Rabu, 04 April 2012

YANG BERPOLA PIKIR, YANG RAJIN MENYINDIR

Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

1.
Sindiran boleh saja datang, dari siapapun, dan dari manapun. Namun jelas, bahwa si empunya sindiran adalah mereka yang merasa, dirinya sebagai tokoh yang merasa lebih berkepentingan dalam sesuatu persoalan, sehingga merasa pula berhak mengeluarkan pendapat. Saya teringat akanMultatuli, yang dalam “Max Havelaar”nya memperlihatkan kekuatan pena yang luar biasa, lantaran dia menyindir penguasa kolonial di Hindia Belanda, yang semena-mena itu.
Mungkin, seraya menampilkan kisah “Saijah dan Adinda” yang tragis, dengan alur cerita yang sebenarnya cuwer itu, pena Multatuli berbasah tinta, dengan sikap yang seperti seorang dari kelompok oposant. Kiranya lumrah, seperti diungkapkannya berulangkali dalam buku satirenya yang tajam sayatnya, penghisapan imperium Singa Walanda itu bukan lagi merupakan drama penghinaan kemanusiaan secara serampangan, melainkan juga menandakan bahwasanya kelompok-kelompok terpelajar Belanda yang duduk di belakang meja pemerintahan, telah lalu. Cuma saja, saya merasa mendongkol, bahwa dia menuduh ningrat-ningrat pribumi lebih kasar lagi dalam memainkan kekuasaan, sementara penguasa kulit putih “pura-pura tak melihat” praktek-praktek penghisapan yang dilakukan pegawainya. Kalau dia lebih jujur terbuka sedikit, niscaya akan terasa, tindakan-rindakan yang dilakukan ambtenar pribumi belumlah seberapa dibandingkan dengan kelaliman Belanda masa itu. Karena pola laku keijakan sebagaimana dicetuskan oleh intelektual lulusan negri kincir angin, yang berpanjikan Pax Neerlandica, seharusnya insyaf akan lalainya memberlakukan segala sesuatu yang lebih memberatkan kaum kecil, semasa Tanam Paksa dan sesudahnya.

2.
Di atas dinamika pembangunan, kendati pada masa kolonialpun, berdiri figurpenghiba hati, yang mencoba melencengkan garis wicaksana untuk memerintah negeri ini. Saya kira, kalau kita menggunakan darah dan daging, dan menggunakan pula rasa weningnya, takkan terbingkis kekejaman-kekejaman di luar kemanusiaan. Seperti diketahui, banyak benteng, penjara, kamp-kamp konsentrasi yang dibikin, atas nama imperialisme. Tanpa kita menuduh siapa pelakunya, namun harus ditandaskan, bagaimmana soal semacam ini terus menggugat hati kita di sini, hingga tak terbatas. Kacamata sejarah ini bisa berkata lain, bila diperhatikan, tentang periodisasi penjajahan ini—dan bagaimana warga desadijadikan sapi perah, untuk tugas-tugas penanaman lahan kosong. Dikatakan demikian, karena semasa penguasa pribumi memerintah, adipati, Pangeran, Sunan, Sultan, telah pula menugasi penduduk untuk mengikuti pranatan “Kering Aji” (pengerahan kawula untuk mengerajakan ladang sawah, sebagai kerja bakti), dan “Pundhutan Dalem” (penugasan para pamong dan warga desa untuk mempersembahkan hasil palawija dan ternak, sebagai persembahan bagi ritus-ritus suci di kraton). Jelas, fungsi dan kepentingan feudal-aristokratik pribumi. Namn, setelah pranatan ini kemudian dicangkokkan kepada peraturan Gubermen ( Pemerintahan Kolonial Belanda), pelaksanaannya menjadi lebih memprihatinkan. Kalau disimak dari peristiwa historis, ketaatan rakyat kepada Gustinya adalah jalaran “wedi-asih” (takut bercampur sayang) terhadap junjungan terhormat. Sedangkan kepada penguasa Belanda, rakyat justru merasa “lilah-luluh” (jadi terpaksa ikhlas, lantaran dipaksa untuk taat). Para ilmuwan Javanologi, marilah terus kita bandingkan kedua materi ini sebagai bahan ulasan. Ayo!

3.
Kesusastraan senantiasa punya kecendrungan yang aneh. Ia misalnya, punya tendensi yang tak bisa dilihat oleh mata yang kabur, yaitu tendensi seolah-olah TELAH menemukan suatu masyarakat yang ideal, yang oleh karenanya sastra mengambil langkah-langkah revolusioner. Wataknya memang sepi dari pamrih, non profitable—lantaran jangkauan yang digapainya adalah kemerdekan rohani yang lebih bersifat buani, ketimbang sesuatu “gebyar” di lingkup yang bersifat regional. Maka sastra yang bertendensi universal ini, secara tak langsung mengajak pengarangnya untuk jinjit-jinjit ke alam lebih cerah, bukan dalam artian memperoleh hadiah, melainkan agar suara jiwa yang melantun itu bisa ditangkap oleh kawula-kawula dari banyak bangsa, kaum, partai dan mazhab, di mancapraja. Pantas diakui, kesusastraan adalah salah satu urat nadi kekuatan yang menggerakkan sejarah. Seringkali malahn menciptakan sejarah—dan oleh sebab itu, orang segan dan hormat padanya.

4.
Perbendaharaan sejarah justru antara lain menekankan, adanya pengabdian yang tulus, yang dilakukan sedari usia muda. Karena di sini akan dapat ditilik, apakah kerja yang dihayati dalam langkah-langkah itu secara individual didorong oleh spirit untuk menyampaikan kebolehan yang dimiliki ataukah hanya bersandar pada ambisi tertentu (lebih-lebih lagi manakala disebabkan oleh bujukan lain orang). Manusia tumbuh keinsyafan seperti ini, justru para usia empatpuluh plus, dan jarang yang sebelumnya. Sebudi-akalnya, senantiasa dicelupkan pada ember yang penuh air, agar rambut di kepala makin kuyup, dan otak jadi lebih jernih dalam sejenak. Masyarakat menanggapi setiap lakon yang ditempuh sesuatu sosok, dengan terutama memperebutkan harga personalitas dan bukan imbas dari tumpahan-lelah yang berwujud benda-benda mewah. Karena itu, sebatas dunia intelek memungkinkan, maka orang berniat mengambil bidang “kecerdasan pikir” yang ditopang sesuatu gelar akademis, dan niscaya berikut pula semacam “ke-limpahruah-an sabda dan piwulang” dari beranda kalbu. Hanya dengan cara begini, kadar penghargaan menjadi lebih pinasti.

5.
Rasanya masih ada di antara kita yang ingat akantropenkolder –istilah yang bukan hanya secara kebetulan terbentuk di antara warga masyarakat colonial pada zaman Hindia Belanda dhulu. Ini semacam penyakit yang diderita oleh ambtener kulit putih, yang di satu pihak, dirinya merasa sebagai kaum yang superior, di atas orang-orang pribumi kulit berwarna ang diinjaknya. Peranggapan demikian hadir, sewaktu dia berkacakpinggang sebagai “ndoro tuan” atau “Kanjeng Yang Dipertuan” di sini. Tapi begitu mereka kembali ke kampung (atau mungkin hanya perlop sebentar, atau menikmati pasca pensiun), mereka dipaksa oleh keadaan, untuk mengakhiri rasa superior ini. Soalnya, warga bangsanya sendiri di sana, tak setinggi itu menghormatinya. Maka ia alami frustasi, sebagai warga Nederland, di kampung sendiri. Begitu pula, kaum intelektual Belanda, yang beranggapan, “ Lu tau apa he, pribumi goblok”, dan punya tesis-tesis gemilang tentang bidang ilmiah tertentu, menajiskan peranan pemikir di sini. Sayang, mereka keliru kelewat jauh. Karena, wawasan-wawasan orang sini genial, toh tetap memperoleh reputasi yang baik, di Nederland, sebatas semua itu berargumen kuat, ditopang data-data akurat. Maka, acapkali terjadi, bahwa dalam masyarakat kolonialis-imperialis, penghargaan atas diri sendiri didukung oleh tendensi rasial yang berkelebihan. Sedangkan penilaian sehat hanya akan terjadi, pada saat aparat-aparat penjajahan di sadarkan oleh lingkungan kampung halaman, yang menuding pada kenaifannya itu.

6.
Jikalau kita amati untaian pandang Sutan Syahrir dalam “Perjuangan Kita”, kentara bahwasanya dia memperluaskan soal-soal berikut : adakah seseorang yanmg benar-benar setia kepada persekutuan yang pernah ditaatinya, dan dilabuhinya selama bertahun-tahun, jika misalnya dia mesti menentukan cara pilih dan cara pandang, takkan mendurhaka pada teman-teman lamanya? Adakah, untuk suatu gambaran masa datang yang masih samar, ada orang atau kelompok yang merelakan dirinya sebagai kolaborator, yakni mereka yang terpaksa ataupun sukarela bekerjasama dengan musuh selama zaman penjajahan? Adakah pula, bahwa pemilihan hak serta wewenang yang lekat pada diri kita, kita secara gampang memindahkan soal ini ke kiri atau pun ke kanan, semata lantaran terdapat arus kuat yang menderu? Syahrir menginginkan, intelektualisme di satu pihak, bukan alas pijak kita sendiri, lebih-lebih jika perkataan harus satu asap dan satu api dengan pola budaya barat yang jauh di seberang sana. Apalagi, jika kita sendiri, kebanyakan belum siap dan belum mantap menjadi orang-orang intelek, karena pelabuhan masing-masing teramat dangkal dan tak memadai. Diharapkan, perkembangan lebih baik jika Masa Merdeka tiba.

7.
Dalam pertemuan antar manusia, maka implikasi yang timbul adalah bagaimana manusia saling menyampaikan makna. Apalagi jika pergulatan batin yang tengah diliyerkan dan dialihkan dalam hubungan sosial semacam ini merupakan gejala transendensi , yakni per-lewat-an batas-batas dunia empiric, di mana penguasaan atas materi oleh jiwa yang berlangsung, juga lantaran jiwa mengatur dialektik alam. Praktis, jagat kesenian merujuk kepada suasana kerja intelek, darimana orang per orang mencoba mengolah produksi kreatifnya dalam bentuk pengemongan imaginasi, dan penjabrana imaginasi, seluas-luasnya, sebangkit-bangkitnya. Trandensi ini pulalah yang merupakan habitus yang sensual dalam mengakurkan nilai praltis yang ada dengan daya muat masyarakat yang menerima wedaran-wedaran para pujangga. Kadar yang dimungkinkan oleh kerja saling mempersilahkan begini, menuju kepada synthese yang aman, kukira. Persoalannya, hidup sastrawan (yang mempergandakan seni sebaga produk humaniter) dan ilmuwan (yang membincangkan teori dan materi sekaligus, dalam rangka mengkomunikasikan ide lebih bernas suatu waktu), barangkali bisa sehaluan, sepanjang kenyataan bahwa ada kekuasaan yang menjembatani.

8.
Problema terpanjang dalam kemanusiaan ini—di mana manusia harus menjadi penentu hari esoknya sendiri, pengendali proyek hari depannya sendiri!—adalah bagaimana meniadakan ketakutan yang ada dalam dada. Adakalanya, ketakutan untuk mengeluarkan pendapat, senada dengan ketakutan untuk menyumbangkan reaksi spontan yang argumentatif. Adakalanya, ketakutan untuk menjadi penyerta dalam birokrasi kekuatan politik yang kekar, yang dia sendiri kuatir, untuk dianggap sebagai perngkritik yang sengit. Adakalanya pula, buah pikiran yang dipergelarkan pada palladium mahabijak, justru kelewat memperdengarkan kesetiakawanan sosial, dan bukan memancangkan kesetiakawanan mitra usaha, yang tengah dilandungkan. Namun demikian, pada saat orang tengah kebingungan untuk melontarkan krida pribadinya yang sejati, dan di mana terdapat kesenjangan berkemaku sekitarnya, maka lumrahnya, ada yang ditumbangkan. Artinya, salah satu harus kalah, demi kemenangan sosok lain. Bincangan, jadinya mengandung perasaan yang terbelah, sebelum pemerataan dibenahi seapik-apiknya.

* Tanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati