkulu, kemudian ke pulau Jawa. Ia lalu menikah lagi dengan perempuan Sunda dan memiliki seorang anak laki-laki lima tahun lebih muda dari Hara.
Hara terluka karena ayahnya tidak ada saat ia sangat membutuhkannya, di mana ia sudah tidak bisa lagi menangis bila berhadapan dengan anak-anak yang selalu mengejeknya anak PKI. Akhirnya Hara tumbuh menjadi perempuan yang begitu penakut sepanjang hidupnya. Ia merasa terancam setiap saat. Sementara sosok ibu terlihat tegar meskipun sebenarnya ia sangat terluka, sebab suaminya telah mengkhianatinya dengan menikahi wanita lain dan menyaksikan anaknya yang tumbuh dengan memendam perasaan rindu bersama ayah.
SHBdHM mengusung kehidupan perempuan dengan segala luka yang tak berkesudahan. Hal ini suatu kehidupan yang sebenarnya tidak mudah untuk diarungi. SHBdHM ini terlepas dari kehidupan kosmopolitan yang biasanya sangat mempengaruhi penulis perempuan saat ini. Yetti berusaha memotret masalah-masalah yang kerap terabaikan oleh hiruk-pikuk kehidupan kota. Perempuan-perempuan dalam kumpulan cerpen ini sesungguhnya merasa terikat oleh budaya patriarki, namun dengan segala kebebasan yang mereka miliki, mereka tetap memilih menjadi perempuan dalam lingkaran patriarki tersebut, meskipun dengan membawa luka yang tiada pernah usai. Luka bisa sembuh jika diobati, tapi tetap berbekas. Betapa jeleknya suatu bekas. Warna hitam, cokelat, atau kemerahan yang mengganggu. Umumnya perempuan benci bekas luka. Secara pasti dapat mengurangi kecantikan, membuat seseorang tidak percaya diri (SHBdHM, 2011:98).***
*) Staf peneliti pada Balai Bahasa Riau. Menulis esai dan cerpen di beberapa media. Tinggal di Pekanbaru.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/05/menguak-luka-dalam-satu-hari-bukan-di.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar