Kamis, 20 Desember 2012

Kritik Sastra dalam “Kunjungan Atah Roy ke Penyengat”

Ahlul Hukmi *
Riau Pos, 9 Des 2012

KISAH ini dimulai dengan kedatangan Atah Roy ke Pulau Penyengat, yang menjadi saksi perjuangan Raja Haji selaku Yang Dipertuan Muda Riau IV bersama rakyatnya dalam melawan Belanda. Pulau Penyengat juga merupakan tempat lahirnya karya sastra ternama yakni Gurindam 12 karya Raja Ali Haji.
Sosok Atah Roy dengan piawainya memancing keingintahuan Leman Lengkung. Sebuah kata yakni kata ‘beban’ menjadi awal Atah Roy dalam memotivasi Leman Lengkung untuk turut segak dalam kehidupan. Terdapat 18 percakapan dalam cerita ini. Hanya dengan 17 dialog cerita ini sudah dapat memberi gambaran bahwa Atah Roy ingin menyampaikan agar generasi Melayu terkini dapat tahu dan memahami esensi sejarah kegemilangan Melayu baik dalam sastra dan pelbagai hal lainnya. Atah Roy mengingatkan agar sejarah kegemilangan Melayu mesti diisi dengan berbagai hal yang positif dan bermanfaat.

Golongan muda biasanya gemar menunjukkan eksistensi dengan lebih senang duduk dalam ruang ber-AC sambil menambah gemuk badan. Ini seperti Leman Lengkung yang dinyatakan penulisnya dalam kalimat, ‘’Saye paling geram dengan Atah ni, Atah tak pernah bace karya-karya sastra saye berbentuk puisi tu?’’

Leman Lengkung selaku orang muda jadi marah sebab ia dikatakan Atah Roy tak berbuat sesuatu meski telah membaca sejarah kegemilangan Riau-Lingga dan Pulau Penyengat. Kalimat Leman Lengkung itu menjadi bukti bahwa orang muda kebanyakan ingin menunjukkan eksistensi mereka yang telah ‘berbuat’ sesuatu dalam kehidupannya. Meski tujuan ‘berbuat’ itu berdasar berbagai motif yang berbeda pula namun hasrat menunjukkan ‘eksistensi’ tetap saja diperoleh dari mencontoh golongan tua yang gemar bercerita tentang yang telah dibuatnya untuk menambah pencitraan diri. Ada juga golongan muda yang dengan arogannya melakukan pencitraan diri tentang apa yang telah diperbuatnya di tingkat lokal dan nasional. Padahal mungkin hanya untuk kepentingan sendiri.

Tentu sebagai orang tua yang telah makan asam garam takkan karya-karya sastra Leman Lengkung lepas dari sasaran mata Atah Roy. Dalam kalimat berikut terlihat bahwa Atah Roy memberi kritik sastra terhadap karya Leman Lengkung.

‘’…Puisi dikau terlalu cengeng, siket-siket, aie mate, siket-siket mengeritik orang, macam dikau aje yang betul. Seharusnye dikau bace berulang-ulang Gurindam 12 karya Raja Ali Haji tu; dapat orang berteduh di bawahnye, dapat juge orang berjalan berdasarkan tuntunannye. Puisi dikau tidak.’’

Atah Roy menyatakan, puisi-puisi yang ‘berair mata’ dan ‘mengkritik’ dianggap sebagai puisi yang terlalu cengeng. Agaknya kritik ini hanya untuk memotivasi lebih jauh bagaimana pemikiran Leman Lengkung terhadap eksistensinya dalam membuat puisi-puisi. Lihat bagaimana Leman Lengkung memberi respon terhadap kritik Atah Roy, ‘’Tah, zaman dah berbeze. Dulu karya sastra tu memang dibace orang, pade hari ini sastra cume jadi pekerje sampingan, karene tak banyak yang membace karya sastra. Lepas itu, honor karya yang ditulis pun tak dapat diandalkan, nak beli rokok je susah. Terpakselah penulis karya sastra macam pengemis, mintak sane, mintak sini, kalau punye jaringan yang kuat, dapatlah, kalau tak ade, sampai mampus buku-buku tak terbit.’’

Namun kerisauan Leman Lengkung tentang eksistensi karya sastra saat ini perlu diberi pencerahan agar ia makin bersemangat mengeksplorasi kreativitasnya dalam hal ihawal menulis dan membaca puisi. Jika karya-karya sastra yang ditulis merupakan karya yang bermutu dan berkarakter, peluang menjadikan karya sastra sebagai salah satu sumber ekonomi kreatif tidaklah mustahil. Tak perlu pula penulis karya sastra sampai jadi pengemis atau mencari uang dengan tulisan-tulisan tentang ‘kesalahan-kesalahan’ pihak-pihak tertentu dengan tujuan ada ‘amplop-amplop’ kiriman agar tulisan itu tak dilanjutkan. Leman Lengkung hanya mesti cermat meneroka segementasi pasar pembaca sebab dalam pasar sastra tetap berlaku teori ekonomi tentang pemasaran. Sejauh mana Leman telah berhasil memperkenalkan dan dikenal orang banyak tentu akan membuka peluang baru untuknya dalam meraih minat pembaca di tingkat nasional dan internasional. Namun yang paling utama adalah karakteristik dan kekuatan puisi dan tulisan Leman.

Semoga ada manfaat yang didapatkan sosok-sosok muda seperti Leman Lengkung dari pesan Hasan Junus: ‘’Saudara-saudaraku para pengarang yang berusia muda, sedangkan Vaclac Havel yang hidup di tengah belantara lebat totaliterisme yang hebat dahsyat, yang lebih sempit dari penjara, yang lebih terkungkung dari penindasan para tiran, yang lebih pedih dari disembelih sedangkan dapat menghasilkan karya-karya besar yang tahan dirempuh waktu apalagi Anda yang jiwa dan badan merdeka tidak terbelenggu.’’

Jika masih kurang yakin, cobalah memaknai pesan Yusmar Yusuf: ‘’Jalan seni bukan dunia kerja. Dia bukan urusan tempat orang melamar atau bursa kerja, kemudian dipersepsi lagi sebagai dunia yang serba berjenjang eselon. Seni bukan persoalan sedangkal eselon itu. Dia bakal menjadi bahan tertawaan dunia yang telah menghadirkan seni sebelum agama-agama hadir dengan satu perintah langit; demi keteraturan manusia. Seni ialah sosok purba yang tak pernah takluk oleh para pecundang dalam zaman apapun. Karena seni menghadirkan dirinya pada basis tunggang bernama karya. Maka mereka yang berkaryalah yang memperoleh tempat.’’

Kalau Leman tak hendak jadi penulis sastra yang ‘pop’ maka jalan-jalan ‘stensilan’ melalui jalur media alternatif dapat jadi solusinya. Barangkali jalur-jalur seperti sastra cyber juga dapat dimanfaatkan. Leman tak perlu malu berupaya membuat proposal untuk mencari peluang agar karya-karyanya dapat diterbitkan dan didistribusikan.

Bukankah Leman berada dekat dengan lokasi kerja orang-orang kreatif yang berupaya melahirkan dan mengalirkan sastra dunia? Apalagi yang Leman tunggu, sering-seringlah berdiskusi dengan mereka jika ada waktu senggang. Leman juga dapat mengambil pembelajaran dari jalan-jalan kreatif yang telah dilakukan Andera Hirata dengan Laskar Pelangi yang dikatakan merevolusi sastra Indonesia setelah novelnya itu diterjemahkan dan diterbitkan di berbagai negara.

Konsep ‘’Buat, Baca dan Bagi’’ dari salah seorang sahabat yang aktif dalam dunia media alternatif mungkin dapat diterapkan juga agar karya Leman makin tersebar. Leman tak harus menukar keyakinan dan membelokkan agamanya agar cepat terkenal.

Atah Roy mampu memberi kritik sastra yang bermanfaat dan tak pengkerdilan atau pembunuhan karakter Lemang dalam dunia sastra. Jika terdapat sosok-sosok muda seperti Leman dan Atah Roy dalam kehidupan nyata maka jalan-jalan kreatif untuk membuat karya sastra dapat dibaca dan diapresiasi orang. Leman juga dapat mengenalkan karya-karya dalam kerja-kerja sastra dan aktivitas budaya yang sangat beragam.

Dalam cerita, Atah Roy telah memberi kritik sastranya terhadap puisi-puisi Lemang. Ini untuk membuka horison harapan Lemang agar menjadi sosok muda yang cerdas mengkritisi dan berani mempertanyakan segala hal tanpa harus jadi ‘perajuk’ jika tak ditulis namanya dan dibesar-besarkan sebagai seseorang yang telah ‘berbuat’.

Selain itu juga ditemukan, antara golongan tua dan muda masih sering bertelagah. Saat ini acap ditemukan orang-orang tua yang dengan pongahnya mengkerdilkan generasi muda yang dianggap tak dapat berbuat apa-apa. Golongan tua pula yang terkesan menciptakan stigma itu sebagai upaya yang cemas dan takut dengan golongan muda yang dikhawatirkan akan mengeser posisi enak mereka. Berapa banyak orang muda yang jadi pemimpin di negeri ini? Kalaupun ada mungkin setali dengan pemegang tali kekang kuda.

Dalam cerita ini disebutkan bahwa Leman menyindir Atah Roy: ‘’Sebagai orang tue, ape yang Atah buat? Pandai menyalahkan aje? Lepas tu merajuk kala tak dibawak?’’

Agaknya sifat perajuk yang sering ditemukan dalam masyarakat saat ini adalah hasil nyata perjuangan golongan tua yang suka merajuk sehingga menurun ke generasi muda. Pada umumnya secara psikologis orang-orang muda itu pemberani dengan darah muda. Entah kenapa, mungkin sebab tiap hari sudah diberi teladan untuk merajuk, orang muda yang pemberani sudah langka.

Dalam kisah kunjungan Atah Roy, nilai kesejarahan yang ingin disampaikan adalah mengenai eksistensi sebuah perkumpulan cendekiawan orang-orang Melayu dalam Rusdiyah Klab di Pulau Penyengat. Sedang nilai kesusastraan yang ada selain gaya bahasa yang digunakan penulisnya dengan kekuatan karakteristik bahasa Melayu juga terdapat pesan mengenai sebentuk kritik sastra yang telah disampaikan penulis melalui percakapan Atah Roy dan Leman Lengkung.

Dalam kisah ini juga terdapat teknik memotivasi orang muda dalam diskusi dengan memberi pertanyaan-pertanyaan dan kritik tentang eksistensinya agar lebih terbuka cakrawala berpikirnya. Dalam kisah Atah Roy juga terdapat nilai silaturahim tentang golongan tua masih senang berdiskusi dengan golongan muda.

Tak salah kiranya jika dinyatakan bahwa Atah Roy dan Lemang Lengkung adalah sosok-sosok yang ‘istimewa’ meski tak pongah pula mereka berkoar-koar ‘kami istimewa’. Keistimewaannya terlihat pada kecintaan terhadap nilai-nilai lokal yang masih mau menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi meski Atah Roy dan Lemang Lengkung sudah terbiasa hidup di pusat kehidupan yang pekat dengan modern nan langka dengan keindahan bahasa lokal.

Hang Kafrawi sebagai salah seorang sastrawan Indonesia yang bermastautin di Riau merupakan salah satu penulis dari sekian banyak penulis kreatif di Negeri Lancang Kuning. Kisah yang berjudul ‘’Kunjungan Atah Roy ke Penyengat’’ merupakan salah satu tulisannya dari 71 kisah dalam Blog Hikayat Atah Roy. Jika di antara pembaca ingin menambah sebentuk kenikmatan saat membaca Atah Roy dalam kisah-kisahnya maka Atah Roy dalam ‘’Hantu Duit’’ di halaman ‘’Pujangga ‘’ Riau Pos Spesial dapat menjadi salah satu hidangan berikutnya. Hang Kafrawi telah berhasil menggunakan Atah Roy dalam kisah yang ditulisnya untuk menjadi sebuah media menyampaikan pesan yang memiliki makna serta bermanfaat.

Syabas, makin hari makin bertambah pula sosok-sosok kreatif yang akan merubah kerisauan bahwa sastra di Riau menjadi seakan-akan redup setelah beberapa sastrawan besarnya berpulang menghadap Sang Pencipta. Selama kata, kalimat dan paragraf belum dilarang untuk dituliskan maka selama itu pula akan bermunculan penulis-penulis kreatif yang tidak akan terjebak dalam stagnansi untuk berkreativitas meski dihadapkan dengan minimnya anggaran dan kepedulian berbagai kalangan tentang esensi sastra untuk memanusiakan manusia. Semoga ‘’Hikayat Atah Roy’’ dapat diterbitkan dalam bentuk buku sehingga makin bertambah kesempatan pembaca dan penikmat sastra untuk membaca, meneroka dan menelaahnya tak sebatas hanya di laman-laman online dengan majalah digital dan blog.***

*) Ahlul Hukmi, Bermastautin di Dumai dan merupakan salah seorang penikmat seni, sastra, budaya dan humaniora
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/12/kritik-sastra-dalam-kunjungan-atah-roy.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati