Raudal Tanjung Banua
http://www.harianhaluan.com/
Chairil Anwar, seorang penyair yang mati muda, tapi toh menyandang prediket yang amat prestesius: Sang Pelopor. Setidaknya, ini sedikit mengobati klangenan kita akan sosok dan pokok yang lahir dan dibesarkan oleh proses kreatifnya sendiri, bukan dari ranah politik yang lebih mengandalkan intuisi dan publisitas ala selebritis sebagaimana terlihat dalam kecenderungan kehidupan berbangsa kita saat ini. Sementara sosok dan pokok dari ranah budaya, seperti HB Jassin, Mochtar Lubis atau Pramoedya Ananta Toer, di samping tentu Chairil, lenyap seiring lenyapnya tradisi pemikiran kreatif-alternatif dalam ranah politik dan keagamaan seperti pernah ditunjukkan sosok Sok Hok Gie dan Ahmad Wahib, yang sebagaimana Chairil, keduanya juga mati muda.
Dalam usianya yang singkat (lahir di Medan, 26 Juli 1922, meninggal di Jakarta, 28 April 1949—27 tahun) dan usia kepenyairan yang jauh lebih singkat (sajak pertama, “Nisan”, 1942, sajak terakhir “Aku Berada Kembali”, 1949—7 tahun), kepeloporan Chairil yang lazim disebut untuk Angkatan ’45, sebenarnya mampu menembus sekat setiap angkatan, bahkan sampai hari ini.
Lebih lima puluh tahun silam dengan rendah hati ia berkata,”Aku berkisar di antara mereka,” maka sekarang dengan hati terbuka kitalah yang berkisar di antara sosok dan pokok Chairil. Ini menunjukkan bahwa kepeloporannya memiliki derajat signifikansi yang tinggi. Tidak saja secara estetis (diksi, gaya bahasa dan tema sajak-sajaknya), melainkan juga secara biografis (pandangan hidup, gagasan dan orientasi budaya). Pada yang terakhir ini, sering muncul situasi di mana sosok biografis menjadi dominan ketimbang unsur estetis, sehingga terkadang memunculkan momen-momen krusial, dan dalam beberapa hal kontraproduktif.
Kita ingat misalnya, bagaimana isu seputar kehidupan Chairil yang bohemian, kurang ajar, pencuri buku dan pengidap sipilis pula, menjadi eksemplar paling ramai dalam pembicaraan ketimbang sesuatu yang afdol menyangkut karya-karyanya. Itu pun dengan pembicaraan yang nostalgis. Jarang sekali yang melihat kehidupan Chairil sebagai cerminan masyarakat kita saat itu. Yakni, masyarakat yang hidup di awal kemerdekaan, mencoba mencari orientasi baru, bermain-main menggoda aturan baku-konvensional—setelah begitu lama dikerangkeng para feodal dan kolonial—ke arah kemandirian.
Tidak pula ada yang melihat semangat perlawanan Chairil Anwar terhadap semangat sastrawan menara gading, sebagaimana pujangga di istana raja-raja yang memang normatif, tapi dengan menyerahkan kebebasannya pada aturan istana. Atau sastrawan Balai Pustaka yang terkesan kompromistis dengan penerbit kolonial yang mencuatkan isu adat dan kawin paksa di tengah kerasnya kolaborasi feodalisme-kolonialisme.
Sikap bebasnya itu jarang pula terbaca sebagai upaya Chairil menjaga puisi agar menjadi genre yang bebas, merdeka dan mandiri, disaat kentalnya tradisi kesenian istana yang dilakukan Soekarno seperti diterima penari istana atau pelukis istana. Kebohemianan Chairil adalah “keimanan” terhadap jalan puisi sebagai the other, dunia lain, meski kesempatan seperti Dullah misalnya sangat terbuka, karena toh ia cukup dekat dengan Soekarno maupun Sjahrir yang notabene pamannya. Kalau sekarang puisi tetap terjaga sebagai “dunia sunyi”, tidak seheboh genre seni lain seperti musik dan film, tidak pula sematerial lukisan, saya kira ini buah tidak langsung dari keimanan Chairil.
Meski jalan yang ditempuh Chairil bukannya tanpa resiko. Beban kepeloporan mengakibatkan puisi dan biografi bersaing ketat untuk tampil, dalam bahasa Chairil, “menekan mendesak sampai ke puncak.” Akibatnya, sosok Chairil pun ditarik ke sana kemari, dari ruang domestik ke ruang publik, dari kehidupan romantik ke politik. Ini tak ubahnya pewacanaan sosok perempuan dalam ranah feminisme sekarang yang memunculkan sisi romantik dan inspiratif, sekaligus mempertentangkan yang tradisi dan modern. Ya, sosok Chairil analog dengan sosok dan wacana perempuan di tanah air; enak diperbincangkan, kadang kontroversial, tapi sekaligus tereksploitasi.
Salah satu peristiwa yang menempatkan sosok Chairil dalam nuansa politik yang kental adalah penolakkan tanggal kematian Chairil sebagai Hari Sastra. Mengatasnamakan sajaknya yang dianggap kontrarevolusioner, pihak Lekra misalnya menggugurkan hari kematian Chairil sebagai Hari Sastra yang sebelumnya diusung pihak Manifes. Itu karena mereka melihat dari persfektif antara yang politik dan apolitik. Sebaliknya, Asrul Sani tampak dengan dingin memisahkan Chairil dari gelanggang politik, misal mewacanakan sajak “Aku” yang kadung dianggap ikon vitalitas Chairil (dalam beberapa hal revolusioner), ditarik pada tataran sekedar romantik, yakni urusan keluarga semata.
Sampai saat ini, berbicara tentang Chairil memang tak dapat dilepaskan dari dua sisi: biografis dan estetis. Inilah yang justru membentuk dua dunia dalam kepeloporan “si Binatang Jalang”, yang pada akhirnya menurunkan dunia binner yang lain. Seperti kasus wacana politik dan apolitik di atas, sebagai buah adukkan yang biografis dan estetis. Begitu pula tubrukan asumsi terhadap sosok Chairil: pendukung revolusi atau antirevolusi. Asumsi ini lahir lantaran di satu sisi orang menganggap puisi dan gaya hidupnya amat romantik-individualistik, tapi sebagian lain menganggap sikap indiviualistiknya cermin hasrat masyarakat luas untuk lebih bebas mengekspresikan diri, tanpa berarti harus kehilangan kolektivitas. Bukankah ini juga tercermin dari dua jenis sajak Chairil, antara “sajak kamar” dan “sajak mimbar”?
Sisi Estetis Kepeloporan
Bicara kepeloporan Chairil dalam hal estetis, pertama harus dikatakan, ia pelopor yang inklusif. Artinya, pencapaian-pencapaian estetik Chairil bisa dimasuki orang lain untuk menghasilkan variasi atau kemungkinan lain atau bahkan “penyimpangan”. Ini berkebalikkan dengan mereka yang menurut saya berhasil sebagai pelopor ekslusif, sebagaimana Sutardji Calzoum Bachri atau Afrizal Malna.
Konsepsi puitik Sutardji yang dikenal dengan “Kredo Puisi” (1973) yang “membebaskan kata dari beban pengertian”, disertai bentuk sajak mantra yang dikembangkannya, terlalu ekslusif untuk dimasuki kreator lain, bahkan mungkin bagi apresiator. Tema “maut” (kematian) di tangan Chairil bisa berbeda dengan tema “maut” di tangan Goenawan Muhamad atau Sapardi Djoko Damono, meski bahasa liris dan imajis memiliki pertalian yang jelas dengan capaian Chairil. Sebaliknya, tidak terbayangkan bagaimana kata “batu” di tangan Sutardji ditulis penyair lain dengan terlebih dahulu mengambil bentuk mantra, pastilah “batu” di tangan penyair lain itu akan tenggelam ke kebisuan dalam arti yang sebenarnya, kecuali jika ia bisa lebih ekstrem dari “batu” Tardji.
Begitu pula Afrizal, akan menjadi absrud jika konsepsinya tentang “alam benda” dipraktekkan langsung serta-merta orang lain, apalagi dengan gaya ungkapnya yang tak mengindahkan “kimiawi kata”. Itulah sebabnya, fenomena Afrizalian pada sekitar tahun 90-an tetap hanya memunculkan Afrizal sendiri karena secara riil memang dialah empunya konsepsi. Banyak yang kemudian terpental, alih haluan, meski ada juga yang keras kepala bertahan seperti T. Wijaya (Palembang) atau Shinta Febriany (Makasar), tapi toh tetap saja mengingatkan kita pada sajak Afrizal.
Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan bahwa yang satu lebih baik daripada yang lain. Apalagi untuk mengatakan bahwa estetika pelopor yang ekslusif tidak memberi jejak pada tradisi kepenyairan kita. Tidak. Spirit Tardji dan Afrizal jelas menorehkan jejak pada perpuisian mutakhir kita, namun dalam konteks membuka jalan bersama, efek eststika Chairil terhadap kepenyairan Indonesia harus diakui lebih mengena: ia meneruka dunia kata-kata dengan lebih lempang, menjadi milik semua orang. Dalam kerangka agak normatif inilah Chairil menempati posisi utama pembahru dan pelopor estetika puisi Indonesia.
Lagi pula Chairil tidak merumuskan suatu konsepsi personal yang sekiranya menjadi kredo puisinya, sebab efeknya tentulah menutup kemungkinan lain dari “jalan bersama” yang sedang dirintisnya. Sepanjang pengetahuan saya, Chairil hanya merumuskan konsepsi kolektif kepenyairan yang “ideal”, seperti terungkap dalam suratnya kepada HB Jassin (8 Maret 1944),”Mengorek kata sampai ke intinya.” Atau seperti yang disampaikan dalam pidato radionya (1946),”Sajak adalah dunia yang menjadi.” Bukankah ini sewajarnya milik setiap penyair? Meski pula ia pernah bilang, setengah meradang, “yang bukan penyair jangan ambil bagian,” namun jelas ditujukan kepada para kreator setengah hati yang justru membuat dunia bersama itu terancam mencair. Hal yang sekarang terbukti, betapa puisi, dengan memperalat demokratisasi telah mengalami penggampangan di sana-sini.
Jelaslah, kepeloporan inklusif Chairil membuka jalan bersama yang dalam bahasa keren sekarang bolehlah kita sebut demokratisasi. Sayangnya, di tengah iklim demoktratisasi ini pula muncul ironi hidup berbangsa: yang lahir bukannya si Pelopor, melainkan si Pecundang. Yang muncul bukannya kreator yang berproses dan berkeringat, tapi koruptor yang ingin mendapatkan segala sesuatu dengan cepat. Dalam situasi seperti inilah kepeloporan Chairil Anwar, baik estetis maupun biografis, menemukan momentumnya untuk diperingati, ada atau tidak ada Hari Sastra.
Raudal Tanjung Banua, Penyair dan Redaktur Rumahlebah Ruangpuisi.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar