Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/
1.
Sindiran boleh saja datang, dari siapapun, dan dari manapun. Namun jelas, bahwa si empunya sindiran adalah mereka yang merasa, dirinya sebagai tokoh yang merasa lebih berkepentingan dalam sesuatu persoalan, sehingga merasa pula berhak mengeluarkan pendapat. Saya teringat akanMultatuli, yang dalam “Max Havelaar”nya memperlihatkan kekuatan pena yang luar biasa, lantaran dia menyindir penguasa kolonial di Hindia Belanda, yang semena-mena itu.
Mungkin, seraya menampilkan kisah “Saijah dan Adinda” yang tragis, dengan alur cerita yang sebenarnya cuwer itu, pena Multatuli berbasah tinta, dengan sikap yang seperti seorang dari kelompok oposant. Kiranya lumrah, seperti diungkapkannya berulangkali dalam buku satirenya yang tajam sayatnya, penghisapan imperium Singa Walanda itu bukan lagi merupakan drama penghinaan kemanusiaan secara serampangan, melainkan juga menandakan bahwasanya kelompok-kelompok terpelajar Belanda yang duduk di belakang meja pemerintahan, telah lalu. Cuma saja, saya merasa mendongkol, bahwa dia menuduh ningrat-ningrat pribumi lebih kasar lagi dalam memainkan kekuasaan, sementara penguasa kulit putih “pura-pura tak melihat” praktek-praktek penghisapan yang dilakukan pegawainya. Kalau dia lebih jujur terbuka sedikit, niscaya akan terasa, tindakan-rindakan yang dilakukan ambtenar pribumi belumlah seberapa dibandingkan dengan kelaliman Belanda masa itu. Karena pola laku keijakan sebagaimana dicetuskan oleh intelektual lulusan negri kincir angin, yang berpanjikan Pax Neerlandica, seharusnya insyaf akan lalainya memberlakukan segala sesuatu yang lebih memberatkan kaum kecil, semasa Tanam Paksa dan sesudahnya.
2.
Di atas dinamika pembangunan, kendati pada masa kolonialpun, berdiri figurpenghiba hati, yang mencoba melencengkan garis wicaksana untuk memerintah negeri ini. Saya kira, kalau kita menggunakan darah dan daging, dan menggunakan pula rasa weningnya, takkan terbingkis kekejaman-kekejaman di luar kemanusiaan. Seperti diketahui, banyak benteng, penjara, kamp-kamp konsentrasi yang dibikin, atas nama imperialisme. Tanpa kita menuduh siapa pelakunya, namun harus ditandaskan, bagaimmana soal semacam ini terus menggugat hati kita di sini, hingga tak terbatas. Kacamata sejarah ini bisa berkata lain, bila diperhatikan, tentang periodisasi penjajahan ini—dan bagaimana warga desadijadikan sapi perah, untuk tugas-tugas penanaman lahan kosong. Dikatakan demikian, karena semasa penguasa pribumi memerintah, adipati, Pangeran, Sunan, Sultan, telah pula menugasi penduduk untuk mengikuti pranatan “Kering Aji” (pengerahan kawula untuk mengerajakan ladang sawah, sebagai kerja bakti), dan “Pundhutan Dalem” (penugasan para pamong dan warga desa untuk mempersembahkan hasil palawija dan ternak, sebagai persembahan bagi ritus-ritus suci di kraton). Jelas, fungsi dan kepentingan feudal-aristokratik pribumi. Namn, setelah pranatan ini kemudian dicangkokkan kepada peraturan Gubermen ( Pemerintahan Kolonial Belanda), pelaksanaannya menjadi lebih memprihatinkan. Kalau disimak dari peristiwa historis, ketaatan rakyat kepada Gustinya adalah jalaran “wedi-asih” (takut bercampur sayang) terhadap junjungan terhormat. Sedangkan kepada penguasa Belanda, rakyat justru merasa “lilah-luluh” (jadi terpaksa ikhlas, lantaran dipaksa untuk taat). Para ilmuwan Javanologi, marilah terus kita bandingkan kedua materi ini sebagai bahan ulasan. Ayo!
3.
Kesusastraan senantiasa punya kecendrungan yang aneh. Ia misalnya, punya tendensi yang tak bisa dilihat oleh mata yang kabur, yaitu tendensi seolah-olah TELAH menemukan suatu masyarakat yang ideal, yang oleh karenanya sastra mengambil langkah-langkah revolusioner. Wataknya memang sepi dari pamrih, non profitable—lantaran jangkauan yang digapainya adalah kemerdekan rohani yang lebih bersifat buani, ketimbang sesuatu “gebyar” di lingkup yang bersifat regional. Maka sastra yang bertendensi universal ini, secara tak langsung mengajak pengarangnya untuk jinjit-jinjit ke alam lebih cerah, bukan dalam artian memperoleh hadiah, melainkan agar suara jiwa yang melantun itu bisa ditangkap oleh kawula-kawula dari banyak bangsa, kaum, partai dan mazhab, di mancapraja. Pantas diakui, kesusastraan adalah salah satu urat nadi kekuatan yang menggerakkan sejarah. Seringkali malahn menciptakan sejarah—dan oleh sebab itu, orang segan dan hormat padanya.
4.
Perbendaharaan sejarah justru antara lain menekankan, adanya pengabdian yang tulus, yang dilakukan sedari usia muda. Karena di sini akan dapat ditilik, apakah kerja yang dihayati dalam langkah-langkah itu secara individual didorong oleh spirit untuk menyampaikan kebolehan yang dimiliki ataukah hanya bersandar pada ambisi tertentu (lebih-lebih lagi manakala disebabkan oleh bujukan lain orang). Manusia tumbuh keinsyafan seperti ini, justru para usia empatpuluh plus, dan jarang yang sebelumnya. Sebudi-akalnya, senantiasa dicelupkan pada ember yang penuh air, agar rambut di kepala makin kuyup, dan otak jadi lebih jernih dalam sejenak. Masyarakat menanggapi setiap lakon yang ditempuh sesuatu sosok, dengan terutama memperebutkan harga personalitas dan bukan imbas dari tumpahan-lelah yang berwujud benda-benda mewah. Karena itu, sebatas dunia intelek memungkinkan, maka orang berniat mengambil bidang “kecerdasan pikir” yang ditopang sesuatu gelar akademis, dan niscaya berikut pula semacam “ke-limpahruah-an sabda dan piwulang” dari beranda kalbu. Hanya dengan cara begini, kadar penghargaan menjadi lebih pinasti.
5.
Rasanya masih ada di antara kita yang ingat akantropenkolder –istilah yang bukan hanya secara kebetulan terbentuk di antara warga masyarakat colonial pada zaman Hindia Belanda dhulu. Ini semacam penyakit yang diderita oleh ambtener kulit putih, yang di satu pihak, dirinya merasa sebagai kaum yang superior, di atas orang-orang pribumi kulit berwarna ang diinjaknya. Peranggapan demikian hadir, sewaktu dia berkacakpinggang sebagai “ndoro tuan” atau “Kanjeng Yang Dipertuan” di sini. Tapi begitu mereka kembali ke kampung (atau mungkin hanya perlop sebentar, atau menikmati pasca pensiun), mereka dipaksa oleh keadaan, untuk mengakhiri rasa superior ini. Soalnya, warga bangsanya sendiri di sana, tak setinggi itu menghormatinya. Maka ia alami frustasi, sebagai warga Nederland, di kampung sendiri. Begitu pula, kaum intelektual Belanda, yang beranggapan, “ Lu tau apa he, pribumi goblok”, dan punya tesis-tesis gemilang tentang bidang ilmiah tertentu, menajiskan peranan pemikir di sini. Sayang, mereka keliru kelewat jauh. Karena, wawasan-wawasan orang sini genial, toh tetap memperoleh reputasi yang baik, di Nederland, sebatas semua itu berargumen kuat, ditopang data-data akurat. Maka, acapkali terjadi, bahwa dalam masyarakat kolonialis-imperialis, penghargaan atas diri sendiri didukung oleh tendensi rasial yang berkelebihan. Sedangkan penilaian sehat hanya akan terjadi, pada saat aparat-aparat penjajahan di sadarkan oleh lingkungan kampung halaman, yang menuding pada kenaifannya itu.
6.
Jikalau kita amati untaian pandang Sutan Syahrir dalam “Perjuangan Kita”, kentara bahwasanya dia memperluaskan soal-soal berikut : adakah seseorang yanmg benar-benar setia kepada persekutuan yang pernah ditaatinya, dan dilabuhinya selama bertahun-tahun, jika misalnya dia mesti menentukan cara pilih dan cara pandang, takkan mendurhaka pada teman-teman lamanya? Adakah, untuk suatu gambaran masa datang yang masih samar, ada orang atau kelompok yang merelakan dirinya sebagai kolaborator, yakni mereka yang terpaksa ataupun sukarela bekerjasama dengan musuh selama zaman penjajahan? Adakah pula, bahwa pemilihan hak serta wewenang yang lekat pada diri kita, kita secara gampang memindahkan soal ini ke kiri atau pun ke kanan, semata lantaran terdapat arus kuat yang menderu? Syahrir menginginkan, intelektualisme di satu pihak, bukan alas pijak kita sendiri, lebih-lebih jika perkataan harus satu asap dan satu api dengan pola budaya barat yang jauh di seberang sana. Apalagi, jika kita sendiri, kebanyakan belum siap dan belum mantap menjadi orang-orang intelek, karena pelabuhan masing-masing teramat dangkal dan tak memadai. Diharapkan, perkembangan lebih baik jika Masa Merdeka tiba.
7.
Dalam pertemuan antar manusia, maka implikasi yang timbul adalah bagaimana manusia saling menyampaikan makna. Apalagi jika pergulatan batin yang tengah diliyerkan dan dialihkan dalam hubungan sosial semacam ini merupakan gejala transendensi , yakni per-lewat-an batas-batas dunia empiric, di mana penguasaan atas materi oleh jiwa yang berlangsung, juga lantaran jiwa mengatur dialektik alam. Praktis, jagat kesenian merujuk kepada suasana kerja intelek, darimana orang per orang mencoba mengolah produksi kreatifnya dalam bentuk pengemongan imaginasi, dan penjabrana imaginasi, seluas-luasnya, sebangkit-bangkitnya. Trandensi ini pulalah yang merupakan habitus yang sensual dalam mengakurkan nilai praltis yang ada dengan daya muat masyarakat yang menerima wedaran-wedaran para pujangga. Kadar yang dimungkinkan oleh kerja saling mempersilahkan begini, menuju kepada synthese yang aman, kukira. Persoalannya, hidup sastrawan (yang mempergandakan seni sebaga produk humaniter) dan ilmuwan (yang membincangkan teori dan materi sekaligus, dalam rangka mengkomunikasikan ide lebih bernas suatu waktu), barangkali bisa sehaluan, sepanjang kenyataan bahwa ada kekuasaan yang menjembatani.
8.
Problema terpanjang dalam kemanusiaan ini—di mana manusia harus menjadi penentu hari esoknya sendiri, pengendali proyek hari depannya sendiri!—adalah bagaimana meniadakan ketakutan yang ada dalam dada. Adakalanya, ketakutan untuk mengeluarkan pendapat, senada dengan ketakutan untuk menyumbangkan reaksi spontan yang argumentatif. Adakalanya, ketakutan untuk menjadi penyerta dalam birokrasi kekuatan politik yang kekar, yang dia sendiri kuatir, untuk dianggap sebagai perngkritik yang sengit. Adakalanya pula, buah pikiran yang dipergelarkan pada palladium mahabijak, justru kelewat memperdengarkan kesetiakawanan sosial, dan bukan memancangkan kesetiakawanan mitra usaha, yang tengah dilandungkan. Namun demikian, pada saat orang tengah kebingungan untuk melontarkan krida pribadinya yang sejati, dan di mana terdapat kesenjangan berkemaku sekitarnya, maka lumrahnya, ada yang ditumbangkan. Artinya, salah satu harus kalah, demi kemenangan sosok lain. Bincangan, jadinya mengandung perasaan yang terbelah, sebelum pemerataan dibenahi seapik-apiknya.
* Tanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar