Ahlul Hukmi *
Riau Pos, 9 Des 2012
KISAH ini dimulai dengan kedatangan Atah Roy ke Pulau Penyengat, yang menjadi saksi perjuangan Raja Haji selaku Yang Dipertuan Muda Riau IV bersama rakyatnya dalam melawan Belanda. Pulau Penyengat juga merupakan tempat lahirnya karya sastra ternama yakni Gurindam 12 karya Raja Ali Haji.
Sosok Atah Roy dengan piawainya memancing keingintahuan Leman Lengkung. Sebuah kata yakni kata ‘beban’ menjadi awal Atah Roy dalam memotivasi Leman Lengkung untuk turut segak dalam kehidupan. Terdapat 18 percakapan dalam cerita ini. Hanya dengan 17 dialog cerita ini sudah dapat memberi gambaran bahwa Atah Roy ingin menyampaikan agar generasi Melayu terkini dapat tahu dan memahami esensi sejarah kegemilangan Melayu baik dalam sastra dan pelbagai hal lainnya. Atah Roy mengingatkan agar sejarah kegemilangan Melayu mesti diisi dengan berbagai hal yang positif dan bermanfaat.
Golongan muda biasanya gemar menunjukkan eksistensi dengan lebih senang duduk dalam ruang ber-AC sambil menambah gemuk badan. Ini seperti Leman Lengkung yang dinyatakan penulisnya dalam kalimat, ‘’Saye paling geram dengan Atah ni, Atah tak pernah bace karya-karya sastra saye berbentuk puisi tu?’’
Leman Lengkung selaku orang muda jadi marah sebab ia dikatakan Atah Roy tak berbuat sesuatu meski telah membaca sejarah kegemilangan Riau-Lingga dan Pulau Penyengat. Kalimat Leman Lengkung itu menjadi bukti bahwa orang muda kebanyakan ingin menunjukkan eksistensi mereka yang telah ‘berbuat’ sesuatu dalam kehidupannya. Meski tujuan ‘berbuat’ itu berdasar berbagai motif yang berbeda pula namun hasrat menunjukkan ‘eksistensi’ tetap saja diperoleh dari mencontoh golongan tua yang gemar bercerita tentang yang telah dibuatnya untuk menambah pencitraan diri. Ada juga golongan muda yang dengan arogannya melakukan pencitraan diri tentang apa yang telah diperbuatnya di tingkat lokal dan nasional. Padahal mungkin hanya untuk kepentingan sendiri.
Tentu sebagai orang tua yang telah makan asam garam takkan karya-karya sastra Leman Lengkung lepas dari sasaran mata Atah Roy. Dalam kalimat berikut terlihat bahwa Atah Roy memberi kritik sastra terhadap karya Leman Lengkung.
‘’…Puisi dikau terlalu cengeng, siket-siket, aie mate, siket-siket mengeritik orang, macam dikau aje yang betul. Seharusnye dikau bace berulang-ulang Gurindam 12 karya Raja Ali Haji tu; dapat orang berteduh di bawahnye, dapat juge orang berjalan berdasarkan tuntunannye. Puisi dikau tidak.’’
Atah Roy menyatakan, puisi-puisi yang ‘berair mata’ dan ‘mengkritik’ dianggap sebagai puisi yang terlalu cengeng. Agaknya kritik ini hanya untuk memotivasi lebih jauh bagaimana pemikiran Leman Lengkung terhadap eksistensinya dalam membuat puisi-puisi. Lihat bagaimana Leman Lengkung memberi respon terhadap kritik Atah Roy, ‘’Tah, zaman dah berbeze. Dulu karya sastra tu memang dibace orang, pade hari ini sastra cume jadi pekerje sampingan, karene tak banyak yang membace karya sastra. Lepas itu, honor karya yang ditulis pun tak dapat diandalkan, nak beli rokok je susah. Terpakselah penulis karya sastra macam pengemis, mintak sane, mintak sini, kalau punye jaringan yang kuat, dapatlah, kalau tak ade, sampai mampus buku-buku tak terbit.’’
Namun kerisauan Leman Lengkung tentang eksistensi karya sastra saat ini perlu diberi pencerahan agar ia makin bersemangat mengeksplorasi kreativitasnya dalam hal ihawal menulis dan membaca puisi. Jika karya-karya sastra yang ditulis merupakan karya yang bermutu dan berkarakter, peluang menjadikan karya sastra sebagai salah satu sumber ekonomi kreatif tidaklah mustahil. Tak perlu pula penulis karya sastra sampai jadi pengemis atau mencari uang dengan tulisan-tulisan tentang ‘kesalahan-kesalahan’ pihak-pihak tertentu dengan tujuan ada ‘amplop-amplop’ kiriman agar tulisan itu tak dilanjutkan. Leman Lengkung hanya mesti cermat meneroka segementasi pasar pembaca sebab dalam pasar sastra tetap berlaku teori ekonomi tentang pemasaran. Sejauh mana Leman telah berhasil memperkenalkan dan dikenal orang banyak tentu akan membuka peluang baru untuknya dalam meraih minat pembaca di tingkat nasional dan internasional. Namun yang paling utama adalah karakteristik dan kekuatan puisi dan tulisan Leman.
Semoga ada manfaat yang didapatkan sosok-sosok muda seperti Leman Lengkung dari pesan Hasan Junus: ‘’Saudara-saudaraku para pengarang yang berusia muda, sedangkan Vaclac Havel yang hidup di tengah belantara lebat totaliterisme yang hebat dahsyat, yang lebih sempit dari penjara, yang lebih terkungkung dari penindasan para tiran, yang lebih pedih dari disembelih sedangkan dapat menghasilkan karya-karya besar yang tahan dirempuh waktu apalagi Anda yang jiwa dan badan merdeka tidak terbelenggu.’’
Jika masih kurang yakin, cobalah memaknai pesan Yusmar Yusuf: ‘’Jalan seni bukan dunia kerja. Dia bukan urusan tempat orang melamar atau bursa kerja, kemudian dipersepsi lagi sebagai dunia yang serba berjenjang eselon. Seni bukan persoalan sedangkal eselon itu. Dia bakal menjadi bahan tertawaan dunia yang telah menghadirkan seni sebelum agama-agama hadir dengan satu perintah langit; demi keteraturan manusia. Seni ialah sosok purba yang tak pernah takluk oleh para pecundang dalam zaman apapun. Karena seni menghadirkan dirinya pada basis tunggang bernama karya. Maka mereka yang berkaryalah yang memperoleh tempat.’’
Kalau Leman tak hendak jadi penulis sastra yang ‘pop’ maka jalan-jalan ‘stensilan’ melalui jalur media alternatif dapat jadi solusinya. Barangkali jalur-jalur seperti sastra cyber juga dapat dimanfaatkan. Leman tak perlu malu berupaya membuat proposal untuk mencari peluang agar karya-karyanya dapat diterbitkan dan didistribusikan.
Bukankah Leman berada dekat dengan lokasi kerja orang-orang kreatif yang berupaya melahirkan dan mengalirkan sastra dunia? Apalagi yang Leman tunggu, sering-seringlah berdiskusi dengan mereka jika ada waktu senggang. Leman juga dapat mengambil pembelajaran dari jalan-jalan kreatif yang telah dilakukan Andera Hirata dengan Laskar Pelangi yang dikatakan merevolusi sastra Indonesia setelah novelnya itu diterjemahkan dan diterbitkan di berbagai negara.
Konsep ‘’Buat, Baca dan Bagi’’ dari salah seorang sahabat yang aktif dalam dunia media alternatif mungkin dapat diterapkan juga agar karya Leman makin tersebar. Leman tak harus menukar keyakinan dan membelokkan agamanya agar cepat terkenal.
Atah Roy mampu memberi kritik sastra yang bermanfaat dan tak pengkerdilan atau pembunuhan karakter Lemang dalam dunia sastra. Jika terdapat sosok-sosok muda seperti Leman dan Atah Roy dalam kehidupan nyata maka jalan-jalan kreatif untuk membuat karya sastra dapat dibaca dan diapresiasi orang. Leman juga dapat mengenalkan karya-karya dalam kerja-kerja sastra dan aktivitas budaya yang sangat beragam.
Dalam cerita, Atah Roy telah memberi kritik sastranya terhadap puisi-puisi Lemang. Ini untuk membuka horison harapan Lemang agar menjadi sosok muda yang cerdas mengkritisi dan berani mempertanyakan segala hal tanpa harus jadi ‘perajuk’ jika tak ditulis namanya dan dibesar-besarkan sebagai seseorang yang telah ‘berbuat’.
Selain itu juga ditemukan, antara golongan tua dan muda masih sering bertelagah. Saat ini acap ditemukan orang-orang tua yang dengan pongahnya mengkerdilkan generasi muda yang dianggap tak dapat berbuat apa-apa. Golongan tua pula yang terkesan menciptakan stigma itu sebagai upaya yang cemas dan takut dengan golongan muda yang dikhawatirkan akan mengeser posisi enak mereka. Berapa banyak orang muda yang jadi pemimpin di negeri ini? Kalaupun ada mungkin setali dengan pemegang tali kekang kuda.
Dalam cerita ini disebutkan bahwa Leman menyindir Atah Roy: ‘’Sebagai orang tue, ape yang Atah buat? Pandai menyalahkan aje? Lepas tu merajuk kala tak dibawak?’’
Agaknya sifat perajuk yang sering ditemukan dalam masyarakat saat ini adalah hasil nyata perjuangan golongan tua yang suka merajuk sehingga menurun ke generasi muda. Pada umumnya secara psikologis orang-orang muda itu pemberani dengan darah muda. Entah kenapa, mungkin sebab tiap hari sudah diberi teladan untuk merajuk, orang muda yang pemberani sudah langka.
Dalam kisah kunjungan Atah Roy, nilai kesejarahan yang ingin disampaikan adalah mengenai eksistensi sebuah perkumpulan cendekiawan orang-orang Melayu dalam Rusdiyah Klab di Pulau Penyengat. Sedang nilai kesusastraan yang ada selain gaya bahasa yang digunakan penulisnya dengan kekuatan karakteristik bahasa Melayu juga terdapat pesan mengenai sebentuk kritik sastra yang telah disampaikan penulis melalui percakapan Atah Roy dan Leman Lengkung.
Dalam kisah ini juga terdapat teknik memotivasi orang muda dalam diskusi dengan memberi pertanyaan-pertanyaan dan kritik tentang eksistensinya agar lebih terbuka cakrawala berpikirnya. Dalam kisah Atah Roy juga terdapat nilai silaturahim tentang golongan tua masih senang berdiskusi dengan golongan muda.
Tak salah kiranya jika dinyatakan bahwa Atah Roy dan Lemang Lengkung adalah sosok-sosok yang ‘istimewa’ meski tak pongah pula mereka berkoar-koar ‘kami istimewa’. Keistimewaannya terlihat pada kecintaan terhadap nilai-nilai lokal yang masih mau menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi meski Atah Roy dan Lemang Lengkung sudah terbiasa hidup di pusat kehidupan yang pekat dengan modern nan langka dengan keindahan bahasa lokal.
Hang Kafrawi sebagai salah seorang sastrawan Indonesia yang bermastautin di Riau merupakan salah satu penulis dari sekian banyak penulis kreatif di Negeri Lancang Kuning. Kisah yang berjudul ‘’Kunjungan Atah Roy ke Penyengat’’ merupakan salah satu tulisannya dari 71 kisah dalam Blog Hikayat Atah Roy. Jika di antara pembaca ingin menambah sebentuk kenikmatan saat membaca Atah Roy dalam kisah-kisahnya maka Atah Roy dalam ‘’Hantu Duit’’ di halaman ‘’Pujangga ‘’ Riau Pos Spesial dapat menjadi salah satu hidangan berikutnya. Hang Kafrawi telah berhasil menggunakan Atah Roy dalam kisah yang ditulisnya untuk menjadi sebuah media menyampaikan pesan yang memiliki makna serta bermanfaat.
Syabas, makin hari makin bertambah pula sosok-sosok kreatif yang akan merubah kerisauan bahwa sastra di Riau menjadi seakan-akan redup setelah beberapa sastrawan besarnya berpulang menghadap Sang Pencipta. Selama kata, kalimat dan paragraf belum dilarang untuk dituliskan maka selama itu pula akan bermunculan penulis-penulis kreatif yang tidak akan terjebak dalam stagnansi untuk berkreativitas meski dihadapkan dengan minimnya anggaran dan kepedulian berbagai kalangan tentang esensi sastra untuk memanusiakan manusia. Semoga ‘’Hikayat Atah Roy’’ dapat diterbitkan dalam bentuk buku sehingga makin bertambah kesempatan pembaca dan penikmat sastra untuk membaca, meneroka dan menelaahnya tak sebatas hanya di laman-laman online dengan majalah digital dan blog.***
*) Ahlul Hukmi, Bermastautin di Dumai dan merupakan salah seorang penikmat seni, sastra, budaya dan humaniora
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/12/kritik-sastra-dalam-kunjungan-atah-roy.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar