Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
http://sastra-indonesia.com/
Sebulan lebih yang lalu, Wawan Eko Yulianto (Wawan, penerjemah dan penulis lepas) mengajak saya mendaki menuju Ranu Kumbolo, sebuah danau di lereng gunung Semeru. Mendengar penjelasan Wawan tentang keindahan danau tersebut, serta-merta saya tertarik. Sudah lima tahun lebih saya tidak mendaki gunung dan ajakan ini membuat saya bersemangat. Saya pun mencari beberapa gambar danau tersebut di mesin pencari google. Dan memang menggiurkan. Mungkin di mata Wawan dan teman-teman serombongan saya tampak sangat bersemangat ketika hendak mendaki Semeru. Namun, nanti akan saya ceritakan: di pendakian ini, sayalah yang justru mendaki paling lambat.
Saya berpikir, ada baiknya teman-teman lain diajak. Saya pun menghubungi beberapa teman, mengajak mereka untuk turut serta. Setelah beberapa minggu kemudian, pendaki yang turut serta dengan saya dan Wawan ada tiga orang: Denny Mizhar (Denny, guru SMK Muhammadiyah Malang dan penulis lepas), Muhammad Ramadhani (Dhani, guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo) dan Junaedi Ridwan (Jun, office boy TKK Mardiwiyata Malang).
Rencana ini awalnya hampir gagal karena berita lebay yang tersiar di beberapa situs internet dan televisi kalau kondisi Semeru berbahaya. Selama dua hari (tanggal 23 dan 24 Juni) kami terus memantau perkembangan Semeru. Wawan bahkan menelepon posko BTS (Bromo Tengger Semeru) untuk memastikan aman atau tidaknya pendakian. Petugas posko BTS menyatakan Semeru aman, istilahnya cuma “batuk-pilek” karena pergantian cuaca yang akhir-akhir ini dingin — hanya wilayah yang berada di dekat puncak gunung (sekitar 3 km) yang tidak boleh didaki. So, kami tetap berangkat.
Keberangkatan yang Melelahkan dan Lucu (Tumpang-Ngadas-Ranu Pani)
25 Juni 2011. Setelah sehari sebelumnya kami packing dan melakukan berbagai persiapan, pagi-pagi kami menuju Puskesmas terdekat rumah kami masing-masing. Wawan menuju Puskesmas di dekat rumahnya di Kerto Rahayu, Sumbersari. Denny pergi ke Puskesmas di dekat rumahnya di Tlogomas (sambil menggoda perawat yang sedang praktek di sana, uhuy!). Saya, Dhani, dan Jun menuju Puskesmas di dekat rumah saya di Pandanwangi.
Mengapa kami harus ke Puskesmas? Ternyata, kalau mendaki Semeru harus ada surat keterangan dokter dan fotokopi KTP, karena kalau ada apa-apa dalam pendakian, ada asuransi dan tindak lanjut. Dhani saya beritahu soal surat keterangan dokter ini, tapi tidak percaya. “Pakai SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) sekalian apa tidak?” tanyanya.
“Memangnya mau tes PNS!” jawab saya.
Jam 10.30, kami berlima berkumpul di sebuah perempatan di Malang. Dari perempatan itu kami menumpang angkot bertrayek TA (Tumpang-Arjosari) menuju Tumpang. Sampai di Tumpang kami mencari-cari pickup atau hardtop yang membawa kami ke atas, menuju lereng Semeru. Kami semua sama-sama tidak tahu, kalau para pendaki Semeru nyaris semuanya menggunakan hardtop. Karena dengan hardtop mereka langsung diturunkan di desa Ranu Pani.
Hardtop sudah tak ada lagi. Ada satu yang mau mengantar, tapi kami diminta menunggu dalam jangka waktu yang tak pasti. Akhirnya, yang kami dapatkan adalah sebuah pickup yang mengangkut bahan-bahan bangunan. Bersama kami, di bak pickup juga diangkut semen, asbes, pupuk, dan lain-lain. Tiap orang ditariki biaya Rp. 15.000,oo. Kami diturunkan di desa Ngadas, yang masih cukup jauh dari Ranu Pani. Kami berjalan kaki selama 5 jam dari Ngadas ke Ranu Pani. Kami mulai berjalan kaki sekitar pukul dua siang. Jalan kaki ini amat melelahkan karena nyaris terus mendaki.
Lucunya, jalan yang kami lewati dengan berjalan kaki ini dilewati mobil dan motor. Saat kami berjalan, para pendaki dan orang-orang lainnya berseliweran di jalan yang kami lalui. Mungkin ada yang menganggap kami pendaki yang sangat idealis — entahlah. Ini memang kesalahan kami bersama karena informasi seputar transportasi dari Tumpang ke Ranu Pani yang kami terima kurang memadai. Sewajarnya, perjalanan dari Ngadas ke Ranu Pani dilalui dengan hardtop yang berangkat dari Tumpang.
Namun, ada hal-hal yang kami syukuri dalam perjalanan kaki yang semestinya tidak perlu kami lakukan ini. Kami bisa melihat panorama yang indah di sepanjang perjalanan Ngadas-Ranu Pani. Terutama di daerah Njemplang. Di daerah ini ada ini ada sebuah menara kecil yang tingginya sekitar 15 meter. Wawan dan Dhani sempat mendaki menara itu, dan dari sana tampaklah tiga gunung: Semeru, Bromo, dan Tengger.
Selain panorama, saya juga bersyukur bisa mengobrolkan banyak hal seputar dunia sastra bersama Denny dan Wawan. Seingat saya, dalam perjalanan dari Ngadas ke Ranu Pani inilah kami paling banyak mengobrol. Saya menimba ilmu dari mereka bagaimana menikmati, menelaah, dan menemukan muatan-muatan penting sebuah puisi. Kami juga membicarakan soal sastra motivatif, musik, dan lain-lain.
Kami sampai di Ranu Pani, danau dengan ketinggian 2100 meter dpl (di atas permukaan laut) sekitar jam 7 malam. Di sana sudah banyak pendaki yang tiba terlebih dahulu. Banyak yang heran mendengar cerita kalau kami tadi berjalan dari desa Ngadas. Bersama 16 pendaki dari Jakarta dan Bandung, dan 17 pendaki dari Probolinggo, kami menginap di sebuah pondok di Ranu Pani. Di pondok itu kami disambut ramah oleh Pak Hambali, penjaga pondok dan anggota tim SAR di Semeru. Di dekat pondok ada pos registrasi mendaki ke Semeru, mushola, kamar mandi, dan warung.
Awalnya, saya merasa cukup sampai di sini saja pendakian kami. Karena mendaki 5 jam (Ngadas-Ranu Pani) bagi saya sudah cukup berat. Saya sangat jarang berolahraga. Di masa lalu, waktu masih SMA dan mahasiswa, kalau mendaki gunung pun tidak pernah sampai puncak, paling-paling cuma mendaki 3-4 jam ke tempat-tempat di lereng gunung yang berpemandangan indah. Selain itu, para mahasiswa Sejarah seperti saya kebanyakan pernah mendaki gunung, tapi dengan tujuan utama menyusuri jejak-jejak peradaban manusia masa lalu, tidak berambisi sampai ke puncak. Saya sudah pernah mendaki Penanggungan dan Arjuna menyaksikan beberapa peninggalan sejarah seperti menhir, sarkofagus dan arca-arca.
Saya tidak tahu apa yang ada di benak empat teman saya lainnya. Saya kira, semuanya sempat berpikir lebih dari satu kali untuk melanjutkan perjalanan ke Ranu Kumbolo. Akhirnya, setelah mempertimbangkan beberapa hal, kami semua sepakat: perjalanan dilanjutkan. Ranu Kumbolo, danau yang berada di ketinggian 2400 meter dpl ini, harus kami saksikan. Saya hanya berdoa agar tubuh saya dikuatkan. Dua minggu sebelum mendaki saya sudah melakukan persiapan fisik dengan rutin berolahraga setengah jam sehari, namun saya merasa itu masih belum cukup.
Menuju Ranu Kumbolo
“It is not the mountain we conquer but ourselves.”
Begitu kira-kira kata-kata yang tertulis di sebuah stiker yang ada di warung Ranu Pani, katanya diucapkan oleh Edmund Hillary. Kata-kata itulah yang saya ingat beberapa kali saat hendak mendaki ke Ranu Kumbolo di hari Minggu pagi, 26 Juni 2011, sekitar pukul 9 pagi. Terus terang, saat mendaki ke Ranu Kumbolo benak saya dipenuhi berbagai kekuatiran. Pertama, sepatu saya tapaknya licin. Kedua, kaki dan pundak saya sudah cukup lelah. Ketiga, sama seperti banyak gunung lainnya: ada jurang yang dalam, yang membentang di satu sisi jalan di hampir sepanjang lereng gunung dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo.
Kekuatiran-kekuatiran ini akhirnya membuat fisik saya makin lemah. Apalagi saya belum pernah mendaki gunung lebih dari 5 jam. Perjalanan ke Ranu Pani dari Ngadas telah membuat saya cukup lelah. Namun, saya membulatkan tekad untuk sampai ke Ranu Kumbolo. Saya sangat bersyukur, di saat-saat ini, Jun, rekan saya mendampingi saya saat rasa lelah saya memuncak. Saya berhenti mendaki belasan kali. Para pendaki lain bisa melintasi perjalanan ini hanya dalam waktu 3 atau 4 jam. Namun, saya melewatinya selama 5 jam lebih.
Begitu danau itu mulai kelihatan, semangat saya bangkit kembali. Kelegaan yang besar saya rasakan di jiwa saya. Sebuah pencapaian telah berhasil diraih. Sekitar jam 3 sore kami sampai di Ranu Kumbolo. Di Ranu Kumbolo kami memasang dua tenda. Satu tenda untuk Wawan dan Denny; dan satu tenda untuk saya, Jun, dan Dhani. Di Ranu Kumbolo banyak sekali pendaki yang memasang tenda. Mungkin ada sekitar 100 pendaki dari berbagai tempat di Indonesia yang saat itu tumplek blek di sana. Saat kami mendaki bahkan sempat bertemu seorang pendaki dari Australia.
Makan malam kami amat spesial. Jun yang membawa peralatan masak lengkap (kompor gas mini, panci, teflon, dan dandang) menyajikan hidangan makan malam yang mbois habis: nasi putih, sosis goreng, dan sarden. Kami kenyang dan puas malam itu. Namun, tak banyak obrolan di antara kami karena sebelum jam 9 malam kami sudah tertidur. Di malam hari hujan sempat turun. Untunglah tidak terlalu deras. Hujan ini juga — entah dengan cara bagaimana, saya tak bisa menjelaskannya — membuat suhu udara di malam itu tidak terlalu dingin. Kadangkala, suhu di sana bisa mencapai -2 derajat C. Di malam itu, suhu udara berkisar 10-11 derajat C. Kami tidur dengan nyaman, walau saya mendapat sebuah mimpi buruk.
Kembali ke Ranu Pani (Pentingnya Kebersamaan dan Pendaki Utusan Tuhan)
Mimpi buruk saya sewaktu tidur di tepi Ranu Kumbolo adalah didatangi sundel bolong. Saya sebenarnya tergoda untuk menceritakan mimpi itu waktu di Ranu Kumbolo, ketika kami hendak kembali. Namun, saya mengingat beberapa pesan pendaki lain dan teman-teman saya: kalau kita mengalami hal yang ganjil dan aneh saat mendaki, semangat kita lemah, dan berbagai perasaan negatif lainnya, tak usahlah digembar-gemborkan. Saya pun tak menceritakan mimpi itu pada siapa pun.
Sebenarnya mimpi buruk itu tidak terlalu membuat saya ketakutan, tapi entah ada hubungannya atau tidak, cuaca saat kami turun gunung juga buruk. Setelah hampir dua jam turun dari Ranu Kumbolo, hujan mulai turun. Tanah basah, becek, dan licin. Di saat-saat inilah saya disadarkan lagi tentang pentingnya kebersamaan. Rutinitas sehari-hari masih memungkinkan kita untuk hidup tanpa begitu banyak bergantung pada orang lain. Namun, di saat-saat seperti ini, kehadiran seorang kawan sungguhlah amat berharga. Bila waktu mendaki saya bersyukur dengan kehadiran Jun yang selalu menyertai saya, kali ini ada Wawan yang sama sekali tidak pernah meninggalkan saya jauh-jauh.
Setelah saya dan Wawan berjalan turun gunung kira-kira tiga jam, ada jalan serupa gundukan. Gundukan itu tanah semuanya (tak ada rerumputan atau jatuhan dahan dan dedaunan kering), dan becek semuanya. Di samping gundukan membentang jurang yang dalam. Wawan yang cukup mahir mendaki saja merayapi gundukan itu pelan-pelan. Saya berusaha mengikuti gayanya, namun sepatu saya yang licin membuat saya terjatuh di gundukan itu. Wajah saya nyaris menyentuh tanah. Wawan yang sudah ada di depan saya panik menyaksikan apa yang tengah terjadi.
Saat saya terjatuh, sungguh tak terduga, ada seorang pendaki asing di belakang saya. Bersama Wawan dia membantu melepas tas yang saya bawa dan mengangkat saya berdiri. Dengan bantuan mereka berdua, saya pun lolos dari maut, tidak jadi masuk jurang. Saya masih ingat betul nama pendaki itu, Muhammad Iqbal. Dia juga turun gunung bersama 5 orang temannya yang ia tinggalkan di belakang. Dia masih kuliah di Universitas Jember, dan aktif di Forum Penanggulangan Bencana Indonesia (FPBI). Hingga kini, saya menganggap Iqbal sebagai pendaki utusan Tuhan.
Saat sudah di Ranu Pani, saya baru menceritakan mimpi buruk itu pada Wawan, Jun, Dhani, dan Denny. Pendakian ini akhirnya usai. Kami berlima beruntung bisa turun sampai ke Tumpang dengan dua rombongan (masing-masing rombongan beranggotakan 3 orang). Bersebelas kami turun dengan hardtop. Masing-masing membayar uang Rp. 37.000,oo karena tarif yang dikenakan supir hardtop untuk mengangkut penumpang dari Ranu Pani ke Tumpang sebesar Rp. 400.000,oo.
Sepanjang perjalanan turun kami terus menertawakan perjalanan kami berlima, para pendaki lugu, yang berjalan kaki dari Ngadas ke Ranu Pani. Perjalanan turun dari Ranu Pani ke Ngadas dengan menggunakan hardtop memakan waktu 40 menit; sementara perjalanan dari Ngadas ke Tumpang memakan waktu sekitar sejam.
Ranu Kumbolo sudah kami tinggalkan. Sebuah perjalanan yang penuh kesan telah kami lewati. Saya selalu berharap ada kesempatan seperti ini lagi dalam hidup saya. Saat warkop mulai membosankan, lampu-lampu jalan di Malang dan Sidoarjo di malam hari tampak muram, film-film di bioskop tak lagi menghibur hati, atau buku-buku jadi tampak begitu menjemukan… alam dengan segala keheningan dan tantangannya menjadi salah satu tempat di mana para pecintanya dapat menemukan lagi sesuatu yang berharga untuk dihayati dalam hidup ini. (*)
Malang, 28 Juni 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar