Minggu, 28 Agustus 2011

Bilik Mesra

Wawan Eko Yulianto*
http://oase.kompas.com/

Aku ingin menulis sebuah cerpen tentang banjir lumpur yang melahap pemukiman itu. Bukan menulis esai. Tapi bagaimana bisa aku menulis cerpen jika aku ingin marah-marah saat ingat betapa beratnya para pengungsi yang kegerahan setiap siang seperti ini.

Aku baru saja datang dari kamp pengungsian mereka. Aku melihat seseorang menangisi rumahnya yang sedikit demi sedikit ditelan lumpur hingga tinggal atap. Bayangkan, mereka melihat sendiri rumah mereka sedikit demi sedikit terendam.

Begitulah, aku terlalu ingin meneriakkan kemarahan tentang tingkah para pengusaha yang menyalahi aturan pengeboran dan menyebabkan menyemburnya lumpur panas yang tiada henti itu. Biasanya, jika aku terlalu marah dan ingin menyuarakan sesuatu, tulisanku akan jadi esai. Tapi, kali ini tidak boleh: Aku ingin menulis cerpen! Karena itulah aku pergi ke SMA tempatku sekolah sekitar delapan tahun yang lalu. Udara memang gerah dan memanggang rambut, aku tahu. Tapi segala kenangan yang ditimbulkan setiap sudut gedung sekolah itu pasti akan melenakan hatiku, merontokkan marahku, membelai-belai hatiku, dan aku akan bisa menulis sebuah cerpen. Kuharap begitu. Kita lihat saja.

Aku memasuki gerbang sekolah yang dijaga seorang satpam. Aku tidak kenal satpam ini. Dia juga tidak kenal aku.
“Mau kemana, Mas?” tanyanya. “Hari Minggu pegawainya tidak ada.”
“Mau santai-santai, Pak,” kataku. “Saya cari tempat yang tenang buat nulis.”
“Nulis apa?”
“Cerpen, Pak,” kataku, sambil kuperhatikan matanya yang tak menunjukkan berkurangnya kecurigaan. “Saya tinggal sekitar sini dan lulusan SMA ini, Pak.”

Selanjutnya dia membiarkanku meneruskan langkah. Saat berjalan, aku merasa dia menembakku dengan sorot matanya. Aku benar-benar tak peduli. Toh sekolah ini milik negara dan aku pun pernah menyumbang sekian rupiah untuk pembangunan salah satu gedungnya.

Aku melewati celah antara ruang kantor dan ruang perpustakaan. Kedua bangunan ini tetap seperti ketika delapan tahun lalu aku meninggalkannya. Selepas celah, aku sudah bisa melihat hampir seluruh bagian dalam sekolah. Sudah banyak perubahan yang dibuat di sini. Ada ruang-ruang kelas baru di ujung selatan sana. Antara kelompok-kelompok kelas kini dihubungkan koridor beratap yang indah dengan tiang-tiang penyangga yang bagus. Sungguh modern. Nyaris seperti sekolah-sekolah berskala internasional dalam liputan-liputan berita. Semua cat tampak masih baru. Mungkin mempersiapkan diri untuk 17 Agustus tahun ini. Sayang masih belum ada umbul-umbul sama sekali.

Setelah puas mengagumi perubahannya, aku memilih untuk tidak melanjutkan proyekku. Aku menoleh sekeliling mencari tempat yang bagus untuk menulis. Di tepi kanan perpustakaan yang masih kosong terdapat sebuah bangku dan meja. Mejanya agak rusak, tapi bangkunya tampak masih bisa diduduki. Kudekati bangku-meja itu dan mencoba mendudukinya. Masih lumayan nyaman. Bagian ini langsung menghadap lahan kosong ditumbuhi alang-alang. Angin berhembus keras, tapi udara tetap panas.

Aku keluarkan buku notes kecilku dari saku belakang celana. Ya, meski panas, inilah tempat yang tepat untuk bisa merenungkan segala yang kulihat di tempat pengungsian para korban banjir lumpur itu. Lalu aku akan menuliskannya dalam bentuk cerpen: harus ada cerita yang bisa menjaga minat dan menggugah pembaca sambil, namun juga harus tersaji fakta yang mencerahkan. Cerpen itu menghibur sekaligus memintarkan, begitu kata teori. Ah, lagi-lagi teringat teori! Terang saja aku tidak pernah berhasil menulis cerpen yang bagus sejak kuliah sampai sekarang. Teori terlalu menghantuiku.

Aku mencoba berkonsentrasi dan mengingat-ingat: ada bau menyengat seperti limbah bahkan dari jarak satu kilo dari lokasi banjir lumpur, ada sopir-sopir angkutan yang berkelahi karena semakin berkurangnya pelanggan, ada perkelahian antar beberapa lelaki karena otak yang panas di kamp pengungsian, ada rumah-rumah yang tinggal terlihat atapnya karena sudah termakan lumpur, dan bahkan ada sebuah “bilik mesra” yang dikhususkan bagi para pasangan pengungsi yang ingin menyalurkan hasrat seksual mereka—meskipun konon jarang dipakai, karena para pengungsi malu mengumumkan kepada tetangga kalau mereka sedang saling menafkahi. Tapi, ah, aku tidak akan menyertakan urusan “bilik mesra” ini ke dalam cerpenku. Aku masih belum berani.
Ah, mana yang akan kutuliskan dulu? Oh ya, tulis saja begini. Aku...

Belum lagi aku menyelesaikan kalimat pertama, suara keras sepeda motor terdengar mendekat. Motor itu dari arah belakang, melewati koridor yang indah, lalu berhenti di depan berpustakaan. Siapa dia, berani-beraninya membawa sepeda motor masuk ke kompleks-kompleks kelas, melewati koridor yang semestinya untuk berjalan, dan memarkir sepeda motor di teras perpustakaan. Aku lebih mundur ke belakang agar tidak terlihat.

Sebelum pengendara motor itu turun, aku tadi sudah melihat mereka: seorang lelaki dan seorang perempuan. Begitu turun, mereka menoleh melihat ke arah lapangan—mereka membelakangiku. Aku mencoba mengintip. Kulihat lelaki itu berbicara:

“Mau duduk-duduk di sana terus?”
“Ke kelas yang itu lagi?” kata si perempuan menunjuk ruangan kelas baru di ujung selatan.

Mereka berdua segera berjalan. Tangan si lelaki di punggung bawah si perempuan, nyaris menyentuh pantat. Sambil berjalan, si lelaki menoleh ke kanan dan kiri, dan mengatakan sesuatu kepada si perempuan. Sayang, aku tidak bisa mendengar kata-kata mereka.

Entah, tiba-tiba saja aku tak lagi berminat untuk melanjutkan perenungan dan hasratku menulis cerpen. Aku segera mengendap-endap di tepian gedung sambil tetap bisa mengintai laki-laki yang tangannya mulai meraba-raba dengan cabulnya pada bagian belakang tubuh si perempuan. Dasar, yang namanya maksiat sekarang sudah menjarah gedung sekolah. Kupikir yang seperti ini hanya terjadi di gedung-gedung kampus yang kurang penerangan pada malam hari. Kini, bahkan di terang hari, bahkan di sebuah SMA Negeri, hal itu bisa terjadi.

Sementara kuikuti dari bagian-bagian aman, si lelaki tetap seperti merasa diikuti seseorang. Terkadang, si lelaki berlagak seolah-olah meneduhi wajah si perempuan dari sengatan matahari dengan tangannya, terkadang dia berlagak mengipasi wajah si perempuan dengan tangannya.
Sementara aku mengendap-endap dari balik tiang koridor satu ke tiang koridor lainnya, seperti detektif.

Pasangan itu menuju sebuah kelas di ujung selatan. Itu kelas baru. Seingatku, di belakang kelas ujung selatan itu terdapat sebuah warung. Pada hari Minggu seperti ini pasti kosong. Dan ada lincak bambu yang bisa dipakai duduk-duduk, atau apa-apa. Mungkin mereka akan ke sana, berpacaran ditemani semilir angin tersaring rumpun bambu.
Ternyata tidak.

Di depan kelas ujung selatan, mereka berhenti. Si lelaki mengeluarkan sesuatu dari saku belakangnya yang tebal. Sekumpulan kunci. Hanya seorang penjaga sekolah yang memiliki kunci sebanyak itu di sebuah sekolah. Wah, lagi-lagi aku tidak kenal pegawai. Ternyata delapan tahun itu cukup lama. Sudah ada pergantian satpam dan penjaga sekolah.

Si lelaki membuka pintu kelas ujung selatan itu dan menoleh ke sekelilingnya untuk mengamati. Lagi-lagi aku bersembunyi agar tidak terlihat. Ternyata, pikirku, sekolah ini telah salah memilih karyawan baru. Pertama, satpam yang berwajah galak. Kedua, penjaga sekolah yang cabul. Siapa saja bisa mengira dia ke kelas ujung selatan itu untuk melakukan apa. Setelah melihat sekeliling dan sepertinya tidak mendapati apa-apa yang mencurigakan, si penjaga sekolah mengajak perempuannya masuk ke kelas itu dan segera menutupnya. Dia membiarkan kuncinya menggantung di luar.

Aku segera bangkit dari tempatku sembunyi dan melompat. Meaong! Tiba-tiba ada seekor kucing yang ada di depan kakiku. Aku kaget setengah mati saat kudengar suara itu dan kurasakan bulu-bulu halusnya di punggung kakiku. Refleks memerintahkan agar aku segera kembali ke tempatku sembunyi. Jantungku berpacu. Kulihat kucing hitam yang kusandung tadi berlari menyeberang lapangan yang rumputnya mulai mengering. Semoga saja teriakan kucing itu tidak cukup keras untuk didengar penjaga sekolah cabul itu. Kuintip kembali kelas di ujung selatan itu. Sepertinya si cabul tidak tahu.

Aku mengendap-endap lagi menuju kelas di ujung selatan. Kali ini aku lebih hati-hati dan sesekali melihat ke bawah. Aku ingat, dulu di lapangan dimana sekarang ada kelas ujung selatan itu, seorang siswa kejang-kejang karena epilepsinya kumat. Aku ingat, aku ikut melihatnya saat kejang-kejangnya selesai, mulutnya berbusa dan ada sedikit darah, jari Pak Guru olahraga yang diganjalkan diantara giginya tergigit. Sudahlah, mengapa tiba-tiba aku ingat lagi kejadian mengerikan itu. Sudah lama aku tidak pernah teringat kejadian itu lagi.

Aku tetap mengendap-endap melewati tepi sebuah gedung lagi. Jantungku masih berpacu. Meskipun sekarang sudah tidak sekencang tadi. Pikiranku terasa tegang, sampai-sampai kurasa ada urat di bagian belakang kepalaku yang agak mengeras.

Aku sudah berada di depan kelas ujung selatan. Aku mendekat di jendela yang terbuat kaca nakonya agak terbuka. Sambil membungkuk agar tidak terlihat, kutajamkan pendengaran. Aku mencoba sekian lama membedakan desir angin di rumpun bambu belakang sekolah dengan desah nafas dari dalam ruang kelas. Ternyata, diantara desah-desah nafas lirih itu ada suara si lelaki:
“Kalau kita sudah di rumah nanti… kita bisa melakukannya setiap hari…”
“Mas…” balas si perempuan.
“Sungguh…”

Sialan! Ternyata penjaga sekolah itu benar-benar sedang bertindak cabul di sini. Benar-benar tak bisa dibiarkan. Aku segera memutuskan untuk memberitahu satpam tentang prilaku cabul si penjaga sekolah. Aku sudah akan pergi, tetapi tiba-tiba aku memutuskan untuk bertindak lebih. Kunci yang menggantung di luar pintu itu harus dipakai. Mereka harus tertangkap basah. Aku kunci pintu itu perlahan-lahan agar tidak menimbulkan terlalu banyak suara. Saat melakukan itu, kudengar lagi suara-suara erotis itu:
“Dasar… pabrik sialan…”
“Lum… lumpur sialan…”

Aku segera teringat cerpen yang ingin kutuliskan tadi. Ada sebuah bilik khusus di tempat pengungsian itu yang dikhususkan untuk pasangan yang ingin menyalurkan hasrat seksualnya. Aku tadi belum terpikir untuk menuliskan tentang itu. Apa mungkin mereka ini salah satu pengungsi itu? Tanganku yang masih memegang kunci itu tak jadi kulepaskan. Bahkan, aku langsung mencoba pelan-pelan mengembalikan kunci itu agar terbuka lagi. Kali ini, aku tetap tak ingin menimbulkan suara. Ah, aku telah salah sangka. Tetap, sambil mengendap-endap aku mencoba meninggalkan pintu itu dengan mundur.

Belum lagi aku membalik badan, ada tangan yang memegang pundakku, menghentikan langkahku:
“Nulis apa, Mas?”
Ternyata pak satpam sudah berdiri di belakangku.
Tangan kanannya membawa tongkat pemukul hitam mengkilap!
“Mau ngintip, Mas?” tanyanya lebih kasar. “Kalau mau ngintip lagi, nanti sore juga ada, Mas. Giliran saya nanti!”
“Saya tadi mau...”
“Apa, he??” kali ini dia sudah mencengkeram kerah kaosku. “Mau pentungan?!”
“Tunggu dulu.”
“Mas!” teriaknya ke arah ruang kelas. “Kalau sudah selesai kamu keluar dulu, ini ada pengintip yang bisa digarap jadi lemper!!”
“—”
* * *

Nah! Sepertinya cerita ini sudah mencukupi, ada aksi dan juga ketegangan. Aku tinggal memoles logikanya di rumah, biar logis dan memiliki nuansa. Tiba-tiba, aku merasa angin sudah kehilangan gerahnya. Langit juga mulai tampak sejuk dengan warna mulai agak kuning. Sepertinya sebentar lagi ashar akan turun. Akhirnya, bisa juga menulis cerita kecil tentang banjir lumpur. Semoga salah satu editor koran nasional yang selalu suntuk membaca puluhan cerpen yang datang ke mejanya bisa membedakan cerpenku ini dari cerpen-cerpen para penulis tangguh lainnya. Tidak seperti cerpen-cerpenku sebelumnya yang sudah ditolak mentah-mentah.

Melihat langit yang sudah mulai sore itu, aku memutuskan pulang. Aku ingin ngobrol sedikit banyak dengan orang tuaku. Besok aku sudah harus kembali ke kota tempatku kerja. Aku keluar tetap dengan melewati celah antara perpustakaan dan kantor guru. Aku ketemu seseorang yang terlihat baru saja selesai memasang umbul-umbul. Dia menyapaku saat mencoba menstrater sepeda motornya. Aku merasa harus berterima kasih kepada Honda tuanya itu, derunya saat baru datang tadi menghadirkan ide untuk cerpenku.

Aku terus berjalan menuju pos satpam dan si pemasang umbul-umbul mendahuluiku sambil menegur. Di pintu gerbang dia meneriakkan salam perpisahan kepada pak satpam. Saat aku sampai di pos satpam, kusempatkan juga berhenti dulu.

“Bagaimana, Mas?” sapa pak satpam, kali ini dia sungguh ramah. “Sudah selesai menulisnya?”
“Suasananya enak, Pak,” kataku, “tulisan saya bisa selesai.”
“Maaf, lho,” katanya, “tadi saya agak curiga. Biasa, Mas, jaman seperti ini, sulit percaya sama orang.”

Kemudian kami berbicara sebentar sekedar mengabsen guru-guru yang masih ada yang sudah pindah, atau meninggal. Ketika basa-basi itu kurasa sudah cukup, aku pamit dan mulai berjalan. Belum genap selangkah aku berjalan ada suara sepeda motor mendekat. Kulihat sepeda motor itu seperti akan berhenti di pos satpam, penumpangnya dua. Sepeda motor itu belum sampai mendekati pos satpam saat pak satpam berteriak:
“Langsung saja!” kata pak satpam sambil mengayunkan tangannya mengarah ke dalam kompleks sekolah. Laki-laki pengedara sepeda motor hanya meneriakkan “oke!” sambil meneruskan laju sepeda motornya. Di belakangnya, tampak seorang perempuan memalingkan wajahnya, menghindari melihat aku dan pak satpam. Aku menoleh ke pak satpam. Tampangnya agak berubah, sepertinya Pak Satpam malu-malu dan menyembunyikan sesuatu.
“Siapa itu, Pak?” tanyaku.
“!!!”

5 Februari 2010
*) Cerpenis dan blogger di http://berbagi-mimpi.info

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati