Ignas Kleden **
Kompas, 04 Agu 2007
Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.
Dalam sebuah esainya Sutardji menulis “puisi adalah alibi kata-kata”. Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.
Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu.
Adapun kekuatan-kekuatan yang dianggap menindas kebebasan kata-kata dengan memberinya beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau sintaksis, tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial, kekuasaan politik, atau norma-norma moral.
Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna. Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian dirumuskannya dalam sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.
Menilik isinya, kredo Sutardji yang terkenal itu (dalam O Amuk Kapak: Tiga Kumpulan Sajak, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981) pada dasarnya lebih berisikan kredo penyair karena di sana ditegaskan peran penyair dalam pembebasan kata-kata dari penjajahan makna: Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bagi saya, pemikiran-pemikiran dalam Kredo Puisi menjadi menarik bukan dalam kedudukannya sebagai suatu teori tentang puisi, tetapi terutama sebagai rencana kerja seorang penyair. Kredo itu membuat kita terkesan dan mungkin terkejut, bukan karena argumen-argumen yang diajukannya mengenai sense dan nonsense, tetapi dia menjadi menarik sebagai suatu program, suatu desain, dan bahkan suatu tekad.
Harga dan nilai kredo tersebut tidak selayaknya diukur berdasarkan konsistensi dalil-dalilnya, tetapi terutama berdasarkan pertanyaan: apakah penyairnya sanggup mewujudkan apa yang telah dia deklarasikan.
Mantra
Sutardji mengatakan bahwa bagi dia menulis puisi “adalah mengembalikan kata pada mantra”. Mengembalikan kata kepada mantra adalah mengeluarkan kata dari konvensi makna dan membiarkannya menemukan kekuatannya sendiri.
Kita dapat bertanya: kalau kata dikembalikan kepada mantra, ke mana gerangan hendak dikembalikan kalimat dalam bahasa? Jawaban atas pertanyaan ini diberikan oleh panyairnya 24 tahun kemudian—setelah Kredo Puisi 1973—dalam esai “Pantun” yang diumumkan Kompas Minggu (14 Desember dan 21 Desember 1997).
Di situ pemikiran Sutardji bahwa kata pada dasarnya tak ada hubungan intrinsik dengan maknanya—suatu pandangan yang kemudian semakin dipertegas oleh teoretisi post-modernis—diteruskannya dengan pandangan lain bahwa sampiran dalam pantun tak ada hubungan intrinsik apa pun dengan isi pantun.
Di sini Sutardji secara frontal menolak pemikiran beberapa peneliti pantun dari Barat, yang berasumsi bahwa ada suatu hubungan intrinsik yang tidak selalu kita ketahui antara bagian sampiran dan bagian isi dalam pantun. Adalah menarik bahwa perlawanan yang dilancarkannya tidak dilakukan dengan berteori, tetapi dilaksanakan dalam praktik, yaitu praktiknya sebagai seorang penyair.
Cara yang ditempuhnya ialah mengambil satu dua pantun dan mengubah sampiran pantun itu dengan bunyi-bunyi yang tidak ada maknanya secara leksikal, tetapi tetap mempertahankan persyaratan formal pantun berupa jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam satu baris kalimat, dan persamaan bunyi pada akhir kalimat. Ternyata bahwa setelah sampiran diubah ke dalam bunyi-bunyi yang tanpa makna, pantun itu tetap utuh dan masih dapat dinikmati juga.
Pulau pandan jauh di tengah
di balik pulau angsa dua
hancur badan dikandung tanah
budi baik dikenang juga
Oleh Sutardji dua kalimat sampiran dalam pantun ini diubah dengan bunyi-bunyi yang tak ada maknanya dalam kode leksikal sebagai berikut:
Cacau landan taktak zizangah
tuta kadu pagara mua
hancur badan dikandung tanah
budi baik dikenang jua
Atau sebuah pantun lainnya:
Kalau ada sumur di ladang
bolehlah saya menumpang mandi
kalau ada umurku panjang
bolehlah kita bertemu lagi
Oleh Sutardji dua kalimat sampiran itu diubah dengan bunyi-bunyi tanpa makna sebagai berikut:
Zuku zangga tukali tangtang
zegeze geze papali podi
kalau ada umurku panjang
bolehlah kita bertemu lagi
Dengan cara ini Sutardji membuktikan bahwa sampiran sama sekali tidak dan tidak perlu berhubungan dengan isi pantun dalam kandungan pesannya. Kita tahu, keterangan umum tentang sampiran biasanya dihubungkan dengan alasan fonetik dan alasan estetik. Sampiran diharuskan terdiri atas jumlah suku kata tertentu dalam tiap baris, dengan suku kata terakhir yang harus mengandung persamaan bunyi dengan suku kata terakhir dari bagian isi yang menjadi pasangannya.
Rima pada pantun mengikuti formula ab/ab, yang berarti akhir baris pertama harus mempunyai kesamaan bunyi dengan akhir baris ketiga, sedangkan akhir baris kedua mempunyai rima dengan akhir baris keempat. Di sini hubungan sampiran dan isi hanyalah hubungan formal menyangkut struktur pantun, tetapi tidak ada hubungan substansial antara keduanya.
Menerobos batas bahasa
Meski demikian, Sutardji maju selangkah lagi dan menyatakan bahwa sampiran, justru karena tak mengandung makna tertentu, memperlihatkan the other side of language atau sisi lain dari bahasa, karena makna dalam isi pantun diperhadapkan dengan sampiran yang tanpa makna tertentu. Dengan demikian, pantun menjelma menjadi dialektik antara sense dan nonsense, atau kontestasi antara makna dan tanpa-makna.
Rupa-rupanya keadaan tanpa makna itu tetap dibutuhkan dalam bahasa umumnya dan dalam puisi khususnya, karena dia menjadi kontras yang membuat makna semakin tampak seperti halnya cahaya lampu hanya menjadi nyata dalam gelap dan tidak tampak di bawah sinar matahari.
Dengan demikian, kalau mantra adalah sisi lain dari makna dalam kata, maka sampiran pada pantun adalah sisi lain dari makna dalam kalimat. Pada mantra fonem-fonem yang digabungkan tidak menghasilkan makna, dan atas cara itu membawa orang keluar dari dunia kata-kata yang bermuatan makna yang telah dibakukan.
Pada sampiran kata-kata yang membentuk kalimat dalam sampiran memang mempunyai makna kalau diambil satu per satu secara terpisah, tetapi dalam keseluruhan pantun, menjadi kehilangan makna karena tak ada pertautan pesan dengan bagian isi pantun.
Menarik untuk disimak bahwa penerobosan yang dilakukan Sutardji terhadap makna membawa dia kepada percobaan lain untuk menerobos batas-batas bahasa. Penerobosan terhadap batas-batas bahasa ini dilakukan dengan melakukan penyimpangan dari semantik dan penyimpangan dari sintaksis. Semantik menunjuk hubungan antara bahasa dan suatu obyek di luar bahasa, sedangkan sintaksis menunjuk hubungan internal antara unsur-unsur bahasa itu sendiri.
Penerobosan terhadap semantik dilakukan dengan memakai fonem-fonem atau bunyi-bunyi bahasa yang tidak ada maknanya secara leksikal. Meski demikian, penyairnya sadar juga bahwa hanya dengan bunyi-bunyi tanpa makna itu tidak mungkin lahir sebuah puisi dalam arti yang kita kenal. Maka, dalam beberapa sajaknya Sutardji menerapkan teknik menyusun pantun dalam bentuk yang lebih diperluas.
Jumlah baris dalam bait jauh lebih bebas dan tidak hanya terbatas pada empat baris, jumlah suku kata juga dibuat tanpa mengikuti pakem pantun, dan rima juga tidak harus mengikuti formula ab/ab.
Akan tetapi, yang dipertahankan dari unsur pantun adalah kontras antara sampiran dan isi, kontestasi antara makna dan tanpa makna. Dengan demikian, fonem-fonem yang tanpa makna itu seakan-akan menjadi sampiran dalam sajak-sajak Sutardji, tetapi isi sajaknya masih selalu dimunculkan dalam kata-kata dengan makna yang kita kenal.
Contoh paling tipikal dari kecenderungan ini dapat kita amati dalam beberapa baris sajak berikut ini.
hai Kau dengar manteraku
kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu
mapakazaba itazatali
tutulita
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
ku zangga zegezegeze aahh….!
nama nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu
Dalam sajak ini dua kalimat pertama “Kau dengar manteraku/Kau dengar kucing memanggilMu” adalah seruan kepada sesuatu yang rupa-rupanya mengatasi semua kategori manusia termasuk bahasa, mungkin sesuatu yang tak terbatas, yang kudus, atau yang ilahi, yang dicoba didekati dengan memanggilNya dengan berbagai nama yang tidak kita kenal dalam kode leksikal bahasa Indonesia.
Kode leksikal
Nama dan kode-kode yang digunakan penyairnya adalah bunyi-bunyi seperti mapakazaba, itazatali, tutulita, dan seterusnya. Betapa pun gelapnya kode tersebut, dalam berbagai pengulangan dapat kita rasakan intensitas suatu hasrat yang tak terucapkan dengan bahasa, yaitu bunyi-bunyi seperti zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze, tetapi rupanya seruan-seruan magis itu tak sanggup juga mendekatkan wujud yang tak terbatas atau yang kudus itu kepada penyair, yang akhirnya berkata dengan pasrah, dan mungkin dengan putus harapan: “nama nama kalian bebas/carilah tuhan semaumu”.
Perjuangan dengan yang tak terbatas, yang ilahi, atau yang kudus dapat kita amati dengan lebih jelas dalam sajaknya yang berjudul Shang Hai. Teknik yang diterapkan penyair di sini adalah menerjemahkan kata-kata dalam kode leksikal ke dalam tanda-tanda non-leksikal.
Semantik diterjemahkan menjadi semiotik sebagaimana dikatakan oleh Emile Benveniste. Meski demikian, penggunaan kode-kode non-leksikal itu disusun dalam suatu struktur yang dengan mudah membuat kita menerjemahkannya kembali ke dalam kata-kata biasa dalam kode leksikal. Hubungan di antara signifier (tanda non-leksikal) dan the signified (kode leksikal) tidak dibuat eksplisit, tetapi memberi kemungkinan bagi pembaca untuk menemukannya.
Ping di atas pong
pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
ya tak ping ya tak pong
kutakpunya ping
kutakpunya pong
pinggir ping kumau pong
tak tak bilang ping
pinggir pong kumau ping
tak tak bilang pong
sembilu jarakMu merancap nyaring
Ada tiga cara membaca sajak ini. Cara pertama adalah cara semiotik yang melihat semua bunyi bahasa dalam sajak itu sebagai tanda dan hubungan antartanda. Cara yang kedua adalah cara semantik yaitu melihat hubungan kode leksikal dengan makna.
Cara yang ketiga adalah cara hermeneutik yaitu melihat hubungan antara kode bahasa dengan makna, dan hubungan makna dengan konteks kebudayaan yang luas. Cara ketiga inilah yang akan saya gunakan dalam membaca sajak Shang Hai.
Dibaca dengan cara hermeneutis maka sajak itu dapat menunjukkan suatu perjuangan eksistensial untuk memihak makna atau tanpa makna, persaingan antara percaya dan rasa sia-sia, tukar-menukar antara benci dan rindu, atau pingpong antara ada dan tiada.
Ping di atas pong
pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
Ada sesuatu yang intens dan tegang dalam larik-larik tersebut yang kita tak tahu sepenuhnya apa. Akan tetapi, untuk keperluan penafsiran, kita secara eksperimental dapat mengganti fonem ping dan pong dengan kata-kata yang ada dalam kode leksikal bahasa Indonesia. Sebagai contoh gantilah fonem ping dengan kata-kata seperti: ada, percaya, rindu, dan dekat, dan gantilah fonem pong dengan kata-kata seperti: tiada, sia-sia, benci atau jauh maka akan terasa ketegangan itu.
Dengan peralihan ke dalam kode leksikal, maka larik-larik di atas akan berbunyi:
Ada di atas tiada
tiada di atas ada
ada ada bilang tiada
tiada tiada bilang ada
mau tiada? bilang ada
mau mau bilang tiada
mau ada? bilang tiada
mau mau bilang ada
ya tiada ya ada
ya ada ya tiada
Atau kalau kita menggantinya dengan kode leksikal lainnya, maka kita dapati larik-larik berikut:
Rindu di atas benci
benci di atas rindu
rindu rindu bilang benci
benci benci bilang rindu
mau benci? bilang rindu
mau mau bilang benci
mau rindu? bilang benci
mau mau bilang rindu
ya benci ya rindu
ya rindu ya benci
Sajak ini termasuk sajak Sutardji yang paling mempesona saya karena hanya dengan dua fonem yang tak ada maknanya secara leksikal kita diberi ruang yang lapang untuk membangun makna tentang dialektik yang keras di antara dua jenis energi yang diberi nama “ping” dan “pong”.
Makna baru
Dialektik ini rupanya tak menghasilkan suatu sintesa yang memuaskan, sehingga akhirnya meledak dalam kalimat terakhir sajak yang berbunyi sembilu jarakMu merancap nyaring. Anda tahu “merancap” adalah bunyi senjata tajam yang sedang diasah. Maka, jarak dengan yang tak terbatas telah menjadi sembilu yang terus diasah dengan denting bunyi yang nyaring.
Namun, di sinilah Sutardji berhadapan dengan kontradiksinya sendiri: usaha untuk keluar dari makna akan membawa kita kepada makna baru, seperti yang terjadi pada setiap metafor. Penghancuran makna mengharuskan kita untuk melakukan penciptaan makna, sementara dekonstruksi makna akan membawa kita kepada rekonstruksi makna.
Bunyi-bunyi yang tak ada dalam kamus pada akhirnya harus diterjemahkan kembali dengan kata-kata dalam kode leksikal, sebagaimana mantra diterjemahkan menjadi doa, dan mistik diterjemahkan menjadi lirik. Sebagai contoh sajak Sutardji Shang Hai yang baru kita uraikan dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam sajak Sapardi Djoko Damono berjudul Sonet: X. Sajak ini dimulai dengan pertanyaan:
Siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
Dan ditutup dengan pertanyaan:
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
: siapa Aku
Setelah bertanya dan mengaduh dengan berbagai pertanyaan yang serba gelisah, muncul juga jawaban berupa suara dalam diri orang yang bertanya: siapa Aku, siapa Aku yang menggema dalam dirimu? Demikian pun, kesimpulan Sutardji yang terungkap dalam kalimat sembilu jarakMu merancap nyaring dengan mudah mengingatkan kita akan rindu dendam dan mungkin juga frustrasi Amir Hamzah dalam sajaknya PadaMu jua”, yang baik saya kutipkan beberapa baitnya sebagai perbandingan:
Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa
Di mana Engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas
Permainan antara rindu rupa dan rupa tiada, dan pergantian tangkap dengan lepas pada Amir Hamzah kurang lebih paralel dengan sembilu jarakMu merancap nyaring pada Sutardji, yang menyatakan kegelisahan dan rasa penasaran ini dengan lebih jelas dalam sebuah sajaknya yang lain:
Kuharap isiNya kudapat remahNya
kulahap hariNya kurasa resahNya
kusangat inginNya kujumpa ogahNya
kumau Dianya kutemu jejakNya.
Daya pukau
Kalau yang tak terbatas itu dihayati juga sebagai yang kudus, maka pengalaman dengan yang kudus itu, menurut penyelidikan fenomenolog agama, Rudolf Otto, dihayati sebagai perjumpaan dengan mysterium tremendum et fascinans: misteri yang menyebarkan rasa gentar dan memancarkan daya pukau.
Orang tertangkap dalam daya pukau, tetapi terlepas kembali dalam rasa gentar, bertukar tangkap dengan lepas seperti dikatakan Amir Hamzah. Pada beberapa penyair Indonesia daya pukau itu terasa lebih menonjol dan penyair melantunkan sukacita akan kepenuhan pengalaman itu. Chairil Anwar dalam pembukaan sajak Doa berkata:
Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut namaMu
yang dapat kita bandingkan dengan beberapa kalimat dalam sajak Rabindranath Tagore:
I will utter your name, sitting alone among
the shadows of my silent thoughts
I will utter it without words, I will utter it without purpose
Chairil menutup sajaknya dengan stanza berikut:
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Larik-larik itu terdengar bagaikan parafrase pengalaman penyair Inggris, William Blake, ketika berkata dalam sajaknya:
Hold infinity in the palm of your hand
and eternity in an hour
Sutardji jelas mengalami keterpukauan itu, tetapi berkali-kali merasa bahwa yang dekat tetaplah jauh, yang nampak tetap tersembunyi, daya pukau tetaplah menyebar rasa gentar. Ambivalensi tanggapan dan suasana hati ini dapat ditemukan secara intens dalam berbagai sajaknya tetapi muncul dalam nada rendah yang amat simpatik dalam sajak yang berikut ini:
Siapa dapat meneduh rusuh
dalam hatiku dalam hatimu
siapa dapat membalut luluh
yang padamu yang padaku
siapa dapat turunkan sauh
dalam hatiku dalam hatimu
siapa dapat membasuh lusuh
apa kautahu apa kautahu?
Pelanggaran kategori
Kalau semantik diterobos melalui mantra, maka sintaksis diterobos melalui categorial transgression atau pelanggaran batas kategori sebagaimana dimaksudkan oleh Paul Ricoeur. Pelanggaran batas kategori ini dilakukan oleh Sutardji dengan beberapa cara, direncanakan ataupun tidak. Di beberapa tempat jelas-jelas dia memakai kata benda dalam fungsi sebagai kata sifat.
Yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang paling bumi
yang paling pisau
Ada dua hal terlihat dalam contoh ini. Di satu pihak kata benda digunakan sebagai kata sifat, sementara di lain pihak kata benda dapat diberi bentuk superlatif. Kita dapat bertanya mengapa gerangan penyairnya mengatakan “yang paling mawar” dan bukan “yang paling harum”, “yang paling duri” dan bukannya “yang paling tajam”, atau “yang paling sayap” dan bukannya “yang paling bebas”?
Salah satu jawaban yang mungkin ialah ajektif harum, tajam, dan bebas dalam perasaan penyair sudah mengalami devaluasi arti yang terlalu parah akibat tekanan konvensi sosial atau hipokrisi moral, sehingga dia mengambil substantif sebagai gantinya. Sementara itu, dia ingin memastikan bahwa kalau ada bau harum yang terbit dalam perasaannya, maka itu adalah harum mawar dan bukan harum parfum misalnya. Di sini pelanggaran kategori diterapkan untuk mengejar presisi dan kepenuhan makna yang dituju.
Penyimpangan lainnya dilakukan dengan menyamakan dalam fungsi atributif yang sejajar kata-kata dari berbagai jenis kata yang berbeda. Larik-larik berikut ini dapat memberi ilustrasi:
Siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit
siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak siapa
burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal
siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau
tak aku yang paling rindu?
Atau larik-larik lainnya:
Yang mana sungai selain derai yang mana gantung selain sambung
yang mana nama selain mana yang mana gairah selain resah yang
mana tahu selain waktu yang mana tanah selain tunggu
Dalam bait yang dikutip pertama kita bertemu dengan jenis-jenis kata sebagai berikut: derai adalah kata benda, rumit kata sifat, larut kata sifat, pijak kata kerja, sayap kata benda, tunggal kata sifat, tidak kata keterangan, aku kata ganti dan rindu kata kerja. Semua kata-kata ini diberi bentuk superlatif dengan bantuan kata keterangan “paling”, sementara menurut tata bahasa, superlatif hanya dikenakan pada kata sifat.
Dalam bait lainnya kita melihat pasangan kata-kata dalam kedudukan sebagai predikatif, tetapi tidak selalu simetris berdasarkan jenis katanya. Sungai dan derai memang simetris karena keduanya kata benda, juga gantung dan sambung adalah simetris karena keduanya kata kerja.
Akan tetapi, gairah dan resah tidak simetris karena gairah adalah kata benda sementara resah kata sifat. Juga tahu dan waktu tidak simetris karena tahu adalah kata kerja sedangkan waktu kata benda. Atas cara yang sama tanah dan tunggu juga tidak simetris, karena tanah adalah kata benda dan tunggu kata kerja.
Dekonstruksi bahasa
Suatu percobaan Sutardji lainnya yang patut dicatat ialah usahanya mendistorsikan kata-kata dalam kode leksikal dengan makna yang jelas ke bentuk-bentuk kata yang keluar dari kode leksikal sehingga tidak mempunyai makna lagi. Frase seperti “sepisau luka sepisau duri” dapat kita pahami melalui kode leksikal. Akan tetapi, oleh Sutardji perkataan “sepisau” dipelesetkan menjadi “sepisaupa sepisaupi” yang sudah sulit dipahami dengan menggunakan kamus.
Sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyi
Pelanggaran kategori terhadap jenis kata yang sangat sering dilakukan dan distorsi bentuk kata yang kadang-kadang dilakukan, sangat mungkin telah digerakkan oleh motif pribadi penyair untuk menerobos batas bahasa sehari-hari. Sekalipun demikian, di banyak tempat penerobosan kategori dan distorsi bentuk kata ini dilakukan untuk meningkatkan efek fonetik melalui pengerahan aliterasi dan asonansi secara maksimal.
Dalam perasaan saya, semenjak Amir Hamzah hanya sedikit sekali penyair kita yang sanggup memainkan bunyi bahasa dalam aliterasi dan asonansi secara kuat dan efektif. Sutardji jelas salah satu dari yang sedikit itu, dan salah satu yang paling berhasil dalam memainkan bunyi bahasa.
Untuk mengambil sebuah contoh saja:
Rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala
nyata sebab dari segala abad sungsang dari segala sampai duri
dari segala rindu luka dari segala laku igau dari segala risau
kubu dari segala buku resah dari segala rasa rusuh dari segala
guruh sia dari segala saya duka dari segala daku Ina dari segala
Anu puteri pesonaku!
datang Kau padaku!
Kalau gairahnya untuk bunyi bahasa menyebabkan dia menerobos kategori-kategori jenis kata, maka kesukaannya pada visualisasi sajak dalam tipografi yang unik menyebabkan dia sering mempersetankan aturan-aturan ejaan yang berlaku. Sutardji menulis kata berulang tanpa pernah menggunakan tanda sambung (-) dan pengulangan itu pun bisa dilakukan lebih dari dua kali. Dengan ringan saja dia menulis “kakekkakek”, “bocahbocah”, atau “terkekehkekeh”. Atau “minumminum”, “senyumsenyum”, “jingkrakjingkrak” dan “nyanyinyanyi”.
Jadi rupa-rupanya, dalam pandangan Sutardji, yang harus diterobos bukan saja makna kata-kata yang dibakukan dalam kamus, tetapi juga bentuk fisik kata-kata yang dibakukan dalam ejaan. Penyair seakan mencium bau kolonisasi dalam sistem ejaan. Karena, seperti halnya makna kata-kata, sangat mungkin pula bentuk kata yang diatur dalam ejaan telah dipaksakan oleh kepentingan politik, kebutuhan pasar, serta kecenderungan-kecenderungan tertentu, yang tidak selalu menguntungkan pemakaian bahasa secara efektif.
Begitulah, catatan-catatan ini mudah-mudahan memperlihatkan sekadarnya bahwa jauh-jauh hari sebelum diskusi tentang teori-teori post-modernis marak di Indonesia semenjak 1990-an, Sutardji sebagai penyair telah menyadari, kalau bahasa tak lain tak bukan hanyalah suatu konstruksi sosial. Karena bahasa adalah konstruksi, dia dapat juga dinegasikan melalui dekonstruksi.
Upaya dan perjuangan Sutardji untuk menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapatlah dipandang sebagai percobaan untuk melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran, dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.
Atau, untuk memakai kata-kata Sutardji sendiri, puisi adalah ibarat “senyap dalam sungai tenggelam dalam mimpi” tetapi dekonstruksi melalui puisi adalah ibarat “cuka dalam nadi luka dalam diri”.
* Esai ini berasal dari Pidato Kebudayaan yang disampaikan pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM, Jakarta, 19 Juli 2007, untuk menghormati penyair Sutardji Calzoum Bachri 66 tahun. Dalam penerbitan ini seluruh catatan kaki dihilangkan.
** Ignas Kleden, Sosiolog, Penulis Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Grafiti, Jakarta, 2004
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/puisi-dan-dekonstruksi-perihal-sutardji.html
Atau lihat ini: http://ignaskleden.blogdrive.com/archive/10.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 28 Oktober 2011
Dami N. Toda sebagai Kritikus Sastra
Yohanes Sehandi *
harian Pos Kupang, 23 Juni 2010
Sejak Dami N. Toda meninggal dunia 10 November 2006 di Hamburg (Jerman) sampai dengan pengantaran abu jenazahnya ke Indonesia/NTT, Oktober 2007, sejumlah koran nasional dan lokal NTT (Pos Kupang dan Flores Pos), memberitakannya. Wartawan Pos Kupang di Manggarai, Kanis Lina Bana, merekam kembali perjalanan hidup almarhum dan menghasilkan tiga tulisan berseri di Pos Kupang (25-27/10/2007). Dua penulis muda NTT, Bill Halan (Pos Kupang, 1/11/2007) dan Isidorus Lilijawa (Flores Pos, 24/10/2007) memberi sumbangan “opini sastra” tentang Dami N. Toda beserta jasa-jasanya. Semakin semarak berita tentang almarhum dengan kehadiran sastrawan besar Indonesia, WS Rendra, yang memberi kesaksian tentang kehebatan Dami N. Toda, juga ikut mengantarkan abu jenazah almarhum ke Kupang terus ke Todo-Pongkor, Manggarai, untuk disemayamkan di tempat peristirahatannya yang terakhir (Pos Kupang, 12, 16, 17, 19, 21/10/2007, dan Flores Pos, 16, 19/10/2007).
Dari berbagai berita dan opini, juga sambutan dalam berbagai acara, almarhum dihormati dengan sebutan “sastrawan” atau “budayawan,” sambil sesekali karya-karyanya disebut, seperti Novel Baru Iwan Simatupang (1980), Hamba-Hamba Kebudayaan (1984), dan Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi (1999). Hanya sayangnya, tidak ada berita/ ulasan yang “memadai” tentang karya-karya sastra bidang “spesifik apa” yang membuat nama Dami N. Toda terkenal dan meroket cakrawala sastra Indonesia modern. Sebutan sastrawan atau budayawan adalah sebutan umum yang perlu diberi penjelasan.
Kritikus Sastra
Tulisan ini mencoba menelusuri karya-karya Dami N. Toda sejauh yang penulis jangkau (miliki), yang melipuiti karya sastra kreatif (puisi), pemikiran kebudayaan, dan kritik sastra. Tiga bidang inilah yang menurut hemat penulis, merupakan “basis” pergulatan intelektual beliau selama hidupnya yang terekam dan terpublikasikan untuk umum.
Di bidang sastra kreatif, dosen pada Lembaga Studi-Studi Indonesia dan Pasifik, Universitas Hamburg (Jerman) sejak 1981 sampai dengan meninggal 10 November 2006, ini telah menciptakan puisi-puisi yang cukup bernas, sementara prosa (novel dan cerpen) dan naskah drama, sejauh yang penulis ketahui, belum pernah ditulisnya. Puisi-puisi Dami dapat dinikmati dalam antologi puisi Penyair Muda di Depan Forum (1974) dan Tonggak III (Editor Linus Suryadi AG, 1987), serta kumpulan puisi Buru Abadi (2005).
Dilihat dari jumlah puisi yang dihasilkannya, beliau tidak termasuk penyair produktif. Ini kalau kita bandingkan dengan sejumlah penyair lain seangkatannya, seperti WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan Sutardji Calzoum Bachri.
Di bidang pemikiran kebudayaan, Dami N. Toda menghasilkan buku berbobot Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi (1999), juga menerjemahkan dan memberi prakata buku Maka Berbicaralah Zarathustra F. Nietsche (2000). Buku sejarah budaya Manggarai ini menggambarkan pemikiran kritis Dami N. Toda yang bertujuan “mencerahkan/ meluruskan” sejarah kerajaan lokal Manggarai sebagai hasil manipulasi sejarah kaum penjajah di masa lalu. Buku ini merupakan salah satu buku terbaik hasil penelitian sejarah kebudayaan daerah di Indonesia yang “mengandalkan” tradisi lisan atau bahasa tutur masyarakat lokal sebagai sumber utama penelitian dan menghasilkan karya ilmiah yang patut diperhitungkan.
Di bidang kritik sastra, yang di dalamnya mencakup analisis sastra dan telaah sastra, Dami N. Toda mengukir nama besar di tingkat nasional. Karya-karya kritiknya terdapat dalam buku, antara lain: Puisi-Puisi Goenawan Mohamad (berisi telaah/ kritik sastra, 1975), Novel Baru Iwan Simatupang (skripsi sarjana UI, berupa telaah/kritik sastra, 1980), dan Hamba-Hamba Kebudayaan (himpunan kritik sastra dari berbagai media, 1984). Dami pun berhasil mengumpulkan cerpen Iwan Simatupang yang tersebar/ tercecer dalam satu kumpulan cerpen dengan judul Tegak Lurus dengan Langit (1983).
Dibandingkan dengan karyanya di bidang satra kreatif dan pemikiran kebudayaan, karyanya di bidang kritik sastralah yang lebih banyak menimbulkan decak kagum banyak kalangan. Almarhum menghasilkan karya kritik sastra (tulisan atau buku) yang berbobot dan menggemparkan jagat sastra Indonesia modern tahun 1970-an dan 1980-an. Sastrawan Indonesia yang karyanya dikritik Dami memberi rasa hormat. Menurut hemat penulis, sebutan/ julukan yang tepat untuk Dami N. Toda adalah “kritikus sastra.” Kritik sastra adalah spesifikasi keahliannya yang sangat menonjol dan membuat namanya terkenal.
Ada tiga jenis kritik sastra Dami, yakni kritik novel, kritik puisi, dan kritik drama/teater. Pengertian “kritik sastra” di sini adalah upaya kritikus mengungkapkan keunggulan/ kekuatan sebuah karya sastra, juga kekurangan/ kelemahannya, yang dilakukan secara kritis, analitis, dan estetis. Di sinilah letak perbedaan “kritik sastra” dengan pengertian “kritik” pada umumnya.
Novel-novel yang dikritik Dami adalah novel-novel Iwan Simatupang, yakni Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969), Kering (1972), dan Koong (1975). Puisi-puisi yang mendapat perhatian Dami adalah puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang terhimpun dalam kumpulan puisi O Amuk Kapak (1981) yang merupakan gabungan tiga kumpulan puisi Sutardji sebelumnya dalam bentuk stensilan, yakni O (1973), Amuk (1977), dan Kapak (1979). Dami juga memberikan ulasan khusus terhadap puisi-puisi WS Rendra, Goenawan Mohamad, Ibrahim Sattah, dan Abdul Hadi W.M. Sedangkan kritik drama Dami lakukan terhadap karya WS Rendra (terutama “Bip-Bop” dan “Piiieeep”).
Menemukan Iwan
Novel-novel Iwan Simatupang (juga cerpennya) yang terbit 1960-an dan 1970-an tidak mendapat respons para pengamat dan kritikus sastra Indonesia. Karya-karyanya dinilai aneh, lain dari yang lain, padat renungan/idealis, tokohnya tokoh imajiner, latar tempat tak dapat dilacak, penuh kejutan, tidak ada awal, tengah, dan akhir. Pokoknya, sastra Iwan tidak bisa diterima dengan kerangka ilmu sastra yang sudah baku di Indonesia, yang antara lain dirasuki oleh Teory of Literature (Rene Welek, dkk) dan Aspects of The Novel (E.M.Forster).
Novel-novel Iwan tidak bisa dinalar dari segi “intrinsik” dan “ekstrinsik,” karena itu bukanlah novel, bukan sastra. Seorang kritikus sastra dari UI, Boen S. Oemarjati, menolak cerpen Iwan “Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu” (Majalah Sastra I/7-1961) sebagai “Cerpen yang tidak memberikan suatu sikap positif.” Penolakan kritikus ini mendapat tanggapan keras dari Iwan lewat esainya, “T dari Tanggung Jawab” (Majalah Sastra II/1-1962) yang dimuat kembali dalam Sejumlah Masalah Sastra (Satyagraha Hoerip, Ed, 1982).
Publik sastra Indonesia merasakan sesuatu yang baru dalam novel-novel Iwan, namun tidak ada yang mampu menjelaskan “kebaruan” yang dibawakan Iwan. Pada saat kevakuman itulah muncul Dami N. Toda. Dami melakukan studi yang mendalam terhadap novel-novel Iwan lewat skripsi sarjananya di FS UI (1975), kemudian dibukukan menjadi Novel Baru Iwan Simatupang . Menurut Dami, novel-novel Iwan adalah aplikasi filsafat eksistensialisme yang sedang demam di Barat mulai tahun 1950-an. Ini bisa dipahami karena bertahun-tahun Iwan belajar di Eropa, antropologi di Leiden, drama di Amsterdam (Belanda), filsafat di Sorbonne (Perancis).
Temuan Dami N. Toda lewat Novel Baru Iwan Simatupang ini membuat namanya terangkat dan masuk dalam jajaran kritikus sastra Indonesia. Benar sekali kesaksian Rofino Kant, Ruteng, teman akrab Dami N. Toda semasih tinggal di Jakarta, bahwa nama Dami menjadi terkenal pada waktu diskusi sastra dengan sejumlah sastrawan terkenal di Jakarta tentang novel Iwan Merahnya Merah. Dami berani memberikan catatan kritis terhadap novel tersebut (Pos Kupang, 26/10/2007). Forum diskusi sastra dan tulisan Dami tentang Iwan mengokohkan namanya sebagai kritikus sastra yang menemukan novelis besar Indonesia, Iwan Simatupang.
Melambungkan Sutardji
Setelah menemukan Iwan, Dami N. Toda menjelajahi puisi-puisi “aneh” dan “nyentrik” (mirip perilaku penyairnya) Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dalam kumpulan puisinya yang lengkap O Amuk Kapak. Kemunculan penyair SCB tahun 1970-an menggegerkan jagat perpuisian Indonesia. Sajak-sajaknya aneh, unik, lain dari yang pernah ada dalam sastra Indonesia sejak zaman pantun/syair/gurindam sampai zaman Balai Pustaka, Punjangga Baru, Angkatan 45 dan Angkatan 66. Konvensi penulisan puisi yang bertumpu pada kata/bahasa yang melahirkan makna (tergantung pada kata – meminjam istilah A. Teeuw) tidak diindahkan, bahkan dibalik-balik, disungsang, dan dibuntungkan. Aturan ejaaan (yang berkali-kali disempurnakan) dan gramatika bahasa Indonesia dibuat tak berdaya. Sejumlah pengarang memberi sikap sinis, bahkan menolaknya sebagai puisi/sastra.
Di tengah kontroversi kehadiran SCB, tampillah Dami N. Toda di atas panggung kritik sastra Indonesia. Ia memberi apresiasi yang positif terhadap SCB. Ia membedah puisi-puisi SCB yang mirip mantra dengan pisau analisis yang tajam bermodalkan pengetahuan yang luas di bidang ilmu sastra, filsafat, dan mitologi. Dami N. Toda menunjuk dan memperlihatkan ke publik sastra “kebaruan” hasil kreativitas yang dibawakan SCB dalam khazanah sastra Indonesia modern.
Hasil telaahan/pencerahan Dami terhadap puisi-puisi SCB membuka mata publik sastra Indonesia akan pembaruan puisi/penciptaan sastra di Indonesia. Satu-satunya kritikus sastra Indonesia modern, yang paling intens mendalami puisi-puisi SCB dan mempublikasikannya adalah Dami N. Toda. Melambungnya nama SCB menjadi penyair besar Indonesia yang pada 26 Januari 1976 memproklamasikan dirinya sebagai “Presiden Penyair Indonesia,” tidak terlepas dari jasa besar seorang kritikus besar Indonesia yang bernama Dami N. Toda. ***
*) Anggota DPRD NTT 1999-2009
Dijumput dari: http://yohanessehandi.blogspot.com/2011/05/dami-n-toda-sebagai-kritikus-sastra.html
harian Pos Kupang, 23 Juni 2010
Sejak Dami N. Toda meninggal dunia 10 November 2006 di Hamburg (Jerman) sampai dengan pengantaran abu jenazahnya ke Indonesia/NTT, Oktober 2007, sejumlah koran nasional dan lokal NTT (Pos Kupang dan Flores Pos), memberitakannya. Wartawan Pos Kupang di Manggarai, Kanis Lina Bana, merekam kembali perjalanan hidup almarhum dan menghasilkan tiga tulisan berseri di Pos Kupang (25-27/10/2007). Dua penulis muda NTT, Bill Halan (Pos Kupang, 1/11/2007) dan Isidorus Lilijawa (Flores Pos, 24/10/2007) memberi sumbangan “opini sastra” tentang Dami N. Toda beserta jasa-jasanya. Semakin semarak berita tentang almarhum dengan kehadiran sastrawan besar Indonesia, WS Rendra, yang memberi kesaksian tentang kehebatan Dami N. Toda, juga ikut mengantarkan abu jenazah almarhum ke Kupang terus ke Todo-Pongkor, Manggarai, untuk disemayamkan di tempat peristirahatannya yang terakhir (Pos Kupang, 12, 16, 17, 19, 21/10/2007, dan Flores Pos, 16, 19/10/2007).
Dari berbagai berita dan opini, juga sambutan dalam berbagai acara, almarhum dihormati dengan sebutan “sastrawan” atau “budayawan,” sambil sesekali karya-karyanya disebut, seperti Novel Baru Iwan Simatupang (1980), Hamba-Hamba Kebudayaan (1984), dan Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi (1999). Hanya sayangnya, tidak ada berita/ ulasan yang “memadai” tentang karya-karya sastra bidang “spesifik apa” yang membuat nama Dami N. Toda terkenal dan meroket cakrawala sastra Indonesia modern. Sebutan sastrawan atau budayawan adalah sebutan umum yang perlu diberi penjelasan.
Kritikus Sastra
Tulisan ini mencoba menelusuri karya-karya Dami N. Toda sejauh yang penulis jangkau (miliki), yang melipuiti karya sastra kreatif (puisi), pemikiran kebudayaan, dan kritik sastra. Tiga bidang inilah yang menurut hemat penulis, merupakan “basis” pergulatan intelektual beliau selama hidupnya yang terekam dan terpublikasikan untuk umum.
Di bidang sastra kreatif, dosen pada Lembaga Studi-Studi Indonesia dan Pasifik, Universitas Hamburg (Jerman) sejak 1981 sampai dengan meninggal 10 November 2006, ini telah menciptakan puisi-puisi yang cukup bernas, sementara prosa (novel dan cerpen) dan naskah drama, sejauh yang penulis ketahui, belum pernah ditulisnya. Puisi-puisi Dami dapat dinikmati dalam antologi puisi Penyair Muda di Depan Forum (1974) dan Tonggak III (Editor Linus Suryadi AG, 1987), serta kumpulan puisi Buru Abadi (2005).
Dilihat dari jumlah puisi yang dihasilkannya, beliau tidak termasuk penyair produktif. Ini kalau kita bandingkan dengan sejumlah penyair lain seangkatannya, seperti WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan Sutardji Calzoum Bachri.
Di bidang pemikiran kebudayaan, Dami N. Toda menghasilkan buku berbobot Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi (1999), juga menerjemahkan dan memberi prakata buku Maka Berbicaralah Zarathustra F. Nietsche (2000). Buku sejarah budaya Manggarai ini menggambarkan pemikiran kritis Dami N. Toda yang bertujuan “mencerahkan/ meluruskan” sejarah kerajaan lokal Manggarai sebagai hasil manipulasi sejarah kaum penjajah di masa lalu. Buku ini merupakan salah satu buku terbaik hasil penelitian sejarah kebudayaan daerah di Indonesia yang “mengandalkan” tradisi lisan atau bahasa tutur masyarakat lokal sebagai sumber utama penelitian dan menghasilkan karya ilmiah yang patut diperhitungkan.
Di bidang kritik sastra, yang di dalamnya mencakup analisis sastra dan telaah sastra, Dami N. Toda mengukir nama besar di tingkat nasional. Karya-karya kritiknya terdapat dalam buku, antara lain: Puisi-Puisi Goenawan Mohamad (berisi telaah/ kritik sastra, 1975), Novel Baru Iwan Simatupang (skripsi sarjana UI, berupa telaah/kritik sastra, 1980), dan Hamba-Hamba Kebudayaan (himpunan kritik sastra dari berbagai media, 1984). Dami pun berhasil mengumpulkan cerpen Iwan Simatupang yang tersebar/ tercecer dalam satu kumpulan cerpen dengan judul Tegak Lurus dengan Langit (1983).
Dibandingkan dengan karyanya di bidang satra kreatif dan pemikiran kebudayaan, karyanya di bidang kritik sastralah yang lebih banyak menimbulkan decak kagum banyak kalangan. Almarhum menghasilkan karya kritik sastra (tulisan atau buku) yang berbobot dan menggemparkan jagat sastra Indonesia modern tahun 1970-an dan 1980-an. Sastrawan Indonesia yang karyanya dikritik Dami memberi rasa hormat. Menurut hemat penulis, sebutan/ julukan yang tepat untuk Dami N. Toda adalah “kritikus sastra.” Kritik sastra adalah spesifikasi keahliannya yang sangat menonjol dan membuat namanya terkenal.
Ada tiga jenis kritik sastra Dami, yakni kritik novel, kritik puisi, dan kritik drama/teater. Pengertian “kritik sastra” di sini adalah upaya kritikus mengungkapkan keunggulan/ kekuatan sebuah karya sastra, juga kekurangan/ kelemahannya, yang dilakukan secara kritis, analitis, dan estetis. Di sinilah letak perbedaan “kritik sastra” dengan pengertian “kritik” pada umumnya.
Novel-novel yang dikritik Dami adalah novel-novel Iwan Simatupang, yakni Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969), Kering (1972), dan Koong (1975). Puisi-puisi yang mendapat perhatian Dami adalah puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang terhimpun dalam kumpulan puisi O Amuk Kapak (1981) yang merupakan gabungan tiga kumpulan puisi Sutardji sebelumnya dalam bentuk stensilan, yakni O (1973), Amuk (1977), dan Kapak (1979). Dami juga memberikan ulasan khusus terhadap puisi-puisi WS Rendra, Goenawan Mohamad, Ibrahim Sattah, dan Abdul Hadi W.M. Sedangkan kritik drama Dami lakukan terhadap karya WS Rendra (terutama “Bip-Bop” dan “Piiieeep”).
Menemukan Iwan
Novel-novel Iwan Simatupang (juga cerpennya) yang terbit 1960-an dan 1970-an tidak mendapat respons para pengamat dan kritikus sastra Indonesia. Karya-karyanya dinilai aneh, lain dari yang lain, padat renungan/idealis, tokohnya tokoh imajiner, latar tempat tak dapat dilacak, penuh kejutan, tidak ada awal, tengah, dan akhir. Pokoknya, sastra Iwan tidak bisa diterima dengan kerangka ilmu sastra yang sudah baku di Indonesia, yang antara lain dirasuki oleh Teory of Literature (Rene Welek, dkk) dan Aspects of The Novel (E.M.Forster).
Novel-novel Iwan tidak bisa dinalar dari segi “intrinsik” dan “ekstrinsik,” karena itu bukanlah novel, bukan sastra. Seorang kritikus sastra dari UI, Boen S. Oemarjati, menolak cerpen Iwan “Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu” (Majalah Sastra I/7-1961) sebagai “Cerpen yang tidak memberikan suatu sikap positif.” Penolakan kritikus ini mendapat tanggapan keras dari Iwan lewat esainya, “T dari Tanggung Jawab” (Majalah Sastra II/1-1962) yang dimuat kembali dalam Sejumlah Masalah Sastra (Satyagraha Hoerip, Ed, 1982).
Publik sastra Indonesia merasakan sesuatu yang baru dalam novel-novel Iwan, namun tidak ada yang mampu menjelaskan “kebaruan” yang dibawakan Iwan. Pada saat kevakuman itulah muncul Dami N. Toda. Dami melakukan studi yang mendalam terhadap novel-novel Iwan lewat skripsi sarjananya di FS UI (1975), kemudian dibukukan menjadi Novel Baru Iwan Simatupang . Menurut Dami, novel-novel Iwan adalah aplikasi filsafat eksistensialisme yang sedang demam di Barat mulai tahun 1950-an. Ini bisa dipahami karena bertahun-tahun Iwan belajar di Eropa, antropologi di Leiden, drama di Amsterdam (Belanda), filsafat di Sorbonne (Perancis).
Temuan Dami N. Toda lewat Novel Baru Iwan Simatupang ini membuat namanya terangkat dan masuk dalam jajaran kritikus sastra Indonesia. Benar sekali kesaksian Rofino Kant, Ruteng, teman akrab Dami N. Toda semasih tinggal di Jakarta, bahwa nama Dami menjadi terkenal pada waktu diskusi sastra dengan sejumlah sastrawan terkenal di Jakarta tentang novel Iwan Merahnya Merah. Dami berani memberikan catatan kritis terhadap novel tersebut (Pos Kupang, 26/10/2007). Forum diskusi sastra dan tulisan Dami tentang Iwan mengokohkan namanya sebagai kritikus sastra yang menemukan novelis besar Indonesia, Iwan Simatupang.
Melambungkan Sutardji
Setelah menemukan Iwan, Dami N. Toda menjelajahi puisi-puisi “aneh” dan “nyentrik” (mirip perilaku penyairnya) Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dalam kumpulan puisinya yang lengkap O Amuk Kapak. Kemunculan penyair SCB tahun 1970-an menggegerkan jagat perpuisian Indonesia. Sajak-sajaknya aneh, unik, lain dari yang pernah ada dalam sastra Indonesia sejak zaman pantun/syair/gurindam sampai zaman Balai Pustaka, Punjangga Baru, Angkatan 45 dan Angkatan 66. Konvensi penulisan puisi yang bertumpu pada kata/bahasa yang melahirkan makna (tergantung pada kata – meminjam istilah A. Teeuw) tidak diindahkan, bahkan dibalik-balik, disungsang, dan dibuntungkan. Aturan ejaaan (yang berkali-kali disempurnakan) dan gramatika bahasa Indonesia dibuat tak berdaya. Sejumlah pengarang memberi sikap sinis, bahkan menolaknya sebagai puisi/sastra.
Di tengah kontroversi kehadiran SCB, tampillah Dami N. Toda di atas panggung kritik sastra Indonesia. Ia memberi apresiasi yang positif terhadap SCB. Ia membedah puisi-puisi SCB yang mirip mantra dengan pisau analisis yang tajam bermodalkan pengetahuan yang luas di bidang ilmu sastra, filsafat, dan mitologi. Dami N. Toda menunjuk dan memperlihatkan ke publik sastra “kebaruan” hasil kreativitas yang dibawakan SCB dalam khazanah sastra Indonesia modern.
Hasil telaahan/pencerahan Dami terhadap puisi-puisi SCB membuka mata publik sastra Indonesia akan pembaruan puisi/penciptaan sastra di Indonesia. Satu-satunya kritikus sastra Indonesia modern, yang paling intens mendalami puisi-puisi SCB dan mempublikasikannya adalah Dami N. Toda. Melambungnya nama SCB menjadi penyair besar Indonesia yang pada 26 Januari 1976 memproklamasikan dirinya sebagai “Presiden Penyair Indonesia,” tidak terlepas dari jasa besar seorang kritikus besar Indonesia yang bernama Dami N. Toda. ***
*) Anggota DPRD NTT 1999-2009
Dijumput dari: http://yohanessehandi.blogspot.com/2011/05/dami-n-toda-sebagai-kritikus-sastra.html
Minggu, 23 Oktober 2011
LELAKI BERSANDAR PADA ANGIN
Bambang kempling
http://sastra-indonesia.com/
Lorong menuju kamar itu, mengingatkannya pada kebisuan-kebisuan yang tidak sempat tertulis. Begitu banyak yang mendesak perlahan, termasuk pilihan-pilihan. Tetapi ada semacam kesadaran bahwa kata-kata yang menjelma begitu saja, tidak seharusnya berakhir sia-sia.
Hari lewat tengah malam, dengan sempoyongan dia masuki lorong sempit itu. Sebuah lorong melarat, dimana barangkali seluruh debunya telah terlebih dahulu mencatatkan peristiwa setiap hari yang dilalui menjadi satu tarikan abstraksi jalan hidup.
“Apakah masih ada kegembiraan?”desisnya, membaur dengan bau yang tertimbun oleh kepengapan udara kamar.
Masih begitu diingatnya, bagaimana mesti menyembunyikan keganjilan ketika lewat pada sebuah jalan kecil samping masjid; suara azan yang syahdu, juga bersimpangannya dengan orang-orang yang hendak berkunjung ke rumah Tuhan, dan tentang bagaimana dia secara tiba-tiba berlari menjauh. Ekpresi aneh segera tergambar dari setiap wajah mereka.
Begitu kencang larinya. Di depan kaca jendela sebuah ruang gedung dia berhenti. Bagaikan etalase bayang-bayang, di antara bayang-bayang itu, wajahnya berekspresi aneh bahkan lebih aneh dari mereka. Difokuskan perhatian pada warna matanya, “Ada yang hilang dari sorot mata ini!” katanya. Dikupilnya lumut pinggir got tumpuan pijakan kakinya, ditulis kata “Cuk!!” tepat menutupi bayangan kedua matanya.
“Heh! Kurang ajar, jadi sejak tadi kau mengintip aku sedang berganti pakaian hah!!?” tiba-tiba berseru seorang perempuan dari dalam.
Betapa terkejutnya dia. Dengan rasa heran yang berlebih, tanpa sengaja Dia justru menyusupkan fokus pandangnya menembus kaca jendela, mencari sumber suara. Sunguh satu kenaifan karena rasa bersalah dalam ketak-sengajaan. Sementara dari dalam, dengan kutang separoh dikenakan perempuan tadi semakin keras menghardik.
“Kurang ajar!! Pergi gendeng!!”
Dalam gerak reflek dia melompat menjauh, karena terlalu bernafsu menahan malu dan untuk segera menghindar, justru lompatannya mengarahkan moncong hidungnya mengenai sebuah pilar beton. Dia terjatuh dan berdarah.
“Mampus kau!!” sengit perempuan tadi.
Darah bening diusapnya dengan kerah baju, nafas dan keringat bersatu melawan pacuan degup jantung yang luka. Tapi sebagai laki-laki, masih tersembul juga kata dalam hati: “Ambooi…” Libido pun membawa khayal menuju taman bidadari dimana dialah sang kupu-kupu yang sedang mengangkasa, hinggap di setiap bunga mekar. Lalu seorang bidadari entah dari mana datangnya, tiba-tiba menyembul dari rerimbun bunga-bunga dan menangkapnya. Dia pasrah dalam belaian jari-jari tangan lembut itu. Dia pun pasrah dikecupi. Dan bibir mungilnya merasakan kenikmatan dari kasih sayang luar biasa. Bahkan ketika hendak dilepaskan, nafsu piciknya mengajak untuk berpura-pura terkulai di telapak tangan. Tiba-tiba ada ide untuk terbang lantas hinggap di setiap geraian rambut: menciumi helai demi helai dari pangkal sampai ujung. Maka sebagai kupu-kupu, dialah kupu-kupu paling bahagia dalam taman sorga yang tercipta dari khayalan.
*
Senyumnya masih mengembang, ketika klakson mobil dan umpatan sang sopir menghentaknya.
“Mau mati apa!?”
Mobil terus melaju dengan kepalan tangan dan longokan penuh kebencian sang sopir yang mengarah ke dia. Dalam waktu yang hampir bersamaan dari belakang sebuah motor melaju kencang, membalapnya lantas menyahut tangan sang sopir. Dari jauhan sepertinya ada sesuatu terjatuh ke jalan raya.
“Jambret!!!” teriak sang sopir.
Seorang tukang becak yang sedang mangkal di bawah pohon besar, segera bertindak menyelamatkan sesuatu yang terjatuh itu lalu mengayuh becaknya ke arah berlawanan. Dan sang sopir bertambah kesal,
“Bajingan!!” teriaknya semakin keras.
*
Hiruk-pikuk jalanan menghantarkannya ke sebuah peron stasiun kota. Lalu-lalang orang asing disikapi sebagai satu kemestian, sebagaimana sikap orang-orang yang berlalu-lalang itu terhadapnya: ‘Hidup di bumi yang sama dan tidak harus saling mengenal’. Ada sebagian yang menyapa, tapi dia terlalu asyik untuk bercengkrama dengan keengganannya.
“Apa lagi yang hendak kusaksikan?” desisnya, mengambang di antara lalu-lalang orang yang bergegas, dengan gerbong-gerbong kereta, dengan rel kereta, dengan pilar-pilar, dengan semua yang terlingkup dalam satu penyaksiannya.
Lengking dan deru kereta dari kejauhan merambat sampai di telinga berpuluh-puluh kepala yang secara tiba-tiba melongok. Sesampai kereta di depan mata, segera ditangkapnya wajah-wajah gembira untuk satu harapan pertemuan. Dia berjingkat dari kursi tunggu menuju pintu-pintu kereta, berjalan dari pintu ke pintu. Ada sesuatu yang ditunggu.
“Barangkali besok.” desisnya. Satu kewajaran dari satu harapan yang salah, kemudian Dia beranjak pergi meningalkan satu kesia-siaan.
*
Hari telah terlalu sore untuk dinikmati ketika sampai di sebuah kedai minuman. Bergelas-gelas arak dihabiskannya, seolah ada keinginan untuk melumatkan seluruh kekecewaannya di sebuah kedai dimana banyak orang tenggelam dalam kesombongan sepi, atau para pembual yang bergentayangan dengan ilmu yang belum selesai, tapi merasa berhak untuk membusungkan dada.
Begitulah. Sehari telah dilewatkan dengan diam dan curiga kepada jalan hidupnya, terhadap mimpi-mimpi, bahkan ada keingkaran terhadap doa dari secuil kepercayaan pada perburuan yang belum selesai. Sebagaimana mimpi bayang-bayang, ada yang hendak dipakukan dari kecurigaan-kecurigaan, bahwa sesekali dia juga ingin menciptakan bayang-bayang. tidak sebagaimana hidupnya kini, atau barangkali keberhakan atas pemujaan ciptaan telah dipupuskan oleh para filusuf terdahulu bahkan termasuk seniman-seniman besar yang telah terabadikan namanya di langit. Tapi obsesi tidak selalu sekedar utopi. Paling tidak begitulah kesimpulan sehari pengembaraan sebelum berakhir di bergelas-gelas minuman, sebelum berkabar pada debu-debu lantai kamar.
*
Dia baringkan capek di atas dipan teramat sederhana, “Apakah ini juga surga yang kucipta itu?” desisnya. Tiba-tiba dirasanya seluruh ruang berputar. Berputar – berputar membentuk sebuah pusaran teramat kuat untuk menyedot dirinya menjadi makhluk yang sangat kecil di tengah pendar-pendar meyilaukan. Dalam ketakberdayaan, dia sempat memicingkan mata mencari sumber putaran itu di langit kamar. “Nah…! sudah mulai..!” katanya. Akhirnya semacam nina bobo ‘tong edan’ memaksanya untuk terpejam dalam pusaran, dalam penjara detak weker di atas meja yang berpacu melawan jantungnya: semakin keras – semakin keras, bahkan telinga yang teramat capek tidak mampu untuk menyihirnya menjadi kebisuan. Dalam waktu yang hampir bersamaan, seperti ada yang mengaduk-aduk perutnya, dia muntah, setelah itu tertidur dalam siksa haus. Dalam desir angin dia menjelajah mimpi berkabut. Kegundahan menciutkan telanjang jalan. Semakin jauh, semakin jauh sukma terbang menjemput sosok bidadari.Di ujung jalan perempuan berparas bunga, melambai. Lekuk tubuhnya mempesona di balik rok transparan berumbai, dan sebagai lelaki dia menghampiri.
*
Udara dingin menusuki pori-pori kulit, sebagian tersedot nafasnya, dan dia terbangun dari mimpi yang belum selesai. Kepalanya pening, terasa ngilu di seluruh persendian. Sebelum beranjak disempatkannya mengingat-ingat mimpi yang belum selesai. Di atas meja ada setengah gelas air putih sisa kemarin, diambilnya sambil dalam hati mengumpat ketololannya, “Cuk! Kenapa tidak saya minum air ini tadi malam?” Disampingnya selembar kertas bertuliskan sajak yang belum selesai. Jendela masih tetap terbuka, bahkan selalu terbuka. Dibacanya keras-keras sajak itu.
“Cicak itu kawin sayang, sedang kita hanya berciuman.”
(Itu saja yang kuingat, ketika kita ciptakan dua bayangan di dinding
Dua makhluk hitam saling mendekap..)
“Penyair gendeng!!” suara seorang gadis dari luar, disusul longokan wajah dan senyum yang manis sekali.
“Maak..! Penyair kita sudah bangun, kopinya mana?
Tadi malam dia mabok lagi. Kumat, aduh… bau banget! Muntah ya? Masuk angin ya? Kasihan ndak ada yang ngerokin..!”
“Kopinya tuan…
Kopi manis hitam warnanya
Dalam cangkir berwarna merah
Dinda yang manis kemana perginya
Sampai tuan rinduuuu…sekali
Ha…ha…ha…” teriak seorang ibu dari dapur, disusul kelakar yang menggodanya untuk menjeput secangkir kopi seperti biasanya.
Sebentar suasana menjadi penuh keriangan, dan dia tiba-tiba merasa tercabut dari kesedihan pagi. Hiburan semacam itu kadang-kadang membuatnya betah untuk tinggal: Suatu rumah surealis ekpresif yang dipenuhi orang yang bermula dari keasingan hingga berlanjut menjadi ketidak-asingan dalam satu keluarga aneh, termasuk dia. Akhirnya suatu keberartian hidup bersama sangatlah baik bagi orang yang tenggelam dalam kemarahan panjang?
Pagi dengan pesona tungku dan segelas kopi membaur dengan kesejukan udara. Sesaat dicondongkan wajah menuju matahari. Kesyahduan mengalir di seluruh syaraf otaknya. Biru langit berselaput mendung tipis diperhatikannya dalam-dalam… dalam-dalam. Mendadak seperti ada yang menyedot dirinya menuju matahari, berjalan di atas awan sambil membacakan sajaknya yang belum selesai. Karena terlalu tenggelam dalam kegembiraan, kewaspadaannya tidak terkontrol dan tanpa disadari, tiba-tiba sebuah lubang awan memerosokkannya. Dia terjerembab, terpental melayang jatuh di atas rimbun belukar belantara yang terbakar. Dia mengaduh panjang:
“Sakiiiit…!! Pengembaraaku belumlah selesai sebab seuntai sajak telah kehilangan pesonanya bagi sekawanan burung …hanya sebatas bunga rahasia…bunga rahasia” sekeras-kerasnya dia mengaduh, mengaduh dan mengaduh. Panas menguliti kepalanya.
Rumah kecil di pinggir sungai kecil itu dalam waktu sekejap berkerumun banyak orang. Dari arah timur, seorang gadis cantik berbaju kuning tampak keheranan.
“Lho… kok baru datang?” sapa salah seorang di antara mereka.
“Ada apa?” tanyanya
“Tiba-tiba dia menyusupkan kepalanya ke tungku.”
“Sekarang di mana?”
“Rumah sakit.”
Gadis itu segera pergi menelusuri jejak air mata.
Pebruari 2004
____________________
*) Bambang Kempling lahir di Lamongan, 17 April 1967 dengan nama lengkap Bambang Purnomo Setyo. Menyelesaikan Pendidikan terakhir di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMM tahun 1992. Semasa mahasiswa aktif di berbagai kegiatan berkesenian diantaranya Teater MELARAT, Kelompok Musik Seteman Ngobrol IQr.
Sekarang aktif di KOSTELA (KOMUNITAS SASTRA DAN TEATER LAMONGAN). Publikasi cerpen-cerpennya hanya terbatas di kalangan CANDRAKIRANA KOSTELA dan antologi cerpen pilihan “Pada Sebuah Alamat” oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unisda Lamongan. Sedangkan untuk puisi-puisinya bisa ditemui di Antologi Tunggalnya KATA SEBUAH SAJAK 2002, Majalah Indupati, Antologi Bersama Teman-teman KOSTELA “Rebana Kesunyian”, “Imajinasi Nama”, Antologi bersama “Permohonan Hijau” yang diterbitkan oleh Festival Seni Surabaya tahun 2003, “Bulan Merayap” (DKL 2004), “Lanskap Telunjuk” (DKL 2004), “Duka Atjeh Duka Bersama (DKJT 2005), dan tabloit Telunjuk.
http://sastra-indonesia.com/
Lorong menuju kamar itu, mengingatkannya pada kebisuan-kebisuan yang tidak sempat tertulis. Begitu banyak yang mendesak perlahan, termasuk pilihan-pilihan. Tetapi ada semacam kesadaran bahwa kata-kata yang menjelma begitu saja, tidak seharusnya berakhir sia-sia.
Hari lewat tengah malam, dengan sempoyongan dia masuki lorong sempit itu. Sebuah lorong melarat, dimana barangkali seluruh debunya telah terlebih dahulu mencatatkan peristiwa setiap hari yang dilalui menjadi satu tarikan abstraksi jalan hidup.
“Apakah masih ada kegembiraan?”desisnya, membaur dengan bau yang tertimbun oleh kepengapan udara kamar.
Masih begitu diingatnya, bagaimana mesti menyembunyikan keganjilan ketika lewat pada sebuah jalan kecil samping masjid; suara azan yang syahdu, juga bersimpangannya dengan orang-orang yang hendak berkunjung ke rumah Tuhan, dan tentang bagaimana dia secara tiba-tiba berlari menjauh. Ekpresi aneh segera tergambar dari setiap wajah mereka.
Begitu kencang larinya. Di depan kaca jendela sebuah ruang gedung dia berhenti. Bagaikan etalase bayang-bayang, di antara bayang-bayang itu, wajahnya berekspresi aneh bahkan lebih aneh dari mereka. Difokuskan perhatian pada warna matanya, “Ada yang hilang dari sorot mata ini!” katanya. Dikupilnya lumut pinggir got tumpuan pijakan kakinya, ditulis kata “Cuk!!” tepat menutupi bayangan kedua matanya.
“Heh! Kurang ajar, jadi sejak tadi kau mengintip aku sedang berganti pakaian hah!!?” tiba-tiba berseru seorang perempuan dari dalam.
Betapa terkejutnya dia. Dengan rasa heran yang berlebih, tanpa sengaja Dia justru menyusupkan fokus pandangnya menembus kaca jendela, mencari sumber suara. Sunguh satu kenaifan karena rasa bersalah dalam ketak-sengajaan. Sementara dari dalam, dengan kutang separoh dikenakan perempuan tadi semakin keras menghardik.
“Kurang ajar!! Pergi gendeng!!”
Dalam gerak reflek dia melompat menjauh, karena terlalu bernafsu menahan malu dan untuk segera menghindar, justru lompatannya mengarahkan moncong hidungnya mengenai sebuah pilar beton. Dia terjatuh dan berdarah.
“Mampus kau!!” sengit perempuan tadi.
Darah bening diusapnya dengan kerah baju, nafas dan keringat bersatu melawan pacuan degup jantung yang luka. Tapi sebagai laki-laki, masih tersembul juga kata dalam hati: “Ambooi…” Libido pun membawa khayal menuju taman bidadari dimana dialah sang kupu-kupu yang sedang mengangkasa, hinggap di setiap bunga mekar. Lalu seorang bidadari entah dari mana datangnya, tiba-tiba menyembul dari rerimbun bunga-bunga dan menangkapnya. Dia pasrah dalam belaian jari-jari tangan lembut itu. Dia pun pasrah dikecupi. Dan bibir mungilnya merasakan kenikmatan dari kasih sayang luar biasa. Bahkan ketika hendak dilepaskan, nafsu piciknya mengajak untuk berpura-pura terkulai di telapak tangan. Tiba-tiba ada ide untuk terbang lantas hinggap di setiap geraian rambut: menciumi helai demi helai dari pangkal sampai ujung. Maka sebagai kupu-kupu, dialah kupu-kupu paling bahagia dalam taman sorga yang tercipta dari khayalan.
*
Senyumnya masih mengembang, ketika klakson mobil dan umpatan sang sopir menghentaknya.
“Mau mati apa!?”
Mobil terus melaju dengan kepalan tangan dan longokan penuh kebencian sang sopir yang mengarah ke dia. Dalam waktu yang hampir bersamaan dari belakang sebuah motor melaju kencang, membalapnya lantas menyahut tangan sang sopir. Dari jauhan sepertinya ada sesuatu terjatuh ke jalan raya.
“Jambret!!!” teriak sang sopir.
Seorang tukang becak yang sedang mangkal di bawah pohon besar, segera bertindak menyelamatkan sesuatu yang terjatuh itu lalu mengayuh becaknya ke arah berlawanan. Dan sang sopir bertambah kesal,
“Bajingan!!” teriaknya semakin keras.
*
Hiruk-pikuk jalanan menghantarkannya ke sebuah peron stasiun kota. Lalu-lalang orang asing disikapi sebagai satu kemestian, sebagaimana sikap orang-orang yang berlalu-lalang itu terhadapnya: ‘Hidup di bumi yang sama dan tidak harus saling mengenal’. Ada sebagian yang menyapa, tapi dia terlalu asyik untuk bercengkrama dengan keengganannya.
“Apa lagi yang hendak kusaksikan?” desisnya, mengambang di antara lalu-lalang orang yang bergegas, dengan gerbong-gerbong kereta, dengan rel kereta, dengan pilar-pilar, dengan semua yang terlingkup dalam satu penyaksiannya.
Lengking dan deru kereta dari kejauhan merambat sampai di telinga berpuluh-puluh kepala yang secara tiba-tiba melongok. Sesampai kereta di depan mata, segera ditangkapnya wajah-wajah gembira untuk satu harapan pertemuan. Dia berjingkat dari kursi tunggu menuju pintu-pintu kereta, berjalan dari pintu ke pintu. Ada sesuatu yang ditunggu.
“Barangkali besok.” desisnya. Satu kewajaran dari satu harapan yang salah, kemudian Dia beranjak pergi meningalkan satu kesia-siaan.
*
Hari telah terlalu sore untuk dinikmati ketika sampai di sebuah kedai minuman. Bergelas-gelas arak dihabiskannya, seolah ada keinginan untuk melumatkan seluruh kekecewaannya di sebuah kedai dimana banyak orang tenggelam dalam kesombongan sepi, atau para pembual yang bergentayangan dengan ilmu yang belum selesai, tapi merasa berhak untuk membusungkan dada.
Begitulah. Sehari telah dilewatkan dengan diam dan curiga kepada jalan hidupnya, terhadap mimpi-mimpi, bahkan ada keingkaran terhadap doa dari secuil kepercayaan pada perburuan yang belum selesai. Sebagaimana mimpi bayang-bayang, ada yang hendak dipakukan dari kecurigaan-kecurigaan, bahwa sesekali dia juga ingin menciptakan bayang-bayang. tidak sebagaimana hidupnya kini, atau barangkali keberhakan atas pemujaan ciptaan telah dipupuskan oleh para filusuf terdahulu bahkan termasuk seniman-seniman besar yang telah terabadikan namanya di langit. Tapi obsesi tidak selalu sekedar utopi. Paling tidak begitulah kesimpulan sehari pengembaraan sebelum berakhir di bergelas-gelas minuman, sebelum berkabar pada debu-debu lantai kamar.
*
Dia baringkan capek di atas dipan teramat sederhana, “Apakah ini juga surga yang kucipta itu?” desisnya. Tiba-tiba dirasanya seluruh ruang berputar. Berputar – berputar membentuk sebuah pusaran teramat kuat untuk menyedot dirinya menjadi makhluk yang sangat kecil di tengah pendar-pendar meyilaukan. Dalam ketakberdayaan, dia sempat memicingkan mata mencari sumber putaran itu di langit kamar. “Nah…! sudah mulai..!” katanya. Akhirnya semacam nina bobo ‘tong edan’ memaksanya untuk terpejam dalam pusaran, dalam penjara detak weker di atas meja yang berpacu melawan jantungnya: semakin keras – semakin keras, bahkan telinga yang teramat capek tidak mampu untuk menyihirnya menjadi kebisuan. Dalam waktu yang hampir bersamaan, seperti ada yang mengaduk-aduk perutnya, dia muntah, setelah itu tertidur dalam siksa haus. Dalam desir angin dia menjelajah mimpi berkabut. Kegundahan menciutkan telanjang jalan. Semakin jauh, semakin jauh sukma terbang menjemput sosok bidadari.Di ujung jalan perempuan berparas bunga, melambai. Lekuk tubuhnya mempesona di balik rok transparan berumbai, dan sebagai lelaki dia menghampiri.
*
Udara dingin menusuki pori-pori kulit, sebagian tersedot nafasnya, dan dia terbangun dari mimpi yang belum selesai. Kepalanya pening, terasa ngilu di seluruh persendian. Sebelum beranjak disempatkannya mengingat-ingat mimpi yang belum selesai. Di atas meja ada setengah gelas air putih sisa kemarin, diambilnya sambil dalam hati mengumpat ketololannya, “Cuk! Kenapa tidak saya minum air ini tadi malam?” Disampingnya selembar kertas bertuliskan sajak yang belum selesai. Jendela masih tetap terbuka, bahkan selalu terbuka. Dibacanya keras-keras sajak itu.
“Cicak itu kawin sayang, sedang kita hanya berciuman.”
(Itu saja yang kuingat, ketika kita ciptakan dua bayangan di dinding
Dua makhluk hitam saling mendekap..)
“Penyair gendeng!!” suara seorang gadis dari luar, disusul longokan wajah dan senyum yang manis sekali.
“Maak..! Penyair kita sudah bangun, kopinya mana?
Tadi malam dia mabok lagi. Kumat, aduh… bau banget! Muntah ya? Masuk angin ya? Kasihan ndak ada yang ngerokin..!”
“Kopinya tuan…
Kopi manis hitam warnanya
Dalam cangkir berwarna merah
Dinda yang manis kemana perginya
Sampai tuan rinduuuu…sekali
Ha…ha…ha…” teriak seorang ibu dari dapur, disusul kelakar yang menggodanya untuk menjeput secangkir kopi seperti biasanya.
Sebentar suasana menjadi penuh keriangan, dan dia tiba-tiba merasa tercabut dari kesedihan pagi. Hiburan semacam itu kadang-kadang membuatnya betah untuk tinggal: Suatu rumah surealis ekpresif yang dipenuhi orang yang bermula dari keasingan hingga berlanjut menjadi ketidak-asingan dalam satu keluarga aneh, termasuk dia. Akhirnya suatu keberartian hidup bersama sangatlah baik bagi orang yang tenggelam dalam kemarahan panjang?
Pagi dengan pesona tungku dan segelas kopi membaur dengan kesejukan udara. Sesaat dicondongkan wajah menuju matahari. Kesyahduan mengalir di seluruh syaraf otaknya. Biru langit berselaput mendung tipis diperhatikannya dalam-dalam… dalam-dalam. Mendadak seperti ada yang menyedot dirinya menuju matahari, berjalan di atas awan sambil membacakan sajaknya yang belum selesai. Karena terlalu tenggelam dalam kegembiraan, kewaspadaannya tidak terkontrol dan tanpa disadari, tiba-tiba sebuah lubang awan memerosokkannya. Dia terjerembab, terpental melayang jatuh di atas rimbun belukar belantara yang terbakar. Dia mengaduh panjang:
“Sakiiiit…!! Pengembaraaku belumlah selesai sebab seuntai sajak telah kehilangan pesonanya bagi sekawanan burung …hanya sebatas bunga rahasia…bunga rahasia” sekeras-kerasnya dia mengaduh, mengaduh dan mengaduh. Panas menguliti kepalanya.
Rumah kecil di pinggir sungai kecil itu dalam waktu sekejap berkerumun banyak orang. Dari arah timur, seorang gadis cantik berbaju kuning tampak keheranan.
“Lho… kok baru datang?” sapa salah seorang di antara mereka.
“Ada apa?” tanyanya
“Tiba-tiba dia menyusupkan kepalanya ke tungku.”
“Sekarang di mana?”
“Rumah sakit.”
Gadis itu segera pergi menelusuri jejak air mata.
Pebruari 2004
____________________
*) Bambang Kempling lahir di Lamongan, 17 April 1967 dengan nama lengkap Bambang Purnomo Setyo. Menyelesaikan Pendidikan terakhir di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMM tahun 1992. Semasa mahasiswa aktif di berbagai kegiatan berkesenian diantaranya Teater MELARAT, Kelompok Musik Seteman Ngobrol IQr.
Sekarang aktif di KOSTELA (KOMUNITAS SASTRA DAN TEATER LAMONGAN). Publikasi cerpen-cerpennya hanya terbatas di kalangan CANDRAKIRANA KOSTELA dan antologi cerpen pilihan “Pada Sebuah Alamat” oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unisda Lamongan. Sedangkan untuk puisi-puisinya bisa ditemui di Antologi Tunggalnya KATA SEBUAH SAJAK 2002, Majalah Indupati, Antologi Bersama Teman-teman KOSTELA “Rebana Kesunyian”, “Imajinasi Nama”, Antologi bersama “Permohonan Hijau” yang diterbitkan oleh Festival Seni Surabaya tahun 2003, “Bulan Merayap” (DKL 2004), “Lanskap Telunjuk” (DKL 2004), “Duka Atjeh Duka Bersama (DKJT 2005), dan tabloit Telunjuk.
KELIR BEDAH
Indiar Manggara
http://indiarmanggara.blogspot.com/
Hari nampak lelah digenang senja. Warna emas yang leleh mencair mewarnai cakrawala, semakin redup, menarik cahaya dari celah-celah rimbun bukit. Bulan semenanya muncul dengan setengah keangkuhan menatap tajam matahari yang mulai terseok-seok menuruni renta waktu –seperti menuntut sebuah keadilan.
Angin gegas serentak menyerbu ke sebuah arah menuju lautan. Menciptakan sapuan lembut pada setiap apa yang berdiri kokoh di tempatnya. Mengayun seperti tak tentu arah. Menyeret apa saja yang dapat ditariknya. Tak terkecuali anyir darah bercampur peluh yang menggenang di padang Kurusetra.
Kurusetra, sebuah hamparan tanah luas yang bengis dan kejam. Menelan segala jerit sakit dan kobar semangat yang pupus di ayunan mata pedang dan tikaman anak panah. Sebuah padang gersang, kering, yang menggembur merah, berselimut gelimpangan mayat-mayat manusia. Kurusetra, hamparan tanah lapang yang dibanjiri anyir darah, berkeliling bukit yang menyaksikan pembantaian manusia; menikam nyawa dengan nyawa, tetapi diam dan tenang.
Di tengah padang Kurusetra, di antara gelimpangan mayat-mayat manusia yang lelah itu, masih tampak berdiri dengan gagahnya enam orang ksatriya menggenggam erat busur panah dan pedang yang masih berlumuran darah di tangannya, tetapi telah diturunkannya ke bawah menghadap tanah. Dan seorang wanita berparas ayu, sedang menimang anak lelakinya yang kelak diharapkan menjadi ksatriya pula seperti ayahnya.
Krisna, Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, nama keenam ksatriya itu. Dan Utari-lah wanita yang sedang menimang bocah calon ksatriya itu, Parikesit, putra Abimanyu.
Aroma anyir tanah yang memerah masih tajam menusuk hidung mereka. Seperti sebuah peristiwa yang akan kekal dalam ingatan mereka. Angin yang menyapu lembut dan seperti tak berarah itu seakan membawa mereka ke dalam sebuah gerbang penyesalan yang sangat jauh. Mata mereka nanar menerawang kosong jauh ke depan menembus jajaran bukit kokoh yang sedang mengelilingi mereka, seperti tak ada saja layaknya.
Seluruh ksatriya gagah dan wanita ayu itu semakin hanyut dalam renungan. Mereka bimbang, tak tahu apa yang mesti dirasakannya. Perasaan puaskah, karena mereka telah menang dalam sebuah perang agung melawan para ksatriya Astina, atau menyelami penyesalan mereka semakin dalam? Sebab dalam hal apa pun mereka sangat membenci sungai darah yang mengalir sebagai satu-satunya jalan keluar. Apalagi lawan maupun kawan yang telah jatuh bermandikan darah di sekitar mereka itu adalah orang-orang yang sangat dicintainya dan telah lama hidup bersama mereka.
Tetapi tidak begitu halnya dengan Bima dan –tentu saja– bocah calon ksatriya yang belum tahu apa-apa tentang masalah manusia dewasa. Air muka dan sorot matanya jelas sekali menggambarkan kepuasan yang berlebih karena telah berhasil menghancurkan singgasana Astina beserta para Kurawa dan antek-anteknya. Terlebih lagi, tangannya yang kekar dan sekeras baja itu berhasil menyatukan Duryudana dengan ajalnya. Kebanggan dan kepuasan atas kemenangan itu tampak makin tajam dan jelas pada guratan wajahnya yang masih dibasahi dengan peluh dan darah.
“Sudahlah, Kakang! Tak ada yang pantas untuk disesali. Ini adalah harga yang sangat pantas mereka terima atas kelicikan dan kekejaman mereka terhadap kita selama ini. Toh, kita melakukannya dengan jalan perang. Perang suci, perang antar Barata! Jalan yang ditentukan Dewata kepada kita, para ksatriya. Maju dalam peperangan tanpa gentar. Baik dengan akhir kematian maupun kemenangan,” ujar Bima yang tidak ingin kepuasannya hilang gara-gara suasana yang haru itu kepada Puntadewa.
Keadaan haru itu masih tetap saja. Tak ada reaksi atau tanggapan sedikit pun terhadap ucapan Bima. Tetapi Puntadewa, raja Ngamarta itu malah menjadi-jadi dalam kesedihannya. Ia mulai meneteskan luh yang mengalir melalui guratan antara pipi dan hidungnya, kemudian membentuk kristal di bawah dagu dan jatuh, pecah, menimpa tanah Kurusetra yang masih merah.
Melihat itu, Bima agak geli pada kakangnya. Sembari tersenyum agak mengejek, Bima berkata, “Baiklah, bila Kakang masih tidak terima dengan kenyataan ini, bagaimana kalau sekarang Kakang naik ke Suralaya, menemui Hyang Batara, dan meminta pertanggungjawabannya. Itu pun kalau Kakang punya sedikit saja keberanian.”
Puntadewa sadar kalau ucapan adiknya itu bernada mengejek. Ia segera memalingkan wajahnya pada Bima dengan raut muka tidak terima. Ia tersinggung. Dengan amarah yang berkesumat, diangkatnya pedang yang sedari tadi menghadap tanah itu ke arah Bima. Tapi secepat kilat pula Krisna menahan tangan Puntadewa. Pedang itu kembali menghadap tanah. Tetapi Bima sudah terlanjur berada berpuluh-puluh kilometer dari tempatnya semula dengan air muka ketakutan.
“Brad benar. Kita terlahir di dunia ini sebagai ksatriya. Dan mau tidak mau, kita harus maju dalam medan perang. Dengan siapa pun lawan kita. Kita juga berada pada jalan yang benar dan terberkati,” ucap Krisna bijak.
“Tapi, Paman Kris…”
“Sudahlah. Cukup! Kau mau mengatakan kalau adikmu, Brad, sudah bersikap kurang sopan? Ayolah, Yud, di mana rasa humormu? Apakah perang Barata delapan belas hari ini sudah benar-benar membuat sarafmu tidak bisa kendor lagi? Sudahlah, lebih baik sekarang kita kembali ke Ngamarta dan kabarkan pada rakyat dan kerabat, bahwa kemenangan ada di pihak kita!”
“Sendika, Paman.” Seluruh ksatriya dan wanita itu menurut.
Bima yang berada puluhan kilometer dari para ksatriya itu, masih dengan air mukanya yang menampakan kegelisahan dan was-was. Takut kalau-kalau kakangnya, Puntadewa, masih menaruh minat untuk menancapkan pedangnya pada tubuh yang kekar perkasa itu.
“Brad!”, Krisna memanggil Bima dengan panggilan sayangnya yang diambil dari potongan nama kecil Bima, Brotoseno.
“Ayo, kita pulang ke Ngamarta. Kita kabarkan kemenangan kita ini pada rakyat dan kerabat di sana!”
Bima pun menurut dan mengikuti rombongan ksatriya itu pulang ke Ngamarta. Ia berjalan di belakang Krisna dengan kegagahannya yang tiba-tiba kembali begitu saja.
***
Setahun setelah perang agung yang dimenangkan oleh pihak Pandawa, Puntadewa dan adik-adiknya merasa sangat kesepian di negerinya sendiri. Mereka merasa banyak kehilangan orang-orang kesayangan yang sangat dicintainya. Gendari, Dirtarastra, kedua orang tua Kurawa yang sempat mengutuk terjadinya perang antar saudara itu, bersama-sama dengan Kunti telah meninggalkan mereka, melakukan sanyasa di hutan. Keberangkatan mereka diiringi dengan restu Krisna, yang diyakini sebagai titisan Batara Wisnu. Krisna memercikan air suci ke wajah Dirtarastra, Gendari dan Kunti. Sebagai tanda restu dan memohonkan keselamatan pada mereka.
Butir-butir halus air suci itu membasahi wajah mereka yang tulus dan nampak bersinar. Beberapa butirannya yang menempel di dahi, kemudian mengalir lembut menuruni sketsa wajah, berpangkal di ujung hidung dan pecah di keheningan yang haru. Jejak aliran air suci itu menciptakan rasa sejuk angin surga di wajahnya dan seolah menghapus kesedihan yang sedari tadi menyelimuti ritual pemberkatan.
Krisna kemudian menumpahkan lagi air suci ke tangkupan tangan ketiga orang tua itu. Kemudian mereka meminumnya dengan khidmat. Air yang mengalir di kerongkongan, menambah kemantapan hati mereka untuk segera berangkat dan melakukan brata sanyasa.
Ketiga orang tua yang telah membesarkan para ksatriya Ngamarta dan Astina dengan penuh kasih sayang itu kemudian berangkat ke hutan dengan diiringi taburan bunga yang dilemparkan oleh rakyat sebagai tanda restu dan penghormatan mereka yang mendalam. Beberapa hari kemudian terdengar kabar bahwa hutan tempat ketiga orang suci itu menghabiskan usianya dengan bertapa, tiba-tiba terbakar dan api telah melahap seluruh isi hutan.
Para Ksatriya Pandawa dan seluruh rakyat Ngamarta merasa terpukul seketika dan diliputi kesedihan yang teramat sangat. Mereka kemudian secara bersama-sama, melakukan upacara besar untuk mendoakan ketiga orang tua itu agar hidup damai di nirwana dan melakukan penghormatan terakhir.
Cobaan yang dirasakan oleh para ksatriya Pandawa tidak hanya berhenti sampai di sana. Bukan hanya kesedihan yang menimpa mereka, tapi sebuah kegelisahan, kebingungan, dan kekacauan yang aduk menjadi satu. Menggegerkan seluruh tanah air Ngamarta. Sebuah misteri, kejanggalan, kengerian, dan peristiwa asing yang tak pernah mereka temukan sama sekali selama hidupnya di mayapada, terutama Ngamarta.
Kira-kira berawal dari sebulan yang lalu. Pagi-pagi sekali, ketika Puntadewa sedang sendiri dan bersantai-santai memandangi singgasananya di bale patemon, salah seorang prajurit Ngamarta menghadap Puntadewa. Ia melaporkan bahwa pagi ini ditemukan lebih dari lima puluh mayat manusia yang setelah diidentifikasi ternyata kesemuanya adalah rakyat Ngamarta.
Puntadewa sontak terkejut dan nyaris tidak percaya dengan laporan prajurit itu. Bagaimana bisa dalam satu malam yang tenang-tenang saja dan aman-aman saja itu bisa merenggut nyawa manusia begitu banyak? Puntadewa memutar keras otaknya agar dapat merasionalkan kejadian yang serba aneh dan mendadak itu sebisa-bisanya.
“Dan semuanya mati karena kehabisan darah, Paduka,” prajurit itu menambahkan laporannya.
Puntadewa semakin bingung dengan laporan tambahan yang dibebankan oleh prajurit itu. Badannya seketika lemas, saraf otaknya menegang akibat aliran darah yang tiba-tiba deras mengalir ke otak.
Prajurit itu masih dihadapan Puntadewa. Menunggu jawaban atas laporannya. Dalam keadaan lemas itu, Puntadewa segera mendudukan tubuhnya ke singgasana yang tepat berada di belakangnya. Ia terus memutar otaknya. Mematut-matut kejadian itu dengan sebuah jawaban logis yang masih belum ditemukannya. Sebab, apa kata rakyatnya nanti jika dalam negeri Ngamarta terjadi peristiwa aneh. Sedangkan si Raja sendiri tidak tahu menahu tentang penyebab keanehan itu.
Tangannya tiba-tiba merasa dingin, begitu pula tengkuknya. Hawa dingin yang dirasakannya, bersamaan dengan butir-butir keringat yang membasahi wajah dan telapak tangannya. Ia merasa harus segera memberikan jawaban atas laporan itu sekarang juga. Seakan ia mengerti kehendak batin prajurit yang masih menghadapnya itu.
Seketika ia menemukan sebuah jawaban yang menurutnya tepat dan masuk akal. “Ah, kalau seperi itu, mungkin.... karena di Ngamarta ini udara dingin mulai menyerang, pasti mereka….,” ia memantapkan hatinya untuk mengatakan jawabannya yang masih ragu-ragu.
“Pasti mereka terserang insomnia!”, katanya mantap.
“Anemia, mungkin maksud Paduka?”
“Ya iya itu tadi maksudku.” Puntadewa mengelak kesalahan ucapnya. Kemudian ia memegang-megang bibirnya dan berpura-pura meringis kesakitan agar prajurit itu mengiranya sariawan dan memaklumi kesalahan ucapannya.
“Ya sudah. Woro-worokan pada seluruh rakyat Ngamarta, agar mereka selalu waspada dengan kesehatannya, sebab Ngamarta sedang diserang cuaca dingin. Beri mereka semua mantel kulit kambing! Dan suruh pegawai dapur untuk meracik jampi tambahgetih dalam jumlah besar! Lalu bagikan ke seluruh rakyat Ngamarta!”
“Sendika, Paduka.” Prajurit itu kemudian bergegas pergi dan melaksanakan perintah Puntadewa.
Puntadewa merasa lega telah memberikan jawaban yang bisa dianggap masuk akal, setidaknya oleh rakyatnya. Tapi yang paling membuatnya pikirannya plong adalah tanggapan dan perintahnya telah berhasil menyingkirkan prajurit itu dari hadapannya. Meskipun ia menangkap ketidakpuasan atas tanggapannya dari wajah prajurit itu.
***
Arjuna, Nakula dan Sadewa, pagi itu berkumpul di bale patemon. Bersama dengan tiga orang pejabat kerajaan, mereka menghadap Puntadewa, melaporkan tentang misteri, kengerian, dan keganjilan, dan kemirisan, dan keanehan yang terus dan terus berlanjut menghantui dan meneror ketentraman seluruh penduduk Ngamarta.
“Kejadian ganjil dan mengerikan itu ternyata masih terus berlanjut, Kakang,” Arjuna melapor pada kakangnya, Puntadewa.
“Semuanya dengan penyebab dan tanda yang sama. Mati karena kehabisan darah, dan dua lubang kecil, seperti bekas gigitan ular raksasa di lehernya. Kejadian ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus dengan alasan musim dingin yang berkepanjangan, Kakang”, tambah Nakula.
“Benar, Kakang. Kita semua harus segera menindak teror yang mengerikan ini. Tapi kita juga menunggu persetujuan Kakang”, Sadewo menambahkan pula.
Ketiga pejabat Ngamarta itu tetap diam menghadap Puntadewa. Tapi keenam mata mereka tampak pancaran yang tulus dan harapan kepada Puntadewa untuk segera mengambil tindakan menghentikan teror mengerikan ini. Seluruh tubuh Puntadewa lemas dan berkeringat dingin. Seketika ia menjatuhkan tubuhnya pada singgasananya. Kepalanya terasa berat dan berputar-putar tak beraturan.
Tiba-tiba dengan gagap dan menangis sedu, Bima datang, bersimpuh sembah sujud menghadap Puntadewa, kakangnya. Air matanya mengalir begitu derasnya menggambarkan kekacauan hati dan pikirannya. Bima melapor pada kakangnya, Puntadewa.
“Sembah sujud hamba, Kakang. Ampun. Sebelumnya hamba minta maaf bila laporan ini, Kakang, menambah beban keresahan dan kekacauan Kakang. Tapi, sumpah atas nama Hyang Batara, hal ini harus hamba katakan pada Kakang sekarang.” Bima berhenti bicara dan menuntaskan sedunya. Setelah agak tenang, lalu ia melanjutkan, “Tadi pagi hamba membawa beberapa prajurit pergi menuju negeri Dwarawati, menemui paman Krisna. Tapi ketika sesampai hamba di Dwarawati, hamba hanya bertemu dengan seorang prajuritnya yang berlari ketakutan dengan bersimbah darah di sekujur tubuhnya, menghampiri hamba. Prajurit itu jatuh simpuh di hadapan hamba. Ia berjuang mempertahankan nafas terakhirnya dengan mengatakan bahwa seluruh penduduk negeri Dwarawati termasuk paman Krisna, diserang oleh seorang laki-laki asing dengan wajah pucat seperti lilin. Giginya bertaring seperti titisan buta dan bibirnya yang merah seperti habis bergincu. Dwarawati hancur! Punah, Kakang!”
“Lelaki asing? Hanya seorang lelaki asing?” sontak Puntadewa
“Iya, Kakang. Yang lebih mengherankan lagi, kata prajurit itu, lelaki asing itu bertubuh kerempeng dan tampak pucat. Seperti orang pesakitan. Tetapi tenaganya seperti seribu kuda perang andalan paman Krisna.” Jawab Bima dengan terengah. “Sayangnya prajurit itu pun akhirnya mati juga, kini. Tapi, ia sempat mengatakan bahwa lelaki asing bertubuh kerempeng itu menyebutkan namanya. Kalau tidak salah Kant… Kant… Kant Nakula, Kakang.” Tambah Bima dengan masih ragu-ragu.
“Ah, yang benar saja, mas Brad!” Sergah Nakula, tidak terima namanya disebut-sebut sebagai nama pembunuh dari negeri seberang itu.
“Oh, maaf. Maksudku Kont… Kont..”
“Hus..! Jangan berkata jorok di negeri Ngamarta ini kau, Brad!” Bentak Puntadewa.
“Aagghh.. bukan begitu, Kakang. Aku lupa nama lelaki aneh yang disebutkan oleh prajurit itu tadi. Lagipula sempat-sempatnya Kakang Puntadewa berpikir ke arah bawah sana pada keadaan seperti ini.” Sanggah Bima ke Puntadewa dengan menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum mencibir. “Ah, Count Dracula. Iya, Count Dracula, Kakang.”
“Count Dracula?! Ayolah, yang benar saja! Lelucon macam apa ini? Kalau seperti ini terus, aku harus memberikan jawaban bagaimana lagi? Perintah apa lagi yang harus kuberikan pada kalian? Otakku sudah cukup kering, mendengar begitu banyak rakyatku dan negeri Dwarawati, termasuk paman kita tewas mengenaskan hanya dalam waktu singkat. Lalu aku harus pakai otak siapa, untuk menerima kenyataan bahwa Dwarawati dan paman Krisna tergeletak di tangan seorang lelaki asing bertubuh kerempeng dan sakit-sakitan? Lelaki kerempeng dari negeri seberang?” Puntadewa mengeluh.
Kelima ksatriya itu diam merenungkan kejadian janggal yang telah habis-habisan meneror ketenangan mereka. Tapi di antara kelimanya, Puntadewalah yang tampak paling gelisah. Butiran kaca di matanya bukan saja melukiskan kesedihan yang sangat atas kehancuran dan kehilangan akan kerabatnya, tetapi juga kecemasan tentang bagaimana keselamatan terhadap negerinya, keluarganya dan dirinya—selanjutnya.
***
Di lembayung hitam, sosok bulat bulan singgah menempati singgasananya. Binar-binar cahaya putih memendar menyirami tanah Ngamarta yang sunyi. Tepat di bawah purnama itu, di balai patemon, masih terdapat sepuluh mata ksatriya yang terjaga. Para ksatriya yang dirundung kecemasan dan kesedihan luar biasa sejak pagi tadi. Kemurungan mereka tiba-tiba terusik dengan hentakan kaki yang begitu cepat dan teriakan kencang dengan suara yang lembut yang ditujukan pada Arjuna. Dengan sigap, Arjuna yakin bahwa itu adalah suara Utari, menantu kesayangannya. Belum sempat Arjuna menoleh penuh pada arah datangnya suara itu, Utari tiba-tiba saja telah berada di hadapan kelima ksatriya itu dengan peluh yang berceceran di dataran tubuhnya dan arus nafas yang terngah-engah.
“Di mana? Di mana? Di mana Parikesit? Di mana Parikesit anakku? Parikesit hilang! Parikesit menghilang begitu saja , Ayah! Lalu kenapa tadi begitu banyak prajurit yang tergeletak di tanah negeri kita, Ayah?” Tanya Utari dengan tergopoh-gopoh.
Kelima ksatriya itu seketika mematung. Bendungan airmata Puntadewa yang semula menggenang, tiba-tiba pecah, deras menggenangi pipinya. Ia merengek kekanakan di atas singgasananya. Firasatnya sebagai ksatriya mengatakan bahwa sebentar lagi, mereka berenam, hanya mereka berenam akan bertemu dengan lelaki asing itu. Pembunuh bertaring buta. Tapi tidak seperti itu yang ada di pikiran Arjuna. Ia hanya memikirkan di mana dan bagaimana akan keselamatan cucunya, Parikesit. Kelima ksatriya dan seorang dewi itu semakin hanyut pada kekalutan pikiran dan perasaannya sendiri-sendiri. Mereka berada pada diri mereka masing-masing, kini.
“Siapa kau?!” Bima tiba-tiba membentak.
Semua mata memandang dengan segera ke arah Bima, lalu beringsut mengikuti arah mata Bima. Mereka semua sontak mundur beberapa langkah setelah melihat sosok lelaki berwajah pucat telah berhadapan dengan mereka. Wajah yang begitu pucat seperti putih lilin, matanya menyala merah semerah bibirnya, dan bau busuk yang keluar dari setiap hembus nafasnya. Tubuh yang begitu kurus terbalut kulit keriput dan jubah hitam. Tapi seluruh raut wajahnya menggambarkan kebengisan seorang pembunuh terkejam sejagad mayapada ini. Lelaki itu berdir dengan tenang dan selalu meletakkan tangan kirinya di atas pantat.
Kelima ksatriya dan seorang dewi itu tercengang. Mereka terpatung seolah tidak percaya pada apa yang telah berada di hadapan mereka kini. Entah ketakutan atau rasa heran yang begitu besar, atau bahkan kebingungan, sehingga jantung mereka masing-masing berdegup begitu kencangnya melebihi perasaan mereka ketika maju di lapang Kurusetra. Semua melongo menghadapi sosok lelaki asing itu. Hanya lelaki pucat itu yang melangkahkan kaki sekali dan menarik senyum sinis kepada mereka, sehingga tampak sepasang taring yang begitu panjang dan menjijikan.
Puntadewa yang merasa bahwa dirinya yang tertua di antara adik-adiknya, seketika mengambil sikap tegar menghadapi lelaki asing itu.
“Siapa kau? Bagaimana kau bisa masuk di istana Ngamarta ini dengan seenaknya, hah?” Tanya Puntadewa. Atau, jangan-jangan kau ini yang bernama Count Dracula, yang telah membunuh, membantai seluruh rakyat dan raja Dwarawati serta seluruh rakyatku?”
“Hahaha..!!! Tepat sekali. Tebakan anda begitu tangkas. Tapi…”
Belum selesai lelaki itu berkata, Nakula dan Sadewa dengan cepat menyerang Count Dracula. Tetapi hanya dengan sekali mengibaskan jubah hitamnya, lelaki itu mampu membuat mereka berdua terpelanting jatuh, jauh berlawanan arah menabrak hancur tiang-tiang penyangga istana. Nakula dan Sadewa hanya bisa meringis kesakitan tidak mampu bangkit kembali. Kemudian lelaki itu memangku kembali tangan kirinya ke belakang.
Melihat Nakula dan Sadewa jatuh tak berdaya, Puntadewa terkejut bukan main. Ia lalu memerintahkan Arjuna untuk melindungi Utari. Memasang kuda-kuda untuk menyergap lelaki itu, ia juga memanggil Bima untuk membantunya menyerang. Tapi panggilannya tidak bersahut. Menyadari akan hal itu, ia melihat sekelilingnya. Puntadewa tidak mendapatkan sosok adiknya yang berbadan kekar itu berada di sana. Ia kemudian berteriak lagi lebih kencang, memanggil Bima.
“Brad! Di mana kau? Ayo, Bantu aku menghabisi lelaki kurus ini!”
Kepala Bima muncul perlahan-lahan dari balik singgasana Puntadewa. Ia memandang was-was ke sekeliling dan mendapati wajah kakangnya, Puntadewa, telah mengarah padanya dengan geram.
“Kakang, bukankah lebih baik kita bicarakan saja dulu dengan baik-baik. Sebagai ksatriya, itulah sikap yang dituntunkan kepada kita. Sebagai Ksatriya, kita tidak dibenarkan untuk…”
“Ah, pengecut, kau, Brad!” Puntadewa memaki.
“Hahaha..!! memang benar apa yang telah dikatakan oleh adik anda. Dengarkanlah dulu saya berbicara. Tidak baik bagi anda sebagai seorang ksatriya, menggunakan cara kekerasan semacam ini untuk menyelesaikan masalah. Baiklah, akan saya teruskan pembicaraan saya yang telah terputus tadi. Benar, saya adalah orang yang telah membunuh habis orang-orang di negeri Dwarawati dan rakyat-rakyat Ngamarta ini. Saya datang jauh dari negeri sebrang, dan kemari untuk membangun sebuah negara baru. Negara dengan orang-orang yang kuat, perkasa dan cerdas. Bukan negara dengan orang-orang yang lemah, picik, tidak berguna tetapi merasa paling benar saja. Seperti orang-orang yang telah saya hisap habis darah mereka. Karena di dunia ini hidup mereka hanya pantas untuk digunakan saja. Tidak untuk menggunakan. Tetapi mereka harus berterima kasih kepada saya. Karena, setelah ini mereka akan bangkit kembali sebagi orang-orang yang kuat dan ditakuti di dunia ini. Tetapi kalian, para Pandawa, Pandawa lima, saya dengar kalian adalah orang-orang yang begitu perkasa. Dan entah kenapa, saya sangat percaya dengan apa yang telah saya dengar itu. Maka, saya mengajak kalian, para Pandawa, untuk bekerja sama dengan saya, membangun sebuah negara terkuat di dunia ini. Negara dengan orang-orang yang ditakuti. Dengan pemimpin terkuat seperti saya. Bagaimana? Tapi sebaiknya kalian setuju. Karena, bila tidak, kalian juga akan mengalami nasib yang sama dengan mereka. Menjadi budak yang menjijikan.”
Mendengar ancaman itu, Puntadewa tak dapat berpikir dengan jernih. Rasa ketakutan yang begitu besar masih mendidih di hati dan pikirannya. Sorot mata lelaki penghisap darah itu seperti masuk ke jantungnya dan memaksa Puntadewa untuk menyetujui ancamannya. Puntadewa melihat ke adik-adiknya. Ia berharap adik-adiknya mampu membantu memberikan jawaban. Tetapi mereka, adik-adik Puntadewa seperti tak ada yang berani menatap matanya. Arjuna sedang melindungi Utari. Dan pikirannya masih saja mempertanyakan tentang cucunya, Parikesit. Sementara Nakula dan Sadewa, tidak lagi mampu bangkit dan membantu kakangnya. Tubuh mereka benar-benar terluka parah. Sedangkan Bima, terduduk jongkok dengan kepala menunduk dengan melekatkan kedua telapak tangannya menyerupai mangkuk.
“Duh, Dewata, ke manakah paman Semar? Kenapa saat-saat seperti ini ia tidak datang untuk membantu kami?” Sedu Bima. ”Ya ampun, Gusti..!” Bima tiba-tiba mendongakkan kepalanya, terkejut. ”Hamba lupa kalau selama ini paman Semar telah menghilang. Menghilang sejak jauh sebelum perang Barata terjadi. Dan sampai saat ini, hamba, ah bukan, maksud hamba, kami tidak pernah mencarinya. Kami mengacuhkannya begitu saja. Padahal, sungguh kami ini sangat butuh kehadirannya, ya Gusti. Kami butuh pertolongannya. Bila Engkau memang ber-welas asih pada hambaMu, datangkanlah ia kemari, ya Gusti, Dewata yang pemurah.” Bima memohon dengan sesenggukan menahan airmatanya yang membendung.
Puntadewa menarik nafas dalam-dalam, memantapkan dirinya, lalu menghembuskannya dengan berat sekali. Pikiranya semakin kacau. Ia menarik nafas sekali lagi. Lebih dalam. Lalu mengeluarkannya dengan cepat.
”Baiklah. Kami ikut denganmu. Kami tunduk kepadamu.” jawab Puntadewa keras dengan nada yang meliuk.
Adik-adik Puntadewa menatap kejut padanya. Lembayung yang hitam, seketika pecah oleh sambaran petir. Bersahut-sahutan melemparkan serapah dan kutuk. Dedaunan layu dan pohon-pohon menunduk. Reruntuhan hujan membanjiri duka mayapada. Lelaki Asing itu tertawa terbahak-bahak. Berjalan mengelilingi kelima ksatriya dan seorang dewi yang masih tercengang itu. Tetapi tubuhnya semakin merunduk, bungkuk dan tangan kirinya masih terpangku di atas pantatnya.
November 2008
*) Indiar Manggara lahir di Surabaya, 9 mei 1985. Saat ini sedang menyelesaikan program studi S1 di Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNAIR Surabaya. Aktif dalam dunia tulis menulis. Beberapa karyanya—cerpen, puisi dan esai—pernah dimuat di media massa lokal. Puisi-puisinya sempat tergabung dalam antologi puisi bersama “Kentrung Jancukan” dan dialih-rupakan ke bentuk lukisan oleh beberapa teman-teman pelukis DKJT dan UNESA. Cerpen-cerpennya juga pernah divisualkan ke bentuk komik. Pernah berperan sebagai aktor utama dalam film indie berjudul “Labirin” yang disutradarai oleh Seger Susastro. Saat ini aktif tergabung di berbagai komunitas kebudayaan dan kesenian: Komunitas CDR (Cak Die Rezim), Komunitas Teater GAPUS Surabaya, penggagas dan mantan ketua PAKAR SAJEN (Paguyuban Karawitan Sastra Jendra) FIB UNAIR, LKJT (Lembaga Kajian Jawa Timur), dan KMUDI Lepas (Komunitas Studi Lepas). Sekarang bertempat tinggal di Surabaya di JL. Dupak Bandarejo 2 no.22.
Dijumput dari: http://indiarmanggara.blogspot.com/2008/09/cerpen-indiar-manggara.html
http://indiarmanggara.blogspot.com/
Hari nampak lelah digenang senja. Warna emas yang leleh mencair mewarnai cakrawala, semakin redup, menarik cahaya dari celah-celah rimbun bukit. Bulan semenanya muncul dengan setengah keangkuhan menatap tajam matahari yang mulai terseok-seok menuruni renta waktu –seperti menuntut sebuah keadilan.
Angin gegas serentak menyerbu ke sebuah arah menuju lautan. Menciptakan sapuan lembut pada setiap apa yang berdiri kokoh di tempatnya. Mengayun seperti tak tentu arah. Menyeret apa saja yang dapat ditariknya. Tak terkecuali anyir darah bercampur peluh yang menggenang di padang Kurusetra.
Kurusetra, sebuah hamparan tanah luas yang bengis dan kejam. Menelan segala jerit sakit dan kobar semangat yang pupus di ayunan mata pedang dan tikaman anak panah. Sebuah padang gersang, kering, yang menggembur merah, berselimut gelimpangan mayat-mayat manusia. Kurusetra, hamparan tanah lapang yang dibanjiri anyir darah, berkeliling bukit yang menyaksikan pembantaian manusia; menikam nyawa dengan nyawa, tetapi diam dan tenang.
Di tengah padang Kurusetra, di antara gelimpangan mayat-mayat manusia yang lelah itu, masih tampak berdiri dengan gagahnya enam orang ksatriya menggenggam erat busur panah dan pedang yang masih berlumuran darah di tangannya, tetapi telah diturunkannya ke bawah menghadap tanah. Dan seorang wanita berparas ayu, sedang menimang anak lelakinya yang kelak diharapkan menjadi ksatriya pula seperti ayahnya.
Krisna, Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, nama keenam ksatriya itu. Dan Utari-lah wanita yang sedang menimang bocah calon ksatriya itu, Parikesit, putra Abimanyu.
Aroma anyir tanah yang memerah masih tajam menusuk hidung mereka. Seperti sebuah peristiwa yang akan kekal dalam ingatan mereka. Angin yang menyapu lembut dan seperti tak berarah itu seakan membawa mereka ke dalam sebuah gerbang penyesalan yang sangat jauh. Mata mereka nanar menerawang kosong jauh ke depan menembus jajaran bukit kokoh yang sedang mengelilingi mereka, seperti tak ada saja layaknya.
Seluruh ksatriya gagah dan wanita ayu itu semakin hanyut dalam renungan. Mereka bimbang, tak tahu apa yang mesti dirasakannya. Perasaan puaskah, karena mereka telah menang dalam sebuah perang agung melawan para ksatriya Astina, atau menyelami penyesalan mereka semakin dalam? Sebab dalam hal apa pun mereka sangat membenci sungai darah yang mengalir sebagai satu-satunya jalan keluar. Apalagi lawan maupun kawan yang telah jatuh bermandikan darah di sekitar mereka itu adalah orang-orang yang sangat dicintainya dan telah lama hidup bersama mereka.
Tetapi tidak begitu halnya dengan Bima dan –tentu saja– bocah calon ksatriya yang belum tahu apa-apa tentang masalah manusia dewasa. Air muka dan sorot matanya jelas sekali menggambarkan kepuasan yang berlebih karena telah berhasil menghancurkan singgasana Astina beserta para Kurawa dan antek-anteknya. Terlebih lagi, tangannya yang kekar dan sekeras baja itu berhasil menyatukan Duryudana dengan ajalnya. Kebanggan dan kepuasan atas kemenangan itu tampak makin tajam dan jelas pada guratan wajahnya yang masih dibasahi dengan peluh dan darah.
“Sudahlah, Kakang! Tak ada yang pantas untuk disesali. Ini adalah harga yang sangat pantas mereka terima atas kelicikan dan kekejaman mereka terhadap kita selama ini. Toh, kita melakukannya dengan jalan perang. Perang suci, perang antar Barata! Jalan yang ditentukan Dewata kepada kita, para ksatriya. Maju dalam peperangan tanpa gentar. Baik dengan akhir kematian maupun kemenangan,” ujar Bima yang tidak ingin kepuasannya hilang gara-gara suasana yang haru itu kepada Puntadewa.
Keadaan haru itu masih tetap saja. Tak ada reaksi atau tanggapan sedikit pun terhadap ucapan Bima. Tetapi Puntadewa, raja Ngamarta itu malah menjadi-jadi dalam kesedihannya. Ia mulai meneteskan luh yang mengalir melalui guratan antara pipi dan hidungnya, kemudian membentuk kristal di bawah dagu dan jatuh, pecah, menimpa tanah Kurusetra yang masih merah.
Melihat itu, Bima agak geli pada kakangnya. Sembari tersenyum agak mengejek, Bima berkata, “Baiklah, bila Kakang masih tidak terima dengan kenyataan ini, bagaimana kalau sekarang Kakang naik ke Suralaya, menemui Hyang Batara, dan meminta pertanggungjawabannya. Itu pun kalau Kakang punya sedikit saja keberanian.”
Puntadewa sadar kalau ucapan adiknya itu bernada mengejek. Ia segera memalingkan wajahnya pada Bima dengan raut muka tidak terima. Ia tersinggung. Dengan amarah yang berkesumat, diangkatnya pedang yang sedari tadi menghadap tanah itu ke arah Bima. Tapi secepat kilat pula Krisna menahan tangan Puntadewa. Pedang itu kembali menghadap tanah. Tetapi Bima sudah terlanjur berada berpuluh-puluh kilometer dari tempatnya semula dengan air muka ketakutan.
“Brad benar. Kita terlahir di dunia ini sebagai ksatriya. Dan mau tidak mau, kita harus maju dalam medan perang. Dengan siapa pun lawan kita. Kita juga berada pada jalan yang benar dan terberkati,” ucap Krisna bijak.
“Tapi, Paman Kris…”
“Sudahlah. Cukup! Kau mau mengatakan kalau adikmu, Brad, sudah bersikap kurang sopan? Ayolah, Yud, di mana rasa humormu? Apakah perang Barata delapan belas hari ini sudah benar-benar membuat sarafmu tidak bisa kendor lagi? Sudahlah, lebih baik sekarang kita kembali ke Ngamarta dan kabarkan pada rakyat dan kerabat, bahwa kemenangan ada di pihak kita!”
“Sendika, Paman.” Seluruh ksatriya dan wanita itu menurut.
Bima yang berada puluhan kilometer dari para ksatriya itu, masih dengan air mukanya yang menampakan kegelisahan dan was-was. Takut kalau-kalau kakangnya, Puntadewa, masih menaruh minat untuk menancapkan pedangnya pada tubuh yang kekar perkasa itu.
“Brad!”, Krisna memanggil Bima dengan panggilan sayangnya yang diambil dari potongan nama kecil Bima, Brotoseno.
“Ayo, kita pulang ke Ngamarta. Kita kabarkan kemenangan kita ini pada rakyat dan kerabat di sana!”
Bima pun menurut dan mengikuti rombongan ksatriya itu pulang ke Ngamarta. Ia berjalan di belakang Krisna dengan kegagahannya yang tiba-tiba kembali begitu saja.
***
Setahun setelah perang agung yang dimenangkan oleh pihak Pandawa, Puntadewa dan adik-adiknya merasa sangat kesepian di negerinya sendiri. Mereka merasa banyak kehilangan orang-orang kesayangan yang sangat dicintainya. Gendari, Dirtarastra, kedua orang tua Kurawa yang sempat mengutuk terjadinya perang antar saudara itu, bersama-sama dengan Kunti telah meninggalkan mereka, melakukan sanyasa di hutan. Keberangkatan mereka diiringi dengan restu Krisna, yang diyakini sebagai titisan Batara Wisnu. Krisna memercikan air suci ke wajah Dirtarastra, Gendari dan Kunti. Sebagai tanda restu dan memohonkan keselamatan pada mereka.
Butir-butir halus air suci itu membasahi wajah mereka yang tulus dan nampak bersinar. Beberapa butirannya yang menempel di dahi, kemudian mengalir lembut menuruni sketsa wajah, berpangkal di ujung hidung dan pecah di keheningan yang haru. Jejak aliran air suci itu menciptakan rasa sejuk angin surga di wajahnya dan seolah menghapus kesedihan yang sedari tadi menyelimuti ritual pemberkatan.
Krisna kemudian menumpahkan lagi air suci ke tangkupan tangan ketiga orang tua itu. Kemudian mereka meminumnya dengan khidmat. Air yang mengalir di kerongkongan, menambah kemantapan hati mereka untuk segera berangkat dan melakukan brata sanyasa.
Ketiga orang tua yang telah membesarkan para ksatriya Ngamarta dan Astina dengan penuh kasih sayang itu kemudian berangkat ke hutan dengan diiringi taburan bunga yang dilemparkan oleh rakyat sebagai tanda restu dan penghormatan mereka yang mendalam. Beberapa hari kemudian terdengar kabar bahwa hutan tempat ketiga orang suci itu menghabiskan usianya dengan bertapa, tiba-tiba terbakar dan api telah melahap seluruh isi hutan.
Para Ksatriya Pandawa dan seluruh rakyat Ngamarta merasa terpukul seketika dan diliputi kesedihan yang teramat sangat. Mereka kemudian secara bersama-sama, melakukan upacara besar untuk mendoakan ketiga orang tua itu agar hidup damai di nirwana dan melakukan penghormatan terakhir.
Cobaan yang dirasakan oleh para ksatriya Pandawa tidak hanya berhenti sampai di sana. Bukan hanya kesedihan yang menimpa mereka, tapi sebuah kegelisahan, kebingungan, dan kekacauan yang aduk menjadi satu. Menggegerkan seluruh tanah air Ngamarta. Sebuah misteri, kejanggalan, kengerian, dan peristiwa asing yang tak pernah mereka temukan sama sekali selama hidupnya di mayapada, terutama Ngamarta.
Kira-kira berawal dari sebulan yang lalu. Pagi-pagi sekali, ketika Puntadewa sedang sendiri dan bersantai-santai memandangi singgasananya di bale patemon, salah seorang prajurit Ngamarta menghadap Puntadewa. Ia melaporkan bahwa pagi ini ditemukan lebih dari lima puluh mayat manusia yang setelah diidentifikasi ternyata kesemuanya adalah rakyat Ngamarta.
Puntadewa sontak terkejut dan nyaris tidak percaya dengan laporan prajurit itu. Bagaimana bisa dalam satu malam yang tenang-tenang saja dan aman-aman saja itu bisa merenggut nyawa manusia begitu banyak? Puntadewa memutar keras otaknya agar dapat merasionalkan kejadian yang serba aneh dan mendadak itu sebisa-bisanya.
“Dan semuanya mati karena kehabisan darah, Paduka,” prajurit itu menambahkan laporannya.
Puntadewa semakin bingung dengan laporan tambahan yang dibebankan oleh prajurit itu. Badannya seketika lemas, saraf otaknya menegang akibat aliran darah yang tiba-tiba deras mengalir ke otak.
Prajurit itu masih dihadapan Puntadewa. Menunggu jawaban atas laporannya. Dalam keadaan lemas itu, Puntadewa segera mendudukan tubuhnya ke singgasana yang tepat berada di belakangnya. Ia terus memutar otaknya. Mematut-matut kejadian itu dengan sebuah jawaban logis yang masih belum ditemukannya. Sebab, apa kata rakyatnya nanti jika dalam negeri Ngamarta terjadi peristiwa aneh. Sedangkan si Raja sendiri tidak tahu menahu tentang penyebab keanehan itu.
Tangannya tiba-tiba merasa dingin, begitu pula tengkuknya. Hawa dingin yang dirasakannya, bersamaan dengan butir-butir keringat yang membasahi wajah dan telapak tangannya. Ia merasa harus segera memberikan jawaban atas laporan itu sekarang juga. Seakan ia mengerti kehendak batin prajurit yang masih menghadapnya itu.
Seketika ia menemukan sebuah jawaban yang menurutnya tepat dan masuk akal. “Ah, kalau seperi itu, mungkin.... karena di Ngamarta ini udara dingin mulai menyerang, pasti mereka….,” ia memantapkan hatinya untuk mengatakan jawabannya yang masih ragu-ragu.
“Pasti mereka terserang insomnia!”, katanya mantap.
“Anemia, mungkin maksud Paduka?”
“Ya iya itu tadi maksudku.” Puntadewa mengelak kesalahan ucapnya. Kemudian ia memegang-megang bibirnya dan berpura-pura meringis kesakitan agar prajurit itu mengiranya sariawan dan memaklumi kesalahan ucapannya.
“Ya sudah. Woro-worokan pada seluruh rakyat Ngamarta, agar mereka selalu waspada dengan kesehatannya, sebab Ngamarta sedang diserang cuaca dingin. Beri mereka semua mantel kulit kambing! Dan suruh pegawai dapur untuk meracik jampi tambahgetih dalam jumlah besar! Lalu bagikan ke seluruh rakyat Ngamarta!”
“Sendika, Paduka.” Prajurit itu kemudian bergegas pergi dan melaksanakan perintah Puntadewa.
Puntadewa merasa lega telah memberikan jawaban yang bisa dianggap masuk akal, setidaknya oleh rakyatnya. Tapi yang paling membuatnya pikirannya plong adalah tanggapan dan perintahnya telah berhasil menyingkirkan prajurit itu dari hadapannya. Meskipun ia menangkap ketidakpuasan atas tanggapannya dari wajah prajurit itu.
***
Arjuna, Nakula dan Sadewa, pagi itu berkumpul di bale patemon. Bersama dengan tiga orang pejabat kerajaan, mereka menghadap Puntadewa, melaporkan tentang misteri, kengerian, dan keganjilan, dan kemirisan, dan keanehan yang terus dan terus berlanjut menghantui dan meneror ketentraman seluruh penduduk Ngamarta.
“Kejadian ganjil dan mengerikan itu ternyata masih terus berlanjut, Kakang,” Arjuna melapor pada kakangnya, Puntadewa.
“Semuanya dengan penyebab dan tanda yang sama. Mati karena kehabisan darah, dan dua lubang kecil, seperti bekas gigitan ular raksasa di lehernya. Kejadian ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus dengan alasan musim dingin yang berkepanjangan, Kakang”, tambah Nakula.
“Benar, Kakang. Kita semua harus segera menindak teror yang mengerikan ini. Tapi kita juga menunggu persetujuan Kakang”, Sadewo menambahkan pula.
Ketiga pejabat Ngamarta itu tetap diam menghadap Puntadewa. Tapi keenam mata mereka tampak pancaran yang tulus dan harapan kepada Puntadewa untuk segera mengambil tindakan menghentikan teror mengerikan ini. Seluruh tubuh Puntadewa lemas dan berkeringat dingin. Seketika ia menjatuhkan tubuhnya pada singgasananya. Kepalanya terasa berat dan berputar-putar tak beraturan.
Tiba-tiba dengan gagap dan menangis sedu, Bima datang, bersimpuh sembah sujud menghadap Puntadewa, kakangnya. Air matanya mengalir begitu derasnya menggambarkan kekacauan hati dan pikirannya. Bima melapor pada kakangnya, Puntadewa.
“Sembah sujud hamba, Kakang. Ampun. Sebelumnya hamba minta maaf bila laporan ini, Kakang, menambah beban keresahan dan kekacauan Kakang. Tapi, sumpah atas nama Hyang Batara, hal ini harus hamba katakan pada Kakang sekarang.” Bima berhenti bicara dan menuntaskan sedunya. Setelah agak tenang, lalu ia melanjutkan, “Tadi pagi hamba membawa beberapa prajurit pergi menuju negeri Dwarawati, menemui paman Krisna. Tapi ketika sesampai hamba di Dwarawati, hamba hanya bertemu dengan seorang prajuritnya yang berlari ketakutan dengan bersimbah darah di sekujur tubuhnya, menghampiri hamba. Prajurit itu jatuh simpuh di hadapan hamba. Ia berjuang mempertahankan nafas terakhirnya dengan mengatakan bahwa seluruh penduduk negeri Dwarawati termasuk paman Krisna, diserang oleh seorang laki-laki asing dengan wajah pucat seperti lilin. Giginya bertaring seperti titisan buta dan bibirnya yang merah seperti habis bergincu. Dwarawati hancur! Punah, Kakang!”
“Lelaki asing? Hanya seorang lelaki asing?” sontak Puntadewa
“Iya, Kakang. Yang lebih mengherankan lagi, kata prajurit itu, lelaki asing itu bertubuh kerempeng dan tampak pucat. Seperti orang pesakitan. Tetapi tenaganya seperti seribu kuda perang andalan paman Krisna.” Jawab Bima dengan terengah. “Sayangnya prajurit itu pun akhirnya mati juga, kini. Tapi, ia sempat mengatakan bahwa lelaki asing bertubuh kerempeng itu menyebutkan namanya. Kalau tidak salah Kant… Kant… Kant Nakula, Kakang.” Tambah Bima dengan masih ragu-ragu.
“Ah, yang benar saja, mas Brad!” Sergah Nakula, tidak terima namanya disebut-sebut sebagai nama pembunuh dari negeri seberang itu.
“Oh, maaf. Maksudku Kont… Kont..”
“Hus..! Jangan berkata jorok di negeri Ngamarta ini kau, Brad!” Bentak Puntadewa.
“Aagghh.. bukan begitu, Kakang. Aku lupa nama lelaki aneh yang disebutkan oleh prajurit itu tadi. Lagipula sempat-sempatnya Kakang Puntadewa berpikir ke arah bawah sana pada keadaan seperti ini.” Sanggah Bima ke Puntadewa dengan menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum mencibir. “Ah, Count Dracula. Iya, Count Dracula, Kakang.”
“Count Dracula?! Ayolah, yang benar saja! Lelucon macam apa ini? Kalau seperti ini terus, aku harus memberikan jawaban bagaimana lagi? Perintah apa lagi yang harus kuberikan pada kalian? Otakku sudah cukup kering, mendengar begitu banyak rakyatku dan negeri Dwarawati, termasuk paman kita tewas mengenaskan hanya dalam waktu singkat. Lalu aku harus pakai otak siapa, untuk menerima kenyataan bahwa Dwarawati dan paman Krisna tergeletak di tangan seorang lelaki asing bertubuh kerempeng dan sakit-sakitan? Lelaki kerempeng dari negeri seberang?” Puntadewa mengeluh.
Kelima ksatriya itu diam merenungkan kejadian janggal yang telah habis-habisan meneror ketenangan mereka. Tapi di antara kelimanya, Puntadewalah yang tampak paling gelisah. Butiran kaca di matanya bukan saja melukiskan kesedihan yang sangat atas kehancuran dan kehilangan akan kerabatnya, tetapi juga kecemasan tentang bagaimana keselamatan terhadap negerinya, keluarganya dan dirinya—selanjutnya.
***
Di lembayung hitam, sosok bulat bulan singgah menempati singgasananya. Binar-binar cahaya putih memendar menyirami tanah Ngamarta yang sunyi. Tepat di bawah purnama itu, di balai patemon, masih terdapat sepuluh mata ksatriya yang terjaga. Para ksatriya yang dirundung kecemasan dan kesedihan luar biasa sejak pagi tadi. Kemurungan mereka tiba-tiba terusik dengan hentakan kaki yang begitu cepat dan teriakan kencang dengan suara yang lembut yang ditujukan pada Arjuna. Dengan sigap, Arjuna yakin bahwa itu adalah suara Utari, menantu kesayangannya. Belum sempat Arjuna menoleh penuh pada arah datangnya suara itu, Utari tiba-tiba saja telah berada di hadapan kelima ksatriya itu dengan peluh yang berceceran di dataran tubuhnya dan arus nafas yang terngah-engah.
“Di mana? Di mana? Di mana Parikesit? Di mana Parikesit anakku? Parikesit hilang! Parikesit menghilang begitu saja , Ayah! Lalu kenapa tadi begitu banyak prajurit yang tergeletak di tanah negeri kita, Ayah?” Tanya Utari dengan tergopoh-gopoh.
Kelima ksatriya itu seketika mematung. Bendungan airmata Puntadewa yang semula menggenang, tiba-tiba pecah, deras menggenangi pipinya. Ia merengek kekanakan di atas singgasananya. Firasatnya sebagai ksatriya mengatakan bahwa sebentar lagi, mereka berenam, hanya mereka berenam akan bertemu dengan lelaki asing itu. Pembunuh bertaring buta. Tapi tidak seperti itu yang ada di pikiran Arjuna. Ia hanya memikirkan di mana dan bagaimana akan keselamatan cucunya, Parikesit. Kelima ksatriya dan seorang dewi itu semakin hanyut pada kekalutan pikiran dan perasaannya sendiri-sendiri. Mereka berada pada diri mereka masing-masing, kini.
“Siapa kau?!” Bima tiba-tiba membentak.
Semua mata memandang dengan segera ke arah Bima, lalu beringsut mengikuti arah mata Bima. Mereka semua sontak mundur beberapa langkah setelah melihat sosok lelaki berwajah pucat telah berhadapan dengan mereka. Wajah yang begitu pucat seperti putih lilin, matanya menyala merah semerah bibirnya, dan bau busuk yang keluar dari setiap hembus nafasnya. Tubuh yang begitu kurus terbalut kulit keriput dan jubah hitam. Tapi seluruh raut wajahnya menggambarkan kebengisan seorang pembunuh terkejam sejagad mayapada ini. Lelaki itu berdir dengan tenang dan selalu meletakkan tangan kirinya di atas pantat.
Kelima ksatriya dan seorang dewi itu tercengang. Mereka terpatung seolah tidak percaya pada apa yang telah berada di hadapan mereka kini. Entah ketakutan atau rasa heran yang begitu besar, atau bahkan kebingungan, sehingga jantung mereka masing-masing berdegup begitu kencangnya melebihi perasaan mereka ketika maju di lapang Kurusetra. Semua melongo menghadapi sosok lelaki asing itu. Hanya lelaki pucat itu yang melangkahkan kaki sekali dan menarik senyum sinis kepada mereka, sehingga tampak sepasang taring yang begitu panjang dan menjijikan.
Puntadewa yang merasa bahwa dirinya yang tertua di antara adik-adiknya, seketika mengambil sikap tegar menghadapi lelaki asing itu.
“Siapa kau? Bagaimana kau bisa masuk di istana Ngamarta ini dengan seenaknya, hah?” Tanya Puntadewa. Atau, jangan-jangan kau ini yang bernama Count Dracula, yang telah membunuh, membantai seluruh rakyat dan raja Dwarawati serta seluruh rakyatku?”
“Hahaha..!!! Tepat sekali. Tebakan anda begitu tangkas. Tapi…”
Belum selesai lelaki itu berkata, Nakula dan Sadewa dengan cepat menyerang Count Dracula. Tetapi hanya dengan sekali mengibaskan jubah hitamnya, lelaki itu mampu membuat mereka berdua terpelanting jatuh, jauh berlawanan arah menabrak hancur tiang-tiang penyangga istana. Nakula dan Sadewa hanya bisa meringis kesakitan tidak mampu bangkit kembali. Kemudian lelaki itu memangku kembali tangan kirinya ke belakang.
Melihat Nakula dan Sadewa jatuh tak berdaya, Puntadewa terkejut bukan main. Ia lalu memerintahkan Arjuna untuk melindungi Utari. Memasang kuda-kuda untuk menyergap lelaki itu, ia juga memanggil Bima untuk membantunya menyerang. Tapi panggilannya tidak bersahut. Menyadari akan hal itu, ia melihat sekelilingnya. Puntadewa tidak mendapatkan sosok adiknya yang berbadan kekar itu berada di sana. Ia kemudian berteriak lagi lebih kencang, memanggil Bima.
“Brad! Di mana kau? Ayo, Bantu aku menghabisi lelaki kurus ini!”
Kepala Bima muncul perlahan-lahan dari balik singgasana Puntadewa. Ia memandang was-was ke sekeliling dan mendapati wajah kakangnya, Puntadewa, telah mengarah padanya dengan geram.
“Kakang, bukankah lebih baik kita bicarakan saja dulu dengan baik-baik. Sebagai ksatriya, itulah sikap yang dituntunkan kepada kita. Sebagai Ksatriya, kita tidak dibenarkan untuk…”
“Ah, pengecut, kau, Brad!” Puntadewa memaki.
“Hahaha..!! memang benar apa yang telah dikatakan oleh adik anda. Dengarkanlah dulu saya berbicara. Tidak baik bagi anda sebagai seorang ksatriya, menggunakan cara kekerasan semacam ini untuk menyelesaikan masalah. Baiklah, akan saya teruskan pembicaraan saya yang telah terputus tadi. Benar, saya adalah orang yang telah membunuh habis orang-orang di negeri Dwarawati dan rakyat-rakyat Ngamarta ini. Saya datang jauh dari negeri sebrang, dan kemari untuk membangun sebuah negara baru. Negara dengan orang-orang yang kuat, perkasa dan cerdas. Bukan negara dengan orang-orang yang lemah, picik, tidak berguna tetapi merasa paling benar saja. Seperti orang-orang yang telah saya hisap habis darah mereka. Karena di dunia ini hidup mereka hanya pantas untuk digunakan saja. Tidak untuk menggunakan. Tetapi mereka harus berterima kasih kepada saya. Karena, setelah ini mereka akan bangkit kembali sebagi orang-orang yang kuat dan ditakuti di dunia ini. Tetapi kalian, para Pandawa, Pandawa lima, saya dengar kalian adalah orang-orang yang begitu perkasa. Dan entah kenapa, saya sangat percaya dengan apa yang telah saya dengar itu. Maka, saya mengajak kalian, para Pandawa, untuk bekerja sama dengan saya, membangun sebuah negara terkuat di dunia ini. Negara dengan orang-orang yang ditakuti. Dengan pemimpin terkuat seperti saya. Bagaimana? Tapi sebaiknya kalian setuju. Karena, bila tidak, kalian juga akan mengalami nasib yang sama dengan mereka. Menjadi budak yang menjijikan.”
Mendengar ancaman itu, Puntadewa tak dapat berpikir dengan jernih. Rasa ketakutan yang begitu besar masih mendidih di hati dan pikirannya. Sorot mata lelaki penghisap darah itu seperti masuk ke jantungnya dan memaksa Puntadewa untuk menyetujui ancamannya. Puntadewa melihat ke adik-adiknya. Ia berharap adik-adiknya mampu membantu memberikan jawaban. Tetapi mereka, adik-adik Puntadewa seperti tak ada yang berani menatap matanya. Arjuna sedang melindungi Utari. Dan pikirannya masih saja mempertanyakan tentang cucunya, Parikesit. Sementara Nakula dan Sadewa, tidak lagi mampu bangkit dan membantu kakangnya. Tubuh mereka benar-benar terluka parah. Sedangkan Bima, terduduk jongkok dengan kepala menunduk dengan melekatkan kedua telapak tangannya menyerupai mangkuk.
“Duh, Dewata, ke manakah paman Semar? Kenapa saat-saat seperti ini ia tidak datang untuk membantu kami?” Sedu Bima. ”Ya ampun, Gusti..!” Bima tiba-tiba mendongakkan kepalanya, terkejut. ”Hamba lupa kalau selama ini paman Semar telah menghilang. Menghilang sejak jauh sebelum perang Barata terjadi. Dan sampai saat ini, hamba, ah bukan, maksud hamba, kami tidak pernah mencarinya. Kami mengacuhkannya begitu saja. Padahal, sungguh kami ini sangat butuh kehadirannya, ya Gusti. Kami butuh pertolongannya. Bila Engkau memang ber-welas asih pada hambaMu, datangkanlah ia kemari, ya Gusti, Dewata yang pemurah.” Bima memohon dengan sesenggukan menahan airmatanya yang membendung.
Puntadewa menarik nafas dalam-dalam, memantapkan dirinya, lalu menghembuskannya dengan berat sekali. Pikiranya semakin kacau. Ia menarik nafas sekali lagi. Lebih dalam. Lalu mengeluarkannya dengan cepat.
”Baiklah. Kami ikut denganmu. Kami tunduk kepadamu.” jawab Puntadewa keras dengan nada yang meliuk.
Adik-adik Puntadewa menatap kejut padanya. Lembayung yang hitam, seketika pecah oleh sambaran petir. Bersahut-sahutan melemparkan serapah dan kutuk. Dedaunan layu dan pohon-pohon menunduk. Reruntuhan hujan membanjiri duka mayapada. Lelaki Asing itu tertawa terbahak-bahak. Berjalan mengelilingi kelima ksatriya dan seorang dewi yang masih tercengang itu. Tetapi tubuhnya semakin merunduk, bungkuk dan tangan kirinya masih terpangku di atas pantatnya.
November 2008
*) Indiar Manggara lahir di Surabaya, 9 mei 1985. Saat ini sedang menyelesaikan program studi S1 di Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNAIR Surabaya. Aktif dalam dunia tulis menulis. Beberapa karyanya—cerpen, puisi dan esai—pernah dimuat di media massa lokal. Puisi-puisinya sempat tergabung dalam antologi puisi bersama “Kentrung Jancukan” dan dialih-rupakan ke bentuk lukisan oleh beberapa teman-teman pelukis DKJT dan UNESA. Cerpen-cerpennya juga pernah divisualkan ke bentuk komik. Pernah berperan sebagai aktor utama dalam film indie berjudul “Labirin” yang disutradarai oleh Seger Susastro. Saat ini aktif tergabung di berbagai komunitas kebudayaan dan kesenian: Komunitas CDR (Cak Die Rezim), Komunitas Teater GAPUS Surabaya, penggagas dan mantan ketua PAKAR SAJEN (Paguyuban Karawitan Sastra Jendra) FIB UNAIR, LKJT (Lembaga Kajian Jawa Timur), dan KMUDI Lepas (Komunitas Studi Lepas). Sekarang bertempat tinggal di Surabaya di JL. Dupak Bandarejo 2 no.22.
Dijumput dari: http://indiarmanggara.blogspot.com/2008/09/cerpen-indiar-manggara.html
Jumat, 21 Oktober 2011
Tanjungpinang dalam Bingkai Sastra Indonesia
Judul : Dermaga Sastra Indonesia
Penulis : Jamal D. Rahman,dkk
Penerbit: Komodo Books
Tahun :2011
Tebal:xxx+298
Peresensi: Abd. Rahman *
http://netsains.com/
Pertama kali membaca buku ini, penulis merasa terkejut karena kaum intelektual dari tanjungpinang dan Kepulauan Riau secara umum cukup signifikan mewarnai sastra Melayu dan Nusantara pada umumnya. Sejarah sastra di daerah ini berkembang bukan hanya di tangan Sutardji Calzoum Bachri, tetapi jauh sebelumnya sastra telah berkembang.
Buku ini secara obyektif memaparkan sejarah kesusastraan dalam rentetan perkembangan sastra sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-21,mulai dari Raja Ahmad yang dikenal ‘Sang Pembuka Jalan’ hingga Suryatati A Manan. Secara umum,buku ini membagi sejarah kepenyairan Tanjungpinang ke dalam dua babak atau gelombang.
Babak pertama adalah priode antara tahun 1779 [raja Ahmad] hingga 1924 [Aisyah Sulaima]. Sedang gelombang kedua kepenyairan di Tanjungpinang muncul pada akhir 1960-an dan awal 1970-an,dimulai dari Hasan Junus hingga Suryatati A Manan.
Penyair sekaligus intelektual yang mampu mewarnai gelombang pertama adalah raja Haji Ali,Haji Ibrahim, Raja Daud, Raja Hasan, Khalid Hitam dan Abu Muhammad Adnan. Sementara penyair modern gelombang kedua yang mampu menghidupkan sastra di bumi Tanjungpinang setelah beberapa tahun mati-terhenti adalah Rida K. Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah,BM Syamsuddin, Machzumi Dawood, Tusiran Suseno, Abdul Kadir Ibrahim,Hoesnizar Hood,Bhinneka Surya Sam dan Junewal Muchtar.
Sastra yang berkembang di Tanjungpinang tidak saja karena daerah ini strategis untuk pertumbuhan kreativitas dan aktivitas intelektual. Tetapi kekuasaan sengaja membesarkan mereka,kerajaan Riau-Lingga. Banyak raja dan anak-cucunya juga menjadi penyair. Dalam konteks ini, kerajaan bersifat akomodatif dan memberi kebebasan untuk berekspresi. Bahkan, kerajaan juga mensupport tradisi intelektual dengan memberi fasilitas percetakan. Salah satu percetakan itu adalah Rumah Cap Kerajaan di Lingga, Mathba’at al-Riauwiyah di Penyengat [hal.66].
Raja Ali Haji misanya,dia memberi support luar biasa bagi pembentukan semangat kepengarangan. Dengan pena, dia mampu menghentakkan tradisi. Karyanya yang sangat terkenal adalah Gurindam Duabelas.Raja Ali Haji pernah mengatakan,”segala pekerjaan pedang itu boleh diperbuat dengan qalam [pena],adapun pekerjaan qalam itu tiada boleh diperbuat oleh pedang… dan, berapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, maka dengan segores qalam [pena] jadi tersarung.”[hal 60]
Raja Haji Ali berkontribusi positif bagi pembentukan bahasa Indonesia. Karena jasa-jasanya, dia diberi gelar Pahlawan Nasional dan Bapak Bahasa Indonesia. Raja Haji Ali berjuang dengan menajamkan pena. Sedang kakeknya Raja Haji fi Sabilillah berjuang dengan fisik melawan penjajahan belanda. Karena kontribusi positif Raja Haji Ali dalam meneguhkan nilai-nilai kebangsaan,Abdurrahman Wahid pernah berkata,”tanpa jasa beliau itu,kita belum tentu menjadi bangsa yang kokoh seperti sekarang ini.”
Buku ini mengulas sejarah masing-masing penulis,baik gelombang kepenyairan tahap pertama ataupun gelombang kedua. Dan tentu saja sejarah dan sepak terjang mereka layak diketahui oleh publik agar dapat menginspirasi banyak orang. Sastra selalu hidup menyejarah dan merespons sejarah. Dalam konteks ini, buku dan sejarah mereka pantas dipelajari, di samping karya sastra yang mereka hasilkan.
_______________
*) Abd. Rahman, Penikmat Sastra dan aktif di Madjid Politika
Dijumput dari: http://netsains.com/2011/08/tanjungpinang-dalam-bingkai-sastra-indonesia/
Penulis : Jamal D. Rahman,dkk
Penerbit: Komodo Books
Tahun :2011
Tebal:xxx+298
Peresensi: Abd. Rahman *
http://netsains.com/
Pertama kali membaca buku ini, penulis merasa terkejut karena kaum intelektual dari tanjungpinang dan Kepulauan Riau secara umum cukup signifikan mewarnai sastra Melayu dan Nusantara pada umumnya. Sejarah sastra di daerah ini berkembang bukan hanya di tangan Sutardji Calzoum Bachri, tetapi jauh sebelumnya sastra telah berkembang.
Buku ini secara obyektif memaparkan sejarah kesusastraan dalam rentetan perkembangan sastra sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-21,mulai dari Raja Ahmad yang dikenal ‘Sang Pembuka Jalan’ hingga Suryatati A Manan. Secara umum,buku ini membagi sejarah kepenyairan Tanjungpinang ke dalam dua babak atau gelombang.
Babak pertama adalah priode antara tahun 1779 [raja Ahmad] hingga 1924 [Aisyah Sulaima]. Sedang gelombang kedua kepenyairan di Tanjungpinang muncul pada akhir 1960-an dan awal 1970-an,dimulai dari Hasan Junus hingga Suryatati A Manan.
Penyair sekaligus intelektual yang mampu mewarnai gelombang pertama adalah raja Haji Ali,Haji Ibrahim, Raja Daud, Raja Hasan, Khalid Hitam dan Abu Muhammad Adnan. Sementara penyair modern gelombang kedua yang mampu menghidupkan sastra di bumi Tanjungpinang setelah beberapa tahun mati-terhenti adalah Rida K. Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah,BM Syamsuddin, Machzumi Dawood, Tusiran Suseno, Abdul Kadir Ibrahim,Hoesnizar Hood,Bhinneka Surya Sam dan Junewal Muchtar.
Sastra yang berkembang di Tanjungpinang tidak saja karena daerah ini strategis untuk pertumbuhan kreativitas dan aktivitas intelektual. Tetapi kekuasaan sengaja membesarkan mereka,kerajaan Riau-Lingga. Banyak raja dan anak-cucunya juga menjadi penyair. Dalam konteks ini, kerajaan bersifat akomodatif dan memberi kebebasan untuk berekspresi. Bahkan, kerajaan juga mensupport tradisi intelektual dengan memberi fasilitas percetakan. Salah satu percetakan itu adalah Rumah Cap Kerajaan di Lingga, Mathba’at al-Riauwiyah di Penyengat [hal.66].
Raja Ali Haji misanya,dia memberi support luar biasa bagi pembentukan semangat kepengarangan. Dengan pena, dia mampu menghentakkan tradisi. Karyanya yang sangat terkenal adalah Gurindam Duabelas.Raja Ali Haji pernah mengatakan,”segala pekerjaan pedang itu boleh diperbuat dengan qalam [pena],adapun pekerjaan qalam itu tiada boleh diperbuat oleh pedang… dan, berapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, maka dengan segores qalam [pena] jadi tersarung.”[hal 60]
Raja Haji Ali berkontribusi positif bagi pembentukan bahasa Indonesia. Karena jasa-jasanya, dia diberi gelar Pahlawan Nasional dan Bapak Bahasa Indonesia. Raja Haji Ali berjuang dengan menajamkan pena. Sedang kakeknya Raja Haji fi Sabilillah berjuang dengan fisik melawan penjajahan belanda. Karena kontribusi positif Raja Haji Ali dalam meneguhkan nilai-nilai kebangsaan,Abdurrahman Wahid pernah berkata,”tanpa jasa beliau itu,kita belum tentu menjadi bangsa yang kokoh seperti sekarang ini.”
Buku ini mengulas sejarah masing-masing penulis,baik gelombang kepenyairan tahap pertama ataupun gelombang kedua. Dan tentu saja sejarah dan sepak terjang mereka layak diketahui oleh publik agar dapat menginspirasi banyak orang. Sastra selalu hidup menyejarah dan merespons sejarah. Dalam konteks ini, buku dan sejarah mereka pantas dipelajari, di samping karya sastra yang mereka hasilkan.
_______________
*) Abd. Rahman, Penikmat Sastra dan aktif di Madjid Politika
Dijumput dari: http://netsains.com/2011/08/tanjungpinang-dalam-bingkai-sastra-indonesia/
Kota dan Penyair
Juniarso Ridwan
Pikiran Rakyat, 12 Des 2010
SEBUAH kota tidak serta merta hadir untuk memenuhi deretan daftar keinginan manusia penghuninya. Tidak juga diproyeksikan untuk mengaktualisasikan harapan yang semakin jenuh. Sebuah kota merupakan perwujudan kompromi yang saling berkaitan antara keinginan manusia, bentuk lahan, kondisi topografi, kekayaan alam, posisi tapak, orientasi terhadap lingkungan sekitar, kondisi tanah, kemampuan merekayasa, kemampuan ekonomi, jangkauan administrasi dan legislasi, lalu-lintas sosial-budaya, serta harapan-harapan yang terus tumbuh. Kota adalah sumber energi bagi penyair yang terus bergulat menggali idiom-idiom baru bagi peningkatan kekayaan kosakata yang akan disemburkan melalui karya kreatifnya. Kota merupakan jalinan interaksi sosial yang tiada henti, mulai dari gerak langkah penyelarasan sampai pada benturan konflik, yang bermuara pada proses pembaharuan dan munculnya persemaian toleransi.
Kota menjadi ladang perburuan kata-kata dengan suasana yang selalu dipengaruhi waktu, sebagaimana ditangkap Chairil Anwar muda dalam salah satu puisinya: Aku berada kembali. Banyak yang asing;/air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang/ serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain//rasa laut telah berubah dan kupunya wajah/juga disinari matahari/lain. (“1949″).
Bagi kebanyakan penyair, suasana kota yang terasa lebih dinamis dibandingkan dengan kampung halamannya, telah mendorong tumbuhnya sebuah “pemberontakan jiwa” untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Kehidupan kota merupakan tantangan lain yang harus dihadapi dan ditundukkan sekaligus. Dengan berbagai sarana dan prasarana yang mudah dijumpai, penyair dapat dengan leluasa melakukan interaksi dengan lingkungannya, tidak tersekat oleh keterbatasan ruang dan waktu. Baik bergaya ataupun berakting, si pesolek maupun si revolusioner sama-sama memerlukan sebuah kesatuan eksistensi, sekaligus eksis di dunia ini, ujar Albert Camus.
Penyair, sepertinya bersikeras ingin menghadirkan dunia khayal yang menjadi impiannya, sedangkan dalam proses itu dibatasi realitas dunia yang hadir di sekelilingnya. Kota bisa jadi personifikasi impian yang secara simultan menjadi pembatas karena tanda-tanda atau simbol-simbol hadir secara konkret bagi masyarakat awam. Memang disadari benar, puisi sebagai bentuk karya seni modern bersifat eksklusif, artinya hanya dapat dinikmati segelintir orang, kalangan tertentu saja, karena dibatasi oleh nilai estetik yang sangat subjektif. Dengan demikian, untuk sampai pada tahapan memahami dan menikmati, harus tumbuh kesesuaian pada ranah penilaian estetik yang sama.
Sebaliknya, bagi penyair, puisi merupakan bentuk karya yang bersifat terbuka, dan secara objektif dapat ditafsirkan secara bebas oleh pembacanya, sesuai dengan wawasan, jangkauan pemahaman, dan sikapnya dalam melakukan penilaian akhir. Namun , acap kali dijumpai adanya ruang kosong yang tidak dapat diterobos penilaian estetik masing-masing pihak. Barangkali hal ini dapat disebutkan merupakan kesenjangan pengalaman estetik. Mengenai pengalaman estetik ini, sebenarnya secara kodrati bagi setiap orang dapat diperoleh dengan tingkat kesempatan yang sama.
Simak bait puisi karya Kriapur ini: memasuki sunyi, kulihat kota/terayun di udara/dan di pagi sedingin itu, kau menangis lagi/kabut belum luruh/air matamu jatuh. (“Memasuki Sunyi”). Di sini Kriapur melihat sosok kota sebagai perwujudan kemuraman yang mengantarkan nasib manusia layaknya pohon rapuh, yang selalu menghadapi pergulatan hidup yang keras dan tidak menentu.
Berbeda dengan Kriapur, Joko Pinurbo justru melihat kota dari sisi yang penuh keceriaan, menggoda: Ia duduk seharian di salon kecantikan/Melancong ke negeri-negeri jauh di balik cermin/Menyusuri langit putih biru jingga/dan selalu pada akhirnya: terjebak di cakrawala// Sekali ini aku tak mau diganggu/Waktu seluruhnya untuk kesendirianku (“Di Salon Kecantikan”).
Bagi Toto Sudarto Bachtiar, kota bisa membuat orang-orang kalah dalam pertarungan hidup. Kota bisa mendepak nasib seseorang dengan kejamnya, sebagaimana diungkapkan dalam bait ini: Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari/Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi/Di sungai kesayangan, o, kota kekasih/Klakson oto dan lonceng trem saing-menyaingi/Udara menekan berat di atas jalan panjang berkelokan. (“Ibu Kota Senja”).
Namun, kota juga dapat menggugah romantisme, perasaan syahdu, seperti disampaikan Guillaume Apollinaire: Di bawah jembatan Mirabeau mengalir Seine/Dan kasih kita/Selamanya harus tinggal di sana/Kenangan girang disusul duka/Walau malam pasti datang dan jam luput berdetak/Hari-hari cepat silam, aku tidak. (“Jembatan Mirabeau”).
Kota bagi penyair adalah ruang kehidupan tempat berbagai tanda dan referensi dengan mudah dicomot, kemudian digabungkan, diolah menjadi sebongkah pengalaman estetik yang diaktualisasikan dalam karya puisi.
_________________
Juniarso Ridwan, penyair
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/kota-dan-penyair.html
Pikiran Rakyat, 12 Des 2010
SEBUAH kota tidak serta merta hadir untuk memenuhi deretan daftar keinginan manusia penghuninya. Tidak juga diproyeksikan untuk mengaktualisasikan harapan yang semakin jenuh. Sebuah kota merupakan perwujudan kompromi yang saling berkaitan antara keinginan manusia, bentuk lahan, kondisi topografi, kekayaan alam, posisi tapak, orientasi terhadap lingkungan sekitar, kondisi tanah, kemampuan merekayasa, kemampuan ekonomi, jangkauan administrasi dan legislasi, lalu-lintas sosial-budaya, serta harapan-harapan yang terus tumbuh. Kota adalah sumber energi bagi penyair yang terus bergulat menggali idiom-idiom baru bagi peningkatan kekayaan kosakata yang akan disemburkan melalui karya kreatifnya. Kota merupakan jalinan interaksi sosial yang tiada henti, mulai dari gerak langkah penyelarasan sampai pada benturan konflik, yang bermuara pada proses pembaharuan dan munculnya persemaian toleransi.
Kota menjadi ladang perburuan kata-kata dengan suasana yang selalu dipengaruhi waktu, sebagaimana ditangkap Chairil Anwar muda dalam salah satu puisinya: Aku berada kembali. Banyak yang asing;/air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang/ serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain//rasa laut telah berubah dan kupunya wajah/juga disinari matahari/lain. (“1949″).
Bagi kebanyakan penyair, suasana kota yang terasa lebih dinamis dibandingkan dengan kampung halamannya, telah mendorong tumbuhnya sebuah “pemberontakan jiwa” untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Kehidupan kota merupakan tantangan lain yang harus dihadapi dan ditundukkan sekaligus. Dengan berbagai sarana dan prasarana yang mudah dijumpai, penyair dapat dengan leluasa melakukan interaksi dengan lingkungannya, tidak tersekat oleh keterbatasan ruang dan waktu. Baik bergaya ataupun berakting, si pesolek maupun si revolusioner sama-sama memerlukan sebuah kesatuan eksistensi, sekaligus eksis di dunia ini, ujar Albert Camus.
Penyair, sepertinya bersikeras ingin menghadirkan dunia khayal yang menjadi impiannya, sedangkan dalam proses itu dibatasi realitas dunia yang hadir di sekelilingnya. Kota bisa jadi personifikasi impian yang secara simultan menjadi pembatas karena tanda-tanda atau simbol-simbol hadir secara konkret bagi masyarakat awam. Memang disadari benar, puisi sebagai bentuk karya seni modern bersifat eksklusif, artinya hanya dapat dinikmati segelintir orang, kalangan tertentu saja, karena dibatasi oleh nilai estetik yang sangat subjektif. Dengan demikian, untuk sampai pada tahapan memahami dan menikmati, harus tumbuh kesesuaian pada ranah penilaian estetik yang sama.
Sebaliknya, bagi penyair, puisi merupakan bentuk karya yang bersifat terbuka, dan secara objektif dapat ditafsirkan secara bebas oleh pembacanya, sesuai dengan wawasan, jangkauan pemahaman, dan sikapnya dalam melakukan penilaian akhir. Namun , acap kali dijumpai adanya ruang kosong yang tidak dapat diterobos penilaian estetik masing-masing pihak. Barangkali hal ini dapat disebutkan merupakan kesenjangan pengalaman estetik. Mengenai pengalaman estetik ini, sebenarnya secara kodrati bagi setiap orang dapat diperoleh dengan tingkat kesempatan yang sama.
Simak bait puisi karya Kriapur ini: memasuki sunyi, kulihat kota/terayun di udara/dan di pagi sedingin itu, kau menangis lagi/kabut belum luruh/air matamu jatuh. (“Memasuki Sunyi”). Di sini Kriapur melihat sosok kota sebagai perwujudan kemuraman yang mengantarkan nasib manusia layaknya pohon rapuh, yang selalu menghadapi pergulatan hidup yang keras dan tidak menentu.
Berbeda dengan Kriapur, Joko Pinurbo justru melihat kota dari sisi yang penuh keceriaan, menggoda: Ia duduk seharian di salon kecantikan/Melancong ke negeri-negeri jauh di balik cermin/Menyusuri langit putih biru jingga/dan selalu pada akhirnya: terjebak di cakrawala// Sekali ini aku tak mau diganggu/Waktu seluruhnya untuk kesendirianku (“Di Salon Kecantikan”).
Bagi Toto Sudarto Bachtiar, kota bisa membuat orang-orang kalah dalam pertarungan hidup. Kota bisa mendepak nasib seseorang dengan kejamnya, sebagaimana diungkapkan dalam bait ini: Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari/Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi/Di sungai kesayangan, o, kota kekasih/Klakson oto dan lonceng trem saing-menyaingi/Udara menekan berat di atas jalan panjang berkelokan. (“Ibu Kota Senja”).
Namun, kota juga dapat menggugah romantisme, perasaan syahdu, seperti disampaikan Guillaume Apollinaire: Di bawah jembatan Mirabeau mengalir Seine/Dan kasih kita/Selamanya harus tinggal di sana/Kenangan girang disusul duka/Walau malam pasti datang dan jam luput berdetak/Hari-hari cepat silam, aku tidak. (“Jembatan Mirabeau”).
Kota bagi penyair adalah ruang kehidupan tempat berbagai tanda dan referensi dengan mudah dicomot, kemudian digabungkan, diolah menjadi sebongkah pengalaman estetik yang diaktualisasikan dalam karya puisi.
_________________
Juniarso Ridwan, penyair
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/kota-dan-penyair.html
Jumat, 14 Oktober 2011
Demitologisasi Sastra Mantra Sutardji
Hasnan Bachtiar
http://kataitukata.wordpress.com/
Dewasa ini telah mengemuka suatu mitos sastra (Barthes). Para kritikus, seolah bahu-membahu dalam konsensus imajiner, mengimani suatu mazhab yang mutakhir. Sastrawan “mantra” menjadi imam bagi mayoritas umat: Sutardji Calzoum Bachri (SCB).
Bukan hal yang mengherankan, penisbatan ini tertuju kepada penyair masyhur itu. Pujangga yang hebat, memiliki puisi-puisi yang sangat baik dan sungguh sulit mencari cela pada anak-anak rohani yang telah tercipta dengan kualitas berkelas, kecuali oleh ketajaman kritikus tulen yang bernyali. Dengan menaruh segala rasa hormat, bahwa tulisan-tulisannya yang hadir dalam kesusastraan Indonesia, barangkali setara dengan pelbagai khazanah tafsir kitab suci yang diagungkan.
Kehebatan SCB terdengar menyeruak di tengah pujangga, kritikus, akademisi, hingga penikmat sastra. Bahkan sangat familier, sehingga begitu dekat dengan pembacanya.
Di tengah gegap gempita bersinarnya sosok SCB, tidak jarang beberapa kalangan merelakan jiwanya, untuk menganut segala alur pikir dan gaya sastra yang digemarinya. Ada beberapa yang berlebihan. Tanpa sengaja, SCB menempati posisi yang tinggi dalam wacana sastra, bukan sekedar presiden penyair, tapi sebagai nabi baru sastra.
Jelas tidak salah mengangkatnya menjadi nabi. Nabi tempat berkeluh kesah, pengayom dan tauladan bagi umat sastra, serta merangkul seluruh golongan. Yang paling kentara di permukaan dan nampak mengandung unsur kenabian adalah “mantra”.
Mantra adalah kata yang hanya kata. Mampu mempesona para pembaca, meski tanpa harus memiliki makna. Tatkala kata terlantun, banyak orang merasakan bahwa hal itulah tempat untuk berserah diri, bernuansa sakral nan agung. Dalam bahasa psikologi, boleh juga disebut sebagai tempat bersandar di tengah ketidakmampuan, untuk menghindari istilah neurosis.
Kendati demikian, perlu juga dikoreksi di sini bahwa, di antara umat ada yang memberi jabatan lebih tinggi dari sekedar nabi. Mungkin terlalu tinggi. Karena itu, pengkultusan menjadi hal yang tak terhindarkan. Nasi sudah menjadi bubur, inilah bid’ah yang menggejala dan beberapa menampakkan diri dalam kehidupan susastra.
Mantra terlantun, kebebasan terhempaskan. Kemerdekaan sebagai manusia liar mendapat jaminan yang aman. Inilah puisi, kenikmatan, estetika dan kematian manusia. Segala kuasa adalah kata. Benarkah demikian? Inilah yang akan diuji.
***
Bukan tanpa alasan, wacana ini. Dalam filsafat kontemporer, keterkaitan psikoanalisis, semiologi dan hermeneutika, Michel Foucault menyebutkan adanya “kata yang bukan bahasa”. (Michel Foucault, “Nietzsche, Freud, Marx,” Nietzsche, Cahiers du Royaumont. Paris: Les Editions du Minuit, 1964: 183-4).
Menurut filsuf Prancis ini, psikoanalisis Freud menyadarkan kita akan ketidaksadaran. Psikoanalisis bekerja untuk menafsirkan tanda (pula kata), karena itu mutlak pembaca adalah hermeneut. Di samping itu, karena yang ditafsir adalah tanda, semiologi menjadi penting turut serta menyelami kedalaman kerumitan pembacaan alam bawah sadar ini. Betapapun hermeneut mencoba mengerti akan tanda-tanda, – baik itu yang bisa ditafsir, atau bahasa yang tidak mengatakan maksud yang sesungguhnya, ada pula tanda yang bukan bahasa – setiap penafsir terikat akan logosnya tersendiri (wawancara Michel Foucault dengan Alain Badiou, “Philosophie et psychologie,” Dossiers pédagogiques de la radio-télévision scolaire, 27 Februari 1965: 65-71).
Menunjuk kepada mantra, kata yang bukan bahasa ini, mutlak diciptakan dengan ketidaksadaran. Bagi penulisnya, tentu terstruktur logos – di alam ketidaksadaran – sebagai suatu konstruksi kemanusiaan. Namun bagi pembaca-pelantun, menjadi pengandaian sebagai kata ajaib, yang barangkali memang bebas akan beban-beban komunikatif. Dalam kondisi ekstase, sangat sulit untuk memutuskan bahwa pembaca terikat dengan logosnya. Sebaliknya, saat kondisi ketubuhan-kesadaran terjaga, logos menjadi struktur alamiah yang senantiasa digunakan, – sekali lagi – dalam ketidaksadaran. Orang bisa mengatakan bahwa, “ini benar-benar mantra” atau “tiada makna bagi mantra” atau “terserah kehendak pembaca bagi makna mantra”.
Pertama, secara terang, mantra yang ditulis seolah benar “mantra” terikat hukum pengetahuannya tersendiri (logos). Pengakuan dan pembenaran keajaiban mantra oleh pelantun atau pembaca juga terikat logos. Kedua, mantra adalah mantra seperti kata yang hanya kata dan bukan bahasa, terikat atas struktur logosnya. Ketiga, juga demikian dengan kebebasan berkehendak untuk memberi makna pada mantra, tentu saja harus dimaklumi ketergantungannya terhadap logos, disadari atau tidak.
Logos yang dimaksud di sini, tentu saja melampaui strukturalisme semiologis. Barangkali gejala ideologisasi terhadap alur pikir tertentu, diwakili oleh gagasan Derrida tentang logosentrisme (Jacques Derrida, De la gramatologie. Paris: Editions de Minuit, 1967). Logos bukanlah pengetahuan semesta yang obyektif, karena berlaku sebagai kehendak kuasa. Penulis jelas menunjuk pada logosentrisme aliran mantra SCB.
Seorang SCB dalam “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair” (Republika, 9 September 2007) menuturkan bahwa, “Peran penyair menjadi unik, karena – sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya – secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”
Dari sini, SCB secara pribadi hendak memberi makna pada mantra sebagai kata yang hanya sebagai kata, bukan bahasa, karena tercipta bak sabda. Dengan demikian, jelas dalam maksud tersebut bahwa, atas kata yang bukan bahasa, atau mantra, hendak memberi kemerdekaan penuh kepada pembaca untuk melampaui struktur semiologi.
Ignas Kleden dalam esainya, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007) mengukuhkan pendapat ini, “Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi… Dalam sebuah esainya Sutardji menulis ‘puisi adalah alibi kata-kata.’ Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.”
Tidak ada masalah sebenarnya. Baik soal kematian manusia (pengarang, pembaca) tatkala mencandra teks-teks sastra (mantra), maupun pembebasan maknanya, – lebih jauh lagi – juga termasuk pembebasan logosnya (struktur epistemologis). Namun, benarkah “kata” benar-benar berkuasa? Ataukah manusia yang hidup (beserta logos), seolah mematikan “kemanusiaan” dan menggantinya sekedar kata? Atau mereka mempertahankan wacana “kata” sejatinya (otonom) dengan kehendaknya secara membabi buta (logosentrisme)?
Lebih mendalam tentang hal ini, yang memungkinkan dipersoalkan adalah soal wacana yang seolah tanpa tanding, sedang menguasai belantika sastra Indonesia. Inilah yang akan ditantang dan diuji secara filosofis.
***
Logos-logos yang menjelma mantra, lambat laun hidup dan seperti makhluk bernyawa, menundukkan dan membunuh manusia-manusia. Nurel Javissyarqi dalam esainya “Membaca Kedangkalan Logika Dr. Ignas Kleden?” benar-benar menyadari pentingnya manusia kuat dan pemberani untuk menantang mantra yang “mewabah” dan “menjangkiti” yang dianut selayaknya agama. Ia mengungkapkan, “Dikala memandang pertumbuhan mitos sastra dewasa ini di Indonesia ialah bentuk ucap pengulangan seragam, tanpa sistem mengkritisi demi kematangan penggalian alam tradisi… Ini jauh panggang dari arang, membaca kilau hasil tanpa menyelidiki proses kreatifnya…” (Bagian XIII, 2011).*
Secara lebih jauh, Javissyarqi mengungkap kuasa wacana mantra dengan pisau bedah yang paling vulgar, yaitu “mitos” Barthesian. Mitos di sini berarti kreativitas imaji yang menari bersama harapan (Roland Barthes, Mithologies. Paris: Seuil, 1957). Istilah yang sangat ilmiah dan paling cocok untuk memahami rezimisasi-ideologisasi-logosentrisme terhadap pemikiran sastra SCB. SCB berwacana (penanda 1) dan mengkonsep mantra (petanda 1/penanda 2), lalu pembaca memaknai (termasuk tafsir bahwa tiada makna untuk kata) mantra (petanda 2) dan begitu seterusnya. Dalam struktur penanda-petanda-tanda, SCB adalah tanda, atau mantra adalah tanda.
Begitulah, semua orang menikmati mitos SCB mantra. Dengan mitos yang didengungkan setiap saat, nasib baik selalu menghampiri SCB-mantra. Selain berkuasa dalam singgasana wacana, didukung pula oleh segala puji dan decak kagum yang lena. Dalam ritus-ritus pengetahuan, sekaligus mitos bukan sekedar mitos, tetapi menjadi mitologi, berbau mitis, sakralitas dan pengkultusan. Dalam bahasa yang sebelumnya disebutkan, menjadi bid’ah atau ketumpulan kritisisme.
Banyak kerugian tatkala konservatisme atau wacana dogmatik menjangkiti penulis dan pembaca sastra. Perilaku resentimen barangkali dapat disaksikan sebagai akibat-akibat keimanan yang membabi-buta. Tidak jarang pula, sakralisasi teks yang berlebihan membuat orang mabuk kepayang, kehilangan orientasi hidup yang utama sebagai manusia. Tampil para pejuang mantra yang mengukuhkan rezimisasi-ideologisasi-logosentrisme. Ujung perkaranya, stagnasi yang sempurna.
Inilah kiranya mulai mengapresiasi para kritikus sastra yang murni. Nietzsche memberi kritik bagi mereka para kritikus yang tidak bersungguh, mestinya mereka benar-benar menjadi kritikus sejati dan jauh dari selubung atau topeng kepalsuan. Tidak harus menjadi tuhan, bahkan membunuh manusia-kemanusiaan untuk bersastra. Tidak sepatutnya me-nabi-kan yang tidak layak menjadi nabi, meski hanya menyebutnya sebagai presiden.
Mengapa demikian, Nietzsche membuat lelucon bahwa, “The Gods are dead but they have died from laughing, on hearing one God claim to be the only one, ‘Is not precisely this godliness, that there are gods but no God?’” (Z III ‘Of the Apostates”, p. 201. Nietzsche and philosophy, Gilles Deleuze, Columbia University Press, 2002: 4). Segala kuasa-wacana yang menuhankan diri dengan pelbagai pembenaran telah mati, karena ada kebenaran-kebenaran sejati di pinggiran tengah berteriak menantangnya. Demikianlah demitologisasi terhadap topeng kesejatian SCB-mantra. Kehendak kritik yang murni telah terlempar sebagai anak panah yang menembus jantung. Membunuh dengan tega.
Penting sekali kiranya kita merenungkan nasehat dari Karl Mannheim. Ia berkesimpulan bahwa, “In unmasking ideologies, we seek to bring to light an unconscious process, not in order to annihilate the moral existence of persons making certain statements, but in order to destroy the social efficacy of certain ideas by unmasking the function they serve.” (Karl Mannheim, “Historicism,” Essays on the Sociology of Knowledge, Essays on the Sociology of Knowledge. London: Routledge & K. Paul, 1952: 141).
Catatan:
*kutipan tersebut dari esai (rencana kerja) Nurel Javissyarqi, yang kehendaknya terbit di akhir tahun 2012 mendatang.
Dijumput dari: http://kataitukata.wordpress.com/2011/09/30/demitologisasi-sastra-mantra-sutardji/
http://kataitukata.wordpress.com/
Dewasa ini telah mengemuka suatu mitos sastra (Barthes). Para kritikus, seolah bahu-membahu dalam konsensus imajiner, mengimani suatu mazhab yang mutakhir. Sastrawan “mantra” menjadi imam bagi mayoritas umat: Sutardji Calzoum Bachri (SCB).
Bukan hal yang mengherankan, penisbatan ini tertuju kepada penyair masyhur itu. Pujangga yang hebat, memiliki puisi-puisi yang sangat baik dan sungguh sulit mencari cela pada anak-anak rohani yang telah tercipta dengan kualitas berkelas, kecuali oleh ketajaman kritikus tulen yang bernyali. Dengan menaruh segala rasa hormat, bahwa tulisan-tulisannya yang hadir dalam kesusastraan Indonesia, barangkali setara dengan pelbagai khazanah tafsir kitab suci yang diagungkan.
Kehebatan SCB terdengar menyeruak di tengah pujangga, kritikus, akademisi, hingga penikmat sastra. Bahkan sangat familier, sehingga begitu dekat dengan pembacanya.
Di tengah gegap gempita bersinarnya sosok SCB, tidak jarang beberapa kalangan merelakan jiwanya, untuk menganut segala alur pikir dan gaya sastra yang digemarinya. Ada beberapa yang berlebihan. Tanpa sengaja, SCB menempati posisi yang tinggi dalam wacana sastra, bukan sekedar presiden penyair, tapi sebagai nabi baru sastra.
Jelas tidak salah mengangkatnya menjadi nabi. Nabi tempat berkeluh kesah, pengayom dan tauladan bagi umat sastra, serta merangkul seluruh golongan. Yang paling kentara di permukaan dan nampak mengandung unsur kenabian adalah “mantra”.
Mantra adalah kata yang hanya kata. Mampu mempesona para pembaca, meski tanpa harus memiliki makna. Tatkala kata terlantun, banyak orang merasakan bahwa hal itulah tempat untuk berserah diri, bernuansa sakral nan agung. Dalam bahasa psikologi, boleh juga disebut sebagai tempat bersandar di tengah ketidakmampuan, untuk menghindari istilah neurosis.
Kendati demikian, perlu juga dikoreksi di sini bahwa, di antara umat ada yang memberi jabatan lebih tinggi dari sekedar nabi. Mungkin terlalu tinggi. Karena itu, pengkultusan menjadi hal yang tak terhindarkan. Nasi sudah menjadi bubur, inilah bid’ah yang menggejala dan beberapa menampakkan diri dalam kehidupan susastra.
Mantra terlantun, kebebasan terhempaskan. Kemerdekaan sebagai manusia liar mendapat jaminan yang aman. Inilah puisi, kenikmatan, estetika dan kematian manusia. Segala kuasa adalah kata. Benarkah demikian? Inilah yang akan diuji.
***
Bukan tanpa alasan, wacana ini. Dalam filsafat kontemporer, keterkaitan psikoanalisis, semiologi dan hermeneutika, Michel Foucault menyebutkan adanya “kata yang bukan bahasa”. (Michel Foucault, “Nietzsche, Freud, Marx,” Nietzsche, Cahiers du Royaumont. Paris: Les Editions du Minuit, 1964: 183-4).
Menurut filsuf Prancis ini, psikoanalisis Freud menyadarkan kita akan ketidaksadaran. Psikoanalisis bekerja untuk menafsirkan tanda (pula kata), karena itu mutlak pembaca adalah hermeneut. Di samping itu, karena yang ditafsir adalah tanda, semiologi menjadi penting turut serta menyelami kedalaman kerumitan pembacaan alam bawah sadar ini. Betapapun hermeneut mencoba mengerti akan tanda-tanda, – baik itu yang bisa ditafsir, atau bahasa yang tidak mengatakan maksud yang sesungguhnya, ada pula tanda yang bukan bahasa – setiap penafsir terikat akan logosnya tersendiri (wawancara Michel Foucault dengan Alain Badiou, “Philosophie et psychologie,” Dossiers pédagogiques de la radio-télévision scolaire, 27 Februari 1965: 65-71).
Menunjuk kepada mantra, kata yang bukan bahasa ini, mutlak diciptakan dengan ketidaksadaran. Bagi penulisnya, tentu terstruktur logos – di alam ketidaksadaran – sebagai suatu konstruksi kemanusiaan. Namun bagi pembaca-pelantun, menjadi pengandaian sebagai kata ajaib, yang barangkali memang bebas akan beban-beban komunikatif. Dalam kondisi ekstase, sangat sulit untuk memutuskan bahwa pembaca terikat dengan logosnya. Sebaliknya, saat kondisi ketubuhan-kesadaran terjaga, logos menjadi struktur alamiah yang senantiasa digunakan, – sekali lagi – dalam ketidaksadaran. Orang bisa mengatakan bahwa, “ini benar-benar mantra” atau “tiada makna bagi mantra” atau “terserah kehendak pembaca bagi makna mantra”.
Pertama, secara terang, mantra yang ditulis seolah benar “mantra” terikat hukum pengetahuannya tersendiri (logos). Pengakuan dan pembenaran keajaiban mantra oleh pelantun atau pembaca juga terikat logos. Kedua, mantra adalah mantra seperti kata yang hanya kata dan bukan bahasa, terikat atas struktur logosnya. Ketiga, juga demikian dengan kebebasan berkehendak untuk memberi makna pada mantra, tentu saja harus dimaklumi ketergantungannya terhadap logos, disadari atau tidak.
Logos yang dimaksud di sini, tentu saja melampaui strukturalisme semiologis. Barangkali gejala ideologisasi terhadap alur pikir tertentu, diwakili oleh gagasan Derrida tentang logosentrisme (Jacques Derrida, De la gramatologie. Paris: Editions de Minuit, 1967). Logos bukanlah pengetahuan semesta yang obyektif, karena berlaku sebagai kehendak kuasa. Penulis jelas menunjuk pada logosentrisme aliran mantra SCB.
Seorang SCB dalam “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair” (Republika, 9 September 2007) menuturkan bahwa, “Peran penyair menjadi unik, karena – sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya – secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”
Dari sini, SCB secara pribadi hendak memberi makna pada mantra sebagai kata yang hanya sebagai kata, bukan bahasa, karena tercipta bak sabda. Dengan demikian, jelas dalam maksud tersebut bahwa, atas kata yang bukan bahasa, atau mantra, hendak memberi kemerdekaan penuh kepada pembaca untuk melampaui struktur semiologi.
Ignas Kleden dalam esainya, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007) mengukuhkan pendapat ini, “Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi… Dalam sebuah esainya Sutardji menulis ‘puisi adalah alibi kata-kata.’ Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.”
Tidak ada masalah sebenarnya. Baik soal kematian manusia (pengarang, pembaca) tatkala mencandra teks-teks sastra (mantra), maupun pembebasan maknanya, – lebih jauh lagi – juga termasuk pembebasan logosnya (struktur epistemologis). Namun, benarkah “kata” benar-benar berkuasa? Ataukah manusia yang hidup (beserta logos), seolah mematikan “kemanusiaan” dan menggantinya sekedar kata? Atau mereka mempertahankan wacana “kata” sejatinya (otonom) dengan kehendaknya secara membabi buta (logosentrisme)?
Lebih mendalam tentang hal ini, yang memungkinkan dipersoalkan adalah soal wacana yang seolah tanpa tanding, sedang menguasai belantika sastra Indonesia. Inilah yang akan ditantang dan diuji secara filosofis.
***
Logos-logos yang menjelma mantra, lambat laun hidup dan seperti makhluk bernyawa, menundukkan dan membunuh manusia-manusia. Nurel Javissyarqi dalam esainya “Membaca Kedangkalan Logika Dr. Ignas Kleden?” benar-benar menyadari pentingnya manusia kuat dan pemberani untuk menantang mantra yang “mewabah” dan “menjangkiti” yang dianut selayaknya agama. Ia mengungkapkan, “Dikala memandang pertumbuhan mitos sastra dewasa ini di Indonesia ialah bentuk ucap pengulangan seragam, tanpa sistem mengkritisi demi kematangan penggalian alam tradisi… Ini jauh panggang dari arang, membaca kilau hasil tanpa menyelidiki proses kreatifnya…” (Bagian XIII, 2011).*
Secara lebih jauh, Javissyarqi mengungkap kuasa wacana mantra dengan pisau bedah yang paling vulgar, yaitu “mitos” Barthesian. Mitos di sini berarti kreativitas imaji yang menari bersama harapan (Roland Barthes, Mithologies. Paris: Seuil, 1957). Istilah yang sangat ilmiah dan paling cocok untuk memahami rezimisasi-ideologisasi-logosentrisme terhadap pemikiran sastra SCB. SCB berwacana (penanda 1) dan mengkonsep mantra (petanda 1/penanda 2), lalu pembaca memaknai (termasuk tafsir bahwa tiada makna untuk kata) mantra (petanda 2) dan begitu seterusnya. Dalam struktur penanda-petanda-tanda, SCB adalah tanda, atau mantra adalah tanda.
Begitulah, semua orang menikmati mitos SCB mantra. Dengan mitos yang didengungkan setiap saat, nasib baik selalu menghampiri SCB-mantra. Selain berkuasa dalam singgasana wacana, didukung pula oleh segala puji dan decak kagum yang lena. Dalam ritus-ritus pengetahuan, sekaligus mitos bukan sekedar mitos, tetapi menjadi mitologi, berbau mitis, sakralitas dan pengkultusan. Dalam bahasa yang sebelumnya disebutkan, menjadi bid’ah atau ketumpulan kritisisme.
Banyak kerugian tatkala konservatisme atau wacana dogmatik menjangkiti penulis dan pembaca sastra. Perilaku resentimen barangkali dapat disaksikan sebagai akibat-akibat keimanan yang membabi-buta. Tidak jarang pula, sakralisasi teks yang berlebihan membuat orang mabuk kepayang, kehilangan orientasi hidup yang utama sebagai manusia. Tampil para pejuang mantra yang mengukuhkan rezimisasi-ideologisasi-logosentrisme. Ujung perkaranya, stagnasi yang sempurna.
Inilah kiranya mulai mengapresiasi para kritikus sastra yang murni. Nietzsche memberi kritik bagi mereka para kritikus yang tidak bersungguh, mestinya mereka benar-benar menjadi kritikus sejati dan jauh dari selubung atau topeng kepalsuan. Tidak harus menjadi tuhan, bahkan membunuh manusia-kemanusiaan untuk bersastra. Tidak sepatutnya me-nabi-kan yang tidak layak menjadi nabi, meski hanya menyebutnya sebagai presiden.
Mengapa demikian, Nietzsche membuat lelucon bahwa, “The Gods are dead but they have died from laughing, on hearing one God claim to be the only one, ‘Is not precisely this godliness, that there are gods but no God?’” (Z III ‘Of the Apostates”, p. 201. Nietzsche and philosophy, Gilles Deleuze, Columbia University Press, 2002: 4). Segala kuasa-wacana yang menuhankan diri dengan pelbagai pembenaran telah mati, karena ada kebenaran-kebenaran sejati di pinggiran tengah berteriak menantangnya. Demikianlah demitologisasi terhadap topeng kesejatian SCB-mantra. Kehendak kritik yang murni telah terlempar sebagai anak panah yang menembus jantung. Membunuh dengan tega.
Penting sekali kiranya kita merenungkan nasehat dari Karl Mannheim. Ia berkesimpulan bahwa, “In unmasking ideologies, we seek to bring to light an unconscious process, not in order to annihilate the moral existence of persons making certain statements, but in order to destroy the social efficacy of certain ideas by unmasking the function they serve.” (Karl Mannheim, “Historicism,” Essays on the Sociology of Knowledge, Essays on the Sociology of Knowledge. London: Routledge & K. Paul, 1952: 141).
Catatan:
*kutipan tersebut dari esai (rencana kerja) Nurel Javissyarqi, yang kehendaknya terbit di akhir tahun 2012 mendatang.
Dijumput dari: http://kataitukata.wordpress.com/2011/09/30/demitologisasi-sastra-mantra-sutardji/
RUMI DAN JEJAK TUHAN DI ATAS SAJADAH MUSA
Imamuddin SA *
http://sastra-indonesia.com/
Dalam pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa hakekat hidup manusia di dunia ini adalah untuk kembali kepada Tuhan dengan membawa limpahan keselamatan dan kebahagiaan. Dengan kata lain, orientasi hidup di dunia ini hanya kepada Tuhan. Manusia hidup di dunia ini hanyalah proses pencarian terhadap hakekat Tuhan yang haqq, agar saat ia kembali kepada-Nya kelak sanggup memperoleh keselamatan dan kebahagiaan.
……“Dunia ini ibarat Thursina, dan kami Musa pencari sinar-Nya; setiap petunjuk datang dari-Nya, puncak gunung ini akan pecah berkeping-keping” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Rumi menegaskan, bahwa semua tempat yang berada di dunia ini diibaratkan sebagai bukit Thursina serta semua manusia berposisi sebagai Musa AS. Manusia berposisi sebagai subjek yang melakukan pencarian terhadap bukti keberadaan tuhan dalam realitas kehidupanya. Tentunya bagi Rumi perlambang ini bukan berorientasi kepada seluruh manusia, tetapi bagi mereka yang yakin dan percaya akan keberadaan tuhan.
Mengapa Thursina dan Musa yang menjadi perumpamaan? Hal tersebut dikarenakan, kedua citra ini merujuk pada sebuah kisah yang termaktub di dalam Al-Quran surat Al-a’raf ayat 143. Surat ini menceritakan bahwa di bukit tersebut Musa AS bermunajat kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar berkenan menampakkan bentuk dzat sejati-Nya. Kemudia Allah berkata pada Musa AS: “Engkau sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku, tetapi cobalah lihat bukit itu, jika ia tetap berdiri tegak di tempatnya, niscaya engkau akan dapat melihat-Ku”. Musa AS kemudian menoleh ke arah bukit yang dimaksud. Pada saat itu, ia melihat bukut-bukit yang tadinya berdiri tegak kini menjadi hancur berkeping-keping masuk ke dalam perut bumi tanpa meninggalkan bekas.
Fenomena semacam itu merupakan ilustrasi dari Tuhan, bahwa dzat-Nya yang sejati tidak dapat ditangkap secara lahir. Dzat-Nya bersifat kasat mata yang tidak dapat terwujud dalam alam materi dan bahkan tidak sanggup digapai dengan menggunakan logika berfikir atau akal karena kesempurnaanya.
Kant yang bergelar sebagai Raksasa Ahli Pikir juga menyadari akan hal itu, sehingga ia berkata: Dzat Tuhan itu benar-benar ada dan merupakan perkara yang besar utuk dibahasnya, tetapi letaknya jauh di atas kemampuan akal, oleh karena itu saya terpaksa berhenti sejenak dari pengetahuan akal, supaya saya sediakan tempat buat iman. Selain itu Ibnu Khaldun juga menambahkan, bahwa mempergunakan akal untuk menimbang soal-soal yang berhubungan dengan keesaan Allah, hidup di akhirat kelak, hakekat kenabian, hakekat sifat-sifat ketuhanan, atau persoalan lain yang terletak di luar kesanggupan akal adalah sama dengan mencoba mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung. Ini tidaklah berarti timbangan itu tidak boleh dipercaya. Soal yang sebenarnya ialah akal itu mempunyai batas-batas yang dengan keras membatasinya; oleh karena itu, tidak bisa diharapkan bahwa akal itu dalam memahami Allah dan sifat-sifat-Nya, karena otak hanyalah satu dari beberapa atom yang diciptakan Allah. Secara lebih lanjut Agustin juga menyatakan bahwa tuhan tidak bisa ditanggap atau di sifati, sebab Ia mengatasi sifat dan gambaran. Beleh saja manusia memberi sifat kepada tuhan, namun sifat-sifat tersebut tidak sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia.
Dengan jelas, fenomena di atas menegaskan bahwa Dzat Tuhan secara kodrati tidak dapat ditangkap oleh penglihatan dan bahkan oleh akal manusia. Dzat Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan logika apa lagi harus mewujud dalam alam dzahir. Dzat Tuhan hanya dapat digapai dengan keyakinan bahwa Dia itu ada sebagai wujud yang sempurna.
Sebuah pertanyaan, apa yang dapat dilogikakan serta ditangkap oleh indrawi manusia sebagai bukti keberadaan tuhan? Yang dapat dilogikakan serta ditangkap oleh indrawi manusia adalah eksistensi Tuhan. Jadi, bukan esensi-Nya.
Apa perdedaan esensi dengan eksistensi? Sebenarnya kedua istilah ini sama, yaitu sebagai penunjuk keberadaan suatu hal, baik hal tersebut bersifat hidup atau mati. Perbedaanya terletak pada kriterianya. Esensi merupakan intisari; sesuatu yang menjadikan suatu hal itu apa adanya, atau sesuatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam hal, sedangkan eksistensi merupakan bentuk yang menunjukan keberadaan suatu hal yang hidup yang berbeda dengan yang lainya (Partanto dan Barry, 1994:133 dan 159).
Sesuatu yang pasti dimiliki oleh semua benda adalah dzat, sedangkan yang menjadikan suatu benda hidup itu berbeda satu sama lainya adalah pergerakanya. Eksistensi mengarah pada suatu bentuk amaliah atau akhlak dari suatu hal. Jadi, sekali lagi yang dapat dilogikakan sekaligus ditangkap oleh indra manusia adalah Akhlak atau Fi’liyah Tuhan. Akhlak Tuhan ini tercermin melalui nama dan sifat-Nya. Sebagaimana Al-Kindi mengungkapkan, bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya dzat yang tidak tampak. Dzat yang tidak tampak tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat pada alam ini.
Berdasar pada pandangan Al-Kindi, bentuk alam yang tertata rapi tidak mungkin ada dengan sendirinya, melainkan pasti ada yang menjadikanya. Yang menjadikan alam tidak lain adalah dzat yang tidak terlihat. Dzat itu adalah Dzat Tuhan.
Dzat Tuhan secara mutlak tidak dapat dipandang dengan menggunakan penglihatan mata, tetapi dapat diketahui melalui bekas-bekas-Nya yaitu akhlak dan perbuata-Nya serta kerapian alam semesta ini. Adapun sifat dan amaliah Tuhan tercermin melalui nama-nama-Nya yang termaktub dalam Asmaul Husnah yang berjumlah sembilan puluh sembilan.
Rumi mengilustrasikan kembali perihal kehancuran bukit yang dipandang Musa AS saat itu. Kepingan-kepingan bukit yang tidak sanggup menerima penampakan Dzat Tuhan secara lahir itu menjelma menjadi beberapa bentuk. Bentuk kepingan tersebut ada yang berwarna hijau, putih, menjadi mutiara, batu manikam dan ambar.
……Sebagian kepingan menjadi hijau, sebagian kepingan menjadi putih, sebagian kepingan menjadi mutiara, sebagian lagi kepingan menjadi batu manikam dan ambar ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).
Jika ungkapan tersebut ditinjau lebih jauh lagi, ungkapan itu mengandung perlambang. Perlambang itu meliputi: warna hijau identik dengan ketenagan dan kedamaian, warna putih identik dengan kesucian dan kemuliaan, mutiara identik dengan batu permata, manikam identik dengan intan, dan ambar identik dengan damar yang keras seperti batu yang terdapat di dsar laut dan berbau harum.
Semua kriteria tersebut apabila ditarik satu garis lurus, akan menghasilkan satu pengertian baru. Pengertian tersebut adalah sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi dalam kehudupan ini yang menjadi incaran setiap orang.
Hubunganya dengan konsep yang dibangun Rumi adalah berorientasi pada keagungan dan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Barang siapa yang ditunjukkan tanda-tanda kebesaran dan keagungan Tuhan kepadanya, niscaya itu adalah sebuah rahmat yang tinggi nilainya dan mereka termasuk orang-orang yang beruntung karena hal tersebut sanggup memperkuat keimanan yang telah tumbuh di hati seorang manusia akan esensi dan eksistensi Tuhan.
Lebih lanjut Rumi menghimbau kembali kepada siapa saja yang hendak mengetahui Dzat Tuhan secara lahir, hendaknya kisah Musa AS dijadikan wacana. Alam semesta akan porak poranda dan hal semacam itu patutlah kiranya untuk dijadikan wahana dalam memperkuat keimanan dan sebagai bukti adanya Tuhan Yang Maha Esa.
……Kau yang sangat merindukan wajah-Nya, lihatlah batu pecahan gunung-Nya itu ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Musa AS tidak ingin mengulagi lagi tidakanya untuk memohon agar Dzat Tuhan mewujud dalam alam lahir. Ia hanya berharap dan rindu terhadap bukti-bukti keberadaan Tuhan di alam semesta ini sebagi wahana dan petunjuk dalam mendekatkan diri kepada-Nya.
Tentunya dalam lirik puisi Rumi selanjutnya, ia menisbatkan dirinya sama dengan Musa AS. Sama bukan berarti sama dalam tataran sebagai nabi dan rasul, namun sama dalam konsep pemahaman bahwa dia tidak mengharapkan agar Dzat Tuhan mewujud dalam alam lahir. Ia hanya berharap agar mendapatkan petunjuk-petunjuk ilahiah sebagai wahana mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, Rumi menyatakan dengan ungkapan sebagai barikut:
……“O gunung, angin apa yang berhembus di puncakmu? Kami telah mabuk oleh suaranya.” …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Rumi sungguh lihai dalam mengambil citra untuk disematkan sebagai konstruksi dasar karyanya. Ia memilih citra yang mengandung nilai filosofis yang tinggi sebagai pengingat kembali, mereka yang mendewakan logika maupun siapa saja yang hendak melakukan pencarian bukti akan adanya Tuhan. Ia juga memberikan wacana baru bagi tiap orang agar mereka tidak salah persepsi saat menafsirkan konsep ketuhanan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Dzat Tuhan secara kodrati tidak dapat ditangkap oleh penglihatan dan bahkan oleh akal manusia. Dzat Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan logika apa lagi harus mewujud dalam alam dzahir. Dzat Tuhan hanya dapat digapai dengan keyakinan bahwa Dia itu ada sebagai wujud yang sempurna. Dzat Tuhan secara mutlak tidak dapat dipandang dengan menggunakan penglihatan mata, tetapi dapat diketahui melalui bekas-bekas-Nya yang tampak pada indrawi mausia, yaitu akhlak dan perbuata-Nya serta kerapian alam semesta ini. Adapun sifat dan amaliah Tuhan tercermin melalui nama-nama-Nya yang termaktub dalam asmaul husnah yang berjumlah sembilan puluh sembilan.
============
*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga).
http://sastra-indonesia.com/
Dalam pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa hakekat hidup manusia di dunia ini adalah untuk kembali kepada Tuhan dengan membawa limpahan keselamatan dan kebahagiaan. Dengan kata lain, orientasi hidup di dunia ini hanya kepada Tuhan. Manusia hidup di dunia ini hanyalah proses pencarian terhadap hakekat Tuhan yang haqq, agar saat ia kembali kepada-Nya kelak sanggup memperoleh keselamatan dan kebahagiaan.
……“Dunia ini ibarat Thursina, dan kami Musa pencari sinar-Nya; setiap petunjuk datang dari-Nya, puncak gunung ini akan pecah berkeping-keping” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Rumi menegaskan, bahwa semua tempat yang berada di dunia ini diibaratkan sebagai bukit Thursina serta semua manusia berposisi sebagai Musa AS. Manusia berposisi sebagai subjek yang melakukan pencarian terhadap bukti keberadaan tuhan dalam realitas kehidupanya. Tentunya bagi Rumi perlambang ini bukan berorientasi kepada seluruh manusia, tetapi bagi mereka yang yakin dan percaya akan keberadaan tuhan.
Mengapa Thursina dan Musa yang menjadi perumpamaan? Hal tersebut dikarenakan, kedua citra ini merujuk pada sebuah kisah yang termaktub di dalam Al-Quran surat Al-a’raf ayat 143. Surat ini menceritakan bahwa di bukit tersebut Musa AS bermunajat kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar berkenan menampakkan bentuk dzat sejati-Nya. Kemudia Allah berkata pada Musa AS: “Engkau sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku, tetapi cobalah lihat bukit itu, jika ia tetap berdiri tegak di tempatnya, niscaya engkau akan dapat melihat-Ku”. Musa AS kemudian menoleh ke arah bukit yang dimaksud. Pada saat itu, ia melihat bukut-bukit yang tadinya berdiri tegak kini menjadi hancur berkeping-keping masuk ke dalam perut bumi tanpa meninggalkan bekas.
Fenomena semacam itu merupakan ilustrasi dari Tuhan, bahwa dzat-Nya yang sejati tidak dapat ditangkap secara lahir. Dzat-Nya bersifat kasat mata yang tidak dapat terwujud dalam alam materi dan bahkan tidak sanggup digapai dengan menggunakan logika berfikir atau akal karena kesempurnaanya.
Kant yang bergelar sebagai Raksasa Ahli Pikir juga menyadari akan hal itu, sehingga ia berkata: Dzat Tuhan itu benar-benar ada dan merupakan perkara yang besar utuk dibahasnya, tetapi letaknya jauh di atas kemampuan akal, oleh karena itu saya terpaksa berhenti sejenak dari pengetahuan akal, supaya saya sediakan tempat buat iman. Selain itu Ibnu Khaldun juga menambahkan, bahwa mempergunakan akal untuk menimbang soal-soal yang berhubungan dengan keesaan Allah, hidup di akhirat kelak, hakekat kenabian, hakekat sifat-sifat ketuhanan, atau persoalan lain yang terletak di luar kesanggupan akal adalah sama dengan mencoba mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung. Ini tidaklah berarti timbangan itu tidak boleh dipercaya. Soal yang sebenarnya ialah akal itu mempunyai batas-batas yang dengan keras membatasinya; oleh karena itu, tidak bisa diharapkan bahwa akal itu dalam memahami Allah dan sifat-sifat-Nya, karena otak hanyalah satu dari beberapa atom yang diciptakan Allah. Secara lebih lanjut Agustin juga menyatakan bahwa tuhan tidak bisa ditanggap atau di sifati, sebab Ia mengatasi sifat dan gambaran. Beleh saja manusia memberi sifat kepada tuhan, namun sifat-sifat tersebut tidak sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia.
Dengan jelas, fenomena di atas menegaskan bahwa Dzat Tuhan secara kodrati tidak dapat ditangkap oleh penglihatan dan bahkan oleh akal manusia. Dzat Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan logika apa lagi harus mewujud dalam alam dzahir. Dzat Tuhan hanya dapat digapai dengan keyakinan bahwa Dia itu ada sebagai wujud yang sempurna.
Sebuah pertanyaan, apa yang dapat dilogikakan serta ditangkap oleh indrawi manusia sebagai bukti keberadaan tuhan? Yang dapat dilogikakan serta ditangkap oleh indrawi manusia adalah eksistensi Tuhan. Jadi, bukan esensi-Nya.
Apa perdedaan esensi dengan eksistensi? Sebenarnya kedua istilah ini sama, yaitu sebagai penunjuk keberadaan suatu hal, baik hal tersebut bersifat hidup atau mati. Perbedaanya terletak pada kriterianya. Esensi merupakan intisari; sesuatu yang menjadikan suatu hal itu apa adanya, atau sesuatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam hal, sedangkan eksistensi merupakan bentuk yang menunjukan keberadaan suatu hal yang hidup yang berbeda dengan yang lainya (Partanto dan Barry, 1994:133 dan 159).
Sesuatu yang pasti dimiliki oleh semua benda adalah dzat, sedangkan yang menjadikan suatu benda hidup itu berbeda satu sama lainya adalah pergerakanya. Eksistensi mengarah pada suatu bentuk amaliah atau akhlak dari suatu hal. Jadi, sekali lagi yang dapat dilogikakan sekaligus ditangkap oleh indra manusia adalah Akhlak atau Fi’liyah Tuhan. Akhlak Tuhan ini tercermin melalui nama dan sifat-Nya. Sebagaimana Al-Kindi mengungkapkan, bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya dzat yang tidak tampak. Dzat yang tidak tampak tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat pada alam ini.
Berdasar pada pandangan Al-Kindi, bentuk alam yang tertata rapi tidak mungkin ada dengan sendirinya, melainkan pasti ada yang menjadikanya. Yang menjadikan alam tidak lain adalah dzat yang tidak terlihat. Dzat itu adalah Dzat Tuhan.
Dzat Tuhan secara mutlak tidak dapat dipandang dengan menggunakan penglihatan mata, tetapi dapat diketahui melalui bekas-bekas-Nya yaitu akhlak dan perbuata-Nya serta kerapian alam semesta ini. Adapun sifat dan amaliah Tuhan tercermin melalui nama-nama-Nya yang termaktub dalam Asmaul Husnah yang berjumlah sembilan puluh sembilan.
Rumi mengilustrasikan kembali perihal kehancuran bukit yang dipandang Musa AS saat itu. Kepingan-kepingan bukit yang tidak sanggup menerima penampakan Dzat Tuhan secara lahir itu menjelma menjadi beberapa bentuk. Bentuk kepingan tersebut ada yang berwarna hijau, putih, menjadi mutiara, batu manikam dan ambar.
……Sebagian kepingan menjadi hijau, sebagian kepingan menjadi putih, sebagian kepingan menjadi mutiara, sebagian lagi kepingan menjadi batu manikam dan ambar ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).
Jika ungkapan tersebut ditinjau lebih jauh lagi, ungkapan itu mengandung perlambang. Perlambang itu meliputi: warna hijau identik dengan ketenagan dan kedamaian, warna putih identik dengan kesucian dan kemuliaan, mutiara identik dengan batu permata, manikam identik dengan intan, dan ambar identik dengan damar yang keras seperti batu yang terdapat di dsar laut dan berbau harum.
Semua kriteria tersebut apabila ditarik satu garis lurus, akan menghasilkan satu pengertian baru. Pengertian tersebut adalah sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi dalam kehudupan ini yang menjadi incaran setiap orang.
Hubunganya dengan konsep yang dibangun Rumi adalah berorientasi pada keagungan dan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Barang siapa yang ditunjukkan tanda-tanda kebesaran dan keagungan Tuhan kepadanya, niscaya itu adalah sebuah rahmat yang tinggi nilainya dan mereka termasuk orang-orang yang beruntung karena hal tersebut sanggup memperkuat keimanan yang telah tumbuh di hati seorang manusia akan esensi dan eksistensi Tuhan.
Lebih lanjut Rumi menghimbau kembali kepada siapa saja yang hendak mengetahui Dzat Tuhan secara lahir, hendaknya kisah Musa AS dijadikan wacana. Alam semesta akan porak poranda dan hal semacam itu patutlah kiranya untuk dijadikan wahana dalam memperkuat keimanan dan sebagai bukti adanya Tuhan Yang Maha Esa.
……Kau yang sangat merindukan wajah-Nya, lihatlah batu pecahan gunung-Nya itu ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Musa AS tidak ingin mengulagi lagi tidakanya untuk memohon agar Dzat Tuhan mewujud dalam alam lahir. Ia hanya berharap dan rindu terhadap bukti-bukti keberadaan Tuhan di alam semesta ini sebagi wahana dan petunjuk dalam mendekatkan diri kepada-Nya.
Tentunya dalam lirik puisi Rumi selanjutnya, ia menisbatkan dirinya sama dengan Musa AS. Sama bukan berarti sama dalam tataran sebagai nabi dan rasul, namun sama dalam konsep pemahaman bahwa dia tidak mengharapkan agar Dzat Tuhan mewujud dalam alam lahir. Ia hanya berharap agar mendapatkan petunjuk-petunjuk ilahiah sebagai wahana mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, Rumi menyatakan dengan ungkapan sebagai barikut:
……“O gunung, angin apa yang berhembus di puncakmu? Kami telah mabuk oleh suaranya.” …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Rumi sungguh lihai dalam mengambil citra untuk disematkan sebagai konstruksi dasar karyanya. Ia memilih citra yang mengandung nilai filosofis yang tinggi sebagai pengingat kembali, mereka yang mendewakan logika maupun siapa saja yang hendak melakukan pencarian bukti akan adanya Tuhan. Ia juga memberikan wacana baru bagi tiap orang agar mereka tidak salah persepsi saat menafsirkan konsep ketuhanan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Dzat Tuhan secara kodrati tidak dapat ditangkap oleh penglihatan dan bahkan oleh akal manusia. Dzat Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan logika apa lagi harus mewujud dalam alam dzahir. Dzat Tuhan hanya dapat digapai dengan keyakinan bahwa Dia itu ada sebagai wujud yang sempurna. Dzat Tuhan secara mutlak tidak dapat dipandang dengan menggunakan penglihatan mata, tetapi dapat diketahui melalui bekas-bekas-Nya yang tampak pada indrawi mausia, yaitu akhlak dan perbuata-Nya serta kerapian alam semesta ini. Adapun sifat dan amaliah Tuhan tercermin melalui nama-nama-Nya yang termaktub dalam asmaul husnah yang berjumlah sembilan puluh sembilan.
============
*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga).
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati