Wawan Eko Yulianto*
http://oase.kompas.com/
Aku ingin menulis sebuah cerpen tentang banjir lumpur yang melahap pemukiman itu. Bukan menulis esai. Tapi bagaimana bisa aku menulis cerpen jika aku ingin marah-marah saat ingat betapa beratnya para pengungsi yang kegerahan setiap siang seperti ini.
Aku baru saja datang dari kamp pengungsian mereka. Aku melihat seseorang menangisi rumahnya yang sedikit demi sedikit ditelan lumpur hingga tinggal atap. Bayangkan, mereka melihat sendiri rumah mereka sedikit demi sedikit terendam.
Begitulah, aku terlalu ingin meneriakkan kemarahan tentang tingkah para pengusaha yang menyalahi aturan pengeboran dan menyebabkan menyemburnya lumpur panas yang tiada henti itu. Biasanya, jika aku terlalu marah dan ingin menyuarakan sesuatu, tulisanku akan jadi esai. Tapi, kali ini tidak boleh: Aku ingin menulis cerpen! Karena itulah aku pergi ke SMA tempatku sekolah sekitar delapan tahun yang lalu. Udara memang gerah dan memanggang rambut, aku tahu. Tapi segala kenangan yang ditimbulkan setiap sudut gedung sekolah itu pasti akan melenakan hatiku, merontokkan marahku, membelai-belai hatiku, dan aku akan bisa menulis sebuah cerpen. Kuharap begitu. Kita lihat saja.
Aku memasuki gerbang sekolah yang dijaga seorang satpam. Aku tidak kenal satpam ini. Dia juga tidak kenal aku.
“Mau kemana, Mas?” tanyanya. “Hari Minggu pegawainya tidak ada.”
“Mau santai-santai, Pak,” kataku. “Saya cari tempat yang tenang buat nulis.”
“Nulis apa?”
“Cerpen, Pak,” kataku, sambil kuperhatikan matanya yang tak menunjukkan berkurangnya kecurigaan. “Saya tinggal sekitar sini dan lulusan SMA ini, Pak.”
Selanjutnya dia membiarkanku meneruskan langkah. Saat berjalan, aku merasa dia menembakku dengan sorot matanya. Aku benar-benar tak peduli. Toh sekolah ini milik negara dan aku pun pernah menyumbang sekian rupiah untuk pembangunan salah satu gedungnya.
Aku melewati celah antara ruang kantor dan ruang perpustakaan. Kedua bangunan ini tetap seperti ketika delapan tahun lalu aku meninggalkannya. Selepas celah, aku sudah bisa melihat hampir seluruh bagian dalam sekolah. Sudah banyak perubahan yang dibuat di sini. Ada ruang-ruang kelas baru di ujung selatan sana. Antara kelompok-kelompok kelas kini dihubungkan koridor beratap yang indah dengan tiang-tiang penyangga yang bagus. Sungguh modern. Nyaris seperti sekolah-sekolah berskala internasional dalam liputan-liputan berita. Semua cat tampak masih baru. Mungkin mempersiapkan diri untuk 17 Agustus tahun ini. Sayang masih belum ada umbul-umbul sama sekali.
Setelah puas mengagumi perubahannya, aku memilih untuk tidak melanjutkan proyekku. Aku menoleh sekeliling mencari tempat yang bagus untuk menulis. Di tepi kanan perpustakaan yang masih kosong terdapat sebuah bangku dan meja. Mejanya agak rusak, tapi bangkunya tampak masih bisa diduduki. Kudekati bangku-meja itu dan mencoba mendudukinya. Masih lumayan nyaman. Bagian ini langsung menghadap lahan kosong ditumbuhi alang-alang. Angin berhembus keras, tapi udara tetap panas.
Aku keluarkan buku notes kecilku dari saku belakang celana. Ya, meski panas, inilah tempat yang tepat untuk bisa merenungkan segala yang kulihat di tempat pengungsian para korban banjir lumpur itu. Lalu aku akan menuliskannya dalam bentuk cerpen: harus ada cerita yang bisa menjaga minat dan menggugah pembaca sambil, namun juga harus tersaji fakta yang mencerahkan. Cerpen itu menghibur sekaligus memintarkan, begitu kata teori. Ah, lagi-lagi teringat teori! Terang saja aku tidak pernah berhasil menulis cerpen yang bagus sejak kuliah sampai sekarang. Teori terlalu menghantuiku.
Aku mencoba berkonsentrasi dan mengingat-ingat: ada bau menyengat seperti limbah bahkan dari jarak satu kilo dari lokasi banjir lumpur, ada sopir-sopir angkutan yang berkelahi karena semakin berkurangnya pelanggan, ada perkelahian antar beberapa lelaki karena otak yang panas di kamp pengungsian, ada rumah-rumah yang tinggal terlihat atapnya karena sudah termakan lumpur, dan bahkan ada sebuah “bilik mesra” yang dikhususkan bagi para pasangan pengungsi yang ingin menyalurkan hasrat seksual mereka—meskipun konon jarang dipakai, karena para pengungsi malu mengumumkan kepada tetangga kalau mereka sedang saling menafkahi. Tapi, ah, aku tidak akan menyertakan urusan “bilik mesra” ini ke dalam cerpenku. Aku masih belum berani.
Ah, mana yang akan kutuliskan dulu? Oh ya, tulis saja begini. Aku...
Belum lagi aku menyelesaikan kalimat pertama, suara keras sepeda motor terdengar mendekat. Motor itu dari arah belakang, melewati koridor yang indah, lalu berhenti di depan berpustakaan. Siapa dia, berani-beraninya membawa sepeda motor masuk ke kompleks-kompleks kelas, melewati koridor yang semestinya untuk berjalan, dan memarkir sepeda motor di teras perpustakaan. Aku lebih mundur ke belakang agar tidak terlihat.
Sebelum pengendara motor itu turun, aku tadi sudah melihat mereka: seorang lelaki dan seorang perempuan. Begitu turun, mereka menoleh melihat ke arah lapangan—mereka membelakangiku. Aku mencoba mengintip. Kulihat lelaki itu berbicara:
“Mau duduk-duduk di sana terus?”
“Ke kelas yang itu lagi?” kata si perempuan menunjuk ruangan kelas baru di ujung selatan.
Mereka berdua segera berjalan. Tangan si lelaki di punggung bawah si perempuan, nyaris menyentuh pantat. Sambil berjalan, si lelaki menoleh ke kanan dan kiri, dan mengatakan sesuatu kepada si perempuan. Sayang, aku tidak bisa mendengar kata-kata mereka.
Entah, tiba-tiba saja aku tak lagi berminat untuk melanjutkan perenungan dan hasratku menulis cerpen. Aku segera mengendap-endap di tepian gedung sambil tetap bisa mengintai laki-laki yang tangannya mulai meraba-raba dengan cabulnya pada bagian belakang tubuh si perempuan. Dasar, yang namanya maksiat sekarang sudah menjarah gedung sekolah. Kupikir yang seperti ini hanya terjadi di gedung-gedung kampus yang kurang penerangan pada malam hari. Kini, bahkan di terang hari, bahkan di sebuah SMA Negeri, hal itu bisa terjadi.
Sementara kuikuti dari bagian-bagian aman, si lelaki tetap seperti merasa diikuti seseorang. Terkadang, si lelaki berlagak seolah-olah meneduhi wajah si perempuan dari sengatan matahari dengan tangannya, terkadang dia berlagak mengipasi wajah si perempuan dengan tangannya.
Sementara aku mengendap-endap dari balik tiang koridor satu ke tiang koridor lainnya, seperti detektif.
Pasangan itu menuju sebuah kelas di ujung selatan. Itu kelas baru. Seingatku, di belakang kelas ujung selatan itu terdapat sebuah warung. Pada hari Minggu seperti ini pasti kosong. Dan ada lincak bambu yang bisa dipakai duduk-duduk, atau apa-apa. Mungkin mereka akan ke sana, berpacaran ditemani semilir angin tersaring rumpun bambu.
Ternyata tidak.
Di depan kelas ujung selatan, mereka berhenti. Si lelaki mengeluarkan sesuatu dari saku belakangnya yang tebal. Sekumpulan kunci. Hanya seorang penjaga sekolah yang memiliki kunci sebanyak itu di sebuah sekolah. Wah, lagi-lagi aku tidak kenal pegawai. Ternyata delapan tahun itu cukup lama. Sudah ada pergantian satpam dan penjaga sekolah.
Si lelaki membuka pintu kelas ujung selatan itu dan menoleh ke sekelilingnya untuk mengamati. Lagi-lagi aku bersembunyi agar tidak terlihat. Ternyata, pikirku, sekolah ini telah salah memilih karyawan baru. Pertama, satpam yang berwajah galak. Kedua, penjaga sekolah yang cabul. Siapa saja bisa mengira dia ke kelas ujung selatan itu untuk melakukan apa. Setelah melihat sekeliling dan sepertinya tidak mendapati apa-apa yang mencurigakan, si penjaga sekolah mengajak perempuannya masuk ke kelas itu dan segera menutupnya. Dia membiarkan kuncinya menggantung di luar.
Aku segera bangkit dari tempatku sembunyi dan melompat. Meaong! Tiba-tiba ada seekor kucing yang ada di depan kakiku. Aku kaget setengah mati saat kudengar suara itu dan kurasakan bulu-bulu halusnya di punggung kakiku. Refleks memerintahkan agar aku segera kembali ke tempatku sembunyi. Jantungku berpacu. Kulihat kucing hitam yang kusandung tadi berlari menyeberang lapangan yang rumputnya mulai mengering. Semoga saja teriakan kucing itu tidak cukup keras untuk didengar penjaga sekolah cabul itu. Kuintip kembali kelas di ujung selatan itu. Sepertinya si cabul tidak tahu.
Aku mengendap-endap lagi menuju kelas di ujung selatan. Kali ini aku lebih hati-hati dan sesekali melihat ke bawah. Aku ingat, dulu di lapangan dimana sekarang ada kelas ujung selatan itu, seorang siswa kejang-kejang karena epilepsinya kumat. Aku ingat, aku ikut melihatnya saat kejang-kejangnya selesai, mulutnya berbusa dan ada sedikit darah, jari Pak Guru olahraga yang diganjalkan diantara giginya tergigit. Sudahlah, mengapa tiba-tiba aku ingat lagi kejadian mengerikan itu. Sudah lama aku tidak pernah teringat kejadian itu lagi.
Aku tetap mengendap-endap melewati tepi sebuah gedung lagi. Jantungku masih berpacu. Meskipun sekarang sudah tidak sekencang tadi. Pikiranku terasa tegang, sampai-sampai kurasa ada urat di bagian belakang kepalaku yang agak mengeras.
Aku sudah berada di depan kelas ujung selatan. Aku mendekat di jendela yang terbuat kaca nakonya agak terbuka. Sambil membungkuk agar tidak terlihat, kutajamkan pendengaran. Aku mencoba sekian lama membedakan desir angin di rumpun bambu belakang sekolah dengan desah nafas dari dalam ruang kelas. Ternyata, diantara desah-desah nafas lirih itu ada suara si lelaki:
“Kalau kita sudah di rumah nanti… kita bisa melakukannya setiap hari…”
“Mas…” balas si perempuan.
“Sungguh…”
Sialan! Ternyata penjaga sekolah itu benar-benar sedang bertindak cabul di sini. Benar-benar tak bisa dibiarkan. Aku segera memutuskan untuk memberitahu satpam tentang prilaku cabul si penjaga sekolah. Aku sudah akan pergi, tetapi tiba-tiba aku memutuskan untuk bertindak lebih. Kunci yang menggantung di luar pintu itu harus dipakai. Mereka harus tertangkap basah. Aku kunci pintu itu perlahan-lahan agar tidak menimbulkan terlalu banyak suara. Saat melakukan itu, kudengar lagi suara-suara erotis itu:
“Dasar… pabrik sialan…”
“Lum… lumpur sialan…”
Aku segera teringat cerpen yang ingin kutuliskan tadi. Ada sebuah bilik khusus di tempat pengungsian itu yang dikhususkan untuk pasangan yang ingin menyalurkan hasrat seksualnya. Aku tadi belum terpikir untuk menuliskan tentang itu. Apa mungkin mereka ini salah satu pengungsi itu? Tanganku yang masih memegang kunci itu tak jadi kulepaskan. Bahkan, aku langsung mencoba pelan-pelan mengembalikan kunci itu agar terbuka lagi. Kali ini, aku tetap tak ingin menimbulkan suara. Ah, aku telah salah sangka. Tetap, sambil mengendap-endap aku mencoba meninggalkan pintu itu dengan mundur.
Belum lagi aku membalik badan, ada tangan yang memegang pundakku, menghentikan langkahku:
“Nulis apa, Mas?”
Ternyata pak satpam sudah berdiri di belakangku.
Tangan kanannya membawa tongkat pemukul hitam mengkilap!
“Mau ngintip, Mas?” tanyanya lebih kasar. “Kalau mau ngintip lagi, nanti sore juga ada, Mas. Giliran saya nanti!”
“Saya tadi mau...”
“Apa, he??” kali ini dia sudah mencengkeram kerah kaosku. “Mau pentungan?!”
“Tunggu dulu.”
“Mas!” teriaknya ke arah ruang kelas. “Kalau sudah selesai kamu keluar dulu, ini ada pengintip yang bisa digarap jadi lemper!!”
“—”
* * *
Nah! Sepertinya cerita ini sudah mencukupi, ada aksi dan juga ketegangan. Aku tinggal memoles logikanya di rumah, biar logis dan memiliki nuansa. Tiba-tiba, aku merasa angin sudah kehilangan gerahnya. Langit juga mulai tampak sejuk dengan warna mulai agak kuning. Sepertinya sebentar lagi ashar akan turun. Akhirnya, bisa juga menulis cerita kecil tentang banjir lumpur. Semoga salah satu editor koran nasional yang selalu suntuk membaca puluhan cerpen yang datang ke mejanya bisa membedakan cerpenku ini dari cerpen-cerpen para penulis tangguh lainnya. Tidak seperti cerpen-cerpenku sebelumnya yang sudah ditolak mentah-mentah.
Melihat langit yang sudah mulai sore itu, aku memutuskan pulang. Aku ingin ngobrol sedikit banyak dengan orang tuaku. Besok aku sudah harus kembali ke kota tempatku kerja. Aku keluar tetap dengan melewati celah antara perpustakaan dan kantor guru. Aku ketemu seseorang yang terlihat baru saja selesai memasang umbul-umbul. Dia menyapaku saat mencoba menstrater sepeda motornya. Aku merasa harus berterima kasih kepada Honda tuanya itu, derunya saat baru datang tadi menghadirkan ide untuk cerpenku.
Aku terus berjalan menuju pos satpam dan si pemasang umbul-umbul mendahuluiku sambil menegur. Di pintu gerbang dia meneriakkan salam perpisahan kepada pak satpam. Saat aku sampai di pos satpam, kusempatkan juga berhenti dulu.
“Bagaimana, Mas?” sapa pak satpam, kali ini dia sungguh ramah. “Sudah selesai menulisnya?”
“Suasananya enak, Pak,” kataku, “tulisan saya bisa selesai.”
“Maaf, lho,” katanya, “tadi saya agak curiga. Biasa, Mas, jaman seperti ini, sulit percaya sama orang.”
Kemudian kami berbicara sebentar sekedar mengabsen guru-guru yang masih ada yang sudah pindah, atau meninggal. Ketika basa-basi itu kurasa sudah cukup, aku pamit dan mulai berjalan. Belum genap selangkah aku berjalan ada suara sepeda motor mendekat. Kulihat sepeda motor itu seperti akan berhenti di pos satpam, penumpangnya dua. Sepeda motor itu belum sampai mendekati pos satpam saat pak satpam berteriak:
“Langsung saja!” kata pak satpam sambil mengayunkan tangannya mengarah ke dalam kompleks sekolah. Laki-laki pengedara sepeda motor hanya meneriakkan “oke!” sambil meneruskan laju sepeda motornya. Di belakangnya, tampak seorang perempuan memalingkan wajahnya, menghindari melihat aku dan pak satpam. Aku menoleh ke pak satpam. Tampangnya agak berubah, sepertinya Pak Satpam malu-malu dan menyembunyikan sesuatu.
“Siapa itu, Pak?” tanyaku.
“!!!”
5 Februari 2010
*) Cerpenis dan blogger di http://berbagi-mimpi.info
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 28 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar