Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/
Di perantauan mana pun, yang penting bagi seseorang ialah sopan, jujur, dan tahudiri. Itu kunci. Bagaimana menempatkan diri sebagai perantau! Siapa tuan rumah? Siapa pendatang? Jika itu dilakukan, saudara dan orang tua dengan mudah terjalin di mana saja.
Awalnya aku mengenal I Ketut Sunyahne, Balinese tulen yang tak begitu cakap berbahsa Indonesia, tapi dia malah mengerti kalau aku berbahasa Jawa kuno. Barulah aku yakin pada sejarah, bahwa ras penduduk Bali, bernenek moyang Jawa yang lari jaman Majapahit dulu.
Pak Ketut yang sudah keriput, menempati gubuk di pekarangan luas pinggiran kota, sebuah tempat sederhana, namun terawat rapih dan bersih. Di belakang gubuk ada empat petak kolam ikan, bunga warna-warni nan asri. Tiap singgah di tempat itu, aku merasakan suatu hal, bahwa bagi Pak Ketut, “hunianku adalah tempat rekreasiku.”
Zero bersama anak cucunya terkenal galak, kawanan anjing piaraan Pak Ketut yang kini berjumlah tujuh ekor. Pertama datang, sebelum kenal, anjing-anjing itu menyalak dengan sengitnya. Sehari-dua hari kemudian, anjing-anjing itu melunak. Pak Ketut selalu menyergak tiap anjingnya menyalak. Ia menjelaskan pada anjing-anjing itu kalau aku adalah temannya. Tentu saja aku mengerti bahasa anjing, sebab omongan Pak Ketut pada anjing itu memakai bahasa manusia. Sejak itulah anjing-anjing Pak Ketut menyetarakan aku dengan majikannya. Cuma bedanya, anjing-anjing itu tak pernah menjilat kakiku, sebab Pak Ketut pernah mengatakan kepada mereka kalau aku ini muslim.
Sejak itu aku memahami dunia anjing, bahwa sekali anjing mengenal seseorang, seumur hidup ia tak akan lupa, walau sepuluh tahun tidak bertemu, ingatannya masih tajam terhadap orang yang pernah dikenal.
Berbulan-bulan di tempat Pak Ketut, aku merasa ada yang aneh. Awalnya cuma setengah percaya, namun setelah memasuki bulan puasa, barulah aku yakin. Bulan di mana penduduk muslim Jawa mulai ramai genderang malam: tedur bajidor, sekawanan anak muda yang berkelonteng menabuh alat seadanya untuk membangunkan pepuasa menjalani makan sahur. “Dur, tek-tek blung. Dur,tek-tek blung. Sahur! Sahur!” Sambil berteriak.
Itu jika aku di Jawa. Tetapi di Bali, tidak mungkin ada kebiasaan ‘Tedur’, kecuali di kampung Jawa, hunian perantau yang rata-rata muslim.
Namun musik Tedur pernah dimainkan secara rancak oleh para muda Bali ketika memperingati Hari Sampah Sedunia. Dengan panggung mega, di pantai Kuta, musisi seniman Bali ini memerankan alat musik dari rongsokan: botol, kaleng, galon, kempyeng dll. Antusiasme penonton pun membludak. Ternyata hal yang sepeleh sekelas rongsokan, tak mengalahkan alat musik modern jika benar-benar diaransemen.
Ketika menjalankan ibadah puasa, hanya dua hal pokok yang menjadi perhatian penting, yaitu batas waktu sahur dan buka: imsyak dan tepat waktu magrib. Apalagi ketika matahari condong ke barat, bola merah tersebut seperti enggan tenggelam, terapung dan terserimpung pepohonan serta terganjal bebukitan. Lamban. Sementara dahaga dan lapar seharian, sudah tak sabar menunggu pesta pembebasan. Magrib seperti algojo. Keperkasaannya segera memenggal borgol rantai yang melilit sekujur badan. Atau seperti sipir tahanan yang membisikkan bahwa masa terkurung di bilik pengap jeruji besi sudah berakhir. Dan selanjutnya terdakwah dipersilahkan keluar menghirup udara bebas, melintasi alam luas.
Berpuasa di negeri rantau yang berpenduduk non- muslim, sedikit mengenaskan, sebab tidak terdengar suara adzan. Untuk memastikan bahwa magrib tiba, aku harus mondar-mandir menjenguk jam dinding. Mulanya aku mengira ada orang melintas atau tamu datang ke tempat kami. Sebab, setiap tepat detak jam magrib, bersama itu juga anjing piaraan Pak Ketut serempak menggonggong. Serempak. Selalu bersamaan dengan waktu magrib. Sehari-dua hari kuamati, ternyata anjing piaraan Pak Ketut tak hanya melolong waktu magrib saja, tetapi melolong serempak setiap waktu sholat tiba. Selalu. Tak luput sekali waktu pun, entah isyak, subuh, duhur asyar.
“Apa Pak Ketut mengerti keunikan anjing-anjing ini?”
“Tentu saja, saya kan pemiliknya!” Jawab Pak Ketut ringan. Sepertinya ia sudah menyiapkan bahwa suatu ketika pasti aku menanyakan keunikan ini.
“Apa bapak yang mengajari?”
“Tidak!”
Sejenak aku terdiam, menerka penjelasan Pak Ketut selanjutnya. Melihat ekspresi ringan yang tergurat pada wajah Pak Ketut, aku merasa ia menyimpan jawaban lengkap mengenai pertanyaanku. Bahkan, mungkin tidak sekali ini menjawab pertanyaan yang sama, dari orang sebelumku perihal anjing-anjing ini. Atau bisa jadi, pada orang-orang tertentu, Pak Ketut perlu menceritakan keunikan anjingnya.
“Saya pernah melihat dakwah Islam di televisi. Konon ada cerita anjing yang berbakti menemani pejuang dan tertidur di dalam goa hingga 300 tahun. Mungkin anjingku ini jelmaan anjing dalam goa tersebut.” Aku mengerti, bahwa yang dimaksut Pak Ketut adalah kisah ashabulkahfi.
Seketika ingatanku terlempar jauh ke beberapa bulan lalu, di mana ketika temanku si Budi mengajak berwisata ke kawasan hutan kera di Sangai. Sebuah hutan kecil yang dihuni ribuan kera. Kawasan yang sudah tidak aneh, sebab di Jawa, Kediri dan Gunung Kawi di Malang, juga ada hutan kecil, bahkan beberapa pohon rindang yang dihuni ribuan kera dalam satu komunitas bersama keturunannya.
Kami tertegun saat dihutan Sangai. Dua turis yang sedang bersamaku, satunya pengunjung lokal. Tiba-tiba seekor kera menyabet handycam turis bule dan dibawa ke atas pohon. Begitu juga seekor lagi menyahut dompet si turis lokal. Si kera yang membawa handycam segera mengembalikan ke pemiliknya dengan sopan, nyaris tanpa kerusakan. Tetapi na’as bagi turis lokal. Dompetnya diudal-udal, uang dan seluruh isinya ditebar-tebarkan. “Apa mungkin kera-kera ini kaum Yahudi yang dahulu dikutuk nabi Musa menjadi kera?” Benakku penasaran. Seolah ia mengerti bahwa bule Eropa adalah keturunan Yahudi, yang artinya sekaum. Hingga sedemikian hormatnya. Perjumpaan mereka di Sangai, di Asia, ibarat mengunjungi nenek moyangnya. Sedang kera bersikap acuh dengan dompet orang pribumi yang ia rasa uangnya diraup dengan cara tak jauh beda dengan profesonalisme dirinya: profesionalisme kera.
Suasana puasa jaman di kampung halaman, seringkali menjadi aliran deras yang menggerus keberadaan. Tadarus, tarawih, buka dan sahur bersama, aneka hidangan, kuat menyeret bayanganku ke masa lampau. Ada rindu yang teramat tebal, termasuk makanan khas masakan ibu, adonan khas rasa bawang, cabe, merica, kencur dll. Ketagihan teramat sangat. Ketagihan yang pernah dialami nabi Musa beserta kaumnya ketika merantau di lautan kutub. Saking ketagihannya, hingga kaum Musa menuntut setengah paksa, ”wahai Musa, jika kau benar-benar nabi, mintalah kepada Tuhanmu makanan cabe, bawang, merica.” Seperti diriku rasanya kaum Musa itu, yakni ketagihan masakan tanah kelahiran. Atau bahkan mungkin, Musa beserta kaumnya dahulu adalah tetanggaku, sebab di dataran Arab tidak mungkin ditemukan tanaman rempah. Dan tidak mungkin kaum di perantauan, rindu pada kampung halaman orang lain, kecuali kelahirannya.
***
“Ohm, santi, santi, santi. Ohm switsu, omi, kami. ” Terdengar lirih mimik bibir Pak Ketut tiap kali lantunkan do’a sembahyang. Air suci dipercikkan ke bumi bersama saputan sekuntum bunga. Selanjutnya telapak tangan menyabda alam agar berdamai, rajuk ketenangan yang dihembuskan dengan segenap hati dan kesadaran. Rutin, tiap pagi dan petang seraya berbusana adat khas Bali bersabuk selendang.
Demikian rupanya, tak ada sisi kehidupan yang dilepaskan dari campur tangan Tuhan, di mana manusia dengan alam bersahaja, mengabdi.
Pemandangan di sekitarku tiba-tiba berubah kabut tebal, putih dan dingin tertiup angin menerpa tubuhku. Seketika kulitku lembab, pucat memutih. Rasa anyap merasuk ke sumsum tulang, segeralah lumpuh dalam gigil sendiri. Betapa tidak! Di tanah rantau dengan mudah aku menyepelehkan sholat yang mulanya kuanggap wajar. Padahal, Pak Ketut yang usianya lanjut, tetap ajeg bermesrahan dengan Tuhan. Ternyata tidak cuma itu, pohon-pohon juga mengabdi dengan lancung jalarnya ke atas. Apalagi kawanan anjing piaraan Pak Ketut ini, hanyalah hewan, tetapi selalu mengumandangkan adzan tiap waktu. Hal yang sama juga aku saksikan di televisi, di mana jutaan burung di kutub pada musim tertentu berhamburan melintasi pulau-pulau dan benua. Mereka berhijrah mencari makanan, beralih ke tempat yang lebih menjanjikan. Ternyata alam adalah guru jika manusia jeli membacanya.
***
Setahun kemudian, dibangun masjid besar berjarak tujuh kilometer dari tempat Pak Ketut, masjid megah yang berartistik ukiran still Bali. Empat corongnya pun bergemontang ke empat penjuru mata angin. Sayup-sayup suara adzan dari masjid, selalu berselang beberapa detik setelah anjing piaraan Pak Ketut melolong serempak. Selalu.
*) Penulis lahir di Jombang 24 Maret 1975. Menulis esai, puisi, cerpen, cerkak bahasa nJombangan. Redaktur Bulletin Lincak Sastra. Team pengelola: sastra-indonesia.com, forumsastrajombang.blogspot.com
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar