Eko Tunas
Suara Merdeka, 1 April 2012
LARON-LARON beterbangan memburu cahaya, mengepak-kepakkan sayap pada lampu neon di depan rumah orang tua Sanu. Sanu suka karena Monica begitu senang menyaksikan gerombolan serangga bersayap di seputar cahaya putih. Bahkan di mata Sanu, perempuan bermata burung dara itu seperti bidadari berhujan-hujan laron. Tubuh tinggi padatnya seperti menari, saat menggeliat sambil mengebitkan laron kehilangan sayap.
Sambil menggelinjang perempuan kulit putih itu menyeru, bertanya bagaimana riwayat laron. Dan Sanu menyahut dengan berteriak pula, bahwa laron adalah binatang tanah yang bermetamorfosis. Tapi berbeda dengan kupu-kupu yang bersayap indah, laron mesti segera melepaskan sayap sederhananya untuk kembali ke tanah. Kembali ke habitat makhluk kecilnya, dan tugas lanjut merayapnya.
Selalu Sanu mengandaikan segala sesuatu atas diri mereka, dengan maksud merendahkan diri dan meninggikan teman dekatnya. Dia katakan Monica kupu-kupu, dan dirinya laron. Gadis itu tersenyum, menunjukkan suka hatinya pada sifat rendah hati seorang lelaki Indonesia. Senyumnya manis sekali. Semanis senyum bidadari, dalam impian pria Jawa yang menganggap seindah-indah kecantikan adalah makhluk dari surga.
Mereka telah sepekan tinggal, setelah beberapa hari di Jakarta. Setelah penerbangan Monica dari Rotterdam dan Sanu menjemputnya di Bandara Soekarno-Hatta. Wira-wiri di pusat-pusat metropolis Jakarta Monica tak habis mengeluh. “Panas,” katanya, “seperti di neraka!”
Sanu tertawa. “Ini Asia, bukan Eropa. Apalagi ini Jakarta….”
Monica pun menyindir. “Sepanas situasi politiknya?”
Saat itu Sanu terdiam. Monica tersenyum mafhum, seperti mulai memahami sifat teman chatting-nya. Semacam kepekaan seperti gelas antik, yang musti dijaga ketinggian nilainya: tidak boleh tersentuh sembarangan dan membuatnya retak, apalagi sampai terjatuh dan pecah. Meski pun berbicara soal politik, Sanu memiliki kepekaan tersendiri yang mudah tersinggung. Tak lain karena dalam satu e-mail-nya dia pernah menulis, tentang situasi politik di negeri ini bahkan di desanya yang mengorbankan kakaknya.
Bibir Monica seakan mengucap nama kakak Sanu, “Burna….”
Memafhumi hal itu, bagai meralat pernyataannya Monica sontak berkata, “Untuk apa aku terbang jauh, kalau yang aku jumpai sebuah kota sebagaimana kota-kota dunia?”
Sanu kontan mengusulkan mengajak Monica ke desa orang tuanya, sekitar lima jam bermobil dari Jakarta. Dan gadis yang fotonya dalam internet bergaya Britney Spears itu senang bukan main, bertemu bapak dan ibu Sanu. Terutama, hari-hari Monica menghabiskan waktunya di pawon, tempat memasak yang bukan sekadar dapur apalagi dalam bayangan gadis Eropa. Sebuah ruang luas dan tempat memasak dengan bahan kayu bakar. Asap membuat airmatanya berleleran, saat ia mencoba belajar meniup tungku menggunakan sepotong bambu.
***
LANTAI tanah dan genting menghitam di ruang berdinding papan kayu itu, membuat Monica suka duduk di bale bambu melihat keluar jendela yang terbuka. Dari luar sana angin pegunungan meniup, angin kumbang yang di malam hari seperti karpet tergelar. Angin kumbang yang membuat ketela pohon di pegunungan itu besar-besar dan dikirim ke Jawa Barat untuk dibuat peyem. Meniup ke timur laut, mengembangkan putih-putik bawang, dan menjernih-segarkan air tambak-tambak ikan.
Tercetus begitu saja gumam “Britney”, “Desa ini terlalu indah untuk dilupakan, seperti surga yang tak boleh setitik pun ternoda….”
Sanu tercenung.
Saat itu sosok laki-laki nongol sedada di jendela, seorang laki-laki yang memang bertelanjang dada bidang. Sesaat muka berambut kusut masai itu terdiam dengan pandangan kosong, membuat Monica meneleng-neleng. Seperti bertanya-tanya atau menduga-duga ia, melihat muka laki-laki itu seperti tersenyum tapi tampak menyeringai. Sesaat kemudian setelah laki-laki tinggi besar itu berkesiap pergi, pandangan “Spears” seakan mengajukan pertanyaan pada Sanu.
Bibir panah cupido memerah itu seperti mengucap tanya, “Burna?”
Dan Sanu seolah menganggukkan nama kakaknya.
Spontan Monica berujar, “Saya bisa menerapi.”
“Ahh…,” decah Sanu terpotong oleh sorot mata biru begitu meyakin.
Semacam ada cemas ragu, begitu saja lindap dalam hatinya. Meski akal sehatnya meyakini, betapapun teman jauh yang sekarang dekat itu adalah mahasiswa psikiater yang lulus cum laude dari perguruan tinggi tepercaya di Negeri Kincir Angin.
Tarian dalam cahaya neon di mata Sanu mengesani geliat baru, setelah seminggu ini Monica menerapi Burna. Gelinjang yang ditangkap mata Sanu sebagai semangat, bagai ulat setelah sekian lama melata kemudian bertapa sebagai kepompong, dan bermetamorfosis sebagai kupu-kupu. Betapa gadis kulit putih itu bagai seekor kupu-kupu, menikmati keindahan sayap-sayapnya.
Dan Sanu semakin merasa diri kunang-kunang, yang mesti mencari cahaya untuk melepaskan sayap-sayapnya. Meski kakaknya gila, tetap saja ia tetap menganggap Burna sebagai saingannya. Bukan hanya fisik yang membuat Sanu sering merasa kecil di hadapan kakaknya. Walau ia tak bisa menyalahkan darah turunnya, kakek moyang kolonialnya, sejak desanya dijadikan tempat peristirahatan bagi tentara penjajah. Dari darah itu Burna menuruni fisik tinggi besar membule bapak kepradah, meski wajahnya tetap menuruni kejelataan wajah ibu.
Sebaliknya Sanu menuruni tubuh imut ibu Jawa, dengan raut berwajah bule. Dan ia melihat, meski gila begitu serasi Burna berdampingan dengan Monica setiap pertemuan terapi di dapur itu. Betapa kakaknya tampak sehat-sehat saja setiap berbicara dengan dokter jiwa spesialnya. Meski sering terdengar ngawur, tapi kata-kata Burna masih mencerminkan pikirannya sebagai tokoh politik. Seperti yang diam-diam pernah didengarnya, dari balik jendela dapur yang selalu dibiarkan terbuka.
Sanu menahan emosi saat Burna ngerjain Monica yang bertanya, “Apa ini?” sambil menunjukkan cabe rawit. Burna menjawab, cabe rawit dimakan bersama tahu asin akan menambah nikmat. Melihat cabe rawit berwarna merah yang mirip buah ceri Monica lantas berkata, dimakan bersama tahu asin saja nikmat apalagi dimakan melulu cabe rawit. Mendengar itu Burna justru mengangguk, dengan muka seperti menyimpan dendam. Dan Burna memang bersorak saat Monica menggigit cabe rawit merah.
Tentu saja Monica kepedasan luas biasa. Meski ia menutup-nutupi dengan berkata, bahwa di negerinya tidak ada pedas cabe rawit, yang ada pedas merica. Burna lalu menyahut, di zaman penjajahan cabe rawit sengaja disebarkan Belanda untuk meracuni para gerilya di hutan-hutan. “Nyatanya racun itu oleh bangsa ini dimakan bersama gorengan atau dibuat sambal!” cetus Burna sambil nyekakak.
Ya, Burna justru menertawakan melihat Monica bermerah muka dan tak habis mengeluarkan air mata. “Kamu makan racun yang dulu disebarkan bangsamu!” serunya dengan muka puas.
“Memang pedas,” decah Monica.
Dan ngawur Burna lagi, “Itulah posmo!” untuk mengatakan postmodern. “Meski, aku tahu, postmodern adalah bentukan masyarakat global yang tidak mampu menentukan arah hidupnya. Sebab ideologi-ideologi besar dunia telah bunuh diri. Liberalisme, kapitalisme, komunisme, telah mampus. Dan kini yang ada ideologi tunggal Amerika.”
Dalam pikiran Monica mungkin rumit mengaitkan pedas cabe rawit dengan postmodernism. Atau ia tidak ingin membawa Burna ke ranah politik yang telah memurukkan hidupnya. Toh Burna sendiri yang mencetuskan pertanyaan, “Mungkin kau akan bertanya, bagaimana pengaruhnya di negeri ini?” tegasnya, “perang keyakinan, klaim kebenaran atas nama ajaran. Isu saling memprovokasi. Itu semua yang melunturkan negeri yang mencintai kebersamaan dan bangsa yang setia pada keberagaman. Bhineka Tunggal Ika sedang terancam!”
Mukanya tampak mengeras. Tubuhnya yang besar gemetar.
Mengintip itu Sanu bersiaga untuk menjaga kemungkinan lebih buruk yang menimpa Monica, tapi gadis bermata merpati itu tampak tenang-tenang saja.
***
SETENANG itu saat ia menyampaikan hasil terapi kepadanya, bahwa ia memang harus bersikap kalah di hadapan Burna. Kalau perlu tampak teraniaya. Dan musti diam mengalah, saat pasien istimewanya itu menghujatkan pikiran-pikiran politiknya. Untuk itu Sanu menimbang-nimbang kata “teraniaya”, selalu dengan perasaan cemas ragu yang entah kenapa selalu hadir setiap ia memikirkan gadis Belanda itu.
Perasaan yang ternyata berbeda saat ia membandingkan dengan kecemasan terhadap kasus kakaknya. Terutama karena dikabarkan, pihak KPK mulai mencium bahwa kegilaan Burna adalah trik politik untuk menutup-nutupi kasus yang sebenarnya. Dan yang dicemaskan Sanu ialah, cara apalagi yang akan dilakukan Burna. Setelah kekalahan pilkada yang membuatnya gila, dan kasus illegal logging yang sedang diselidiki Komite Pemberantasan Korupsi.
Meski harus diakui, baru sepekan menjalani terapi di dapur, Burna selalu datang dari rumah keluarganya dalam penampilan rapi. Terlebih kakak kandungnya itu tidak pernah lagi mengamuk di rumah keluarganya, membanting perabot dan apa pun yang ada di hadapannya. Bahkan mau membakar mobil dan rumah mewahnya segala. Monica benar, ia pun musti mengalah di hadapan kakaknya. Terutama istri Burna dan anak-anak mereka sudah pasrah bongkokan kepadanya dan Monica. Dan Sanu cukup senang karena keluarga kakaknya sudah tampak kembali menampakkan sayap-sayap kebahagiaan.
Sebagaimana pula yang ditunjukkan sayap kupu-kupu Monica, dalam tarian bagai bidadari berhujan-hujan laron. Melihat keindahan geliat tubuh bule di antara cahaya putih itu, Sanu sertamerta ingin mengabadikan. Segera ia berkesiap masuk rumah untuk mengambil kameranya. Hanya beberapa menit Sanu masuk rumah, dan begitu keluar lagi ia tak melihat lagi Monica di bawah cahaya neon. Keterpanaannya seakan membayang, bidadari itu terangkat laron-laron ke langit menggelap. Ia pun memanggil-manggil dengan perasaan cemas ragu yang menegas, tapi tak terdengar sahutan.
Kecemasannya menimbang-nimbang nama Burna, dan ia musti merahasiakan dari orangtuanya maupun orang-orang kampung. Juga kepada isteri Burna, saat ia mengira kakaknya membawa Monica ke rumahnya. Pun saat ia mencari-cari ke beberapa rumah tetangga. Monica seperti raib, dan hanya satu kemungkinan yang diyakininya, Burna telah membawa gadis kulit putih itu ke….
Instingnya menoreh begitu saja atas kecurigaan tentang kegilaan apa yang akan dilakukan Burna, untuk menutup kasus bahwa kakaknya telah melakukan penggundulan hutan jati. Cergas ia berkesiap memasuki kegelapan hutan jati. Yang diingatnya ada tempat favorit ia dan kakaknya sejak mereka kanak-kanak. Persis di tengah hutan jati ada satu penerangan lampu, dan cahaya batere mengantarnya ke sana. Dan sejak kecil instingnya memang tak pernah meleset. Ia melihat Monica terikat pada tiang lampu itu, dan Burna tampak sedang menunggu kedatangannya.
Burna menyeringai melihat kedatangannya….
“Ayo, rekam kami dengan kameramu!” teriaknya.
Sanu terpana.
Laron-laron beterbangan memburu cahaya, mengepak-ngepakkan sayap pada cahaya lampu putih ratusan watt. Pandangan Sanu bertanya-tanya, melihat Monica tampak tenang-tenang saja dengan tubuh terikat. Bahkan di matanya, gadis bermata burung dara itu bagai menikmati dirinya berhujan-hujan laron. Tubuh tinggi padatnya seperti menari, dalam geliat tergelinjang oleh laron-laron kehilangan sayap. “Ayo, arahkan kameramu!” seru Burna dengan tawa kegilaannya.
Sanu tak kuasa mengangkat kameranya.
Betapa tubuh kulit putih itu polos dalam geliat gelinjang, bagai laron terlepas sayap. Tapi wajahnya tetap menyenyum, bagai senyuman bidadari dalam cahaya putih.
Semarang, 31 Januari 2009
Dijumput dari: http://lakonhidup.wordpress.com/2012/04/13/bidadari-dalam-cahaya-putih/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
1 komentar:
cerpen nya,,, bagus
menyentuh
Posting Komentar