Sabtu, 03 September 2011

Tentang “Sastra Pedalaman” Itu

Nirwan Dewanto
Kompas, 04 Sep 1994

AKHIR-AKHIR ini, dalam khazanah sastra kita, “dominasi pusat” kembali dipersoalkan beberapa sastrawan (di) daerah “angkatan” terbaru. Sejumlah kegiatan sastra yang muncul di beberapa kota di Jawa dan Sumatera — meliputi pembacaan puisi, diskusi sastra, penerbitan buku puisi dan buletin sastra — diwarnai ketidakpuasan terhadap sang pusat yang berlaku sewenang-wenang: meremehkan atau mengabaikan bakat dan kekuatan baru yang muncul di wilayah “pedalaman” itu.

Saya nyaris bersorak girang menyambut arus gugatan baru ini. Tapi saya segera tersadar, ini mengulangi lagu lama. Saya teringat kepada Gerakan Puisi Mbeling di majalah Aktuil pimpinan Remy Sylado (1972-1973), Pengadilan Puisi di Bandung (1974), Proklamasi Puisi Bebas oleh Grup Apresiasi Sastra ITB (1979), Emha Ainun Nadjib dengan kumpulan esainya Sastra yang Membebaskan (1982), dan Perdebatan Sastra Kontekstual di Solo (1984): semuanya, dengan pengetahuan yang luas dan argumentasi yang kokoh, tuntas menggugat tatanan sastra yang mapan.

Kini para “penggugat” mutakhir itu menamakan sastra mereka “sastra pedalaman”, “sastra arus bawah”, dan “sastra pinggiran”. Dengan ini seakan-akan mereka menegaskan perbedaan dengan “sastra pusat”. Tapi apakah perbedaan itu benar-benar ada?

Saya membaca karya-karya mereka, terutama puisi. Ternyatalah, itu merupakan turunan langsung dari tradisi perpuisian Indonesia yang mapan. Mereka bahkan sangat menggandrungi gaya para penyair pendahulu yang “baik dan benar”, dan berusaha menghidupkannya lagi (mungkin tanpa sadar) dalam sajak-sajak mereka. Saya tak berkeberatan dengan reproduksi gaya (apalagi dilakukan sebagai parodi). Namun jika dihubungkan dengan seluruh tindak sastra mereka, hal ini mengandung paradoks. Yakni, mereka mengingkari sumber utama penciptaan mereka — yakni karya-karya sastra Indonesia yang utama – - dan dengan demikian mereka terkurung pemusatan yang justru mereka mau tolak.

Maka “perlawanan” yang mereka lontarkan terhadap pusat menjadi semu belaka! Bacalah misalnya sejumlah artikel dalam jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman nomor pertama, yang diterbitkan jaringan bernama sama. Mereka tidaklah mempersoalkan “pusat sastra” secara mendasar. Dengan kemarahan dan kegelisahan yang naif, mereka menyebut “persekongkolan Jakarta” yang sengaja meminggirkan mereka. Dengan begini — dan inilah paradoks kedua — mereka malah mengakui, bahkan memitoskan, “kekuasaan Jakarta”.

Bagi saya, kekuatan pusat yang dipersoalkan sepanjang 1972-1984 kini sudah tiada. (Berarti, serangkaian perlawanan pada masa itu membuahkan hasil.) Kehidupan sastra kita kini tak lagi tergantung pada hanya sebuah majalah sastra dan sebuah pusat kesenian. Dalam pada itu, koran-koran pun menyediakan “suaka sastra” dengan baik. Nama cerpenis baru bermunculan di Kompas. Ruang puisi Republika menampung puisi dari pelbagai pelosok secara bergantian. Lembar budaya Jawa Pos tak henti-henti menyulut pelbagai polemik.

Bisa disaksikan pula maraknya kegiatan penerbitan swadaya. Yang mengesankan, berkala-berkala seperti Menyimak (oleh Yayasan Membaca di Pekanbaru) dan Surat (Gorong-gorong Budaya di Depok). Sementara itu, terselenggara pula pelbaga diskusi, lomba penulisan, loka karya, apresiasi, di Bali, Padang, Banjarmasin, Jambi, Ujung Pandang, Tegal, Jember, Ngawi, dan sejumlah kota lain.

Sungguh geografi sastra yang berwarna-warni! Betapa sayang jika limpahan energi mereka terlalu banyak tercurah untuk membikin-bikin perlawanan semu. Membidik Jakarta-sentrisme, berarti membidik sasaran yang keliru!

***

SAYA akan bersemangat lagi seandainya perlawanan mereka tertuju ke sasaran yang tepat. Sasaran itu tidak berada di luar mereka, tetapi dalam tindak sastra mereka sendiri. Dan inilah pusat yang sesungguh-sungguhnya: sejumlah standar dalam (sejarah) sastra Indonsia yang mereka percayai dan mereka anut, di bawah sadar. Mereka terjebak dalam karya-karya “kanonik” Indonesia, tanpa sikap kritis memadai.

Sungguh ironis jika para pelaku sastra begitu berwatak “nasionalistik”. Mereka begitu serius dengan, dan terbeban pula, oleh sejarah dan tradisi sastra Indonesia. Tentu saja mereka tak usah merasa demikian gentar dan rendah diri, seandainya mereka mau berdialog dengan khasanah sastra di dunia mana pun. Dengan kata lain, mereka mestinya “melupakan”, atau melampaui sastra Indonesia.

Saya bermimpi “sastra pedalaman” itu benar-benar menjadi genre yang hidup, bukan sekadar varian yang rendah diri dari sastra Indonesia yang mapan. Sebagai kekuatan baru — seperti halnya Afrika Utara dan Karibia dalam sastra (berbahasa) Perancis, India dan Nigeria dalam sastra Inggris, Amerika Selatan dalam sastra Spanyol. Saya tahu, mimpi saya tidaklah mustahil karena kenyataan Indonesia yang begitu rumit dan fantastis mestinya tidak cuma “diwakili” hanya satu sastra Indonesia.

***

BENO Siang Pamungkas, salah seorang penggerak Revitalisasi Sastra Pedalaman, menyatakan, “Kalau saja jurnalisme seni kita lebih punya kesungguhan untuk memotret… bukan mustahil akan terkuak tambang-tambang emas karya sastra yang sampai saat ini masih terpendam jauh di bawah permukaan bumi.”

Idealisme semacam itu tidaklah cukup! Karena jalan dan terowongan menuju “tambang emas” itu harus mereka bikin sendiri. Bukan hanya dengan mobilitas fisik antardaerah untuk menggalang kekuatan, tapi juga mobilitas pikiran dan mental yakni dialog yang aktif dan terus-menerus dengan khasanah seluruh dunia. Usaha macam ini tinggallah diperbesar. Saya senantiasa mengagumi terjemahan puisi dan prosa oleh Hasan Junus yang muncul secara ajeg pada Menyimak. Pada Revitalisasi Sastra Pedalaman nomor pertama terjemahan bebas puisi oleh Tan Lioe Ie jauh lebih berharga ketimbang tulisan-tulisan asli yang lain.

Adapun “kebanggaan daerah” itu janganlah diperalat untuk membela karya yang tak bermutu. Ia mestinya benih local- genius yang tumbuh karena menyerap daya dukung lingkungan dan tradisi setempat. Ingat Amir Hamzah tidaklah serta-merta dilahirkan tradisi Melayu. Ia juga buah pergaulan dengan sejumlah khasanah Asia. Memang, sebuah etnosentrisme pada akhirnya hanya membutakan mata terhadap kekayaan pelbagai khasanah tradisi.

Dan jika “tambang emas” itu mulai terkuak, tak bisa pula kita meminta-minta perhatian dari jurnalisme dan kritik seni. Seperti Wole Soyinka dan Derek Walcott pun tak bisa meminta-minta untuk diakui sebagai warga sastra Eropa. Penemuan “sastra pinggiran” sedunia adalah juga akibat dinamika yang terjadi di dunia penerbitan dan dunia ilmiah di Eropa dan Amerika.

Demikianlah, perjuangan “sastra pinggiran” mestinya juga disertai perjuangan teori (bukan maki-makian!) dan juga perubahan di sektor-sektor kebudayaan yang lain. Teori yang saya maksud bukanlah jungkir balik hapalan rumus filsafat dari buku-buku pintar, tetapi refleksi yang mendalam tentang karya dan kerja kesenian kita sendiri. Sungguh berbahaya, manakala menganggap sastra begitu penting dan suci, dan dengan demikian malah membuatnya miskin.

Di tengah banjir informasi sedunia, mestinya “sastra pedalaman” bukanlah sastra yang mengisolasi diri lantaran dihantui trauma sastra nasional. Ketika karya-karya dunia mutakhir bisa dengan mudah didapat, yang diperlukan adalah mengelola aliran penyebarannya dan mencernanya dengan sehat. Sungguh, pelbagai arus perkembangan baru sedunia lalu-lalang di depan hidung kita sementara kita nyinyir menganggap penting sastra sendiri.

Setidak-tidaknya ingar-bingar jaringan “sastra pedalaman” akan melangkah ke tahap yang lebih segar jika mereka tak merepotkan diri dengan “pusat sastra nasional”. Menggali tambang emas sastra memerlukan watak kosmopolit sekaligus sikap tahu diri terus- menerus. Bagaimanapun, sastra kita tetaplah sastra yang terbuka, berubah, dan meluas. Ia tidaklah angker, lalim dan maha kuasa, kecuali kita sendiri secara kekanak-kanakan menganggapnya demikian.
***

*) Nirwan Dewanto, ketua redaksi jurnal kebudayaan Kalam.
Dijumput dari: http://freedom-institute.org/id/index.php?page=profil&detail=artikel&detail=dir&id=362

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati