(Sekedar Komentar pada Buku Puisi “Kabar Debu”)
Mashuri
Jika puisi adalah Pesta, itulah pesta yang bertahan melawan musim,
di tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang
—sebuah keriangan pesta bawah tanah.
Octavio Paz
1/
Kini puisi bukan hanya sering salah dihargai, sebagaimana yang pernah disinyalir Goenawan Muhamad dalam sebuah esai tahun 1992, tetapi puisi seperti telah kehilangan daya dan yoni. Para penyair seakan telah kehilangan kata-kata karena suaranya telah dijambret media, mulut politisi dan suara-suara lain yang demikian hiperreal, hingar dan begitu mendesak masuk ke ruang kita, sekaligus memaksa kita untuk mendengarnya. Hanya saja, meski kini puisi menjadi sebuah suara yang ‘fakir’, tersingkir, yang semakin mengecil dan terasa sayup di zaman yang begitu riuh, tetapi puisi harus tetap disuarakan, dipestakan, dan ditarikan, karena puisi adalah suara yang lain, suara nurani, juga suara kemurnian yang lahir dari ‘guyuran waktu murni’, meminjam istilah Octavio Paz.
Oleh karena itu, apapun nawaitu-nya terbitnya Kabar Debu layak dirayakan, dipestakan. Begitu diminta turut merayakan buku puisi tersebut, saya langsung teringat pada penyair Ka, dalam novel Snow karya Orhan Pamuk. Ka demikian bergairah menulis puisi kembali setelah beberapa tahun merasa disapih dan ‘tidak dihadiri’ puisi. Begitu ia datang ke sebuah kota ‘asing’ dan jarang dikunjungi orang, apalagi berjumpa dengan seorang kekasih lama yang demikian memikat, puisi pun kembali hadir di hatinya. Ia merayakan kehadiran puisi dalam lawatan itu dalam sebuah pesta, tetapi tentu saja pesta tersebut seperti apa yang diungkap Paz yang saya nukil dalam awal tulisan ini: pesta di tempat yang jarang dikunjungi orang: pesta bawah tanah. Kegembiraan pesta bawah tanah ini harus dirayakan. ‘Pesta bawah tanah’ ini adalah langkah asasi kita dalam menjaga marwah kemanusiaan, agar kita tetap menyadari sisi-sisi manusiawi kita.
Tentu saja, kawan-kawan Kostela berbeda dengan penyair Ka tersebut, hal itu karena Kostela termasuk segelintir komunitas sastra di Tanah Air yang masih dan terus ‘istiqomah’ memestakan puisi. Sebuah ‘pesta’ yang menggali sunyi, menakar ke dalam diri, mengais makna dari kesementaraan dan sepi. Tak heran, memestakan puisi dimaknai sebagai sebuah ikhtiar menari dengan makna. Ihwal menari dengan makna ini, Goenawan dalam sebuah esainya pada 1972, pernah menujum: “Kematian kesusastraan bukanlah karena sensor dan pemberangusan, ialah bila ia membuat kita semua tidak bisa lagi menari dengan makna.” Dengan niat itu, tulisan singkat yang tak lebih sekadar komentar ini juga tak lebih dari ikhtiar ‘menari’ dengan makna, semacam perayaan pembacaan dan pesta penafsiran pada beberapa puisi kawan Kostela.
2/
Dalam Kabar Debu terdapat beragam mosaik puitik yang digelar kawan-kawan Kostela. Banyak puisi yang menarik, ada beberapa puisi yang sudah jadi, ada pula puisi yang menuju jadi, terutama dari kawan-kawan Kostela generasi baru. Meski demikian yang patut dicatat adalah adanya ikhtiar untuk regenerasi, meski puisi-puisi yang baru belumlah segelimang penyair-penyair sebelumnya seperti Herry Lamongan, Pringgo HR, Bambang Kempling, Alang Khoirudin, Syaiful Anam dan Imaduddin SA. Hal itu memang wajar. Walau begitu bukan berarti puisi-puisi dari kawan-kawan baru tersebut tanpa kekuatan dan keistimewaan. Bahkan, di antaranya terdapat puisi-puisi yang menakik tema-tema berat, seperti maut, mitos dan spiritualitas, dengan sebuah sudut pandang baru bila dibandingkan dengan tradisi perpuisian Indonesia. Oleh karena itu, dengan berpangkal pada ‘pleasure the text’, saya ingin mendekati puisi kawan-kawan Kostela dengan titik simpul pada masalah-masalah tersebut, terutama dari nuansa spiritualitas, mitos dan maut, karena hampir semua penyair menyuguhkan masalah tersebut.
Dari kawan Saipul Apet, terdapat sebuah puisi yang mengunggah ihwal maut dengan cara yang berbeda. Judulnya “Dongeng Sebelum Mati”. Judul sajak ini segera mengingatkan kita pada sebuah sajak Goenawan Muhamad, “Dongeng Sebelum Tidur”. Jika puisi Goenawan mengungkap ‘dongeng’ ihwal gundah gulana Prabu Angling Dharma ketika harus menghadapi sang isteri yang telah ‘berselingkuh’ dengan patihnya Batik Madrim, Saipul Apet mengunggah ihwal kematian. Tetapi kematian yang dihadirkan Saipul, bukanlah sebuah kematian yang selama ini selalu menjadi rahasia dan ‘ruang nganga’ para penyair kita, sebagaimana Chairil Anwar (dalam “Aku”) dan Soebagyo Sastorwardoyo (dalam “Dan Kematian Makin Akrab”), sehingga maut menjadi simpul yang bernuansa eksistensial. Maut, bagi kebanyakan penyair adalah sebuah wilayah antara yang begitu rahasia dan sunyi maha sunyi. Banyak penyair yang menganggap bahwa di sana adalah sesuatu yang tak terbayangkan. Di sana, imajinasi seakan-akan terkotak dan selesai. Tak heran, banyak penyair mengunggah ihwal maut ini dalam kerangka eksistenis: antara ada dan tiada. Saipul Apet mencoba memandang maut sebagai sebuah hal yang mengundang tawa dan komedi. Sebagaimana kutipan: “Membayangkan kematian/ Tak bisa kutahan tawa.“ Selain itu, terdapat puisi lainnya. Di antaranya puisi yang bernada sederhana tetapi menggunakan teknik reduplikasi juga menarik, di antaranya dalam “Untukmu”.
Di sisi lain, seorang Saiful yang lain, yaitu Syaiful Anam, mengunggah tentang mitos. Penyair yang satu ini agak ‘unik’ karena puisi-puisinya pada masa lampau lebih puitis dari puisinya sekarang. Jika puisinya pada masa lampau bisa masuk kategori ‘puisi’ untuk ‘puisi’, tetapi pada masa-masa ini, puisinya lebih memberat pada pesan dan verbalitas. Saya kemudian teringat pada apa yang diungkap Octavio Paz, bahwa ‘pada zaman dulu, puisi dan agama, ilmu pengetahuan dan magic, nyanyian dan tarian, ada satu dan merupakan barang yang sama’. Saya berpraduga bahwa ada hasrat yang demikian besar dari Syaiful untuk kembali ke masa lalu. Jika tidak percaya, bandingkan tiga puisi dalam ‘Kabar Debu’. Puisi pertama ‘Kupukupu di Dada’ adalah sebuah puisi yang utuh. Ia telah menjadi dunia tersendiri tanpa harus bersandar pada dunia di luar dirinya. Ia adalah sebuah dunia kupu-kupu yang pernah hinggap di dada, pada sebuah ‘malam yang rapuh’.
Kupukupu di Dada
matahari melipat senja di langit dadaku
kemudian mengendap di dadamu
tapi kita lupa bahwa di dada kita
pernah ada seekor kupukupu
dengan sayap luka
menyisir malam yang rapuh.
Lamongan, 2003
Pada puisi kedua ‘Iblis’ dan ketiga ‘Jadzab’, kita melihat bahwa puisi-puisi itu memerlukan dunia lain sebagai tempat bersandar. Beban pengetahuan atau metafisisnya demikian besar. Namun, bukan berarti puisi ini tak bisa dijadikan sandaran. Ada keinginan besar dalam puisi-puisi itu untuk mengembalikan atau mensenyawakann antara ‘agama dan puisi’ dan medan makna di sebaliknya. Iblis, adalah sebuah simbol yang superbesar dalam karya-karya sufistik. Ia menyimpan jejak dekonstruktif dan kontradiktif tersendiri terkait dengan masalah keimanan. Bahkan, ada yang mengganggap bahwa Iblis ingkar pada Tuhan karena ia tak ingin menyekutukan Tuhan. Ia menolak perintah menyembah pada Adam karena yang berhak disembah hanyalah Tuhan semata. Begitulah tafsir yang berkembang. Pada ‘Jadzab’ yang diunggah juga tentang spiritualisme, sesuai dengan judulnya. Ada jejak-jejak khasanah lama di sana, terutama dalam mantra-mantra pesisir, terutama dalam frase ‘kerudungku Jibril, tongkatku Muhammad”. Tetapi yang jelas puisi ini berbicara tentang tercerabutnya diri karena kekuasaan dan kekuatan cinta pada “Nabi/Tuhan” atau daya tarik sesuatu di luar diri yang demikian besar dan menghilangkan diri.
Sebagaimana puisi Pringgo HR lain, puisi ‘Cerita Malam Itu’ adalah puisi yang mengunggah sebuah kestabilan jiwa. Secara isi, hubungan ‘aku’ dan dunia mampu saling menopang: berdiri sendiri. Dalam puisi itu, penyair mengeksplore unsur simbolik perahu, maut dan malam. Meski puisi ini berpotensi ke arah seorang kekasih ‘berdaging’, tetapi unsur spiritualitasnya bisa saja pada ‘nir-daging’. Perahu, dalam ranah puisi kita pernah menjadi sebuah simbol bermuatan dari ikhtiar atau jalan pencarian manusia dalam mengarungi lautan mencari kebenaran sejati. Hal itu sebagaimana ‘Syair Perahu’ dalam khasanah Melayu Lama, yang pernah digurat penyair sufi Hamzah Fansuri. Perahu itu kini dalam puisi ‘Cerita Malam Itu’ diminimalisasi menjadi ‘perahuperahu kecil’ yang ‘mengusung cita-cita kecil sampai jalanan jenazah’. Berikut ini kutipannya:
Cerita Malam Itu
malam tak pernah bisa membungkusmu dalam gelap
tepian sungai, rindumu yang sesat mengeruh deras air
perahuperahu kecil tak mungkin aku larung di sedemikian malam
akan retak dan rabun
jejakjejak basah tilas nistamu memaksa perahu berangkat
memberi jelas engkau bukan setulus embun mengecup
luka rumputan sehabis siang terik
ketika kerumun orang berteriak perahu lebam dan nanah
tenggelam aku dalam bising
jalan telah lumpur cerita malam nekatmu
membikin sia puluhan tahun aku menganyam serpih papan
perahuperahu kecil mengusung citacita kecil
sampai jalanan jenazah
—lumpuh—
engkau menguburku
dalam kubang gunjing peristiwa
malam itu
Babat, 5 Mei 2011
Nurudin Zanky juga berbicara banyak hal dalam puisinya. Beberapa puisinya pun sudah kelihatan bentuknya dan sangat potensial untuk berkembang. Saya mencoba membaca sajaknya yang memiliki unsur spiritualitas, terutama dalam ‘Suatu Sore di Pantai Tuban’. Puisi ini bisa dikatakan sebagai sebuah puisi suasana. Potret tentang sebuah pantai, yang ‘kering’ dan ‘terakhir’ tampil dengan sketsa, sebagaimana dalam sajak ‘Laut Terakhir’. Dalam sajak ini juga berbicara tentang perahu. Namun simbolisasi perahu bisa saja, berkaitan dengan soal waktu, bukan soal sebuah sarana yang bisa menjadikan seorang anak manusia untuk bermain dengan ‘gelombang’.
Unsur-unsur spiritualitas juga tampak dalam karya Luthfi Sepat. Di antaranya adalah ‘Kamboja Senja’. Puisi ini mencoba memaknai ihwal ‘kamboja’ dan ‘senja’ yang dalam terminologi tafsir kepenyairan kita selalu mengarah pada soal maut dan waktu abadi yang hendak menjemput. Kamboja sebagai lambang maut, sebagaimana mawar sebagai lambang cinta memang menjadi klasik sebagai metafor. Namun, di sini, sebagaimana Saepul Apet, yang tidak takut menghadapi maut, Luthfi pun demikian. Memang, bahwa ‘kuncup kamboja’ itu telah ‘merantak’ sampai ke ‘pesisir jingga’. Tetapi itu adalah sebuah niscaya, jika kita memandangkanya ‘dalam ranum kemboja-Mu’. Tentu akan berbeda jika kita membacanya di luar ‘ranum kamboja-Mu’.
Luqman Almishr juga bicara tentang spiritualitas maut. Meski demikian, beberapa sajaknya yang benih berbicara tentang banyak hal, ihwal kesepian, penantian, juga kerinduan. Dalam “Malam Perkabungan”, kita melihat sebuah kejernihan serupa dalam memandang maut. Tema maut memang digandrungi oleh para penyair kita, sebagaimana yang telah dinyatakan di atas, di antara yang cukup fenomenal, mulai dari Chairil Anwar (dalam ‘Aku’, ‘Nisan’, ‘Kerawang-Bekasi’ dan lainnya), hingga dua almarhum: Kriapur (Solo) dan Beni R Budiman (Bandung). Sajak Kripaur ‘Menjadi Batu di Dasar Kali’ adalah nujum mautnya sendiri. Adapun buku kumpulan puisi Beni R Budiman, ‘Penjaga Makam’ adalah penanda bakat dan pengabdiannya, dan kehadirannya yang demikian sementara di atas bumi. Tetapi dalam sajak ini, penyair dengan jernih mengakrabi maut. Maut bukanlah rahasia, ‘ia telah melangkah dengan doa, tertawa bersama sepi’. Sebagaimana Saipul Apet, Luqman juga menghadapi maut dengan tertawa, bahkan ia menolak tangis juga sesal. Berikut kutipannya:
Tak perlu kau tenggelam
dalam tangis bulan
tak usah kau mengirim sesal
ke palung hatimu
Unsur spiritualitas juga nampak dalam sajak Kacoeng Latief Al Chusnan. Saya melihat terdapat gejala Atavisme dalam sajaknya yang berjudul ‘Awal’. Dalam sajak, yang berusha mengeksplore kata basmalah yang dalam setiap suku katanya bisa dijadikan sebuah baris sajak, mengingatkan saya pada mantra-mantra lama Jawa atau Melayu Kuno. Namun, tentu ada yang rumpang di sana, karena pertalian alphabet capital seakan menyuguhkan sebuah tafsir yang lain. Engkau dan Aku dengan huruf kapital, menandaskan bahwa ada subyek yang sebanding yang sedang berdialog di sana. Sajak-sajaknya yang lain juga ada yang mengunggah ihwal abjad kapital yang segera kita bisa runut sebagai pronominal persona Tuhan.
Sajak Jirin TM juga berbicara tentang spiritualitas. Jika ia menggarapnya dengan kesabaran dan kebeningan metafor, sajak-sajaknya berpotensial sebagai sajak-sajak imajis, seperti haiku Jepang. Dalam ‘Dermaga’, penyair juga menggunakan simbol perahu, yang dalam kumpulan sajak ini, juga digunakan beberapa penyair lain dan cukup utuh bisa kita lihat pada sajak Pringgo HR yang sudah dikomentari. Dalam sajak ini, penyair memotret dermaga. Benda-benda seperti bernyawa, sayangnya ada alur yang rumpang, simbolisasinya pun jumpalitan. Namun, secara umum, dermaga bisa dimaknai sebagai tempat bersandar yang lalu-lalang: tempat perahu berasal dan kembali.
Sementara itu, sajak-sajak Ishaq Fathoni R juga berbincang tentang banyak hal, tetapi saya suka sebuah sajak pendeknya yang bertajuk “Zikir Segelas Air”. Sajak ini berbeda dengan sajak Ishaq lainnya. Sebagaimana air dalam gelas, saya bisa merasakan kebeningan dan kejernihan sajak itu. Pilihan katanya tepat, tanpa perlu ‘riuh’ dan berhasrat bicara yang besar. Ia berbicara tentang waktu subuh, aku yang rindu pada segelas air putih, air putih yang tentu berembun pada malam hari, tetapi yang diembunkan adalah “namamu”. Tanpa berpretensi menjadi religius, sebagaimana judulnya yang ada ‘zikir’, sesungguhnya dalam dirinya, sajak ini sudah menyimpan arus religiusitas.
Zikir Segelas Air
Selepas subuh
Aku selalu rindu
Pada segelas air putih
Yang mengembunkan namamu
Batu, 25 September 2011
Dalam Kabar Debu, banyak sajak Imaduddin SA yang menarik. Sajak-sajak yang ranum. Beberapa di antaranya terdapat ikhtiar untuk memasukkan sajak berbahsa Jawa ke dalam bahasa Indonesia, juga ada upaya membaca mitos-mitos yang ada. Yang agak mengganggu sebenarnya adalah sajak Jawa-nya, yang memiliki pretensi besar untuk berfilsafat. Selain itu, adanya potensi besar terjebak dalam lokalitas Jawa dalam arti harfiah dan tidak spiritnya. Dalam alam sajak modern, kehendak berfilsafat, apalagi dari sebuah bahasa yang berbeda dari bangun sajak secara keseluruhan bisa berbuah menjadi anomali. Hal itu akan berbeda rasanya, jika yang diunggah bukan sekedar nilai-nilai kebijakannya, tetapi masih menggunakan kadar sajaknya. Sebagaimana kita tahu, sajak dalam kesusastraan Jawa berakar panjang, mulai dari kakawin hingga sampai pada masa gagrak anyar, hingga pasca gagrak anyar. Ihwal ‘kekurangpaduan’ itu tampak dalam sajak ‘Di Garis Batas Waktu’ ada dua bait puisi Jawa: sejatining urip mung sadermo/ ora bakal nyono pesti iro, dan wong aji bakal nyawiji/ dadi pertondo kang didoleki.
Hal itu berbeda dengan yang ada pada ‘Suatu Malam Dalam Sebuah Kamar’. Dalam puisi itu, bait-bait Jawa masih kelihatan puisinya, sehingga tetap menarik: kaleming laku njejeke sabdo imanku/ sapecak-pecak nginggilake saf magatruh/ nglingsirno angkuh lebur sajroning pasrah/-lemah-/. Pralambang Jawa dan anasir-anasirnya begitu kental di sana, dan terjaga. Ikhtiar penyair ini untuk memasukkan lokalitas Jawa, anasir-anasirnya dan muatan maknanya patut diapresiasi. Tidak mudah untuk melakukan hal ini karena perlu penyelaman yang lebih jauh terhadap khasanah-khasanah Jawa tersebut. Sementara itu, ihwal pembacaan mitos dan spiritualitas, bisa didapati pada sajak “Kali Maya”. Dalam sajak tersebut penyair berusaha menyelami kembali apa yang pernah terjadi pada perjalanan Kalijaga. Sementara itu, dalam ‘Melebur Luka Lara’. Pralambang Jawa dan anasir-anasirnya begitu kental dengan memadumadankan dengan pertarungan purba manusia, baik pada Habil-Qabil, Pendawa-Kurawa dan lain-lainnya. Di sini tergambar dengan liris, bagaimana manusia hadir di dunia dengan segala kontradiksinya.
Melebur Luka Lara
tentu, aku tengah menumpah darah
pada lembar sajadah
sebab tak mungkin hawa
hanya melahirkan habil tanpa wajah qabilnya
dan malam ini
sesabit bulan telah terlukis pandang
walau hanya seklebat bayang
yekti nyekseni brotoyudo katunggon pandowo
sileme kolo bebungahe manah: bali dadi bocah
kulihat pesta kemenangan telah dirayakan
dari akbar peperangan jalan
kudengar genderang takbir mengalun sedang
nyanyian tahmid sahut berkumandang
melebur luka lara
gaib dan nyata
antara hati dan raga
antara kesucian dan dosa
Lamongan, September 2010
Unsur spiritualitas juga terdapat pada sajak-sajak Mas Herry Lamongan. Hal itu di antaranya bisa kita lihat pada ‘Taman 1’. Dalam puisi itu, kita bisa ‘membilang’ kesementaraan kita dan ‘kekalkan musim yang terus menerus akan tiada’. Segala bakal terjadi, begitu ‘lekas’, ketika kita bertualang ke dalam gerbang: ‘memasuki engkau’ yang berbait ‘99’. Berikut ini kutipan sajak “Taman 1”
Taman 1
memasuki engkau
lekas benar 99 bait lahirmu
mengundang gema
seperti kalender membilang umur
sepanjang tahun
dari rabu ke rabu kita bersulang
kita gemburkan tanah
kita kekalkan musim yang terus menerus
akan tiada
8/10/2011
Penyair yang sangat bergairah yang memiliki nama mirip Mas Herry Lamongan adalah Heri Listianto. Jika ia tekun untuk berproses dan terus mencoba untuk mengeksplore gaya ucap beberapa sajaknya bisa menjadi pengisi celah sajak yang selama ini alpa dalam tradisi perpuisian Tanah Air. Tetapi jika ia ‘berhenti’ pada titik ini maka sajak-sajaknya serupa berita di koran-koran dan majalah atau televisi. Hal itu bisa dilihat pada beberapa sajaknya, dalam Democrazy, kita bisa melihat ikhtiarnya. Yang harus dijawab oleh penyair ini adalah kenapa ia menggunakan alfabet capital untuk negara. Saya berharap dia tidak menjawab bahwa itu adalah sebentuk licentia poetica bagi penyair. Saya tertarik dengan puisinya “Mati Rasa” yang ditujukan untuk binatang jalang, dan juga di dalamnya terdapat negara dengan alphabet capital. Dalam sajak itu, ada ikhtiar untuk mengawinkan antara yang ‘dalam’ dan ‘luar’, antara mitos lama dan mitos baru, dan lainnya, tetapi beberapa pilihan kata belum bisa menghidupkan sajak, tetapi kata yang memilihi beban referensial panjang, seperti binatang jalang, Negara, Sri, Indonesia, Gudang Uang. Jika tidak hati-hati, maka penyair bisa terjebak pada diksi anti-puisi. Berikut ini kutipannya:
Sebagaimana Heri Listianto, sajak Fathur Rohim berbicara banyak hal, tetapi saya tertarik pada ‘Jangan Mengadu Padanya’. Sajak ini adalah sajak yang sederhana, juga aneh. Ada beberapa lompatan metafor, seperti guman seorang kanak, yang tak terduga tetapi jujur. Memang terkesan lugu dan naïf. Dan, di situ sebenarnya letak kelebihannya. Hanya saja, karena di penghujung akhir sajak terdapat –Nya, maka kenaifan yang terbangun sejak awal menjadi mentah. Jika -Nya itu, ditulis -nya saja, kiranya kenaifannya akan menjadi sebuah gaya persajakan yang menarik, apalagi pada baris terakhir muncul ‘aku’ lirik yang sejak awal disembunyikan. Ini kutipannya:
Gunung-gunung merata
Gunung-gunung terlobangi
Ulah kucing-kucing kuning berbuat
Lautan jadi kopi
Karang-karang menjadi lumpur
Ikan-ikan menjadi tuna wisma
Ulah kebo hitam berbuat
Urutan selanjutnya adalah Bambang Kempling. Sebagaimana sajak Herry Lamongan dan Pringgo HR, sajak-sajaknya adalah sajak utuh. Adapun terkait dengan masalah spiritualitas, saya ingin mengutipnya dari sajak ‘Di Sebuah Ruang’. Dalam sajak ini, dalam perulangan ‘kau tersipu’ terdapat dua hal kontras hadir dalam keserentakan. Pada bait pertama, ‘tembang kanak-kanak’ bisa ‘menjelma ajal’. Pada bait kedua, ‘tak setitikpun derai gerimis singgah’ bisa bersatu padan dengan ‘jalan setapak menuju ziarahmu tak lagi berkelok’, dan tentu saja pada bait ketiga, yang ‘wajah’ tak dikenal dan ‘rahasia debu’.
Di Sebuah Ruang
Kau tersipu ketika tembang kanak-kanakmu mengalun kembali di antara kering ilalang lewat lirih suara dan tiba-tiba menjelma ajal.
Kau tersipu ketika tak setitikpun derai gerimis singgah lalu memendarkan kesahajaan dan kesetiaan daun jendela yang senantiasa berkabar bahwa jalan setapak menuju ziarahmu tak lagi berkelok.
Kau pun tersipu ketika tak kau kenali wajah yang kau simpan sendiri dalam benakmu
Betapa sulit menerjemahkan itu, sementara tarian kupu-kupu di pagi hari kepaknya teramat sunyi
:rahasia debu.
19 Oktober 2011
Sajak-sajak Alang Khoirudin, ternyata sebagai menu penghabisan dalam Kabar Debu. Sajak penyair satu ini sebenarnya sudah memiliki gaya ucap yang khas. Saya melihat sajak-sajaknya bisa dikatakan sebagai kekhasan ‘mazhab’ sajak Kostela pasca-Hery Lamongan, Pringgo HR, Sutardi, dan Bambang Kempling. Sajak-sajak Alang memiliki kemiripan dalam hal gaya, obyek, serta muatan-muatannya sebagaimana sajak-sajak Saiful Anam dan kawan-kawan seangkatannya, dan ‘menitis’ pada sajak Imaduddin SA, meski penulis yang terakhir ini mengembangkannya dengan perspektif sendiri yang lebih kompleks. Meski demikian, sajak Alang juga memiliki ciri tersendiri, termasuk sajak matang, menarik, dan berbobot. Dalam sajak ‘Makrifat Purba’, kita disuguhi tentang perjalanan batin diri, yang mengandung perjanjian azali.
Makrifat Purba
Sebelum ada sesuatu
Tuhan telah bercakap dengan begitu salju
‘Aku adalah kabar bagimu’
Lantas aku
serupa pecinta yang gemulai
membikin seyum di dataran pipi
merona
tanda syahadah atasmu
Kemudian
saat rahim membuka kelopaknya
aku menjejaki lembah demi lembah
aku menyusuri sepi demi sepi
berharap saut mesra denganmu
Adakah terlalu lampau
semesta makrifat purba ini
sampai pengetahuan atasmu terjajah
3/
Demikianlah, sekelumit komentar tentang sajak-sajak dalam buku Kabar Debu. Sebagai komentar, tentu tulisan ini tak berpretensi sebagai sebuah analisis yang mendalam dan komprehensif. Komentar ini pun tak lebih hanya sebagai sebuah ikhtiar untuk turut memestakan puisi yang digelar hari ini. Semoga bisa menjadi pengantar perbincangan tentang puisi yang inspiratif, imajinatif, dan bermanfaat. Wallahu waliyyut thariq.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/pringgo-hr/makalah-launching-kabar-debu-23-januari-2012/10150499660920079
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar