Saut Situmorang **
http://boemipoetra.wordpress.com/
Dalam dunia puisi, salah satu persoalan penciptaan yang terpenting adalah bagaimana mempertemukan puisi dan politik dalam sebuah sajak. Bagaimana seorang penyair mesti menulis puisi politik hingga puisi tersebut benar-benar memiliki nilai estetik dan tidak terjerumus menjadi sekedar slogan politik yang dibungkus dalam penampilan sebuah puisi. Begitu pentingnya isu ini hingga, ironisnya, banyak penyair sering lupa untuk memperhitungkannya dan akibatnya hanya menghasilkan pernyataan-pernyataan umum tentang kondisi sosial politik yang ada dalam baris-baris teks yang mengingatkan pembacanya kepada baris-baris dalam sebuah puisi. Pernyataan-pernyataan umum itu sendiri biasanya dilontarkan dalam nada tunggal yang sangat monoton, yaitu penyair/narator dikesankan sebagai nabi kesepian yang sedang menghujat masyarakat di sekitarnya. Kebenaran moral yang secara tak sadar diklaim dengan semena-mena oleh sang penyair/narator akhirnya hanya membuat “puisi”nya itu gagal menjadi puitis tapi berhasil menjadi retorika. Rumitnya persoalan penciptaan puisi politik bisa dibuktikan dari begitu banyaknya penyair yang menulis puisi politik, atau “sajak protes”, tapi hanya segelintir saja yang berhasil membuat namanya diakui secara umum sebagai penyair puisi politik, penyair terlibat (engaged poet).
Membaca buku kumpulan puisi Agus R Sarjono Suatu Cerita dari Negeri Angin: Sejumlah Sajak Asli dan Satu Sajak Palsu (Jendela 2003) memberikan sebuah kesan betapa penyairnya berusaha untuk menghasilkan satu buku kumpulan puisi politik. Walau judul dan anak judul buku tidak menunjukkan tema khusus ini, ketigapuluh sembilan sajak dalam kumpulan Suatu Cerita dari Negeri Angin sebenarnya dimaksudkan sebagai “puisi penggugat”, meminjam istilah Berthold Damshauser seperti yang dikutipkan pada sampul belakang buku. Apa “yang digugat dan diprotes adalah keadaan di Indonesia, baik di zaman Orba maupun zaman yang disebut ‘zaman reformasi’”. Kalau hanya ini yang menjadi keistimewaan buku ini maka hal itu tidak begitu istimewa sebenarnya, karena protes atas kondisi sosial politik masyarakat Indonesia dalam bentuk puisi banyak ditulis dalam sejarah sastra Indonesia. (Agus Sarjono sendiri, dalam sebuah wawancara yang juga dilampirkan dalam buku ini, menyatakan bahwa “sebetulnya, tidak banyak benar penyair di Indonesia yang menulis mengenai masalah politik. Sepanjang tahun 70-an sampai 90-an hampir tidak ada penyair yang menulis sajak kritik sosial yang menonjol, kecuali tentu saja Rendra”. Kita tentu saja dengan mudah bisa membantah pernyataan redaktur Horison, majalah sastra satu-satunya di Indonesia, ini dengan menyebutkan dua nama penyair yang sudah dikenal luas dalam sastra Indonesia tapi yang entah bagaimana bisa terlupakannya: Wiji Thukul dan Sutardji Calzoum Bachri.)
Apa yang membuat buku kumpulan puisi kedua Agus Sarjono ini merangsang minat kita untuk membacanya, dan sekaligus untuk membuktikannya, adalah penggalan kutipan pada sampul belakang buku dari dua sumber (luar negeri) yang berbeda, yaitu Berthold Damshauser dari Universitas Bonn, Jerman dan “Poetry on the Road”, Bremen, Jerman.
Berthold Damshauser, dosen bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Bonn, Jerman sekaligus juga penterjemah karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Jerman, menyatakan bahwa apa yang menarik dan merupakan kebesaran Agus Sarjono sebagai penyair (Indonesia) adalah bahwa “puisi penggugat” atau protes yang dituliskannya itu “disampaikan dengan suara puitis yang unik, beragam, dan baru”. Dan dari keunikan, keberagaman, dan kebaruan dalam “suara puitis” Agus Sarjono tersebut terdapat sebuah unsur teks khas yang menonjol yang mewarnai keseluruhan kumpulan puisinya, yaitu humor hitam (black humour), bahkan “humor yang sangat hitam, yang toh tak mampu menutupi keprihatinan mendalam yang terdapat di belakangnya”.
Sementara kutipan dari publikasi acara puisi “Poetry on the Road” yang diikuti Agus Sarjono tak lebih tak kurang memperkuat apa yang dinyatakan Berthold Damshauser tentang isi puisinya di atas, cuma dengan tambahan bahwa Agus R Sarjono adalah “penyair muda terkemuka dari Indonesia”.
Dalam “proses kreatif”nya sebagai penyair, Agus Sarjono sendiri mengakui –seperti dinyatakannya dalam halaman “Semacam Pembukaan” dalam buku dan dielaborasinya dalam wawancara dengan Linda Voute yang saya maksud di atas– bahwa dia sebenarnya “ingin menulis sajak dengan gaya dan tema yang lain sama sekali dengan gaya dan tema yang selama ini [dia] geluti dan sebagiannya terbit dalam buku [Suatu Cerita dari Negeri Angin]. Gairah untuk menulis sajak yang lain sama sekali tersebut sangat meluap, sebesar dan semeluap gairah[nya] untuk mendapati nasib yang lain sama sekali bagi negeri[nya]. Namun karena negeri dan tanah air[nya] masih berhadapan dengan nasib dan urusan yang itu-itu juga, maka [dia] harus menerima nasib untuk menuliskan sajak-sajak dengan tema dan gaya sebagaimana pembaca temui dalam buku [Suatu Cerita]. [Karena dia] tidak bisa (dan tidak ingin) berpaling”. Dan alasannya menulis “puisi penggugat” seperti yang dikumpulkan dalam Suatu Cerita bukanlah untuk “mendidik saudara-saudara setanah air” [tentang kondisi sosial politik Indonesia] “lewat sajak” tapi “justru ingin belajar dan bukan mengajar, ingin bertanya dan bukan menjawab, dan sesekali menangis atau berduka bersama orang-orang pinggiran di berbagai pelosok negeri[nya] yang tidak punya massa, tidak punya kekuasaan, tidak punya harta, tidak punya partai, dan terus-menerus dibisukan”.
Kejujuran pengarang seperti ini tentu saja membantu pembaca untuk lebih memahami karya yang sedang dibaca, walaupun konon, kata orang, “maksud pengarang” tidak memiliki relevansi terhadap proses interpretasi pembaca (intentional fallacy). Bukankah “pengarang sudah mati” begitu karangannya dibaca pembacanya, hegemoni pengarang diganti oleh hegemoni pembaca?
Absolutisme hitam-putih semacam ini, tentu saja, tidak sehat dan tidak perlu dalam sebuah peristiwa interpretasi karya seni karena bukankah istilah “seni” itu sendiri sudah menyiratkan adanya pengertian tentang “kebebasan individu” yang mesti ada baik dalam proses kreatif penciptaan maupun proses kreatif pembacaan.
Bertolak dari konsep pembacaan seperti inilah maka kejujuran pengarang bernama Agus R Sarjono relevan untuk dipakai juga dalam menginterpretasi “puisi penggugat”nya dalam buku Suatu Cerita, disamping, tentu saja, faktor-faktor lain seperti teks puisi itu sendiri dan relasi intertekstualnya (yaitu apa yang disebut sebagai “the anxiety of influence” –bahwa “pengaruh” bukanlah seperti yang umumnya dipahami sebagai “pinjaman” langsung, atau asimilasi, atas materi dan bentuk dari karya-karya pengarang sebelumnya tapi melibatkan juga terjadinya distorsi yang drastis atas karya-karya pengarang pendahulu tersebut– oleh kritikus dekonstruksi Amerika Serikat, Harold Bloom) dengan teks-teks puisi lainnya dalam sejarah sastra Indonesia. Dan hiperbola, pernyataan berlebihan yang disengaja atau pelebih-lebihan fakta secara ekstravagan demi menimbulkan efek tertentu, merupakan trope utama/dominan yang mewarnai bahasa buku kumpulan puisi Agus R Sarjono ini: mulai dari judul/sub-judul buku, penggalan kutipan di sampul belakang buku, kata pengantar penyair, wawancara, dan ketigapuluh sembilan “puisi penggugat” itu sendiri, tentu saja.
***
Apakah yang dimaksud penyairnya dengan “Negeri Angin” pada judul buku dan sajak yang menjadi judul buku kumpulan puisi Agus Sarjono ini? Karena “Semacam Pembukaan” dari penyair dan isi wawancara tidak menjelaskan apa maksud istilah ini, maka saya berusaha mencari jawaban apa kira-kira “Negeri Angin” itu pada sajak dimaksud, tapi saya tetap tidak menemukannya. Apa yang saya temukan adalah hiperbola bahasa yang, mungkin, dimaksudkan untuk menimbulkan efek surreal pada pembacanya. Perhatikan kutipan bait pertama ini:
“Bendungan di kampungku yang dibangun
oleh seribu jam penataran, seratus upacara
dan sepuluh sangkur, pada sebuah subuh
berderak-derak dan runtuh. Airmata
yang berpuluh tahun tertahan
pecah menderas menyapu jalanan
lalu berubah menjadi genangan darah.
Orang-orang bergegas mengeramasi rambut
dan ingatannya di sana”. (Sebuah Cerita dari Negeri Angin)
Apakah pecahnya bendungan telah menimbulkan “kesadaran” pada orang-orang kampung, termasuk si narator puisi sendiri, seperti yang disiratkan oleh prosesi “mengeramasi rambut dan ingatan” itu? Kalau benar, maka “bendungan” itu adalah simbol “penindasan”, “airmata yang berpuluh tahun tertahan”? Dan kesadaran apakah yang ditimbulkannya? Kenapa “airmata” berubah menjadi “genangan darah” dalam sebuah peristiwa timbulnya “kesadaran” dari sebuah realitas “penindasan”? Dan di manakah “kampungku” itu berada?
Antologi pertanyaan seperti ini akan terus menerus saya ajukan untuk memaksa “puisi penggugat” Agus R Sarjono memberikan saya “sebuah cerita dari negeri angin” atas teks-teksnya.
Bait kedua sajak “Sebuah Cerita dari Negeri Angin” tidak memberikan tambahan informasi apa-apa, kecuali kekerasan fisik yang tidak ada relevansinya dengan plot sajak dan sebuah frase yang cuma berisi “tentang sebuah saat sebuah musim/di sebuah negeri yang padat/berisi angin//
“Kesadaran” yang disiratkan terjadi oleh bait pertama sajak ternyata cuma interpretasi saya yang keterlaluan saja. Sajak ini tidak membicarakan terjadinya sebuah “’perubahan” keadaan kondisi sosial politik di “kampung” sang narator tapi merupakan parade hiperbola kekerasan fisik yang mengingatkan saya pada film kartun anak-anak semacam Tom & Jerry dimana representasi kekerasan fisik tidak diniatkan untuk menghasilkan katarsis tapi sekedar hiburan yang menggelikan. Inilah yang saya maksudkan:
“Tetanggaku yang gemar cerita, pernah menangkap
seorang pesulap yang entah mengapa sibuk
mengendap-endap di ruang tidur kampungnya.
Setelah dicekik dan ditebas lehernya,
ternyata tak sebuah cerita pun mengalir
dari kerongkongannya. Dari potongan
urat lehernya, hanya gas yang memancar keluar
diiringi denging sirine, semacam isyarat darurat
dari sebuah kapal yang tengah karam. Sejak itu
penduduk kampungku ramai-ramai melepas
kepala mereka dan menggantinya
dengan buah kelapa: keras dan berair.
Buat persiapan, ucap mereka, jika seluruh
kampung hangus terbakar, kepala kami
masih bisa basah menyimpan ingatan
tentang anak-anak tersayang yang mengembara
ke kota-kota, bersekolah atau bergelandangan
mengais hari depan”.
Apa yang membuat saya heran membaca bait ketiga sajak “Suatu Cerita” ini adalah sebuah ketidakjelasan lagi tentang “kampung” sang narator. Bukankah pembaca pada bait pertama sudah diberitahu bahwa setting sajak adalah kampung narator, “kampungku”, dan ini berarti “desaku”, bisa tempat asal usul orangtua sekaligus tempat kelahiran narator seperti pada istilah “kampung halaman”, tapi jelas tidak pernah dipakai untuk merujuk tempat tinggal dalam perantauan di luar kampung halaman, tapi kenapa referensi kepada “kampung” tetangganya memakai akhiran “nya”, bukan “kami” misalnya? Bukankah “tetangga” di kampung halaman biasanya juga berasal dari kampung halaman tersebut?
Juga, kenapa “seorang pesulap” yang “sibuk” mengendap-endap di ruang tidur kampung” tetangga narator? Makna referensial semacam apa yang ingin diciptakan dengan pemakaian istilah “pesulap” ini? Lalu, apakah “maksud” tekstual dari bait ketiga ini dalam konteks keseluruhan sajak? Atau dalam kata lain, apa sebenarnya yang ingin diceritakan oleh sajak ini dengan segala absurditas metafor dan hiperbola yang membebaninya?
Keterpesonaan pada hiperbola berlebihan melalui parade absurditas metafor yang, bagi saya, tidak berhasil menimbulkan efek surreal pada totalitas imaji tiap sajak, sebenarnya, membuat saya berpikir bahwa Agus Sarjono cuma “main-main” saja dalam bukunya ini. Maksud saya, dia sebenarnya sedang berusaha melakukan eksperimentasi penulisan kolase surrealistik, yaitu semacam penjajaran dua imaji yang berbeda, atau lebih, untuk melahirkan sebuah efek fantastik pada pembacanya, seperti yang dilakukan kaum Surrealis dan Realis-magis, tapi tidak mencapai hasil yang diharapkan, mungkin, karena ketidakjelasan konsepsi penulisan. Saya ambilkan contoh sederhana berikut ini:
“Kutebarkan remah roti
Di taman kota Amsterdam bersalju
Beribu-ribu burung merpati
Berbondong-bondong menyerbu
Kutebarkan remah makanan
Di taman kota Jakarta terik siang
Beribu gelandangan dan anak jalanan
Serempak datang menerjang”. (Pantun Latihan)
Pertama-tama, adalah sangat mengherankan bahwa seorang penyair Indonesia seperti Agus R Sarjono, yang juga redaktur majalah sastra Indonesia, bisa sampai “lupa” apa sebenarnya yang dimaksud dengan pantun itu! Secara sederhana, bukankah sebuah pantun memiliki pakem persajakan: satu bait terdiri dari empat baris, masing-masing baris terdiri dari empat kata, dimana dua baris pertama merupakan sampiran (biasanya memakai imaji-imaji alam) dan dua baris terakhir isi pantun, dan keseluruhannya dirangkai dalam sistem musik berpola rima-akhir abab. Dari penjelasan sederhana ini jelaslah bahwa “Pantun Latihan” di atas bukanlah sebuah pantun karena tidak memiliki karakterisasi sebuah pantun, kecuali pola rimanya yang sengaja dibuat abab itu.
Perbandingan yang dilakukan dengan penjajaran dua setting tempat dan isinya yang sangat berbeda satu sama lainnya pada sajak ini adalah kolase yang saya maksudkan di atas: remah roti vs remah makanan, Amsterdam bersalju vs Jakarta terik siang, burung merpati vs gelandangan dan anak jalanan, berbondong-bondong menyerbu vs serempak datang menerjang.
Pemakaian hiperbola pun tidak luput dari sajak paling pendek dalam kumpulan puisi ini. Di sini hiperbola dipakai untuk menunjukkan drastisnya perbedaan antara kedua tempat, kedua kota, kedua budaya tapi dengan penekanan pada kondisi negatif negeri sendiri dan romantisisme negeri orang lain. Walaupun terkesan betapa sadomasokisnya sang narator dalam pameran pengejekan diri sendiri ini, di sisi lain dia sebenarnya tak lebih hanya bayangan saja di kedua tempat yang dia sebutkan itu, yaitu seorang pengunjung anonim di sebuah taman kota. Keberadaannya pada kedua taman kedua kota itu mirip dengan keberadaan seorang turis yang mencatat apa yang dilihatnya dengan snapshot kamera untuk pengisi album foto perjalanan belaka. Saya, misalnya, bisa mempertanyakan apakah “makna” istilah “salju” bagi kota Amsterdam tidak sama dengan “makna” “terik siang” bagi kota Jakarta dalam konteks budaya masing-masing. Bukankah “salju” merepresentasikan “musim dingin”, musim yang dianggap negatif dalam budaya Barat, sementara “musim panas”, “musim terik siang” merupakan musim yang selalu dinanti-nantikan? Kesalahkaprahan nuansa makna kontekstual semacam ini merupakan sebuah cacat tekstual yang dalam versi lain juga mewarnai sajak-sajak lain dalam kumpulan Suatu Cerita.
Pelebih-lebihan fakta secara ekstravagan demi menimbulkan efek tertentu yang menjadi ciri-utama Suatu Cerita, bagi saya, hanya menimbulkan efek pelebih-lebihan fakta belaka, hiperbola demi hiperbola belaka, dan tidak berhasil menciptakan kesan surrealitas yang absurd fantastis. Kalau para penyair “puisi mbeling” dengan segala absurditas “estetika main-main” mereka jelas-jelas menulis untuk mencapai efek humor, ekspresi dari bagaimana penyair “memandang semua kehidupan dalam diri dan luar lingkungannya secara menyeluruh, lugu dan apa adanya” seperti yang dinyatakan Bapak Puisi Mbeling Indonesia Remy Sylado, maka keseriusan sikap Agus Sarjono dalam memandang “puisi penggugat”nya yang dikumpulkannya dalam buku Suatu Cerita ini (bahkan dicetak ulang!) justru menimbulkan efek surreal yang gagal dilakukan sajak-sajaknya!
Perhatikanlah kutipan bait pertama dari sajak berjudul “Timang-timang” berikut ini: “Di manakah kita sebelumnya pernah berjumpa, anakku/sayang, ketika engkau menangis untuk pertama kali, bagai nasib/di keluasan dunia? Aku menduga-duga dari mana/ segala airmatamu bermula. Adakah karena langit/kosong sepi, atau darah yang tak putus-putus tumpah/di berbagai belahan sejarah: Auschwitz, Shabra,/Shatilla, Bosnia, Somalia, Chechnya dan tanah-tanah air/di batinku, selalu saja meninggalkan luka menganga/tak seindah luka yang kau tinggalkan di tubuh ibumu//yang berbahagia”.
Bagaimanakah kita akan mengikuti logika puitis antara “airmata” anak sang narator dengan daftar kota-kota dunia yang merupakan simbolisme penindasan internasional itu? Berhasilkah pemakaian hiperbola yang terkesan sangat serius ini?
Pemakaian hiperbola, terutama hiperbola yang berlebihan, seperti yang dominan dalam kumpulan puisi Suatu Cerita, sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk mencapai efek puitis yang menakjubkan seperti yang dilakukan Walt Whitman atau Allen Ginsberg dari khazanah puisi Amerika Serikat atau para penyair Surrealis seperti Aimé Césaire dari Martinique, Karibia. Dan pemakaian hiperbola biasanya pun cukup sering dilakukan dalam penulisan “puisi politik” di khazanah sastra dunia. Saya menduga ketidakberhasilan Agus Sarjono dalam memanfaatkan hiperbola dalam Suatu Cerita adalah karena sajak-sajaknya itu masih dalam tahap “pantun latihan” semata. Penguasaannya atas metafor, dalam konteks puisi yang menggugat dan memprotes kondisi sosial politik Indonesia kontemporer, belum maksimal, mungkin karena posisinya sebagai pengunjung taman kota seperti yang saya sebut di atas. Sementara nada pengucapan keseluruhan sajaknya dalam buku ini sangat kuat mengingatkan saya kepada nada pengucapan sajak-sajak moralis Taufiq Ismail. Saya malah curiga bahwa Taufiq Ismail merupakan pengaruh terbesar dalam keterpesonaannya pada hiperbola yang dihiperbolakan.
Berdasarkan hal-hal inilah saya tidak setuju dengan pendapat Linde Voute, Berthold Damshauser dan publikasi “Poetry on the Road” yang ditempelkan pada buku puisi Suatu Cerita dari Negeri Angin yang mengklaim bahwa Agus R Sarjono adalah “penyair muda terkemuka Indonesia” yang “kebesaran[nya] sebagai penyair” terletak pada keunikan, keberagaman, dan kebaruan ekspresi suara puitisnya, bahwa “dia menulis dengan cara yang berbeda dibanding para penyair lain yang menulis mengenai ketidakadilan sosial di negerinya”.
*Dibacakan pada acara “Ketika JOGJA Menghakimi JAKARTA”, 28 Mei 2003 di auditorium IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.
**Saut Situmorang, pencinta cersil Kho Ping Hoo, tinggal di Jogjakarta.
Dijumput dari: http://boemipoetra.wordpress.com/2012/03/25/hiperbola-agus-r-sarjono/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar