Sabtu, 04 Agustus 2012

Puisi Indonesia dalam Tiga Ihwal

Riki Dhamparan Putra *
http://cetak.kompas.com/

”…musuh puisi adalah tidak utuhnya pemahaman dalam diri penyair.”
Pablo Neruda, 1971

Tiga ihwal telah mendominasi panggung wacana dan memengaruhi perilaku bersastra kita sejak lama. Pertama: ajeg lokal, kedua: pornografi, dan ketiga: akrobat bahasa. Ajeg lokal adalah istilah yang saya lokalkan dari istilah yang sekarang sedang populer: lokalitas.


Lokalitas menjadi sebuah tren dalam mengeksplorasi puisi Indonesia, yang sudah dimulai sejak 1970-an dan menghangat lagi di era 2000-an. Para kritikus sastra biasanya menandai perayaan ajeg lokal ini dengan hadirnya sejumlah penyair yang mengeksplorasi khazanah kekayaan lokal atau kekayaan budaya tempatan Indonesia ke dalam sajak-sajak mereka.

Menariknya lagi, bagi sebagian kalangan sastra, minat yang berlebihan terhadap khazanah lokal ini kadang mewujud ke dalam perangai lokal yang mencengangkan. Kelokalan rupanya tidak hanya dieksplorasi ke dalam kerja puisi, tetapi telah berkembang ke wilayah politik dengan kecenderungan memainkan interes yang sempit.

Akibatnya, pergaulan sastra menjadi tegang dan tidak produktif. Di samping itu, sikap demikian telah menyuguhkan kepada kita tema-tema perdebatan yang sebenarnya jauh dari keperluan dunia sastra. Tema- tema yang menjenuhkan seperti sastra pribumi dan nonpribumi, sastra pusat-sastra lokal, sastra feminis, sastra wangi sastra bau, dan lainnya, memperlihatkan permainan politik sastra yang membuat ekspresi literer itu malah tidak produktif.

Di dalam kecenderungan ini orientasi sastra pun bergeser, dari yang semula merupakan upaya mencapai otentisitas, jadi sekadar upaya merumuskan identitas personal maupun kelompok. Sebagai akibatnya, penyebutan serta pengertian kita terhadap penyair pun tersempitkan berdasar wilayah asal atau berdasar basis komunitasnya.

Hadirnya kantong lokal
Situasi di atas membuat saya merasa kita telah kehilangan penyair Indonesia. Sebagai gantinya, kita mendapatkan penyair Bali, penyair Padang, penyair Lampung, Penyair Bandung, dan seterusnya. Penyair Indonesia itu seolah telah berhenti pada generasi 70-an. Pada Taufik Ismail, Sutardji, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono….

Kenapa Taufik Ismail tidak dibilang penyair Cirebon atau penyair Sumbar misalnya? Atau Abdul Hadi WM, mengapa tidak dikenal sebagai penyair Madura, sebagaimana halnya kita sekarang menyebut Mardi Luhung sebagai penyair Jawa Timur?

Pertanyaan itu tak cukup dijawab dengan argumentasi normatif saja. Karena ada persoalan di luar hal itu yang antara lain menciptakan kekeliruan alam cara kita memosisikan penyair kita sekarang ini.

Kekeliruan itu terjadi bukan hanya karena mengentalnya interes politik (juga ekonomi), tetapi juga akibat tidak siapnya publik sastra Indonesia menerima kebangkitan baru para penyair kita yang berbasis pada kantong-kantong lokal, termasuk komunitas-komunitas yang tumbuh di berbagai daerah.

Cara pikir yang bertolak dari pengultusan terhadap generasi sastra tertentu menjadi penyebab utama ketidaksiapan itu. Publik sastra kita masih memelihara takhayul tentang adanya pusat-pusat sastra. Terutama yang ada di kota besar, lebih utama di Jakarta. Dan masih kuatnya dominasi politik-ekonomi dari penyair lama, membuat sebagian besar para penyair daerah merasa rendah-diri, bahkan tak siap tidak percaya pada pencapaian artistik mereka sendiri.

Padahal penyair terbaik era ini sesungguhnya bukanlah produk langsung dari kubu-kubu sastra yang dibayangkan sebagai pusat itu. Kubu-kubu yang seperti kastil di Eropa atau keraton di Jawa, dibangun hanya untuk membendung air bah potensi literer yang dari daerah (komunitas lokal). Wajar bila kemudian penyebut daerah atau lokalitas tertentu mengiringi nama seorang penyair, ”Ya, si Fulan itu penyair Bali.” Selesai.

Tak ada lagi ruang dan peluang bagi Fulan untuk disebut (bahkan menyebut dirinya sendiri sebagai) penyair Indonesia. Kenyataan ironis, terjadi justru di masa kita diberi kemudahan luar biasa untuk berinteraksi dan berintegrasi antara satu dengan yang lainnya. Di tengah samudra seluler, SMS, blackberry, internet, facebook, chating, komunikasi tak henti dan langsung antara hati dan hati.

Kemudahan hidup itu ternyata tak berhasil dioptimalisasi masyarakat sastra untuk berbagi diri dan gagasan, mengintegrasikan visi dan masa depan. Akan tetapi, justru memanfaatkan dan mengeksploitasinya untuk kepentingan sesaat, berbagai interes yang sangat pragmatis.

Permainan pornografi
Mungkin hal yang senada bisa dilihat dalam ihwal sastra kedua mengenai pornografi. Satu tindak atau produk yang memanfaatkan selera rendah manusia, yang seharusnya jadi barang haram dalam sastra, tetapi justru lebih banyak diselebrasi. Sebuah perayaan yang tampaknya hanya mengikuti gerak oportunistik dari media massa, di mana pornografi dieksploitasi sekadar untuk mendapatkan laba material.

Posisi sastra, yang dalam sejarah keberadaannya lebih tua dari media massa—terlebih dalam bentuk-bentuk modernnya—tentu memiliki kemampuan untuk mentransendensi selera rendah publik itu ke dalam makna yang lebih dalam. Namun, yang terjadi, sebagian sastra mutakhir kita justru memanfaatkan pornografi hanya untuk mengejar efek pragmatis kepopuleran dan akhirnya gelembung finansial.

Kecenderungan itu, pertama, karena gagalnya sastra mengantisipasi euforia kebebasan yang belakangan hampir menerabas semua batas kesopanan. Kedua, kegagalan itu menjadi penanda menguatnya motif ”pasar” di balik modus penciptaan, bahkan penilaian (judgement) sebuah karya sastra. Para pelaku sastra ternyata tak berhasil membentengi dirinya dari latah budaya yang diciptakan oleh industri media.

Pada titik ini, segala yang dangkal dan artifisial pun ramai dirayakan. Kedalaman dan kematangan jadi sepi di kejauhan. Sastra hari ini bukanlah suatu jalan yang dapat menemani kita dalam pencarian arti segala sesuatu. Sebaliknya, sastra hari ini hanyalah suatu realitas virtual yang tidak memerlukan arti karena lebih mengedepankan permainan. Seperti yang dikatakan Amir Hamzah dalam sajaknya, Astana Rela, sastra hari ini merupakan suatu dunia ”permainan kau permainkan”.

Dari gelap ke akrobat
Ihwal sastra kita ketiga adalah soal akrobatik bahasa. Sebuah istilah yang relatif dan sering digunakan secara acak untuk menyindir kecenderungan puisi yang hampa makna, bergelap- gelap, berumit-rumit, dan memerlukan referensi khusus untuk dapat memahaminya.

Pada dekade 80-an, istilah yang populer untuk mengatakan akrobatik bahasa ini adalah puisi gelap. Namun, perkembangan teori kesusastraan yang digunakan telah menyebabkan istilah puisi gelap tidak relevan lagi. Lantaran gelap tidaknya sebuah puisi ternyata ditentukan oleh kadar apresiasi yang dimiliki seorang pembaca. Bila awalnya puisi Sutardji mungkin dikira gelap, pandangan itu berubah ketika Dami N Toda membedahnya dan meyakinkan publik sastra bahwa ternyata puisi semacam itu bukan puisi gelap.

Mungkin ada gradasi signifikansi antara ”kegelapan” dan ”akrobasi” dalam sastra Indonesia. Namun, keduanya memperlihatkan sebuah semangat untuk menciptakan ”kebaruan” atau alternatif pengucapan literer yang berbeda. Namun, yang terjadi, ternyata bukan kebaruan sesungguhnya, tetapi juga semacam ”permainan yang dipermainkan”. Sekadar kegenitan dan sensasi yang dalam esensinya tidak pernah lepas dari lirisisme konvensional sebagaimana ditunjukkan Hartoyo Andangjaya.

Kedangkalan dalam memaknai hidup yang kian kompleks belakangan ini membuat sebagian penyair bersiasat dengan melakukan puzzle kata-kata, tanpa ada pendalaman baik dari sintaksis, diksi maupun gramatika secara keseluruhan. Mungkin puzzle itu merefleksikan kompleksitas hidup kita. Namun, pemaknaan yang muncul darinya hampa: kembali pada kedangkalan. Puisi jadi asing, bahkan dari penyairnya sendiri.

Puisi atau sastra hanya menjadi lamunan penyair yang meratapi hidupnya. Itulah hal terbaik yang mungkin dapat direfleksikan penyair bagi masyarakat, bagi bangsanya: kita hanya dapat melamun, meratapi bangsa yang terengah-engah ini.

*) Penyair Indonesia, menetap di Bali.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati