Selasa, 06 November 2012

Kekaburan Kritik dan Fenomena Penulis Pemula

Sutejo
Karya Darma, 27 Mei 1995

Bagaimanakah potret kritik sastra kita dewasa ini? Tampaknya kritik sastra kita masih centang perenang, belum mempunyai sosok pribadi yang jelas. Beni Setia, pernah melontarkan tulisan ‘’Demistifikasi Kritik’’. Pemikiran Beni Setia demikian menyadarkan kita pada fenomena kritik sastra yang tanpa karakter. Sampai gemasnya penyair Bandung ini (kini tinggal di Caruban Jawa Timur-red) melihat fenomena kritik sastra dengan menyebutnya sebagai sebuah arogansi elite sastra yang begitu determinatif dalam pengukuan dan kualifikasi kepenyairan seorang penyair.

Sebuah tombak dengan arsitektur kokoh terbangun Indonesia kecil yang terkotak-kotak. Sastra universal dan konstektual, puisi gelap dan puisi terang (komunikatif?), penyair kota dan daerah, penyair ibu kota dan penyair pedalaman. Akankah tembok-tembok yang muncul demikian, yang membagi dunia sastra menjadi dua –mungkin saling bertentangan- adalah upaya untuk melindungi ideologi individu dan komuna kolektif masing-masing? Dalam pandangan Beni Setia, kearifan kasusastraan itu tak mengenal pusat dan daerah, tak mengenal sastrawan ibu kota dan sastrawan pedesaan, dan juga tak mau tahu karya yang adiluhung dan picisan. Bagi kearifan kasusastraan, setiap karya adalah karya, setiap karya sastra adalah karya sastra.

Sampai saat ini, manakala kita memperbincangkan teori dan kritik sastra, keadaannya menjadi demikian kompleks dan menarik. Bagaimana seorang Arif Budiman dan Ariel Haryanto mengetengahkan paham kontekstual sastra sehingga menjadi sebuah perdebatan panjang di tahun 1984? Di satu pihak didengungkan sastrawan yang membumi. Sehingga karya sastra yang dihasilkan haruslah mencerminkan konteks sosiologisnya. Karenanya, karya sastra tidak akan seperti coca-cola yang dapat berlaku kapan saja dan di mana saja. Sedangkan di pihak lain didengungkan karya sastra yang adiluhung, yang mempunyai universalitas tersendiri, yang mempunyai nilai estetis yang dapat diterima oleh lapisan pembaca dalam berbagai kurun waktu.

Kemudian muncul isu sastra gelap di tahun 1994, yang diawali dengan wawancara Yos Rizal dengan pastor puisi Sutardji Calzoum Bachry. Meskipun tak seheboh perdebatan sastra kontekstual, namun puisi gelap sempat mengundang gairah yang berujung dengan ledekan-ledekan, apologis, maupun sekadar ‘gurauan’, begitu tulus Ahmad Y. Herfanda, yang memberikan semacam ‘catatan kaki’ dari sejumlah perdebatan puisi gelap.

Referensi yang lama berkembang ternyata bukan saja dalam kasus hibah Bapindo. Tapi juga dalam dunia sastra. Referensi itu bersanding dengan kedudukan penyair mapan sebagai legitimator. Sehingga hampir bisa dipastikan manakala muncul kumpulan cerpen atau puisi, di situ pula terdapat ‘’referensi’’ dari elite sastra. Mereka sebagai ‘’kritikus’’ yang merefensi atau mencocoki dan mengantarkan pembaca pada satu nilai estetis yang ditawarkannya. Kritikus yang demikian barangkali akan mampu menginstrumalisisr antara apresiasi pembaca dengan sebuah karya sastra. Namun persoalannya: kritikus sastra yang ‘’rendah hati’’, yang melemparkan ‘’kejujuran ‘’ esetetis tidaklah banyak. Bahkan ada yang menyindir bahwa kritikus sastra kita cenderung destruktif. Misalnya saja, istilah Afrizal Malna terhadap fenomena kritik Sutardji Calzoum Bahcry, yang cenderung memberikan penyerangan. Sehingga sastrawan Misran Hadi dalam sebuah wawancaranya pernah mengaku bahwasanya dia berhenti menyair karena kritik penyerangan yang dilakukan Sutardji yang mengatakannya bahwa puisinya jelek-jelek.

Tak mengherankan kalau sastrawan kawakan, A.A Navis, berkomentar terhadap keberadaan teori dan kritik sastra yang cenderung merusak terutama bagi seorang pemula. Padahal, jika kita mau jujur yang bagaimanakah sosok kritik sastra kita sebenarnya, belumlah jelas sosok jati dirinya. Sehingga Budi Darma pernah menyebut bahwasanya kritik sastra kita centang perenang. Tanpa sosok pribadi (lihat Horison edisi November 1992, No. 11/XXVII). Atau bagaimana bergeloranya pencarian kritik sastra yang relevan untuk membedah karya sastra yang khas Indonesia, seperti Seminar Susastra Indonesia di Universitas Bung Hatta tanggal 23 s/d 26 Maret 1988.

Tembok kritik sastra yang dibangun kritikus sastra belakangan justru mengesankan keangkuhan dunia sastra. Yang tidak semua orang boleh omong sastra. Tak pelak, jika karya sastra di sebagian pandangan terkesan: teraleanasi dari masyarakatnya. Bagaimanakah Umar Yunus yang begitu angker dengan teori-teori Baratnya? Demikian juga dengan Andreas Hardjana. Kita tidak lagi menemukan sosok kritikus seperti HB.Jassin yang begitu rajin, yang benar-benara menjembatani pembaca dengan karya sastra. Lebih dari itu, mengenalkan pada penyairnya, sampai sejauh mana perjalanan peta sastra kita bergerak.

Kalau di kalangan penyair dan elite sastra sendiri demikian kompleks dn rumitnya persoalan itu, maka dapat dibayangkan dampaknya pada penyair pemula atau pada pembaca dalam menangkap kompleksitas kehidupan sastra kita secara makro.

Sehingga tak mengherankan, jika banyak para pemula gagal menapaki dunia sastra. Padahal, pemula, ibarat tunas-tunas muda membutuhkan siraman sejuk untuk mendewasakan pertumbuhan dan perkembangannya. Karena itu tentu bagi pemula dituntut mempunyai stamina tahan banting yang akan mengantarkannya pada dunia sastra, atau sekadar ‘’dunia sastra.’’ Karena itu bagi pemula perlu disadari beberapa fenomena berkaitan dengan dunia sastra kita.

Pertama, karena penyebaran sastra kita banyak berhutang budi pada media massa (khususnya koran), maka langkah pertama seorang pemula harus menembus keredaksian budaya media massa yang tentu mempunyai ideologi estetis sendiri. Dan fenomena sastra koran dengan segala ihwalnya beberapa minggu lalu sempat menjadi pembicaraan terutama di Republika. Menyangkut digugatnya adanya kolusi antara sastrawan dengan redaksi, adanya norma estetis redaksi yang tidak jelas, sampai isu bagaimana media koran khususnya telah menjadi semacam tempat pembatisan sastrawan. Namun isu demikian ditepis oleh Aan Kawisar, redaksi Horison, yang mengatakan, ‘’Tidak ada kolaborasi, tidak ada pembabtisan, yang ada layak muat’’. Atau adanya gejala dominasi sastrawan pusat, yang kemudian juga dibantah oleh Efix Mulyadi redaktur budaya Kompas dan Djadjat Sudrajat redaktur budaya Media Indonesia.

Kedua, tentunya pemula akan dihadapkan pada mitos dan tembok komunikasi sastra, penyair pemula dan penyair mapan, seniman pedalaman dan seniman kota, dan seterusnya. Fenomena demikian sesungguhnya memprihatinkan. Bagaimana pengadilan Redi Panuju yang mendeskripsikan fenomena pembacaan puisi ‘’Semangat Tanjung Perak’’ pada akhir tahun 1992, terhadap penyair pedalaman misalnya, yang mengatakan begini: ‘’…sistem RAPBN yang orientasinya hanya pada pemerataan, berbuat tanpa menimbang kualitasnya, saya kuatir hanya melahirkan ‘’permasalahan penyair’ dengan kualitas yang rendah. Malam itu telah betapa hanya dengan konsep ‘kesempatan’ saja (tok) telah melahirkan penyair-penyair plesetan, istilah teman yang duduk di depan saya, penyair tiban’’. Demikian elegankah kepenyairan seorang Redi Panuju?

Di samping harus berhadapan dengan para penyair mapan, penyair pemula dalam bertarung di media massa mereka juga harus berhadapan dengan para sastrawan mapan yang sampai saat ini masih produktif. Nama-nama seperti Putu Wijaya, Umar Kayam, Satyagraha Hoerip, Nilson Nadeak, Sori Siregar, sekadar untuk menyebut beberapa contoh. Belum keberadaan kritikus sastra yang secara eksklusif determinatif akan mengukuhkan dan memberikan pengakuan terhadap sebuah karya. Dan ini, jelas mimpi buruk bagi pemula.

Jangankan seorang pemula, seorang sastrawan, dramawan, sutradara, teaterawan terkenal saja, Putu Wijaya, terengah-engah dengan potret kritik sastra kita. Dan ini, terjadi ketika aspek historis dan sosiologis tiba-tiba menjadi ‘’norma estetis’’ terhadap pengakuan terhadap sebuah karya sastra. Bagaimana Dr. Daniel Dakidae, tiba-tiba menobatkan ‘’Para Priyayi’’ sebagai karya yang monumental karena nuansa historis dan sosiologisnya, setelah ‘’Bumi Manusia’’-nya Pramudya Ananta Toer, dan ‘’Burung-burung Manyar’’-nya YB Mangun Wijaya?

Kritik sastra yang ada kini tidaklah menjangkau wilayah dalam peta yang ada, begitu tulis Putu Wijaya dalam suratnya yang dikirim kepada HB Jassin dari Jepang, kemudian dimuat dalam Horison edisi Maret 1993, Nomor 3/XXVII/76. Tambahnya, dalam seperti itu, mudah sekali muncul kesesatan yang tak terselesaikan. Akhirnya tak terasa terjadi penjungkirbalikkan nilai… apa sebenarnya sasaran sastra itu? Bagamana cara /pertimbangan kita untuk menentukan karya sastra itu baik? Bagaimana kita meningkatkan diri kita kalau tidak tahu ukurannya? Begitulah wajah kritik sastra kita yang tanpa sosok pribadi. Penuh dengan tembok-tembok untuk melindungi egoisme komunalnya. Penuh relativias estetis. Sehingga banyak lapisan yang mengharapkan kritik sastra itu harus akomodatif, bukan tersegmentasi oleh kepentingan individu dan sebuah kepentingan kolektif.

Yang pada ujungnya keadaan demikian bukan iklim positif bagi calon para pemula. Fenomena demikian mengingatkan kita betapa centang perenang kehidupan sastra dan kritik kita. Sehingga berbagai kecenderungan bisa muncul dalam berbagai bentuknya. Mudah-mudahan iklim sastra demikian bukanlah faktor berarti bagi penulis-penulis pemula, tapi cambuk yang senantiasa membangkitkan semangat tulis yang tak pernah habis.

*) Pengajar Sastra di Lingkungan Kopertis VII Surabaya, tingggal di Ponorogo.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2012/10/kekaburan-kritik-dan-fenomena-penulis-pemula/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati