Senin, 09 April 2012

Perihal Anjing Yang Suka Azan

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Di perantauan mana pun, yang penting bagi seseorang ialah sopan, jujur, dan tahudiri. Itu kunci. Bagaimana menempatkan diri sebagai perantau! Siapa tuan rumah? Siapa pendatang? Jika itu dilakukan, saudara dan orang tua dengan mudah terjalin di mana saja.

Awalnya aku mengenal I Ketut Sunyahne, Balinese tulen yang tak begitu cakap berbahsa Indonesia, tapi dia malah mengerti kalau aku berbahasa Jawa kuno. Barulah aku yakin pada sejarah, bahwa ras penduduk Bali, bernenek moyang Jawa yang lari jaman Majapahit dulu.
Pak Ketut yang sudah keriput, menempati gubuk di pekarangan luas pinggiran kota, sebuah tempat sederhana, namun terawat rapih dan bersih. Di belakang gubuk ada empat petak kolam ikan, bunga warna-warni nan asri. Tiap singgah di tempat itu, aku merasakan suatu hal, bahwa bagi Pak Ketut, “hunianku adalah tempat rekreasiku.”

Zero bersama anak cucunya terkenal galak, kawanan anjing piaraan Pak Ketut yang kini berjumlah tujuh ekor. Pertama datang, sebelum kenal, anjing-anjing itu menyalak dengan sengitnya. Sehari-dua hari kemudian, anjing-anjing itu melunak. Pak Ketut selalu menyergak tiap anjingnya menyalak. Ia menjelaskan pada anjing-anjing itu kalau aku adalah temannya. Tentu saja aku mengerti bahasa anjing, sebab omongan Pak Ketut pada anjing itu memakai bahasa manusia. Sejak itulah anjing-anjing Pak Ketut menyetarakan aku dengan majikannya. Cuma bedanya, anjing-anjing itu tak pernah menjilat kakiku, sebab Pak Ketut pernah mengatakan kepada mereka kalau aku ini muslim.

Sejak itu aku memahami dunia anjing, bahwa sekali anjing mengenal seseorang, seumur hidup ia tak akan lupa, walau sepuluh tahun tidak bertemu, ingatannya masih tajam terhadap orang yang pernah dikenal.

Berbulan-bulan di tempat Pak Ketut, aku merasa ada yang aneh. Awalnya cuma setengah percaya, namun setelah memasuki bulan puasa, barulah aku yakin. Bulan di mana penduduk muslim Jawa mulai ramai genderang malam: tedur bajidor, sekawanan anak muda yang berkelonteng menabuh alat seadanya untuk membangunkan pepuasa menjalani makan sahur. “Dur, tek-tek blung. Dur,tek-tek blung. Sahur! Sahur!” Sambil berteriak.

Itu jika aku di Jawa. Tetapi di Bali, tidak mungkin ada kebiasaan ‘Tedur’, kecuali di kampung Jawa, hunian perantau yang rata-rata muslim.

Namun musik Tedur pernah dimainkan secara rancak oleh para muda Bali ketika memperingati Hari Sampah Sedunia. Dengan panggung mega, di pantai Kuta, musisi seniman Bali ini memerankan alat musik dari rongsokan: botol, kaleng, galon, kempyeng dll. Antusiasme penonton pun membludak. Ternyata hal yang sepeleh sekelas rongsokan, tak mengalahkan alat musik modern jika benar-benar diaransemen.

Ketika menjalankan ibadah puasa, hanya dua hal pokok yang menjadi perhatian penting, yaitu batas waktu sahur dan buka: imsyak dan tepat waktu magrib. Apalagi ketika matahari condong ke barat, bola merah tersebut seperti enggan tenggelam, terapung dan terserimpung pepohonan serta terganjal bebukitan. Lamban. Sementara dahaga dan lapar seharian, sudah tak sabar menunggu pesta pembebasan. Magrib seperti algojo. Keperkasaannya segera memenggal borgol rantai yang melilit sekujur badan. Atau seperti sipir tahanan yang membisikkan bahwa masa terkurung di bilik pengap jeruji besi sudah berakhir. Dan selanjutnya terdakwah dipersilahkan keluar menghirup udara bebas, melintasi alam luas.

Berpuasa di negeri rantau yang berpenduduk non- muslim, sedikit mengenaskan, sebab tidak terdengar suara adzan. Untuk memastikan bahwa magrib tiba, aku harus mondar-mandir menjenguk jam dinding. Mulanya aku mengira ada orang melintas atau tamu datang ke tempat kami. Sebab, setiap tepat detak jam magrib, bersama itu juga anjing piaraan Pak Ketut serempak menggonggong. Serempak. Selalu bersamaan dengan waktu magrib. Sehari-dua hari kuamati, ternyata anjing piaraan Pak Ketut tak hanya melolong waktu magrib saja, tetapi melolong serempak setiap waktu sholat tiba. Selalu. Tak luput sekali waktu pun, entah isyak, subuh, duhur asyar.

“Apa Pak Ketut mengerti keunikan anjing-anjing ini?”

“Tentu saja, saya kan pemiliknya!” Jawab Pak Ketut ringan. Sepertinya ia sudah menyiapkan bahwa suatu ketika pasti aku menanyakan keunikan ini.

“Apa bapak yang mengajari?”

“Tidak!”

Sejenak aku terdiam, menerka penjelasan Pak Ketut selanjutnya. Melihat ekspresi ringan yang tergurat pada wajah Pak Ketut, aku merasa ia menyimpan jawaban lengkap mengenai pertanyaanku. Bahkan, mungkin tidak sekali ini menjawab pertanyaan yang sama, dari orang sebelumku perihal anjing-anjing ini. Atau bisa jadi, pada orang-orang tertentu, Pak Ketut perlu menceritakan keunikan anjingnya.

“Saya pernah melihat dakwah Islam di televisi. Konon ada cerita anjing yang berbakti menemani pejuang dan tertidur di dalam goa hingga 300 tahun. Mungkin anjingku ini jelmaan anjing dalam goa tersebut.” Aku mengerti, bahwa yang dimaksut Pak Ketut adalah kisah ashabulkahfi.

Seketika ingatanku terlempar jauh ke beberapa bulan lalu, di mana ketika temanku si Budi mengajak berwisata ke kawasan hutan kera di Sangai. Sebuah hutan kecil yang dihuni ribuan kera. Kawasan yang sudah tidak aneh, sebab di Jawa, Kediri dan Gunung Kawi di Malang, juga ada hutan kecil, bahkan beberapa pohon rindang yang dihuni ribuan kera dalam satu komunitas bersama keturunannya.

Kami tertegun saat dihutan Sangai. Dua turis yang sedang bersamaku, satunya pengunjung lokal. Tiba-tiba seekor kera menyabet handycam turis bule dan dibawa ke atas pohon. Begitu juga seekor lagi menyahut dompet si turis lokal. Si kera yang membawa handycam segera mengembalikan ke pemiliknya dengan sopan, nyaris tanpa kerusakan. Tetapi na’as bagi turis lokal. Dompetnya diudal-udal, uang dan seluruh isinya ditebar-tebarkan. “Apa mungkin kera-kera ini kaum Yahudi yang dahulu dikutuk nabi Musa menjadi kera?” Benakku penasaran. Seolah ia mengerti bahwa bule Eropa adalah keturunan Yahudi, yang artinya sekaum. Hingga sedemikian hormatnya. Perjumpaan mereka di Sangai, di Asia, ibarat mengunjungi nenek moyangnya. Sedang kera bersikap acuh dengan dompet orang pribumi yang ia rasa uangnya diraup dengan cara tak jauh beda dengan profesonalisme dirinya: profesionalisme kera.

Suasana puasa jaman di kampung halaman, seringkali menjadi aliran deras yang menggerus keberadaan. Tadarus, tarawih, buka dan sahur bersama, aneka hidangan, kuat menyeret bayanganku ke masa lampau. Ada rindu yang teramat tebal, termasuk makanan khas masakan ibu, adonan khas rasa bawang, cabe, merica, kencur dll. Ketagihan teramat sangat. Ketagihan yang pernah dialami nabi Musa beserta kaumnya ketika merantau di lautan kutub. Saking ketagihannya, hingga kaum Musa menuntut setengah paksa, ”wahai Musa, jika kau benar-benar nabi, mintalah kepada Tuhanmu makanan cabe, bawang, merica.” Seperti diriku rasanya kaum Musa itu, yakni ketagihan masakan tanah kelahiran. Atau bahkan mungkin, Musa beserta kaumnya dahulu adalah tetanggaku, sebab di dataran Arab tidak mungkin ditemukan tanaman rempah. Dan tidak mungkin kaum di perantauan, rindu pada kampung halaman orang lain, kecuali kelahirannya.
***

“Ohm, santi, santi, santi. Ohm switsu, omi, kami. ” Terdengar lirih mimik bibir Pak Ketut tiap kali lantunkan do’a sembahyang. Air suci dipercikkan ke bumi bersama saputan sekuntum bunga. Selanjutnya telapak tangan menyabda alam agar berdamai, rajuk ketenangan yang dihembuskan dengan segenap hati dan kesadaran. Rutin, tiap pagi dan petang seraya berbusana adat khas Bali bersabuk selendang.

Demikian rupanya, tak ada sisi kehidupan yang dilepaskan dari campur tangan Tuhan, di mana manusia dengan alam bersahaja, mengabdi.

Pemandangan di sekitarku tiba-tiba berubah kabut tebal, putih dan dingin tertiup angin menerpa tubuhku. Seketika kulitku lembab, pucat memutih. Rasa anyap merasuk ke sumsum tulang, segeralah lumpuh dalam gigil sendiri. Betapa tidak! Di tanah rantau dengan mudah aku menyepelehkan sholat yang mulanya kuanggap wajar. Padahal, Pak Ketut yang usianya lanjut, tetap ajeg bermesrahan dengan Tuhan. Ternyata tidak cuma itu, pohon-pohon juga mengabdi dengan lancung jalarnya ke atas. Apalagi kawanan anjing piaraan Pak Ketut ini, hanyalah hewan, tetapi selalu mengumandangkan adzan tiap waktu. Hal yang sama juga aku saksikan di televisi, di mana jutaan burung di kutub pada musim tertentu berhamburan melintasi pulau-pulau dan benua. Mereka berhijrah mencari makanan, beralih ke tempat yang lebih menjanjikan. Ternyata alam adalah guru jika manusia jeli membacanya.
***

Setahun kemudian, dibangun masjid besar berjarak tujuh kilometer dari tempat Pak Ketut, masjid megah yang berartistik ukiran still Bali. Empat corongnya pun bergemontang ke empat penjuru mata angin. Sayup-sayup suara adzan dari masjid, selalu berselang beberapa detik setelah anjing piaraan Pak Ketut melolong serempak. Selalu.

*) Penulis lahir di Jombang 24 Maret 1975. Menulis esai, puisi, cerpen, cerkak bahasa nJombangan. Redaktur Bulletin Lincak Sastra. Team pengelola: sastra-indonesia.com, forumsastrajombang.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati