Sutejo *
Radar Madiun, 7 Nov 2000
Jika mencermati kewenangan Dati II dalam pelaksanaan otonomisasi
pendidikan di atas, maka pemerintah daerah memiliki peluang dan
tantangan yang sama besarnya. Boleh jadi peluang yang diisyaratkan itu
menjadi harapan emas, namun tantangan yang terjadi di lapangan menjadi
isyarat kecemasan tersendiri. Bagaimana daerah mampu menerjemahkan isyarat Agenda Jakarta 2000, misalnya ke dalam policy, visi, dan misi pendidikan daerah, melalui muatan lokal adalah problema tersendiri yang tidak mudah.
Sebagaimana disadari, lima persoalan pokok dalam Agenda Jakarta,
telah menyentakkan kita tentang pentingnya penataan otonomisasi
pendidikan, manajemen, dan pemberdayaannya. Institusi pendidikan daerah,
menjadi tulang punggung, mulus tidaknya cita-cita Agenda Jakarta 2000.
Karena itu, mimpi yang disarankan dalam tidur panjang pendidikan daerah
kita, adalah pentingnya sekolah yang berbasis manajemen (School Base Manajement).
Ketika pendidikan bersifat sentralistik, menggantung, dan akreatif
dalam “menghidupi” institusinya, maka penciptaan sekolah yang berbasis
manajemen, dianggap sebagai salah satu alternatif dalam memecahkan
kerumitan pendidikan Indonesia mutakhir. Persoalannya adalah, selama ini
sekolah telah menjadi “sarang politik Orba” yang menggulirkannya dengan
“manajemen korup” dan “pembodohan politik remaja” melalui sekolah.
Sekolah, praktis tak pernah berpikir manajemen, uang dikelola,
di-SPJ-kan dengan aneka rekayasa, dan tanpa akuntabilitas publik.
Mampukah pemerintah daerah menciptakan pendidikan daerah yang
berkeotonomian dan yang memberdayakan masyarakat?
Keberagaman yang tajam, kemampuan daerah terutama dalam hal keuangan
dan pendapat asli daerah, menurut Awaludin Djamin, seorang Guru Besar
Administrasi Negara, telah menjadi sesuatu yang “mengkhawatirkan”.
Karena, dari 319 Dati II di Indonesia, baru tujuh daerah yang sanggup
membiayai kebutuhannya sendiri. Karena itu, kebijakan otonomi daerah di
tingkat Dati II akan menjadi semacam politik devide et impera.
Jika pendidikan selama ini telah menjadi alat kekuasaan, dan bersifat
materialistik sebagaimana banyak dinilai pakar, maka kebangkrutan
bangsa dalam konteks mutakhir, banyak ditentukan oleh lemahnya dunia
pendidikan selama 32 tahun yang tidak memberdayakan masyarakat (lihat: Pendidikan Pada dan Setelah Krisis,
Pustaka Pelajar: 1999). Bahkan, pendidikan kita kata Winarno Surachmad,
meskipun terjadi perubahan dari tahun ke tahun, tetapi baru bersifat
kosmetik. Pendidikan yang berusaha menciptakan pemasungan bangsa yang
direduksi menjadi bonsai pendidikan, sama dan sebangun dengan nalar,
aspirasi, sikap tutur kata, bahkan dalam mimpi mereka.
Imagi politik pendidikan inilah, yang akan menjadi masalah terbesar
dalam konteks otonomisasi pendidikan. Di samping “perubahan mendadak”
dari sistem sentralistik (baik keuangan dan kebijakan), yang ketika itu
menimbulkan banyak kesenjangan, kebutuhan riil sekolah dengan pemerintah
pusat ke sistem desentralisi-otonomisasi pendidikan daerah. Jika
fenomena demikian, tidak disikapi dengan implementasi sekolah berbasis
manajemen dan pentingnya akuntabilitas publik, maka kecil kemungkinan
otonomisasi pendidikan akan bergerak dinamis.
Pentingnya kesadaran penempatan pendidikan sebagai prioritas utama,
dan mendorongnya sebagai agen sentral reformasi nasional menuju
Indonesia baru, mengingatkan kita untuk merenungkan kembali realita
dunia pendidikan kita di daerah. Sudahkah mulai berbenah, atau jengah
karena tidak tahu arah ke mana harus berkiprah dalam idealisme otonomi
daerah? Jika idealisme ini disadari, maka realita manajemen “pendidikan
kacang goreng”, “manajemen pendidikan feodalistik”, dan “manajemen
pendidikan kemiskinan” yang selama ini banyak terjadi, harus dikikis
habis tanpa bekas. Karena lembaga pendidikan dalam konteks otonomi
daerah, jelas harus memberdayakan, melibatkan partisipasi masyarakat,
baik peran maupun gagasan.
Tentang Kecemasan itu
Pelaksanaan otonomisasi pendidikan pada 1 Januari 2001 mendatang, bak
keping uang yang menggambarkan dua potret keadaan yang bisa jadi
berlawanan. Di satu sisi, melahirkan banyak kecemasan, karena realita
dunia pendidikan kita yang memiliki beragam persoalan. Di sisi lain,
munculnya idealisme pemberdayaan daerah dan peran masyarakat dalam
pendidikan secara maksimal. Karena itu, tak mengherankan jika yang
dominan muncul adalah banyaknya kecemasan, berkaitan dengan otonomisasi
pendidikan.
Mutu pendidikan, tampaknya akan menjadi kecemasan pertama,
karena sistem operasionalisasi otonomi pendidikan sendiri, yang
sesungguhnya merupakan persoalan besar. Di samping kualitas, tentunya
beragam kualitas karena kemampuan daerah yang berbeda-beda akan menjadi
kunci kecemasan itu. Hal demikian senada dengan apa yang dikemukakan
oleh Prof. Dr. Sutjipto dari Universitas Negeri Jakarta, ketika
mengkritisi otonomisasi pendidikan di The Habibie Center. Kecemasan
Sutjipto, didasarkan pada kemampuan apresiasi daerah terhadap pendidikan
itu sendiri, di samping kemampuan dan standar pelayanan yang
berbeda-beda.
Paradigma demikian, memang mengandung semacam paradoks, “ternyata”
konsep otonomisasi pendidikan ini, pada gilirannya akan melahirkan
kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah. Kelengkapan sarana
prasarana, visi dan misi daerah sendiri terhadap pendidikan, kualitas
pendidikan yang beragam, dan yang paling penting kemampuan beragam
daerah dalam memfasilitasi dunia pendidikan, akan berpengaruh penting
terhadap produk peserta didik dalam otonomisasi pendidikan.
Sebab sebagaimana disinyalir oleh Irjend Depdiknas, Muljani A.
Nurhadi, di samping otonomisasi pendidikan dapat mengakibatkan keadaan
di atas, pada sisi yang lain dapat menurunkan kualitas pendidikan itu
sendiri. Bagaimana Chili katanya, yang telah melaksanakan desentralisasi
pendidikan, meskipun mampu meningkatkan apresiasi masyarakat dalam
partisipasi pendidikan, namun justru dibarengi dengan merosotnya mutu
dan kualitas dunia pendidikannya. Fenomena demikian, tentunya dapat
menjadi semacam peringatan daerah dalam mengimplementasikan konsep
otonomisasi pendidikan searif mungkin.
Kecemasan kedua, adalah belum adanya organisasi pengelola
pendidikan di daerah. Selama ini, nyaris pemerintah daerah belum
“bergerak” untuk mengantisipasi peran besarnya dalam roda otonomi
pendidikan. Ada memang daerah yang sudah “menjemput bola” macam Kodya
Sukabumi, yang sudah sampai pada tahap implementasi sebagaimana
dikemukakan oleh walikotanya, Dra. Hj. M. Mulyati Djubaidi. Jika Dewan
Sekolah misalnya, yang nantinya memiliki kewenangan perencanaan
pendidikan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan, serta kewenangan
evaluasi, maka keberadaan organisasi ini pun di daerah, tampaknya belum
terealisasi dengan baik. Waktu dua bulan tentunya bukanlah waktu yang
panjang untuk merealisasi keberadaan organisasi ini.
Padahal, kehadiran organisasi ini kata Soenardi Dwidjosusastro,
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Depdiknas, mendesak
diwujudkan. Mengingat desentralisasi pendidikan sebagai konsekuensi
pelaksanaan otonomi daerah. Terlebih lagi, jika memperhatikan secara
konseptual dan operasional keberadaan organisasi ini belum menunjukkan
kejelasan. Bahkan, Dati II cenderung terkesan menunggu dan tidak
berinisiatif “menjemput bola”.
Untuk merealisasikan organisasi pendidikan (Dewan Sekolah) itu
sendiri, Soenardi Dwidjosusastro berpesan haruslah memperhatikan lima
persoalan kunci: 1. Bobot dan kewenangan masing-masing daerah, 2.
Efisiensinya, 3. Kemampuan daerah, 4. Pentingnya keterpaduan
penyelenggaraan pendidikan, dan 5. Pemahaman terhadap keberadaan PP No.
84/2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Kecemasan ketiga, adanya keterbatasan kemampuan daerah.
Keterbatasan kemampuan daerah, baik profesionalitas SDM-nya maupun
kemampuan PAD-nya menjadi problematika sendiri. Untuk Ponorogo misalnya,
sudah muncul statemen Bupati Markum Singodimejo berkaitan dengan
kemungkinan keberlangsungan GTT di lembaga pendidikan. “Kalau Pemkab tak
mampu, ya dicopot,” katanya (Radar Madiun, 15/10/2000). Jika
kemampuan daerah menjadi persoalan yang mencemaskan berkaitan dengan
keberlangsungan opersionalisasi pendidikan, maka peran masyarakat
menjadi penting untuk diberdayakan.
Namun, faktor SDM masyarakat kita secara umum masih rendah, utamanya
berkaitan dengan inisiatif, etos kerja, daya saing, dan kemampuan
berkreasi. Profesionalisme masih menjadi kecemasan melekat untuk tidak
menyebutnya “tidak adanya kesiapan profesionalisme SDM” kita.
Peningkatan profesionalisme pendidikan dalam konteks otonomi daerah,
harus tersandung oleh tidak profesionalitasnya SDM daerah sendiri.
Tidak adanya perubahan paradigma pengelolaan pendidikan dan tenaga kerja kependidikan, menjadi kecemasan keempat yang
menarik untuk direnungkan. Jika selama ini, pendidikan seakan berjalan
sekadarnya, tanpa fokus berarti, maka perubahan paradigma pengelolaan
pendidikan menjadi kunci penting untuk dipikirkan.
Untuk itu, dalam konteks desentralisasi pendidikan, peneliti di
Balitbang Depdiknas, Dr. Ace Suryadi, menyarankan pentingnya perubahan
paradigma pengelolaan itu. Yakni, adanya perubahan dari orientasi
persekolahan ke orientasi belajar, perubahan dari penanaman keterampilan
ke pengembangan kompetensi, dan perubahan dari kurikulum yang rigid ke
kurikulum yang luwes dan fleksibel.
Jika isyarat pentingnya muatan kurikulum lokal dalam wacana kurikulum
1994 saja tidak terealisasi secara baik, maka amanat desentralisasi
dalam perumusan kurikulum lokal menjadi problema tersendiri.
Profesionalitas organisasi pendidikan, menjadi taruhan terhadap dinamika
dan aspiratif tidaknya muatan lokal yang berkedaerahan dengan tanpa
mengabaikan muatan kurikulum nasional.
Kecemasan kelima, adalah belum adanya peran fungsionalitas
ketenagakerjaan kependidikan. Kalau selama ini, fungsi guru dalam
mengajar, mendidik, membimbing, dan mengelola kelas saja tereduksi
sedemikian rupa; maka fungsionalitas ketenagakerjaan pendidikan ini
mengamanatkan pentingnya perubahan sikap guru dari sekedar pelaksana
menjadi enterpreneur pendidikan. Enterpreneur guru ini, menjadi
kecemasan tersendiri ketika mayoritas guru kita adalah sekadar “pekerja”
bukan “manajer” pendidikan, sekadar “pencari nafkah” dan bukan “pelahir
orok kreatif” di masa depan.
Tidak adanya akuntabilitas publik pendidikan menjadi kecemasan keenam
yang menarik untuk dipikirkan. Jika, pertanggungjawaban balik dunia
pendidikan, atas ketidakberdayaan produk peserta didik tidak ada,
ketidakmampuan kompetisi peserta didik tidak tercipta, maka mengharapkan
masyarakat kritis terhadap pelaksanaan desentralisasi pendidikan adalah
sebuah kemustahilan. Bahkan, masyarakat kita cenderung menyikapi
pendidikan sebagai proses “sertifikasi” bukan “kualifikasi” dan
“profesionalisasi”. Dalam soal manajemen sekolah selama ini misalnya,
nyaris tidak ada akuntabilitas publiknya. Manajemen “dagang sapi”,
tertutup, “manajemen top down” adalah potret kecemasan yang menarik untuk dikritisi.
School Base Manajement kini, tampaknya dijadikan jawaban
atas ketidakproduktifan manajemen pendidikan selama ini. Hanya sekolah
yang berbasis manajemen inilah, nantinya akan andil positif terhadap
proses desentralisasi pendidikan.
Paling tidak, menjadi pelipur lara di antara gegap gempita pelaksanaan otda yang tiba-tiba. (bersambung)
*) Dosen STKIP PGRI Ponorogo, Mahasiswa Pasca Sarjana UNS Surakarta.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/03/pendidikan-dalam-bingkai-otonomi-daerah-2/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar